14. The Warm Rain
Hujan di Tellus laiknya badai di Bumi. Itulah mengapa orang-orang memilih untuk beraktivitas penuh di dek masing-masing, dan suhu meningkat drastis. Nora sempat khawatir bahwa hujan takkan berhenti secepat itu. Dugaannya benar. Namun, setidaknya, intensitas hujan berkurang pada keesokan pagi. Para prajurit Kohl cekatan mendirikan tenda-tenda lebar di atas akar-akar baru yang belum disayat.
Nora sibuk di dapur kapal induk sejak pagi-pagi buta. Ia mengarahkan para gadis untuk memasak dengan rempah sedikit di awal, demi menyamakan selera para pria Kohl, kemudian baru menambah sisa rempah di porsi hidangan para Avankaya. Sedangkan Elias turun ke dek dasar untuk menyambut para prajurit yang sudah menunggu dengan keringat bercampur air hujan. Saat mereka masuk, para gadis Avankaya buru-buru bersembunyi ke dapur. Mereka berebut saling mengintip di celah pintu maupun jendela, melotot melihat kaus menjeplak pada dada para pemuda yang basah.
Nora, yang sedang mengelap tangan di samping mereka, mengangkat alis. "Hei. Apa yang kalian lihat?"
"Pasha ...."
Kedua mata Nora membulat. Entah gadis-gadis itu tidak sadar bahwa yang mengajak mereka mengobrol adalah istri sang pasha sendiri, atau mereka memang sedang tak ingin peduli. Saat Nora melihat ke arah yang sama, ia terperangah.
Elias tak ada bedanya dengan para pemuda Kohl. Karena suhu yang panas di dalam kapal, ia tak mengenakan jubah. Kausnya yang basah menempel pada dadanya yang bidang, dan itu jelas.
Nora buru-buru masuk ke aula makan. Ia menarik Elias keluar selagi sang pemimpin belum duduk.
"Ada apa?" tanya Elias kebingungan saat Nora membawanya menaiki lift.
Beruntung tak ada penumpang selain mereka. Andaikan ada, Nora bisa membayangkan berpasang-pasang mata yang mencuri pandang ke arah tubuh pasha mereka. Nora menghela napas. Dia sendiri bahkan kesulitan untuk memandang ke arah lain.
Elias tidak paham apa yang terjadi. "Apa ada yang ingin kau bicarakan?" Ia mencondongkan tubuh. "Kau terlihat agak kesal."
Tepat saat itu lift tiba di dek delapan. Tanpa banyak bicara, Nora menyeret suaminya ke kediaman. Setelah mendorong pria itu masuk, ia akhirnya berkata, "Bisakah kau berganti baju sekarang? Apa kau akan makan dengan keadaan seperti itu?"
Elias mengernyit. "Itu saja? Kukira ada hal penting yang ingin kau bicarakan." Kendati demikian ia tidak protes dan segera masuk ke kamar.
"Itu penting, Elio. Cepatlah berganti baju. Kalau bisa pakailah kaus yang agak tebal." Nora menggerutu. Ia menanti dengan canggung di dekat pintu. Jari kakinya mengetuk-ketuk lantai. "Bukankah kalian sendiri yang membiasakan para muda-mudi untuk tidak berinteraksi secara intim? Kenapa malah kau berniat sarapan dengan memamerkan dadamu?"
"Siapa yang pamer?" Elias mengerang malu, dan spontan membuka pintu. Nora terkesiap saat sang pria benar-benar bertelanjang dada. Untung saja ia masih mengenakan celana. Elias, yang semula berniat meneruskan omelan, tersipu-sipu karena Nora mengawasinya dengan mata melotot. Sang pria berdeham canggung. Ia kembali masuk ke kamar dan meneruskan omelan di sana. "Andai kau tahu, aku sudah memeras kausku di luar. Tapi hujannya memang tak kenal ampun."
Nora menarik napas dalam-dalam. Ia menempelkan tangan di dada, berusaha menekan degupnya yang tak karuan.
Siapa sangka sang pasha memiliki fisik selaiknya prajurit yang gagah?
"Sebaiknya kau memang segera berganti pakaian, Elio. Kau tak boleh terkena flu."
Elias keluar tak lama kemudian. Ia melempar kausnya yang basah ke keranjang pakaian bau. Ia menghampiri cermin di samping Nora. Ia menyugar rambutnya yang basah dengan jari-jari. Sadar bahwa Nora tak kunjung mengalihkan pandangan darinya, Elias menatap.
"Apa kau cemburu?"
"Apa?"
"Aku tahu gadis-gadis kami suka sekali melirik para prajurit muda Kohl," kata Elias, sembari melanjutkan menyisir. "Sering terjadi."
Ya, tapi apakah Elias tahu bahwa gadis-gadis itu juga meliriknya? Nora tak berniat untuk memunculkan perdebatan. Ini terdengar konyol. Selama sesaat, Nora merasa seperti seorang istri sungguhan yang cemburu melihat suaminya dikagumi gadis-gadis belia.
Yang benar saja. Melisa bahkan tak peduli apakah Joseph meracaukan nama selingkuhannya atau dirinya saat mabuk.
Kenapa Nora harus peduli pada seseorang yang dinikahi secara politik selama kurang lebih tiga bulan?
Buang-buang waktu saja. Nora sudah cukup sakit hati dengan lika-liku kehidupan selama ini. Ia tak butuh menambah masalah baru. Jika ia pulang ke Bumi, maka rasa sakit hati karena meninggalkan suami tiga bulannya adalah oleh-oleh paling terakhir yang ingin dibawanya.
"Tapi usaha bagus, Nora." Elias menyeringai. Ia mendorong punggung Nora untuk kembali ke aula makan. "Kau bersikap seperti istri sungguhan. Andai Özker ada, dia takkan mengira bahwa pernikahan kita adalah insiden. Demi Tuhan, dia masih mengira seperti itu."
Nora tersenyum kalut.
Selepas waktu sarapan, Nora turun ke bentangan tenda untuk menemani para Avankaya. Ia masih ingin menelusuri gagasannya yang diceritakan kepada Elias kemarin. Nora tak sendirian. Özker menemaninya, sementara sang pasha bekerja di kapal induk.
Kemunculan Özker berarti ada kesempatan untuk mendiskusikan tentang rencana pembuatan senjata baru. Karena Elias tampak ragu-ragu, maka memang sebaiknya mengajak mengobrol sang tetua. Bagaimanapun dia penerus suku bentukan Joseph Schulze.
Dan, sesuai dugaan Nora, Özker tidak tampak terlalu senang. Kendati demikian, jiwanya sebagai prajurit terbaik suku menggeliatkan semangat di kedua matanya.
"Kenapa harus senjata berbahaya seperti itu, Nona?"
"Jika ingin melawan raksasa macam Götu Dev, tentu kita membutuhkan senjata yang juga sangat besar. Walau tak benar-benar membunuhnya, setidaknya sesuatu yang bisa memperlambat laju Götu Dev untuk mengejar kita," jelas Nora. Ia terdiam sejenak. "Mungkin, ledakan besar yang melukai kakinya, atau tangannya, atau mana pun yang membuatnya kesulitan mengejar."
Özker tercenung. "Dari mana kau mempelajari semua itu, Nona?"
"Karena aku dibesarkan oleh dua tentara, Özker. Joseph Schulze dan Aefar von Dille, ayah angkatku, yang merupakan atasan Joseph. Ya, aku diasuh oleh seseorang yang jauh lebih hebat daripada nenek moyang kalian." Nora tersenyum pongah. Saat menatap Özker, ia sempat terkenang sosok ayah angkatnya. Walau perawakan Aefar sama sekali jauh dari Özker yang serupa batu patahan tebing, mereka sama-sama Nora anggap seperti ayah sendiri. "Aku belajar banyak darinya, termasuk berbagai jenis senjata yang pernah digunakan untuk bertempur di perang dunia."
"Perang dunia." Özker menekuk wajah. "Nenek moyang kami tidak suka membahasnya."
"Ya, memang seharusnya tak ada yang suka. Itulah mengapa Tuan Joseph lebih gemar menyanyi daripada membahas perang. Perang menakut-nakuti manusia, tetapi nyanyian membahagiakan hati." Nora beranjak. Ia meminjam gulungan perkamen kosong dan pena tinta dari para Avankaya. Gadis itu mulai menggambar sembari menjelaskan. Özker mendengarkan dengan saksama.
Saat Nora selesai mencorat-coret, kedua mata sang tetua membeliak lebar. Ekspresinya yang penuh keterkejutan dan kekaguman sekaligus membuat Nora antusias.
"Bagaimana?" tanyanya. "Kalau kau setuju, maka aku akan menyampaikannya kepada Elio."
Alis Özker berkedut saat Nora memanggil sang pasha dengan nama masa kecilnya. "Tapi, Nona," bisik sang tetua, dalam dan penuh kehati-hatian. "Kuingatkan sekali lagi. Apa yang kau ajukan ini juga berpotensi menyebabkan kerusakan besar. Bukankah kau tak ingin ...?"
"Karena itulah, Özker, aku sangat membutuhkan kebijaksanaan di sini." Senyum sang gadis melebar. "Aku tahu kau adalah sosok terbijaksana di Kohl, Özker. Duh, kau bisa jadi adalah sosok paling bijak di atas Avankaya pula," Nora berbisik. "Dan Elio sangat tahu itu. Karena itulah aku menyampaikan ini kepadamu terlebih dahulu daripadanya. Dia tahu kebijaksanaanmu tak perlu diragukan lagi."
Özker menarik napas dalam-dalam. Mungkin ia tahu bahwa Nora sedang membujuknya, tetapi gadis itu memang benar! Dan itulah yang membuat sang tetua mengangguk kuat-kuat.
"Kita bicarakan itu dengan Pasha," katanya tanpa keraguan lagi. Ia lantas menoleh ke balik punggung, kepada para Avankaya yang sibuk mengumpulkan getah baru. "Aku akan meminta anak-anakku untuk mendirikan lebih banyak tenda. Kita mesti menambah stok semaksimal mungkin."
Nora tersenyum. Puas.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro