Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

04. The Wrong Pray


Ujung bibir Nora berkedut. Ubun-ubunnya memanas dengan cepat. Kendati demikian ia masih mampu memaksakan senyum. Apakah Özker dan seluruh anggota Suku Kohl berdoa serupa? Memohon untuk dibantu berperang?

"Mengapa kau ingin memerangi Suku Avankaya?"

"Kedua suku kami telah lama berseteru, Nona. Tiga ratus tahun lamanya." Pria tua itu mengayunkan tangan ke arah Kapal Anatolli, yang punggungnya menjulang tinggi di depan Kapal Kohl bagai tebing di kaki lembah.

Nora mengernyit. "Bagaimana kalian bertahan hidup bersama selama itu?"

"Hubungan yang rumit." Özker menggerutu. "Aku mendengar kisah-kisah pendahulu bahwa ada kalanya suku kami bisa bergandengan tangan, tapi itu hanyalah segelintir dari banyaknya perseteruan. Dan aku tidak akan termakan dongeng-dongeng, wahai Nona. Aku tidak mau Kohl menderita lebih jauh lagi, terutama ketika pasha saat ini sama sekali tidak berkompeten!"

Nora yakin siapa saja bisa mendengar raungan Özker, termasuk sang pasha muda. Ia merapat pada pagar dek. "Ada yang salah dengan Elias Pasha?"

Apa pun itu, yang jelas bukan penampilannya.

"Adalah hal bodoh untuk mengangkat seseorang muda sebagai pasha." Özker mendengus. "Ada sejumlah tetua di Avankaya dan mereka memilih seseorang yang baru berusia tiga puluh sebagai seorang pemimpin! Belum menikah, pula! Bagaimana bisa ia akan memimpin dua suku kalau ia saja tidak pernah belajar untuk memimpin keluarganya sendiri—sebagai seorang suami, seorang ayah? Aku tidak akan pernah memercayakan tiga ratus Kohl di tangan lelaki lajang tanpa pengalaman!"

Nora mengerjap. Ia mengatupkan bibir. "Dan ... dan mengapa ia yang diangkat menjadi pasha?"

"Karena ia terdidik." Özker mencemooh. "Karena ia sejak lahir telah ditetapkan sebagai pemimpin generasi ini, menggantikan mendiang tetua kami. Avankaya dan tradisi anehnya itu memang sembarangan saja. Tidak seperti Kohl, yang dengan penuh kerendahan hati memilih orang paling tua dan bijak untuk memimpin!"

Itu berarti, Özker adalah pria tertua dan, mungkin saja, yang terbijak di Suku Kohl. Baiklah. Jika kebijakan terhadap pemimpin saja sudah menunjukkan perbedaan sebesar itu, Nora tak perlu bertanya lagi tentang tetek bengek lainnya.

"Karena itulah, Nona, kami sangat gembira saat kau jatuh dari Dunia Lain. Tuhan benar-benar menjawab doa kami—Dia telah mendengar kami," Özker kembali berkata. Ia menatap Nora lekat-lekat. "Keajaiban apa pun yang kau miliki, kami sangat percaya itu adalah bantuan untuk melepaskan diri dari Avankaya."

Nora menelan ludah. "Peperangan adalah kekerasan, Özker. Apakah kau yakin Tuhan menginginkan kekerasan pada suku yang telah lama hidup berdampingan? Bagaimana dengan kedamaian?"

"Tapi kau adalah jawaban dari doa kami." Mata Özker berkilat. Ia mendesis di antara giginya yang besar. Nora nyaris mengira sang tetua akan menggigitnya. "Ini mungkin terdengar salah bagimu, tetapi kau tidak mengerti sejarah kami. Suku Avankaya dan Suku Kohl tidak pernah ditakdirkan untuk menyatu. Ada kalanya peperangan hanyalah satu-satunya cara untuk kedamaian abadi bagi anak cucu kami."

Nora tidak berpikir demikian, sebab itulah yang selama ini terjadi pada keluarga von Dille. Belasan ponakan dengan berbagai tingkah, ditambah abang-abangnya yang bertolak belakang adalah alasan Nora kerap dirundung kecemasan.

Kedua suku ini tak ada bedanya.

"Aku akan mencari tahu apa yang bisa kulakukan." Nora tersenyum penuh. Ketika Özker balas tersenyum hingga janggut lebatnya terangkat, sang gadis mampu bernapas lega. Walau masih ada sisa kejengkelan di kedua mata sang tetua, setidaknya kehadiran Nora berhasil menekan itu.

Atau, lebih tepatnya, harapan-terhadap-keajaiban-Nora yang telah menekan emosi Özker.

"Kalau begitu mari kita minum teh." Sang tetua menepuk tangan untuk memanggil seorang pemuda Kohl yang melintas. "Siapkan karpet dan hidangkan teh untuk Nona Nora! Siapa pun yang mau bergabung, mari bergabung!"

Satu hal yang disukai Nora mengenai para Kohl adalah kegesitan mereka untuk memenuhi segala permintaan. Tahu-tahu karpet bercorak kuning dan oranye digelar di atas lantai dek. Kayu-kayu dupa dibakar di dalam sebuah tembikar mungil, dan wanita-wanita paruh baya Kohl membawa teko beserta tumpukan cawan setinggi kepala. Nora tertawa melihat bocah-bocah Kohl memeluk toples-toples kue saat datang. Dalam sekejap, dek dipenuhi belasan anggota suku yang belum pernah mengobrol dengan Nora sebelumnya.

"Ini pertama kalinya kita berkumpul bersama Nona Nora," kata Özker saat seorang bocah menuangkan teh ke cawan-cawan. Ia menyerahkannya kepada Nora terlebih dahulu, lantas kepada sang tetua. "Dan orang-orang kami sudah tidak sabar untuk mempersembahkan lagu kami. Anak-anak!"

Sejumlah pemuda—yang selalu membawa tombak kecil di punggung mereka—spontan beranjak. Gadis-gadis di seberang spontan berkoor, dan para ibu mencebik kesal. Seorang pemuda, yang berperawakan paling kekar dan memiliki satu coretan putih di dagu, mengacungkan tombak.

"Untuk keajaiban Tuhan!" seruannya disambut gemuruh massal. Para pemuda berderap di tempat, tiap langkah diiringi seruan "Ho!" yang memecah langit atau tepukan di paha. Bergantian.

Nora terkesima melihat betapa seirama gerakan para pemuda Kohl. Kemudian seseorang mulai berdendang, dan yang lainnya menggumamkan nada rendah. Para gadis dan para ibu pun menepuk tangan seirama dengan nada-nada yang mengalir.

Nora ikut bertepuk tangan. Senyum terkembang lebar di wajah. Namun, hatinya masih bergemuruh. Jawaban doa atas permintaan bantuan perang? Yang benar saja.

Dengungan panjang para pemuda berakhir. Suasana menghening seiring dengan tepukan para wanita yang memudar. Pemuda kekar di depan barisan kemudian mengacungkan tangan, dan Nora terkesiap melihat seberkas api tersembur dari mulutnya.

Pemuda yang tadi berdendang pun bernyanyi kembali.

Keajaiban kami, Nona Nora

Lintasi bintang dan angkasa

Götu Dev bertekuk lutut melihatnya

Avankaya tak kuasa di hadapannya!

Pemuda itu mengulang nyanyiannya lagi, kali ini diikuti oleh yang lain.

Nora tersenyum kecut. Walau begitu ada satu topik yang membuatnya penasaran sejak awal. Ia mencondongkan tubuh kepada Özker di sisinya dan berbisik. "Siapa itu Götu Dev?"

"Götu Dev adalah musuh kami." Nora tak menyangka dengan jawaban sang tetua. Kenapa ada banyak sekali musuh? "Götu Dev adalah musuh umat manusia, Nona. Tidak hanya kami. Götu Dev membunuh, menginjak, dan memakan manusia mana pun yang ditemui."

"Terdengar ... sangat mengerikan. Apakah dia juga manusia?"

Özker menatapnya lekat-lekat, lantas mengedikkan dagu ke arah pohon pencakar langit yang baru saja dilintasi rombongan kapal.

"Götu Dev adalah raksasa, Nona."


- - - -


Tidak cukup oleh permintaan bantuan perang, sekarang ia diharapkan menghadapi makhluk raksasa?

Nora nyaris gila. Tidak, ia mungkin sudah gila sungguhan.

Ia sudah kembali ke kamar setelah acara minum teh. Sebentar lagi makan malam. Nora berniat untuk berbasuh sebagaimana yang lain, tetapi suasana hatinya sudah terlanjur remuk.

"Tenang, Nora. Tenang." Ia menarik napas dalam-dalam. Mungkin permohonan menghadapi Götu Dev hanya bagian dari dendang saja. Bukankah orang-orang suka berlebihan dalam menyelipkan lirik? Benar. Toh Özker tidak membahas perihal raksasa sama sekali kepadanya.

Anggap saja demikian.

Nora melepas bando dan mengurai gelungan rambut. Ia menanggalkan jubah terluar untuk diganti baru. Kulitnya beraroma dupa pekat saat ia mencoba mencium lipitan lengan. Selain itu, hanya perasaannya saja, atau rambutnya yang hitam mulai tampak kecokelatan? Ah, sudahlah. Perlahan tapi pasti, Nora telah menyelami kehidupan di sini, terutama sebagai seorang Kohl.

Saat Nora tengah berkaca, muncul kepulan asap di balik punggung.

"Azeli." Ia spontan berputar. "Azeli, kau tahu apa yang terjadi?"

"Seharusnya aku tidak muncul lagi." Sang penjaga dimensi melipat tangan. "Tapi kau terlihat bakal meledak jika aku tidak datang. Apa yang ingin kau tanyakan?"

Nora memberenggut. Kalau berkomentar saja Azeli bisa berceloteh lebih lama, eh? Menyebalkan. "Tolong jelaskan padaku menyoal Götu Dev. Apakah Tellus sungguhan dihuni makhluk semacam itu?"

"Tak ada kebohongan, Nora."

Saat kedua mata Nora membulat dalam kengerian, Azeli menambahkan dengan tenang. "Tak usah pikirkan segala hal yang ada di Tellus. Kau takkan berada di sini selamanya. Cari jawaban yang paling kauperlukan dan kembalilah ke Bumi setelah empat bulan. Kau lahir di sana—selaiknya kau juga dikubur di sana."

Kelegaan menyeruak di hati Nora. Ternyata ia tidak terperangkap di sini selamanya!

Namun, oh, keraguan pun menggerogoti dengan cepat. Empat bulan. Apakah itu cukup untuk mendamaikan kedua suku yang bertikai? Tunggu dulu. Nora juga mesti menemukan jawaban atas doanya sendiri di sini.

Nora meremas jari. Selama bertahun-tahun ia berusaha menengahi setiap konflik di antara keluarga von Dille. Selama itu pula ia mengalami jatuh bangun.

Ingat apa yang terjadi di kapal pesiar von Dille lalu? Perdebatannya dengan sang abang dan ponakan-ponakannya yang bandel? Dia masih belum berhasil sepenuhnya.

Apakah empat bulan cukup?

"Bagaimana kalau aku tidak bisa memenuhinya dalam empat bulan?"

Azeli tiba-tiba menggerutu. "Kalau begitu berusahalah dengan keras. Kalau kau tak kunjung usai maka itu bakal menambah bebanku." Saat ekspresi Nora mengeruh, sang penjaga dimensi menambahkan. "Kau tak bisa kembali ke Bumi sampai jawaban itu kautemukan. Bukankah itu alasan Tuhan menaruhmu di sini?"

Nora menghela napas. Mendadak pundaknya terasa begitu berat. Bisakah ia menemukan jawaban dalam empat bulan, sementara ada masalah lain yang menunggu untuk diselesaikan?

Pintu ruang Nora diketuk. Azeli melenyap saat sang gadis bergegas membukakan pintu.

Seorang pemuda, berpakaian dengan warna lebih gelap dan minim corak, berdiri gugup di hadapan Nora. Bukan gadis itu alasannya menjadi gelisah. Di belakangnya, Özker mendampingi dengan tangan terlipat dan mata melotot.

Pemuda itu mengangguk hormat. "S-saya datang untuk membawa pesan dari Pasha."

Nora menerima gulungan surat. Pandangan Özker tertuju pada hal yang sama. Dari caranya melipat tangan, sang tetua jelas sudah tahu apa isinya tanpa perlu mengintip. Nora membeber gulungan kecil tersebut, membaca isinya dengan saksama, lantas menatap kedua lelaki di hadapannya.

"Jadi?" Özker geram.

Ujung bibir Nora terangkat. "Pasha ingin berbicara denganku, Özker, dan jika kau tidak berkenan dengan kehadirannya di kapal ini, maka aku akan menemuinya."

Jawabannya sudah jelas. Elias tentu paham karakter Özker, sebab jika tidak demikian, pemuda suruhan Avankaya itu takkan bertahan di sini kendati nyaris terkencing-kencing. Salah ucap sedikit, Özker akan melemparnya keluar kapal sebagai umpan raksasa.

Sang tetua mengatupkan bibir rapat-rapat. Ia jelas berusaha keras menahan isi hati yang bergejolak.

"Engkau adalah keajaiban Tuhan, Nona," desisnya. "Kau ... berhak memilih."

Nora tersenyum. Untuk pertama kalinya ia lega dengan titel sebagai keajaiban Tuhan di sini.

"Kalau begitu, aku akan menemui Pasha di tempatnya."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro