16. The Invented Weapon
"Kita akan membuat katapel raksasa."
Elias menggelar perkamen besar di meja rapat. Para Avankaya di sekelilingnya mencondongkan tubuh. Di seberangnya ada Özker dan Nora, yang sebelumnya telah memenuhi perkamen dengan berbagai coretan.
Elias kemudian mempersilakan Nora untuk menjelaskan. Satu jam berikutnya dipenuhi dengan diskusi dan pertanyaan penuh kecemasan para Avankaya. Nora sudah memprediksi itu. Jika Elias dan Özker saja berhasil dibuat pucat atas ide ini, maka bagaimana dengan para rakyat? Namun Nora berusaha keras meyakinkan bahwa senjata ini hanya—dan benar-benar hanya boleh—digunakan untuk melawan kaum raksasa saja.
Nora dan Elias, tentu saja, sudah memikirkan cara untuk meminimalisir kemungkinan lain terjadi.
"Proyek ini membutuhkan banyak tenaga," kata Elias. "Aku akan mengerahkan kalian untuk merancang, sementara para Kohl akan memgumpulkan berbagai bahan yang dibutuhkan." Ia mengaitkan pandangannya dengan Özker saat mengatakan itu. "Proses pembuatan nanti akan melibatkan para anggota suku tanpa terkecuali. Karena kerja sama ini akan menentukan nasib kita menghadapi Götu Dev."
Özker mengatupkan bibir rapat-rapat. Ia tidak mengatakan apa pun, dan keheningan mencekam itu membuat seisi penghuni ruangan gelisah. Elias menelan ludah. Di sisi Özker, Nora meremas tangannya dengan gugup.
Ayolah.
"Baiklah." Cukup satu patah kata, tetapi siapa pun yang mendengarnya seketika menghela napas lega.
Elias tak bisa menahan senyum setelah itu. Ia menghampiri Özker dan mengulurkan tangan. "Untuk keselamatan suku, Özker."
Sang tetua memandang tangan sang pasha. Ia menjabatnya dengan enggan.
"Untuk keselamatan suku," balasnya, lantas menambatkan pandangan kepada Nora. "Dan aku melakukan ini atas kehendakmu, Nyonya. Engkau yang lebih berpengetahuan daripada kami semua."
Ada ancaman di balik itu, tetapi Nora meresponsnya dengan seutas senyum tipis.
- - -
Berkat tenda-tenda tebal yang didirikan oleh Suku Kohl, akhirnya para Avankaya berhasil mengumpulkan stok getah sesuai rencana awal. Kendati hujan tidak kenal lelah untuk membanjiri Tellus, mereka tetap bisa bekerja dengan baik. Segera setelah semua keranjang getah dibawa di kapal produksi, rombongan Anatolli pun melaju.
Hujan mulai mereda saat roda kapal berderak menuruni medan, sekali lagi menyelami genangan rendah yang merendam tanah Tellus. Nora sempat menikmati pemandangan saat turun ke dek dua melalui tangga luar. Di bawah langit kelabu semburat kabut hijau berkilau, rerumputan di bawah genangan air melambai-lambai. Sesekali nampak sejenis ikan pari melintas, bergerombol dan memiliki ekor-ekor yang berpendar kekuningan.
Indah. Satu kata itu terbersit begitu saja di benaknya.
Pantas saja kalau tak ada manusia yang mau kembali ke Bumi, atau ke planet-planet asal mereka, batin Nora. Tellus masih belum tercemar dan Nora merasa sedang hidup di novel-novel fantasi yang dibacanya.
Ia lantas mendongak, membayangkan jika Azeli bakal muncul di antara kabut hijau yang berkilau itu. Tentu saja tidak. Sang penjaga dimensi mungkin merasa sudah menuntaskan tugasnya untuk mengantar Nora kemari.
Dan dia akan datang ketika waktunya Nora untuk pulang.
Selama sesaat, sang gadis merasa tidak ingin pulang.
Nora menghela napas. Ia menunduk ketika berjalan menyusuri lorong menuju dek dua. Namun, langkahnya terhenti usai menyadari keberadaan Elias di ujung lorong. Sang pasha telah berada di sana terlebih dahulu. Ia sedang mengobrol dengan beberapa cendekiawan Avankaya, dan kedatangan Nora mengalihkan perhatiannya. Elias meninggalkan obrolan itu untuk menghampirinya.
Sang pasha mengulurkan tangan. Senyum tersungging di bibir.
Ujung bibir Nora ikut terangkat saat menggenggam jarinya.
Kedatangan Nora ke dek dua adalah untuk memulai proyek pembuatan katapel raksasa. Ia memeras otak selama dua hari terakhir bersama cendekiawan terbaik Avankaya dan Özker. Kemudian, setelah memastikan bahwa katapel raksasa adalah senjata yang paling memungkinkan untuk dibuat di antara sederet lainnya (bayangkan Nora yang mencetuskan meriam, atau bom, atau mesin pelontar, dan para pria bergidik ngeri melihatnya), maka rencana itu siap diwujudkan.
Penyusunan itu berlangsung selama dua bulan.
Sepanjang waktu itu pula, Kapal Anatolli lebih sering berlabuh di kaki pohon. Para prajurit Kohl bergegas menegakkan tenda, dan para Avankaya bekerja sepanjang hari untuk mengumpulkan getah. Dengung dan geradak konstan terdengar dari kapal produksi, bahkan kapal itu mulai tampak berkilau karena terselimuti debu kristal yang dibuat sendiri.
Lambat laun, namun pasti, Nora menyaksikan bahwa kedua suku itu mulai membaur. Pada penghujung bulan kedua tinggal di sana, ia dengan mudah menemukan keakraban itu di sudut-sudut tertentu. Tenda-tenda dekat pohon kini selalu ramai oleh obrolan yang ditukar para anggota suku. Di sudut yang berbeda di kapal induk, para pembangun katapel raksasa kerap bercengkerama dengan para penyusun gagasan.
Bahkan Özker bersedia untuk sesekali makan malam bersama Elias dan Nora, bertiga saja, di kediaman sang pasha. Karena sang tetua hidup terpisah dari anak cucunya, Nora memang terpikirkan gagasan makan malam kecil itu untuk mendekatkan kedua pemimpin.
Sejauh ini, rencananya berjalan baik.
Bahkan terlalu baik, sampai-sampai Nora curiga dengan kehidupannya sendiri.
Ia terpikirkan itu saat tengah merenung. Apakah sesungguhnya para anggota suku tak benar-benar ingin bertikai? Bahwa, segala kebencian yang mereka lemparkan itu tak ubahnya bagian dari tradisi?
Tradisi bodoh yang diwariskan sepasang suami istri yang senang mengutuk satu sama lain?
Selama dua bulan terakhir, Nora juga disibukkan dengan pembuatan katapel raksasa. Baiklah, memang prosesnya tidak berjalan baik seratus persen. Ada malam-malam di mana ia ikut begadang karena terjadi kesalahan perhitungan dan bahan-bahan kayu tersia-siakan. Ada malam-malam di mana Nora mendapat protes dan cibiran dari para pekerja karena idenya yang tidak sempurna. Pada malam-malam itu Nora ingin menangis, tetapi setidaknya ia cukup senang, sebab ia disibukkan dari memikirkan Joseph dan Melisa.
Oh, dia bahkan nyaris lupa kalau akar dari masalah ini adalah orang tua kandungnya sendiri.
Kini, pada akhir bulan kedua, tiba waktunya untuk mengetes katapel raksasa. Rupa finalnya mengingatkan Nora dengan mesin-mesin pelontar yang ada di berbagai film fantasi, yang pernah ditontonnya bersama para keponakan. Ia hanya tak mengira bakal hidup di dunia sejenis itu sekarang.
Semua memang terasa bagaikan mimpi.
Nora menyerahkan urusan pengecekan terakhir kepada Özker. Sementara Pasha dan istrinya mengawasi dari balkon dek dua, sang tetua mengitari mesin yang memenuhi ruang dek dasar. Ia sesekali mengetuk-ketuk dengan buku jarinya yang keras. Gaungnya memenuhi udara yang senyap. Para prajurit Kohl dan cendekiawan Avankaya merapat pada pagar dek, mengawasi dengan bahu tegang dan mata tak berkedip. Sementara para penduduk beramai-ramai memenuhi tiap jendela dan pintu sepanjang delapan dek.
Özker lantas mendongak, memberikan isyarat berupa anggukan.
Nora merasakan helaan napas Elias saat memberi anggukan balasan. Pria itu memang berdiri tepat di sampingnya, merapat seolah tak ada ruang di balkon luas ini.
"Kita uji coba sekarang, Nora?" tanya sang pasha.
Ia mengangguk. Sedikit kebanggaan tersemat di hati karena Elias sengaja memberinya kehormatan untuk memimpin proyek katapel raksasa.
Elias mengangkat tangan. "Pasang amunisinya!"
Sejumlah prajurit Kohl keluar dari lambung kapal. Mereka menggiring dua batok buah besar yang sudah diisi dengan sekarung serbuk Ekstrak Pohon. Kulit mereka pucat pasi saat mengangkut satu batok. Padahal api belum disulut—tetapi mereka khawatir bahwa serbuk di dalamnya bisa meledak sewaktu-waktu dan menghambur isi perut mereka.
Saat seorang cendekiawan Avankaya mendekat dengan obor api di tangan, Özker berseru. "Mundur semua!"
Mereka yang memenuhi dek dasar spontan mengibrit ke dalam dek, kecuali para prajurit Kohl yang menahan tali-tali pelontar. Para penduduk terdesak masuk, dan selama sesaat kekacauan itu membuat kapal bergoyang-goyang keras. Denting bel peringatan terdengar dari dek nahkoda. Untung saja roda kapal menjejak kukuh pada tanah. Genangan air tak terlalu tinggi di sini.
Nora takkan menyebut mereka penakut. Ia sendiri juga gugup, membayangkan andai tali pelontar itu mendadak putus dan batok yang terlanjur disulut justru menggelinding ke lambung kapal.
Özker kembali mendongak, menerima anggukan kedua kali dari Pasha dan istrinya. Sang tetua mengacungkan tangan.
"Untuk Nyonya Agung!"
Nora merasakan darahnya berdesir ketika seisi kapal menggaungkan ucapan yang sama. Ia tanpa sadar mencari tangan Elias, menggenggamnya penuh kegugupan. Elias membalas remasan tangannya dengan tenang, melibas remang-remang yang menjalar di jemari Nora.
Özker berbalik untuk menghadap ke arah bentangan padang air di depannya. Di kejauhan hanya ada perbukitan, dan di sisi kanan kapal adalah jurang rendah yang cukup sempit, tempat sungai mengalir cukup deras. Di belakang mereka, sayangnya, medan padang telah berakhir menjadi hamparan laut yang tenang. Puncak pohon-pohon laut mencuat bagaikan pulau-pulau kecil yang rimbun.
"Tembak!"
Cendekiawan pembawa obor itu menyulut pilinan kain karung yang mencuat dari batok. Usai ia berlari menjauh, para prajurit Kohl melepaskan tali-tali lontar yang mereka tahan sedari tadi.
Langit ungu terbelah oleh lengkingan nyaring saat batok itu meluncur.
Batok peledak mereka mendarat sempurna tepat di dasar perbukitan. Air tidak menggenang di sana, sehingga potensi gelombang air cukup kecil. Ketika batok itu akhirnya meletus, asap kuning keemasan merebak ke segala arah. Kemilau emas memenuhi langit di atas bukit. Meski pecahan batok merosot ke padang, gelombang yang tercipta tidak besar. Kapal hanya bergoyang-goyang lembut.
Özker spontan menoleh kepada Nora dan Elias. Senyum merekah di wajahnya yang tegang.
"Kita melakukannya!"
Seisi kapal bersorak. Para prajurit Kohl spontan menarik cendekiawan Avankaya di sekitar mereka dan menari berputar-putar. Para penduduk bertepuk tangan girang. Sebagian ikut memenuhi dek dasar.
Kemudian bel nahkoda kembali berdenting, berkali-kali.
Seorang kru nahkoda menjerit. Ia menunjuk ke arah balik perbukitan.
"Götu Dev!"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro