07. The Ugly Truth
Nora spontan menarik napas dalam-dalam. Matanya jelalatan ke sekeliling ruangan, mencari secercah asap.
"Azeli?" tenggorokannya serak. "Azeli, tolong kemari."
Elias terperangah melihat pucat yang menyergap wajah gadis itu. "Nona?" bisiknya. "Ada apa—"
"Azeli, tolong!" Nora mulai berteriak dan mengabaikan sang pria. Ia beranjak, tetapi langkahnya terhuyung-huyung. Kata-kata yang barusan Elias ucapkan seolah-olah menyedot darah dari otak Nora. "Azeli, tolong jawab—aku tidak—aku—"
Sebelum Nora terpeleset perkamen yang menghampar di lantai, Elias beringsut mendekat. Gadis itu jatuh di lengan sang pasha. Untuk pertama kalinya Elias merasakan berat tubuh Nora yang nyaris membuatnya ikut terdesak. Elias mendorongnya dengan penuh kehati-hatian agar bersandar pada meja.
"Apa yang terjadi padamu?" Elias merasakan jari Nora bergetar. "Apa kau melihat sesuatu?" Nora baru saja menyebut nama yang sama sekali asing di telinganya. Siapa itu Azeli? Dan mengapa Nora mencari-carinya seolah Azeli bisa muncul dari mana saja?
Nora kembali menarik napas dalam-dalam. Elias teringat bahwa ada teko air tersedia di meja kerja, maka ia bergegas mengambilkan secawan air untuknya.
Usai meneguk secepat kilat, Nora mendesah panjang.
"Maaf." Rona merah berangsur-angsur kembali ke wajahnya. "Aku tidak bermaksud .... Selama sesaat aku merasa sangat gila dan kupikir sudah saatnya bangun dari mimpi."
Elias bertambah bingung, tetapi khawatir jika menambah pertanyaan bakal membuat Nora panik lagi. Ia menanti.
Sementara itu Nora terpekur sejenak. Kendati arah kedua matanya jatuh di kancing-kancing baju Elias, tatapannya kosong. Ia menimbang-nimbang dalam pikiran apakah sebaiknya membiarkan pria di hadapannya ini tahu apa yang terjadi. Nora tak pernah menceritakannya kepada siapa pun, dan lebih dari senang untuk melupakannya selama-lamanya. Ayah angkatnya, Aefar von Dille, bahkan tak pernah mengungkit lagi semenjak membawa Nora menjadi bagian dari keluarga.
Ia hanya tak menyangka bahwa misteri yang selama ingin dijauhinya itu justru muncul di sini.
"Nona?" bisikan Elias menyadarkan Nora dari lamunan.
Ia menatap sang pasha lekat-lekat. Tak ada salahnya berbicara. Toh ia hanya menetap di Tellus selama empat bulan. Lagi pula, jika Nora mengatakan yang sejujurnya kepada Elias, maka ia telah membuktikan posisinya pada kedua suku ini.
Jari Nora meremas kain rok di lututnya.
"Tuan Joseph Schulze." Suaranya nyaris tak terdengar, sehingga Elias mesti mencondongkan tubuh. "Dan Nyonya Melisa Aydin ...."
"Ya?"
"Adalah orang tua kandungku."
Elias membasahi bibir. "Aku tahu."
"Kau—kau tahu?"
Elias beranjak. Ia menghampiri salah satu sudut di rak dan mengeluarkan sebuah buku. Itu benar-benar buku—bukan sekadar buntelan perkamen yang dijahit seolah-olah menyerupai jilidan buku di genggaman Elias. Buku itu tampak begitu modern dan janggal sekaligus.
"Ini adalah diari Nyonya Melisa," kata Elias. "Salah satu sumber pengetahuan kami, dan di dalamnya ada potongan-potongan kisah tentang anak gadis tunggal bernama Nora." Ketika keterkejutan berkelebat di wajah sang gadis, Elias mengangguk pelan. "Itulah mengapa aku sempat kebingungan dengan perkenalan pertama kita. Namamu ... dan kebenaran yang barusan kau katakan ... ternyata kau adalah putri dari nenek moyang kami."
Elias tahu-tahu menyodorkan buku itu. "Kau mau membacanya?"
"Tidak!" Nora spontan mengeplaknya hingga jatuh. Elias membeliak dengan reaksi dadakan tersebut, dan Nora sendiri mendapati rasa bersalah menyergap dengan cepat.
Dia baru saja memukul tangan sang pemimpin!
"M-maaf, aku hanya ... aku hanya tidak siap." Pandangannya mengabur, seiring dengan desakan kuat di pelupuk matanya yang perih. "Aku kehilangan mereka 22 tahun lalu, Pasha. Kupikir mereka sudah ... kupikir mereka tak membutuhkanku."
Setetes air mata bergulir di pipi Nora tanpa aba-aba. Disusul tetesan kedua, kemudian ketiga, dan begitu seterusnya hingga sang pasha tergerak untuk merengkuhnya dengan lembut.
Hari itu Nora tidak bersemangat untuk melakukan apa pun. Meski baru satu jam berlalu semenjak penemuan mengerikan, ia tahu ia tak punya tenaga untuk turun ke padang, maupun bergabung dengan Elias dan para petinggi suku lain untuk rapat. Sang pasha membiarkan Nora mengunci diri di ruang kerja, ditemani seteko teh hangat dan cawan-cawan bernoda serpihan daun teh. Bundelan perkamen yang memuat nama Joseph Schulze dan Melisa Aydin terbuka di meja.
Dan, tak peduli betapa sering Nora memanggil Azeli, sang penjaga dimensi tidak muncul.
Ia menggigit kuku.
Jadi, kedua orang tuanya terlempar kemari. Entah apa yang membuat mereka terdampar sebagai gerombolan manusia pertama di dunia ini, tetapi yang jelas Joseph dan Melisa tampaknya tidak meninggalkan Nora karena membencinya.
Nora tanpa sadar mengeratkan gigitan hingga jempolnya tersengat. Ia refleks menjauhkan tangan dan berganti meremas-remas pakaian.
Nora juga tak pernah bertanya kepada ayah angkatnya apa yang sebenarnya terjadi kepada Joseph dan Melisa. Seketika ia diangkat menjadi von Dille, Nora tak pernah mau menengok ke belakang lagi. Meski, tak bisa dipungkiri, Nora selalu gemetaran dan jantungnya berdentam keras acap teriakan dan sumpah serapah memenuhi mansion von Dille.
Pengaruh Joseph dan Melisa tak pernah benar-benar meninggalkan Nora.
Nora termenung cukup lama hingga pintu ruangan diketuk. Elias mengintip masuk, sedikit canggung karena mengetuk pada ruang kerjanya sendiri, dan memastikan bahwa Nora sedang melamun.
"Nona?" panggilnya dari ambang pintu. "Özker ingin menemuimu."
"Kenapa kau mengintip seperti itu?" suara sang tetua menghardik dari arah lorong.
Nora menegakkan punggung dan berusaha memperbaiki penampilan sebisanya. "Ya, ya. Tentu saja."
Elias membukakan pintu dengan enggan. Özker menyeruak masuk—setengah melompat, cemas jika sang pasha telah mengunci keajaiban Tuhan di ruang tertutup untuk maksud terselubung. Özker menelusuri ruangan yang agak berantakan itu dengan sorot mata yang tajam. Kumisnya yang lebat bergoyang-goyang saat bibirnya mencebik.
"Apa kau baik-baik saja, Nona?" tanya Özker dengan lantang. Jelas ia ingin para petinggi suku lain mendengar. "Apa kau terdesak?"
"Tidak, Özker." Nora tersenyum sebaik mungkin. "Aku sangat baik-baik saja dan terlalu fokus untuk memelajari sejarah kalian. Lihat." Ia mengayunkan tangan ke arah meja. "Pasha memberikan banyak tulisan untuk kubaca."
Özker menyipitkan mata, mengisyaratkan Nora untuk berkata sejujurnya andai bukan itu yang terjadi. Nora tidak goyah. Sang tetua pun menghela napas besar-besar. Ia menghampiri meja, melirik sekilas ke arah perkamen yang berceceran dengan tatapan malas.
"Maafkan atas sikap lancangku, Nona Nora." Suara Elias terdengar dari arah pintu. Ia bersandar di sana dengan tangan terlipat. "Tapi aku mesti memberitahu Özker bahwa kau, tak disangka-sangka, adalah putri kandung dari nenek moyang suku kami."
"Itu bukan tak disangka-sangka." Özker bersikeras. "Nona Nora memang keajaiban. Tuhan sudah membuktikan, sehingga tak ada lagi keraguan yang tersisa di hatiku. Tuhan merahmati kita dengan kehadiran Nona Nora karena sudah waktunya permasalahan kita diselesaikan, tanpa ditunda-tunda lagi, untuk selamanya!"
"Özker!"
Nora mengangkat tangan untuk mencegah Elias maju. Ia menarik napas dalam-dalam demi meredam degup jantungnya yang kalap. "Kau tahu persis apa yang terjadi dengan nenek moyang kalian, Özker?"
"Tentu saja aku tahu. Aku memahaminya sebagaimana jalan hidupku sendiri." Özker mengepalkan tangan. "Sejak awal nenek moyang kami menjalankan kehidupannya masing-masing. Hanya kutukan yang mengikat kami agar terus bersatu. Ini saatnya engkau untuk memecah kutukan itu, Nona Nora. Kau memiliki keajaiban dan keberkahan seagung para nenek moyang kami. Tanpa mereka, kami tidak akan pernah ada. Tanpa engkau, kami akan selamanya terjerat dalam kesengsaraan ini."
Nora menarik napas lagi, kali ini berakhir dengan mengangkat dagu. "Aku mengerti, Özker." Ia tersenyum. "Aku berharap kau mau bersabar sebab aku mesti memahami apa saja yang terjadi selepas kedua orang tuaku hadir di sini. Aku ... tidak ingin menyia-nyiakan segala kebaikan yang telah mereka tinggalkan untuk Suku Kohl maupun Suku Avankaya."
Özker mengangguk dan membungkuk serendah mungkin. "Aku akan menyediakan apa pun yang kau butuhkan, Nona, dan jika Pasha menghalangimu untuk melakukan sesuatu, maka aku siap membantumu."
Saat Özker berbalik, Elias menatapnya dengan jengkel. Ia tidak berusaha menyembunyikan ekspresinya lagi. Sang tetua pun meninggalkan ruangan dengan langkah lebar.
"Nona Nora." Elias menutup pintu dengan ekspresi sakit hati. "Apa kau benar-benar akan ...?"
"Pasha, aku sama sekali tidak menduga jika kebobrokan keluargaku diwariskan kepada suku kalian hingga tiga ratusan tahun, oke?" Nora mengangkat tangan. "Aku mesti memahami apa yang terjadi. Aku tidak akan membuat keputusan apa-apa. Bagaimanapun itu hakmu, dan aku tidak berhak ikut campur."
Ruangan menghening.
Elias yang pertama kali mendekat. "Apa kau tidak apa-apa?" suaranya memelan. Nora merasakan tubuhnya meremang. Ia teringat bahwa sang pasha tadi memeluknya. Itu suatu sikap yang refleks. Nora tak bisa berhenti menangis hingga Elias menepuk-nepuk pundaknya dengan lembut dan berbisik bahwa semuanya baik-baik saja.
Tidak ada yang baik-baik saja. Joseph dan Melisa sialan telah membawa pertengkaran mereka sampai mati, meracuni setiap pemuja mereka dengan kebencian terhadap satu sama lain. Menjadikannya tradisi secara ironis.
Nora mengalihkan pandangan. Malu. "Kuharap kau tidak memberitahu siapa-siapa menyoal tadi, Pasha."
Tidak elegan jika para rakyat tahu seorang keajaiban Tuhan kehilangan kontrol, bukan?
Elias tak langsung menjawab. Ia menatap Nora lekat-lekat, berusaha menguliti kebenaran yang gadis itu sembunyikan di balik kekakuan ekspresi.
Pada akhirnya, Elias menghela napas. "Kau bisa percaya padaku, Nona."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro