01. Kok Ngamuk?
Ternyata sekarang kita di sini. Berpijak pada tempat yang sama. Melewati sebuah garis awal dan berjalan beriringan sampai di garis akhir.
Suara bersin sudah terdengar lebih dari tiga kali di dapur. Seorang wanita paruh baya yang mendengar itu lantas tertawa renyah. Menatap seorang perempuan yang tak lain adalah menantunya.
"Kan, tadi Umma bilang, biar Umma aja. Bersin-bersin, 'kan, jadinya?"
Perempuan itu memberikan senyum kuda, lalu menjauhi kompor saat hidungnya terasa seperti digelitik. "Umma, tolong." Kemudian, suara bersin kembali terdengar. Umma kembali tertawa dibuatnya.
Arsya, perempuan yang biasa dipanggil Caca itu mencuci tangannya, lalu membasuh hidungnya yang benar-benar gatal karena sambal. Iya, dirinya sedang menggoreng sambal, padahal sudah dilarang oleh Umma, akan tetapi ia kekeh. Hasilnya seperti sekarang, bersin-bersin.
"Kamu susun makanan aja di meja, ya. Goreng sambal biar urusan Umma. Hidung Umma mah udah kebal," kata Umma.
Caca mengangguk patuh dan memindahkan makanan yang ada di atas pantry ke meja makan. Di sana hanya ada ia dan Umma, dua orang yang lain masih berada di kamar masing-masing.
Setelah menyusun makanan di meja, Umma juga selesai dengan sambal gorengnya. "Kamu panggilin abang, ya. Umma mau panggil Tisya," ucapnya pada Caca.
Caca langsung melangkah menuju kamarnya. Sosok 'abang' yang disebut oleh Umma adalah suaminya. Yang tak lain adalah ...
... Afkar.
Caca mengetuk pintu kamar Afkar yang menjadi kamarnya juga, kemudian memasukinya. Suara air dari kamar mandi terdengar, itu artinya Afkar sedang mandi. Selagi menunggu, Caca membereskan tempat tidur. Selimut, bantal dan guling sudah tidak berada di tempat semula.
Sesudahnya, Caca mendekat pada pintu kamar mandi. Ia mengetuk pintu itu setelah menarik napas dengan dalam. Kegugupan selalu saja menyerang bila akan berbicara dengan Afkar. Entah mengapa, yang jelas, suara berat milik lelaki itu mampu membuatnya jadi berdebar sendiri, meskipun tidak bertatapan langsung.
"A-abang udah bawa baju ganti?" Caca bertanya, lalu mengulum bibirnya sambil memegangi dadanya yang berdebar. Menunggu jawaban Afkar.
Panggilan Abang yang Caca sematkan untuk Afkar itu saran dari umma, sedangkan kata Esha, ia bisa saja memanggilnya dengan sebutan Mas. Karena Caca masih malu memanggil Afkar dengan sebutan Mas, maka ia memilih saran dari umma, yaitu Abang. Afkar sendiri tidak mempermasalahkan. Tidak tahu kalau di hati yang sebenarnya seperti apa, Caca tidak bisa menebak itu.
Suara air tidak terdengar lagi. "Kenapa? Nggak denger," kata Afkar.
"Abang udah bawa baju ganti atau belum?" Caca mengulang pertanyaan dengan suara sedikit dibesarkan.
"Udah."
"Habis mandi, makan." Caca masih berdiri di depan pintu.
"Iya."
"Masih lama, nggak?"
Caca tidak tahu jika di dalam sana Afkar sudah tersenyum. Mendengar suara Caca saja berhasil membuat lelaki itu merasa sejuk, apalagi ditambah dengan sikap Caca yang baik. Mau menjalankan tugasnya sebagai istri. Nilai plus perempuan itu bertambah di matanya.
Di tempatnya, Caca menunggu Afkar karena pertanyaannya tidak dijawab. Ia berdiri memunggungi pintu. Menunduk, menatap celana panjang rumahannya. Ia sudah mandi, tepat sebelum salat Subuh tadi.
Pintu kamar mandi dibuka. Caca refleks memutar tubuh dan langsung berhadapan dengan Afkar yang memakai kaus abu-abu dan celana pendek selutut. Menggosok-gosok rambut dengan handuk kecil yang ada di tangannya.
"Nungguin?" tanya Afkar.
Caca mengangguk cepat.
"Ayo," ajak Afkar pada Caca.
"Ke mana?"
Afkar menaruh handuk di kamar mandi lebih dulu, lalu kembali di dekat Caca. "Makan?"
"Nanti dulu," kata Caca.
"Tadi suruh makan, 'kan?"
Caca menatap Afkar sedikit sebal. "Mau pipis! A-abang lama!"
Afkar menyingkir dari pintu. "Oh, ya udah."
Hanya itu? "Ya udah?" tanya Caca.
"Pipis, 'kan?"
Caca menghentakkan kaki, lalu memasuki kamar mandi. Sebelum menutup pintu, ia berkata, "Nyebelin, ih!"
Setelah pintu tertutup, Afkar terkekeh. "Gitu doang kesel."
***
Sesudah sarapan, Tisya berangkat lebih dulu ke sekolah menggunakan sepeda. Afkar sedang bersiap untuk pergi ke kantor. Sedangkan Caca mencuci piring dengan umma.
"Kamu kuliah siang, Ca?"
Caca mengangguk dengan tangan yang sedang membilas piring. "Nanti jam sembilan atau sepuluh, Umma. Cuma mau bimbingan buat skripsi doang, kok."
"Nggak mau ikut abang ke kantor?"
"Nanti abang keganggu, jadi nggak usah, deh."
Umma membuka kulkas dan mengambil buah mangga. "Nggak papa sekali-kali. Lagian, abang juga pasti nggak akan keberatan." Wanita itu masih kekeh ingin membuat menantunya ikut bersama Afkar ke kantor. Pasalnya, Caca jarang sekali datang ke kantor Afkar dengan alasan malu dan tidak enak, takut mengganggu Afkar. Padahal, tidak.
Setelah cucian piringnya selesai, Caca mengelap tangan dengan kain. "Emang nggak papa? Beneran?" tanyanya memastikan.
Umma meraih pisau dan mulai mengupas kulit mangga. Ia mengangguk cepat. "Beneran. Udah sana siap-siap. Bilang aja sama abang mau ikut ke kantor. Mau lihat gedung tinggi."
Caca menurut saja. Ia pamit menuju kamar. Sesampainya di sana, Caca melihat Afkar yang tengah menyisir rambut di depan cermin. Sudah memakai kemeja, celana, dan sepatu. Jas belum dipakai, begitu juga dengan dasi.
"Lihat dasi warna biru aku, nggak?" Tepat ketika melihat Caca memasuki kamar, Afkar bertanya setelah menaruh sisir di atas meja rias. Memutar badan agar menghadap Caca.
"Ada di laci, kok." Caca berjalan mendekati lemari baju.
"Dicari nggak ada," kata Afkar.
"Waktu itu juga nyari kaus kaki, bilang dicari nggak ada, tapi waktu aku yang nyari langsung ketemu," tutur Caca sambil menarik laci bawah, tempat menaruh dasi dan kaus kaki milik Afkar.
"Kan kamu yang naruh, bukan aku," balas Afkar membela diri sendiri.
Caca menutup lemari setelah menemukan dasi untuk Afkar. "M-mau dipasangin?" tanyanya gugup. Berdiri di depan Afkar yang menjulang.
Afkar tidak menjawab, melainkan langsung membungkukkan tubuhnya agar Caca dengan mudah memasangkan dasi itu. Masih dengan wajah yang datar ia berkata, "Tolong."
Caca mulai memasangkan dasi. Sambil melakukan aktivitas itu, ia bertanya, "Aku ikut Abang ke kantor, boleh nggak?"
Afkar mengernyit. Tumben sekali Caca ingin ikut ke kantor bersamanya. Biasanya juga selalu menolak. "Boleh," jawabnya.
"Janji nggak bakal ganggu Abang, kok."
"Iya."
"Nanti jam sembilan aku berangkat ke kampus."
"Iya."
Caca tersenyum senang ketika dasi itu sudah terpasang rapi. "Udah," katanya. "Aku mau siap-siap dulu. Abang tungguin, ya."
Afkar menegakkan tubuh, lalu mengangguk. "Yang mau dibawa ke kampus apa aja?"
"Cuma laptop sama makalah skripsi yang kemarin udah diprint."
Afkar mengusap kepala istrinya dengan lembut. "Makasih udah dipasangin dasinya. Siap-siap sana. Makalah sama laptop biar aku yang siapin," ucapnya.
Caca mengangguk cepat. "Makasih, Abang."
"Sama-sama."
Meski begitu, wajahnya tetap saja datar.
***
"Jangan dimakan."
Caca menoleh cepat pada Afkar yang duduk di kursi kerjanya. "Lho, kok?"
Afkar menatap perempuan yang duduk di sofa ruang kerjanya dengan galak. "Masih pagi!" Nada kesal terdengar.
Caca menatap es krim yang ada di dalam kantung plastik berlogo salah satu mini market terkenal itu dengan nelangsa. Es krim cup ukuran sedang dengan tiga rasa itu sudah melambai minta dijamah.
"Sayang, lho, ini masa nggak dimakan, sih!"
"Nanti sakit perut, Arsya," ujar Afkar malas.
Caca tetap kekeh ingin memakan es krim itu. "Tadi, kan, udah sarapan di rumah. Jadi nggak bakal sakit perut, dong."
Afkar mendengkus. Ia kemudian fokus pada laptop dan dokumen yang harus dicek. Tidak membalas apa pun lagi untuk Caca. Perempuan itu tidak akan berani apa-apa jika ia tidak memberi izin.
Caca memandangi Afkar dengan malas. Dengan cara apa ia membujuk lelaki itu?
"Abang ...."
Afkar menghela napas. "Sini," titahnya.
Caca mendekat dengan es krim di tangannya. Ia menarik kursi di depan meja Afkar dan membawanya ke samping lelaki itu. Mendudukinya dan memiringkan tubuh menghadap sang suami.
"Nanti meleleh, lho."
Afkar ingin sekali menendang Misbah yang memberikan es krim itu pada Caca. Memang, es krim itu dari Misbah yang tidak sengaja bertemu mereka di lobi saat Misbah akan masuk ke kantor Afkar. Misbah bekerja di kantor Afkar, menjadi salah satu karyawan di bagian desain.
"Ya udah."
Caca tersenyum senang. Cepat-cepat ia membuka tutup es krim. Menyendok dan memasukkan ke mulut dengan rasa senang bukan main. Pagi-pagi makan es krim adalah salah satu kenikmatan surga dunia.
Afkar menatap Caca tanpa kedip. Melihat es krim yang sedang dimakan Caca sepertinya sangat enak, ia jadi ingin memakannya juga. Namun, karena gengsi, dirinya diam saja sambil memperhatikan istrinya.
Caca merasa ada yang janggal. Ia mendongak, mendapati Afkar yang menatapnya. Kemudian kekehan malu keluar. "Abang mau?" tawarnya.
Afkar mengalihkan tatapan dan berdeham. "Rasa vanilla," katanya.
Caca menyodorkan cup es krim. "Nih."
Afkar lupa jika Caca memang tetaplah Caca yang tidak peka. Sejak dulu memang seperti itu. "Males."
"Aneh banget, sih! Katanya mau yang rasa vanilla, tapi males makannya. Ya udah, nggak usah makan!" kata Caca sebal.
Afkar mengernyit. "Kok ngamuk?"
***
Kapalnya sudah sampai di pelabuhan, dururu dururu🤣
YANG NGESHIP AFKAR CACA MANA? AYO SINI MUNCUL! NIH SEQUEL NIH!
KOMEN SPAM NEXT UNTUK LANJUT!
Enak gak tuh dikasih yang manis-manis di part awal? Wkwkwk
Dimulai : Subang, 16 Maret 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro