Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

chp1. friends-to-lovers adalah hal paling bodoh di dunia

1

Memiliki wajah yang cantik, tubuh atletis, dan kecerdasan akademik tinggi dibanding yang lain, tak lantas membuatmu bisa mendapatkan siapa saja.

"Sori, Kak." Aku pura-pura menyesal untuk tidak memperparah luka di hatinya.

Dia mengamatiku beberapa lama dengan wajah yang benar-benar datar. Lalu mengembuskan napas. Menempelkan punggung ke dinding berbatu dan tangan di saku.

"Tipe lo yang kayak gimana, sih?" tanyanya, mungkin penasaran cowok seperti apa yang mampu mengalahkannya.

Aku menjawab dengan senyum, "Kayaknya bukan soal tipe sih, Kak." Aku berusaha tidak kedengaran seperti cewek yang bisa mendapatkan siapa saja termasuk kakak kelas yang paling banyak ditaksir adik kelas.

"Terus?"

"Gue kira Kakak nggak perlu tahu alasannya."

Sebab dia pun pasti tak mau menjabarkan alasan mengapa dia menolak cewek-cewek yang menembaknya selama ini. Dan memangnya ada alasan lain selain 'gue nggak suka elo' atau... yang satunya.

Alasan subjektif seperti menyangkut ketertarikan fisik tertentu justru akan menyakitinya. Dan alasan soal waktu yang tidak tepat hanya akan membuat dia terus mengejarmu sambil berharap waktu yang tepat itu tiba.

Aku tak perlu memperpanjang urusan, dan sebaiknya cepat pergi sebelum ada satu dua orang penyuka gosip yang melihat bahan gosip ini. "Gue cabut duluan ya, Kak."

Kakak kelas itu tidak menahanku. Mungkin tahu aku akan bersikap menyebalkan jika dia pun menyebalkan.

Di jalan menuju kelas, aku memikirkan lagi pernyataannya barusan soal tipe idealku, dan dalam sekian detik aku langsung menemukan jawabannya.

Tidak jadi. Itu terlalu merujuk ke satu orang.

"Kak Rasen nembak lo?"

Saat seharusnya semua murid fokus mengerjakan tugas kelompok yang diberikan guru, Elily bertanya padaku.

Pergerakan menulisku pun terhenti, otomatis pertanyaannya terjawab.

Sialan, cepet banget beritanya nyebar.

Cewek itu senyum tak heran sebentar. "Tapi lo tolak, kan?"

Dia tahu aku tidak pernah mengatakan 'iya' kepada semua cowok tak ada kerjaan yang menyatakan suka secara cepat padaku. Yang ini juga menjadi salah satunya.

Namun aku menunggu reaksi dari satu orang yang selalu sekelompok denganku. Dia tampak tak menerima sinyal topik itu.

"Lo nolak Bang Rasen?"

Aku berupaya abai.

Tapi Diego selalu berisik dan terkadang tak peduli lawan bicaranya siapa asal rasa ingin tahunya terpenuhi. "Sekelas Bang Rasen aja lo tolak? Lo doyannya mahasiswa, ya?"

Sejujurnya mood-ku masih berada dalam zona buruk sejak pernyataan suka Kak Rasen istirahat lalu. Dan sekarang aku bersumpah aku akan menyumpal mulutnya jika aku menemukan selotip.

"Atau jangan-jangan lagi naksir seseorang? Siapa? Navid, ya?"

Aku mempunyai pribadi yang cukup pandai mengendalikan emosi dan kebohongan. Raut wajahku tidak berubah bahkan saat seseorang menghina-hinaku sekali pun.

Tetapi suasana hatiku saat itu benar-benar buruk. Aku selalu tak suka saat menghadapi pernyataan cinta seorang cowok. Sebab entah mengapa itu terlihat seperti sebuah ejekan untukku yang selalu berharap seseorang akan berkata begitu juga padaku.

Diego melanjutkan monolognya. "Lo berdua kan selalu ke mana-mana bareng kayak sayap kupu-kupu. Tak terpisahkan."

Kepala Diego terkena hantaman tipex. Pelakunya adalah orang yang duduk di kananku. "Mulut."

Si korban meringis. "Enak kali ah, disukai cewek modelan Irene yang nggak pernah sekali pun nerima cowok-cowok yang nembak dia."

Aku berdiri, yang langsung mengundang perhatian seisi kelas. Mengambil buku, pena, tempat pensil, dan ponsel keluar kelas. Aku bersyukur gurunya tadi keluar.

Menyebalkan.

Koridor yang kulewati sepi. Aku mempercepat langkah menuju tujuanku.

Setelah sampai, menarik kursi, menyimpan barang-barang bawaan di meja panjang, seseorang yang sedari tadi mengikutiku agak jauh di belakang memunculkan dirinya. Dugaanku benar dan tak ayal aku merasa senang.

Aku duduk diikuti olehnya di seberang kursiku. Aku langsung melanjutkan mencari jawaban soal-soal bagianku dan sekalian semua soalnya sebab aku lebih suka mengerjakan tugas kelompok secara individu. Mereka semua tak bisa diandalkan.

"Setengahnya aja, Ren." Dia yang kupikir akan tidur tiba-tiba berkata. "Setengahnya lagi gue yang kerjain."

Aku termangu.

"Sori, udah ngajak Diego ke kelompok."

Tiba-tiba aku ingin menangis. Tapi aku tak mungkin menunjukkannya ke siapa pun. "Pergi sana."

Navid tak terpengaruh. Sangat tahu sesungguhnya aku tak ingin dia pergi.

Bukannya dia terlalu mengertiku. Navid memang orang yang peka. Sangat peka. Terhadap siapa pun. Bukan aku saja. Namun tetap saja aku sangat bahagia orang yang paling mengertiku adalah dia.

Kami mengerjakan soal dalam hening. Perpustakaan lantai tiga kosong, menyebabkan hanya suara dari luar yang mengisi udara.

Elily menyusul di akhir pelajaran mengambil bukuku untuk dikumpulkan sebagai perwakilan kelompok. Dia bilang pelajaran selanjutnya kosong dan berniat ingin bergabung bersama kami. Niatnya lalu urung begitu aku melempar tatapan tajam ke arahnya dan dia pun pergi, meninggalkanku berdua dengan Navid yang juga tak kelihatan akan beranjak dari sini.

"Mau main nggak?" Navid berkata sambil masih bermain ponsel.

Main yang dimaksudnya bukan pergi ke suatu tempat atau apa. Tetapi permainan yang selalu kami mainkan berdua.

"Sebutin kelemahan masing-masing."

"Apa?" Sesaat aku lupa dia orangnya agak esktrem.

Navid akhirnya mengeluarkan senyumnya yang biasa. Senyum pelaku kejahatan. "Gue bakal nyebutin kelemahan gue juga kok. Khusus ke lo."

Laki-laki selalu tahu perempuan akan senang jika diperlakukan khusus. Termasuk cewek yang orang-orang kira beda ini, nyatanya dia tak berbeda dengan kebanyakan perempuan lain.

Aku tak punya alasan untuk menolak. "Oke. Let's see." Lenganku yang terlipat di dada menyatakan rasa sedih dan kesalku telah seluruhnya hilang.

"Ladies first."

"Enak aja."

Aku mengusulkan permainan baru sebagai pengawalan. Masing-masing dari kami menyebut satu fakta mengenai lawan. Jika fakta itu salah berarti dia kalah.

Sehabis aku memenangi batu kertas gunting, Navid yang duluan menyebut fakta tentangku. Dia berpikir sekejap. "Lo nggak suka saat ada yang nembak lo."

Kuputuskan untuk tidak mengonfirmasinya, melanjutkan permainan. "Lo nggak nyangka masuk sepuluh besar pas kelas sepuluh kemaren."

Alisnya terangkat. "Kok tahu?"

Nilai Matematika-nya paling besar seangkatan. Aku bahkan tidak menyangka Navid yang tidak kelihatan pintar maupun kurang mendapat nilai rapot Matematika lebih tinggi dariku yang sudah termasuk tinggi.

"Next." Aku menyuruhnya mengajukan pertanyaan lain.

Navid menyembunyikan sebagian wajah di lipatan tangannya yang menumpu ke permukaan meja, menatapku. "Lo seneng kan gue ngikutin lo ke sini?"

A-apa-apaan!

Kenapa dia tiba-tiba membahas itu?

Aku memalingkan pandang untuk menghindari salah tingkah. Sialan banget.

Kekehan terdengar dari tempatnya berada. "Kita kan selalu ke mana-mana bareng, Ren. Kayak sayap kupu-kupu."

"Berisik."

"Dasar tsundere."

"Nggak, ya."

Kemudian hening.

"Mau dilanjut nggak?" Navid menyentak debar jantungku yang sempat menggila karenanya.

Aku berdeham, lalu tak menemukan apa pun di kepalaku untuk kusampaikan padanya.

"Nyerah?"

"Lo belum pernah naksir cewek."

Dia terpaku atas pertanyaan yang tidak perlu dihadiahi dengan keterkejutan itu. Karena jawabannya sudah sangat jelas. "Belum."

Bodoh sekali.

Kemudian hening lagi.

Sekarang giliran Navid tapi cowok itu malah memperlama jeda dengan terus menatapku tidak secara biasanya. "Lo naksir gue?"

"Salah."

Aku menang.

Tapi hatiku terasa sakit.

"Geer banget lo."

Dia tertawa. Mengusap muka dengan dua tangan, bersiap mengemukakan kelemahan yang dijanjikannya. "Okay, okay, gue gampang baper sama cewek."

Meski dia mengucapkannya dengan percaya diri, memang itulah kenyataannya. Dan aku telah menyadarinya sejak lama sekali.

Kira-kira bulan pertama setelah kami memasuki kelas penjurusan, aku dan Navid sekelompok berdua. Kami mengerjakan tugas di meja yang sama, mau tidak mau ujung kepala nyaris bertubrukan.

Saat itu kepala kami pun beneran berbenturan. Rasanya sama sekali tidak sakit sehingga tidak perlu mengaduh. Tetapi ketika aku melongok ke arahnya, wajah Navid merah tanpa dia sadari dan terus menunduk sepanjang kami mengerjakan tugas bersama.

Itu adalah pemandangan yang aneh bagiku karena selama ini Navid terlihat seperti cowok yang selalu percaya diri, alih-alih memerah setiap tak sengaja bersentuhan dengan lawan jenis.

"Sama gue, pernah?" terkaku.

"Pernah."

"Cie."

"Your turn."

Kala itu aku tak memikirkan perasaan siapa pun lagi kecuali rasa berbunga yang terus timbul di hatiku karena semua ini. Aku dibutakan hanya selama lima detik dan mungkin aku akan menyesalinya selama sisa hidupku.

"Gue punya saudari kembar."

Aku melupakan janjiku pada seseorang.

a.n.
aku mikir kayaknya ini bakal slow update. gapapa. aku pengen menikmati tiap nulis chapter per chapter nya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro