Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

chp6. tidak ada lagi supermarket, tidak ada lagi supermarket

6.

Hari itu aku masih melamun di kelas. Masih tidak pergi ke kantin saat istirahat. Masih tidak terlalu memerhatikan pelajaran. Masih begitu-begitu saja seperti biasanya.

Bedanya hal yang kulamunkan bukan lagi novel apa yang selanjutnya harus kubeli atau sikap Irene mana yang membuatku sebal, tetapi tentang halusinasiku kemarin.

Itu... benar kan, itu cuma halusinasiku saja?

Mana mungkin ada seorang cowok dari sekolah lain tiba-tiba ingin berteman denganku? Jika pun bukan halusinasi, benar, aku cuma dikerjai Irene. Aslinya cowok itu pacar Irene dan dia ingin mengejek kesepianku dengan menyuruh pacarnya mendekatiku. Kejam sekali.

Pokoknya meskipun sesekali tadi aku tersenyum mengulang kembali kejadian kemarin, telah kuputuskan aku tak akan mempercayainya dulu. Itu pun jika dia muncul lagi....

Benar juga. Betapa percaya dirinya aku mengira sosok itu akan menyapaku lagi di depan sekolah.

Aku celingak-celinguk di sekitar gerbang, bertindak di luar kesadaranku. Aku berdiri beberapa lama di sana, berkali-kali tersenggol dan cuma bisa marah-marah dalam hati. Sepuluh menit berlalu, aku tak juga memesan taksi online.

Orine, itu cuma halusinasi.

Nggak, dia ngeluh ke Irene soal aku yang membosankan dan nggak mau lagi menjalankan misi.

Parah banget Orine.

"Orine."

Tiba-tiba aku mendengar ada yang memanggilku. Aku deg-degan, menengok ke sana kemari lagi.

Lentera datang dari kiriku, dari arah jalan pulang. Dia berhenti dan melihatku. "Ada yang nungguin tuh."

H-hah?

Aku tidak dijemput kok, tidak pernah. Aku selalu pulang sendiri menggunakan taksi pesanan online. Tidak pernah dijemput siapa-siapa.

"Siapa?"

"Cowok yang kemaren makan bareng elo di kantin?" Lentera bingung sendiri. Kemudian berlalu.

Sebentar, sebentar. Cowok itu baru bertemu denganku kemarin, dan Lentera sudah tahu saja? Waktu itu dia ada di kantin, ya? Kenapa aku tidak sadar?

Kualihkan pandang ke arah perginya Lentera, tidak mengerti kenapa cewek itu sudah ada di sana saja dan kembali berjalan ke sekolah hanya untuk memberitahuku sedang ditunggu seseorang. Padatnya lalu-lalang siswa-siswa dan kendaraan yang menjemput atau pun ojek taksi online membuat "sosok"-nya sulit kutemukan. Itu pun jika memang dia yang Lentera maksud.

Hampiri saja? Tapi memangnya dia beneran sedang menungguku? Mungkin saja menunggu siswa lain. Kalau pun iya aku, kenapa tidak langsung ke sini, sih. Tidak takut aku keburu masuk ke mobil orang lain?

Di tengah kebimbanganku yang belum usai, ponselku bergetar di genggaman. Tapi hanya sebuah SMS yang masuk. Entah kenapa aku menekannya walau seratus persen yakin pesan itu dari operator.

Navid
Udh keluar?

"...."

Siapa Navid?

Navid
Jelek bgt jir ga bisa liat udh dibaca atau blm

Navid
Woy, bales dong

Jangan-jangan....

Orine
Kmu yg kemaren makan bareng aku di kantin?

Navid
Lo dmn?

Hebat sekali, kami tidak menjawab pertanyaan yang diajukan masing-masing, malah mengajukan pertanyaan lain. Tapi aku sudah menemukan jawabannya. Sifatnya sama persis dengan cowok tidak tahu malu yang menerobos sekolahku dengan seragamnya yang mencolok hari kemarin.

Ah, benar, seragam.

Begitu menyadari satu kata kunci tersebut, dalam dua detik suatu titik berwarna biru dongker langsung tertangkap mataku. Dia sedang duduk di motornya beberapa jauh di depan.

Aku mengalihkan pandang lagi, dada kontan berdebar.

Navid
Udh nemuin gue?

D-dia cenayang, ya?

Navid
Sini, samperin

Apa-apaan, sih. Main perintah begitu saja. Siapa yang butuh, siapa yang berusaha.

Orine
Aku pulang ya

Navid
Pulang aja

Orine
Ih, beneran loh

Navid
Beneran

Orine
Apaan sih ga jelas

Navid
Pulsa gue mau abis, lanjut wa aja

Orine
Lah knp dari tadi ga langsung nge wa aja?

Navid
Oh iya ya, kenapa ya?

Orine
Astaga

Setelahnya tidak ada balasan lagi. Kuduga pulsanya benar-benar habis seperti yang dibilangnya tadi. Kalau begini mau tidak mau aku harus mengirimnya pesan WhatsApp.

Orine
Kamu di situ smpe kpan?

Navid
Sampe ajal menjemput

Navid
Sampe situ nyamperin lah

Orine
Idih, kok maunya disamperin?

Navid
Gapapa

Sampai lalu-lintas siswa sekolahku perlahan mereda sehingga jarakku dan dia hampir tak terhalang apa pun lagi, kami terus bertukar pesan tidak nyambung. Aku sudah duduk di tempat duduk batu yang menempel ke dinding sekolah.

Orine
Udh sore, aku mau pulang

Navid
Ya pulang aja

Orine
Ih

Orine
Aku ga berani ke situ, malu

Navid
Sh*t

Orine
Kok ngumpat???

Navid
Lo lucu banget

Astaga, jantungku!

Kujauhkan kepala dari ponsel, menggigit bibir, jantung bertalu-talu sembarangan. Astaga, maksudnya apa, ya? Aku tak berani menoleh ke dia.

Orine
Batre hp aku udah lowbat, ngga bisa mesen taksi

Navid
Terus pulangnya gimana?

Orine
Gimana ya?

Navid
Gue gamau nganterin

Orine
Aku ga minta ya

Saat itu layar ponselku meredup, batrainya sudah mencapai lima persen. Tidak ada yang bisa kulakukan lagi selain menghampirinya di sana. Ini sepertinya dia sedang menjailiku dengan menyuruh-nyuruhku hal yang tidak jelas. Dan kenapa juga sedari tadi aku malah meladeninya?

Sebelum ponselku benar-benar mati dan aku membiarkannya, kutatapi chat-chat-ku barusan dengan cowok itu, membaca lagi kalimat-kalimat yang kulontarkan padanya.

Keningku berkerut. Seiring mataku terus bergulir-gulir melihat chat-chat kami yang baru berjalan beberapa menit itu, jantungku terpompa kembali dengan irama yang berbeda.

Kenapa nada-nadanya seolah aku mengharapkannya, ya?

Ponselku mati berbarengan dengan menggelegaknya rasa malu ke ubun-ubunku. Aku panik seketika, tak bisa meminta maaf, meralat, atau memberi tahu kesalahan apa pun yang sudah kuperbuat melalui chat. Aku harus menghampirinya, tapi aku tidak mau menghampirinya.

Aku harus bagaimana?

Orine, lagi-lagi kamu bikin malu.

Kamu nggak boleh mempercayai sembarangan orang begitu saja. Baru juga dua hari kenal.

Dan kenapa kamu menganggap seolah-olah kalian sudah sedekat itu?

Apa-apaan chat kamu yang sok akrab itu?

Dalam hatinya, dia pasti sedang tertawa-tawa.

"M-maaf."

Cowok di hadapanku mengangkat kepalanya, kaget. Kakiku goyah. Aku tak benar-benar menatap wajahnya, aku melihat apa pun di dekat wajahnya, berpindah-pindah dari satu titik ke titik lain. Aku tak berani mengetahui rautnya.

"Anggap aja kamu nggak baca chat-chat aku barusan. Maaf."

Kulanjutkan langkah secepat mungkin menjauhinya, sejauh-jauhnya. Jangan sampai aku mendengar suara tawa mengejek itu. Jangan sampai aku dipermalukan lebih dari ini. Jangan sampai dia melihatku lagi setelah ini.

Tetapi aku tidak beranjak dari situ. Tepatnya, dia menghentikan tas gendongku. Air mataku sudah akan keluar.

"Gue bukan pacar Irene, kalau lo nyangka gitu," kata cowok itu.

"Aku nggak nanya."

"Ya udah sih, ngasih tahu aja."

"Terus ngapain ke sini?"

"Ketemu situ."

Kasar banget ucapannya!

Aku menyerah. Mundur menghadapnya. Langsung bertemu wajahnya yang menatapku. Deg-degan sendiri, memalingkan muka.

"Kenapa nangis?" tanyanya setelah beberapa lama dia cuma memandangiku saja.

"Malu aja," kataku, "baru kenal, tapi udah ngirim chat kayak gitu."

Dia tertawa sebentar. "Gapapa sih, kalau ke gue."

Aku menoleh tak percaya. Dan kudapatilah pemandangan itu. Ketika seseorang melihatmu sepenuhnya percaya, tak menghakimi, tak memandang rendah, tersenyum seperti biasa seolah sudah melakukannya berkali-kali. Dilatarbelakangi langit yang mulai menjadi oranye, hatiku menghangat seperti tertembus sinar matahari yang menembus hingga ke sini.

"Mau naik nggak?"

"Ke mana?"

"Who knows."

Aku pun mengalaminya. Hal yang kupikir tak akan pernah menerpa masa mudaku, sesuatu yang rasanya sejauh langit, sesederhana duduk di jok motor teman, aku mendapati diriku tersenyum untuk pertama kalinya di masa SMA-ku, sejauh yang kuingat.

"Baru dua hari."

"Kenapa?"

"Kemarin kamu nyamperin aku di gerbang. Sekarang aku udah duduk di motor kamu aja. Kamu bisa dipercaya nggak?"

"Haha, seenggaknya satu-satunya orang yang harus lo percaya sekarang di sini, adalah gue."

"Kenapa gitu?"

"Lo mau kita nabrak?"

"Navid!"

Navid tertawa kencang di tengah laju motornya yang juga mengencang.

Aku tidak tahu ke mana dia membawaku, atau jalanan mana yang kami lewati. Kami tidak berhenti di mana pun cukup lama. Aku pun tidak bisa fokus melihati tempat-tempat di sekitarku.

Ujungnya kami kembali ke sekolahku. Beet Street hitamnya berhenti tepat di titik semula dia parkir siang tadi. Apa? Kalau berhentinya di sini lagi kenapa harus putar-putar segala? Boros bensin sekali.

"Tadi chat aku SKSD nggak sama kamu?"

Kami sudah duduk di tempat duduk batu dekat sekolah. Yang lewat hanya mereka yang berkepentingan klub atau baru pulang nongkrong di kelas atau kerja kelompok.

"Wajar kok, lo bales gitu. Gue-nya ngeselin."

Sadar diri?

"Jarang ada yang nge-chat, ya?"

"Nggak, ya." Aku menambah keyakinan dalam suaraku. "I-iya, sih...."

Pada akhirnya aku mengaku juga.

Aku memilin-milin jari di pangkuan. "Seneng aja. Aku... aku jarang chatan... sama orang lain."

Aku tidak tahu kenapa aku begitu jujur padanya yang sekali lagi kuperingatkan ini adalah pertemuan kedua kami. Entah pada dasarnya aku memang orang yang mudah percaya, mudah menumpahkan isi hati, atau tak tahan lagi menyimpan "kotoran" yang segera ingin kubagi dengan seseorang.

Sesuatu yang tak bisa kuharapkan dari seseorang di rumah. Yang seharusnya menjadi orang yang paling dekat denganku.

"Ada kok, orang yang langsung akrab di pertemuan pertama." Navid berkata saat kami sudah melaju lagi menuju rumahku.

Langit sudah gelap. Aku melihati jalanan depan.

"Emang baru dua hari. Tapi jalanin ajalah."

Senyumku terkembang di balik punggungnya.

Tapi Irene tidak membiarkanku mempertahankan senyum sampai ke kamar tidurku. Dia mencegatku di ruang depan, hanya beberapa langkah dari pintu. Dia mengomeliku tentang aku yang seperti anak nakal karena pulang larut, dan tidak mengabari orang rumah sehingga membuat mereka khawatir. Kayak dia beneran khawatir saja.

Tidak cukup sampai situ, esoknya Irene kembali mengganggu hariku. Aku memang terkadang bosan diam di rumah kala libur tiba, karena mau tak mau jadi lebih sering berjumpa dengannya, melihat wajah juteknya terutama kepadaku. Tapi bukan ide yang bagus juga menghabiskan siang berdua bersamanya ke supermarket. Sungguh, tidak akan ada hal baik yang kami dapatkan setelah ini.

Setibanya di parkiran pun, dia bilang dia mengajak temannya, otomatis menyingkirkanku. Baiklah, aku memang tak mau berbelanja bersamanya ke dalam sana tapi bukan berarti dia boleh... ah, terserah saja deh. Aku tidak peduli. Silakan berbuat sesuka dia saja.

Irene masuk duluan ke supermarket. Aku menyusul setelah lima menit. Lalu tak menyangka akan bertemu Navid di dalam, bersama Irene.

Aku terdiam di posisiku berdiri, tangan menggenggam lemah keranjang.

Jadi teman yang diajak Irene itu... Navid?

Mereka tidak melihatku. Tidak mungkin melihatku sih, jika asyik mengobrol begitu.

Tentu saja mereka bersama, mereka kan berteman. Atau mungkin lebih dari itu jika kemarin cowok itu berbohong.

Aku juga berteman dengannya, kemarin.

Dalam sekejap, aku benar-benar merasa sendirian. Lebih sendirian dibanding sebelum-sebelumnya.

Semua orang terlihat menjauh dariku.

Keranjangku jatuh dari genggaman.

Aku kembali lebih cepat ke mobil, kulit sudah diliputi aliran keringat. Saat di dalam pun, dadaku masih terasa menyempit dan menggigil. Kuulur-ulurkan tangan ke bawah, mencari botol minumku, lalu meneguknya banyak-banyak sampai sebagiannya tumpah ke pakaian yang kukenakan.

Tarik napas, Orine, tarik napas.

Kusandarkan kepala ke kepala jok, tak kuat menghapus sisa-sisa air di sekitar mulut.

Irene, aku mohon cepet ke sini.

Lama sekali aku sendirian di sana sampai Irene membuka pintu kemudi di sampingku. Dia menelepon Mama untuk menyuruh sopir rumah ke sini, dia tidak kuat menyetir.

Sampai di rumah, aku langsung masuk ke kamarku, menjatuhkan diri ke tempat tidur. Keheningan itu tiba-tiba jauh terasa lebih nyaman dibanding kapan pun aku mendarat di ruang pribadiku itu.

"Orine...."

"Jangan suruh Orine ke supermarket dulu, Ma. Orine mohon."

Hari itu aku kembali menangis sendirian, setelah terakhir aku tak bisa mengingatnya.

a.n.
nulis chapter ini mengingatkanku dengan beautiful world, where are you? nya sally rooney. sampul versi indonya berlatar supermarket.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro