The light ate her up
Ada begitu banyak misteri tak terpecahkan di dunia ini, salah satunya adalah kebodohan nahkoda kapal.
Gagasan itu terbersit di benak Nora saat kapten bilang cuaca semakin memburuk, dan hamparan samudra Atlantik Utara akan sedikit mengamuk.
Nora menatapnya dengan marah, tetapi ia tak punya tempat untuk protes. Itu hak Ayah. Nora lantas meninggalkan dek sang nahkoda dan turun dengan langkah lebar. Sial. Bagaimana bisa ia tidak memperkirakan adanya cuaca buruk? Padahal Nora sudah mempersiapkan semua acara liburan dengan teramat, sangat, matang!
Demi Tuhan, jika ada satu hal lagi yang berpotensi merusak acara ini bahkan sebelum dimulai, maka ia akan—
"Lady Nora?"
Nora baru saja memasuki aula makan saat seorang manajer menghampiri. Lengkap dengan jas hitam berekor laiknya kepala pelayan, sang manajer bergegas mengarahkan Nora menuju lantai dua aula.
"Menu makan malam akan siap dalam satu jam, Lady," kata sang manajer memulai.
Sementara itu Nora tidak terlalu mendengarkan. Itu sudah tugas sang manajer untuk memastikan segala hal berjalan dengan baik. Namun, bukan berarti anggota keluarga boleh tak acuh dan tinggal mendengarkan saja—karena itulah Nora secara sukarela mengambil peran tersebut sejak muda. Sejak diangkat sebagai satu-satunya putri Aefar dengan kemewahan von Dille yang mengerikan, Nora mendedikasikan diri untuk memastikan bahwa segalanya berjalan dengan baik di dalam keluarga besar.
Itu berarti, kedua mata biru Nora secara aktif mengedar ke segala penjuru ruangan. Kebetulan ia sedang melewati abangnya, Ehrlich, yang tengah menyesap kopi. Perhatiannya berulang kali teralihkan dari majalah ke arah panggung.
"Ehrlich." Nora menekan pundak pria tersebut.
"Nora." Ehrlich mengangguk samar. Kernyitan di dahinya tak kunjung mengendur, meski begitu ia agaknya sedikit lega dengan gangguan kecil ini. "Mengecek segalanya seperti biasa?"
"Ya, dan cuaca bakal sedikit, yah, memualkan. Tapi aku yakin kau akan bertahan." Nora memaksakan senyum. Ia yakin satu berita buruk tanpa pemanis akan menambah kerutan pada abangnya yang menginjak usia 45 tahun ini. "Dan apa yang kau khawatirkan? Keponakan kita bernyanyi dengan sangat baik, bukan?"
Nora menambahkan kalimat terakhir setelah mendengarkan lantunan Auriga yang lembut di latar belakang. Gadis itu memang senang memetik gitar, sekaligus menemani sore yang mendung di atas kapal pesiar.
Ehrlich menarik napas dengan tajam. "Kuharap penyanyi yang kausewa naik panggung secepatnya."
"Oh, mengapa perlu? Nyanyian Auri sangat merdu!" ujar Nora, lantas menoleh kepada manajer di belakangnya. "Biarkan panggung menjadi milik Auriga dahulu. Suruh penyanyi sewaan untuk tampil tepat saat makan malam saja."
Belum sempat sang manajer menjawab, Ehrlich menyela dengan dingin. "Sudahlah, Nora." Ia membalik halaman majalah keras-keras. "Berhentilah berusaha untuk terus mendamaikan semua orang sekaligus. Kau tidak akan berhasil memaksakan itu, kecuali pihak lain mengalah."
Suasana menghening di meja tersebut. Nora tanpa sadar meremas tangannya.
Pihak lain, eh?
"Kupikir kau sudah dewasa, Ehrlich." Nora tersenyum tipis.
"Kau selalu mengurusi kehidupan orang lain, Nora. Kapan kau akan mengurusi kehidupanmu sendiri? Memangnya mau jadi perawan tua?"
Nora menarik napas dengan tajam. "Sekarang permisi, Ehrlich. Aku mesti memastikan situasi yang lain."
Nora lantas berlalu dengan langkah tegas. Sepatu haknya berkeletak pada lantai aula, dan sang manajer mengikuti dengan tergopoh-gopoh. Mereka naik menuju lantai dua, tempat meja-meja bundar berlapis satin berkilau. Kandelir kristal bertumpuk kecil, tiruan dari kandelir yang lebih besar di langit-langit lantai satu, menggantung di atas meja favorit Aefar, sang ayah.
Saat menyapukan jari untuk memastikan tak ada sebutir pun debu melapis, Nora bertanya lagi. "Di mana para keponakan? Mereka harus bersiap-siap, terutama sebagian."
"Barangkali Anda terlewat, Nona Aria dan Nona Avery juga hadir di aula ini, Lady. Mereka bersama Tuan Muda Ciel." Suara sang manajer mendampingi Nora yang menepi ke pagar balkon. Benar saja, ketiga muda-mudi itu tengah mengelilingi meja judi Baccarat. Kebetulan sekali Avery tengah mencumbu seorang pria bertato di bawah sana. Nora refleks batuk. Cukup keras, kalau bisa seisi aula mendengar.
Seperti harapannya, Aria mendongak. Ah, gadis yang manis dan penuh perhatian. Nora berharap Aria akan menegur saudarinya, tetapi Avery rupanya juga mengerling. Ia tampaknya menggumamkan sesuatu, tetapi Nora tidak bisa mendengar. Tak masalah. Yang penting Avery berhenti menggoda penumpang asing laiknya gadis tak tahu diri.
Perhatian Nora teralih saat mendapati Ilana, adik bungsu si kembar, menaiki tangga dengan lesu.
"Ilana! Kemarilah, Sayang." Nora menyambut dengan sedikit cemas. Ia menangkup kedua pipinya yang pucat. "Ada apa denganmu?"
"Aku mabuk laut, Bibi," keluh Ilana sendu. Sayang sekali, padahal ia mengenakan kemeja dan rok yang sangat manis untuk acara makan malam.
Nora bergegas mengarahkannya ke sofa beludru di dekat meja makan Aefar. "Beristirahatlah di sini." Sementara itu sang manajer berkata akan mengambilkan obat-obatan dan selimut. Sembari menunggu, Nora mengajak Ilana mengobrol kecil. Ini bukan sekadar basa-basi. Sekali lagi, demi memastikan bahwa semuanya berjalan lancar, ia harus tahu aktivitas setiap anggota keluarga. Sedikit merepotkan, memang, tetapi dengan begitu Nora bakal tenang.
Setidaknya, mendamaikan debar ketidaknyamanan yang senantiasa menghantui.
Manajer kembali dalam sekejap. Ilana lantas meminum obat dengan patuh, dan menyelimuti dirinya agar tidak terlalu banyak terpapar bekunya pendingin ruangan. Di bawah, suasana kian ramai. Waktu makan malam semakin dekat.
Kepala keluarga von Dille hadir di ambang pintu. Setelah menerima sapaan dari sejumlah staf dan cucu-cucunya, Aefar menyusul Nora di balkon.
"Ayah." Nora mengangguk sopan. "Kau datang lebih awal."
"Aku mendengar kabar. Entah bagaimana kapal ini melintas di dekat Segitiga Bermuda." Aefar menatap Nora dan manajer keluarga bergantian dengan tajam. Kedua pendengarnya terkesiap. "Kapten sudah mencoba untuk mengarahkan kapal menjauh. Kita hanya bisa mengharapkan yang terbaik." Aefar lantas memandang ke arah luberan penumpang di lantai dasar aula. Ia bergumam menambahkan, "Kalau Kapten sialan itu gagal, aku akan ...."
Seolah menegaskan ucapannya, petir menggelegar di kejauhan. Nora merasakan lantai agak bergoyang di bawah sepatu haknya. Namun, belum—belum cukup memualkan untuk membuatnya terhuyung-huyung. Walau, tetap saja itu membuatnya sangat gugup.
Liburan kali ini harusnya berjalan dengan baik.
Di baliknya, Ilana meringkuk lebih dalam di balik selimut. "Aku ... semakin mual, Bibi."
Nora menelengkan kepala bingung, lantas mengecek jam tangan. Semestinya obat sudah bekerja sekarang dan sensasi mual di tubuh Ilana berkurang. Apakah obatnya tidak manjur?
Kemudian, seolah menjawab pertanyaan sang bibi, kapal tiba-tiba berguncang.
"Bibi!"
Nora spontan merangsek, menahan Ilana agar tidak berguling jatuh dari sofa. Nora sendiri nyaris terjatuh. Dengan jantung berdebar, ia menyaksikan kandelir kristal di aula makan bergoyang-goyang.
"Ayah." Nora menahan napas. Ia beranjak, memastikan bahwa Ilana berpegangan erat pada sisi-sisi sofa, lantas berjalan terhuyung-huyung ke arah tepi balkon. Aefar masih berada di sana. Kedua tangannya mencengkeram erat kendati guncangan ini tidak terlalu mengganggunya. Ia telah melalui banyak pengalaman perang—guncangan kapal bukanlah kali pertama.
"Ayah!"
"Aku baik-baik saja, Nora, pastikan yang lainnya demikian." Aefar menggeram. Kedua matanya tajam mengawasi lantai satu. Guncangan kapal belum berakhir. Tampaknya kapal mulai mengarungi badai yang mengamuk—suara denting kaca yang saling bertubrukan sebelum pecah berhamburan memenuhi ruang. Pekikan para penghuni aula pun membahana.
Nora mengangguk. Sembari berpegangan pada susuran tangga, ia bergegas turun semampu yang dilakukannya. Kapal berguncang keras seolah-olah ada ombak yang menghantam, dan selama sesaat pandangan Nora berputar. Ia terduduk dengan tangan yang mencengkeram erat.
"Bibi!"
Nora mengenali suara itu, barangkali salah satu keponakan yang tak pernah ia khawatirkan—Serena. Namun Nora tak bisa membalas. Selama sesaat lantai pualam berada di atas kepala, dan sedetik kemudian pecahan botol menggelinding ke ujung tangga. Napasnya memberat. Dengan sekuat tenaga ia berusaha menyeimbangkan posisi, tetapi ruangan terus berputar di pandangan. Orang-orang terseret dan saling menubruk. Meja-meja bergeser dan lebih banyak lagi piring-piring yang pecah serampangan.
Nora terempas di dinding, dan terlalu lambat baginya untuk mencari pegangan. Ia terguling jatuh di tangga. Sekarang ia mendengar manajer meneriakinya, tetapi pria itu juga kepayahan di balkon. Kepala Nora terantuk cukup keras di lantai, dan beruntung tidak mengenai pecahan apa pun, tetapi kepalanya sangat sakit dan pandangannya memburam.
Namun, alih-alih menggelap, pandangannya semakin terang.
Mula-mula Nora tidak menyadari asal cahaya itu. Ia hanya mengira sebagai pantulan cahaya pada pecahan gelas atau semacamnya, tetapi cahaya putih yang meliputi pandangannya juga menyeruak ke segala ruangan—menyamarkan suara dan membutakan pandangan. Ketika gelombang cahaya mencapai ujung jarinya, Nora merasakan tarikan sangat kuat—seolah-olah ini adalah perwujudan malaikat maut yang merenggut nyawa semua orang sekaligus. Nora ingin sekali menjerit, tetapi tak ada suara yang keluar.
Sebelum Nora mampu memperingatkan yang lain, kesadarannya menipis, dan cahaya putih menelannya bulat-bulat.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro