3 | Keputusan
"Gimana cara resign dari kehidupan?" Kaivan menjatuhkan diri telentang di kasur Candra dalam asrama.
"Jangan mati dulu, Kai! Gue mau liat kapal lo berlayar. Yaa ... walaupun agak oleng sih ketampol fakta." Candra mengguncang tubuh rekannya, lalu dengan cepat Kai menampik risih.
"Dua bulan lagi gue nikah sama orang yang bermasalah sama gue! Gimana cara gue ngadepin mertua? Ibu sama adiknya dia tuh galak banget kayak penegak hukum." Kaivan menarik tubuhnya bangun dan duduk. Emosinya mendadak naik ke ubun-ubun.
Mendengar keributan di area kamar Candra, Erik datang menghampiri, "Tenang Kai, it'll gonna be alright," katanya datar.
"Aduh, i'm not okay, Rik! I'm very amburadul! Gue tuh sama sekali nggak punya bayangan soal nikah, bahkan gue pikir bujang lapuk kalo tampangnya kayak gue tuh nggak masalah kok. Kalo udah begini, gimana kalo fans gue pada demo karena kecewa? Terus gimana kelanjutan karir gue?"
"Kalo lo nggak laku, tinggal jualan gorengan, Kai. Atau open BO." Candra mencibir meledek. "Nggak perlu khawatir soal itu, mertua lo aja bisa nutup mulut media, tanpa minta lo bayarin pengobatan Jevi. Kalau gitu lo bisa aja minta kerja di perusahaannya. Lagian Jevi itu cantik, Kai."
Kaivan menekan pelipis dahinya, seketika rasa nyeri menyalir di sana. "Udah deh udah, jangan bikin kepala gue pecah."
"Selamat menempuh lika-liku hidup baru, Sahabat." Candra menepuk punggung Kaivan sambil tersenyum menggoda.
*
Dalam sekejap semua yang terjadi bagaikan mimpi buruk. Kaivan tidak tahu apakah masih ada hari baik untuknya? Ini sungguh menyesakkan, memaksakan diri terkurung dalam lubang pernikahan terasa seperti Tuhan tidak lagi memberikannya oksigen.
Siapa bilang menikah itu menyenangkan? Jelas tidak bagi Kaivan. Malah pernikahan seperti sebuah bencana.
Pasca acara sakral tiga hari lalu, setiap ruang dalam apartemen yang ditinggali Kaivan dan Jevi–kecuali dapur, masih menyisakan wewangian khas kembang setaman, membuat Kaivan muak setiap ia masuk.
Lelaki yang sekarang bergelar suami ini kian merutuki perempuan yang membuat hidupnya dua kali lebih sulit. Dia berharap hari-harinya digempur pekerjaan untuk sebisa mungkin menghindari interaksi dengan Jevi.
Sayangnya ia tidak dapat menolak cuti. Ibunya yang cukup kolot mengenai tata krama atau nilai-nilai sosial, meminta Kai untuk sungguh jadi laki-laki yang bertanggung-jawab.
Selama dua hari, Kaivan terpaksa mengurus perempuan yang tangan kanannya tak bisa berbuat apa pun. Jangankan menautkan pengait bra, makan saja masih susah. Ditambah, Jevi termasuk tipe perempuan yang tidak bisa diam.
Di hari pertama, Jeevi menumpahkan air satu panci yang hendak ia masak untuk merebus sayur pakcoy. Sebelumnya Kaivan sudah menegaskan untuk jangan mendekati dapur kecuali hanya sekedar cuci tangan.
Hari kedua, Jevi merintih kesakitan setelah memindahkan beberapa pot tanaman hias di balkon apartemennya. Ia terlalu bosan seharian nyemil di depan televisi sendirian. Jevi bisa menamatkan satu buku dua ratusan halaman dan menghabiskan empat sampai lima film dalam satu hari.
Sementara Kaivan tidak akan keluar kamar kalau pintunya tidak diketuk atau ada pesan dari Jevi atau kalau ia ingin makan dan ke kamar mandi. Jevi merasa seperti tinggal dengan Limbad.
Kaivan baru paham hari ini, kalau seorang Jevika punya gengsi yang tinggi hingga dia tidak pernah sekali pun mengetuk pintu kamar Kai. Sok menjadi wanita mandiri dan tidak manja. Tapi yang Jevi lakukan dengan membuat suara-suara untuk memancing Kai keluar dari kandang, justru membuat Kai berpikir itu kekanakan.
"Argh!" Jevi mendorong toples Nuttela, menyerah setelah usahanya membuka tutup toples gagal, "siapa sih yang nutup?!"
"Kemaren gue kendorin semua tutup toples makanan yang sekiranya bakal lo makan," sela seseorang dari balik punggung Jevi. Dengan cepat mengulurkan tangannya menarik kambali toples Nuttela dan membukanya, "Tapi ada yang disemutin, jadi gue kencengin lagi."
Kaivan melirik sekilas ke arah mata bundar lebar milik Jevi, nampak polos dan kaget. "Baru mau makan?" tanyanya tanpa melihat wajah Jevi, sorot matanya fokus pada roti tawar tergeletak di hadapan Jevi.
Perempuan itu hanya mengangguk tidak berniat untuk mengeluarkan suara. Seolah terhipnotis oleh perlakuan Kai yang tiba-tiba muncul, sepertinya Kai memperhatikannya dari lubang kunci. Tidak, terlalu konyol untuk dilakukan Kaivan mode freezer, alias dingin bagai pria es.
"Kan gue udah masak, ada sayur bayem sama tumis sosis asam manis, nggak suka?"
Masih memperhatikan segala sesuatu yang ada pada wajah Kaivan, Jevi termenung merasa sangat jauh dengan pria yang berstatus suami ini. Suami yang jarang menatap matanya ketika berbicara, tidak pernah mengajaknya melakukan suatu hal bersama, apalagi menyentuhnya.
Jevi terlalu mengecewakan untuk Kai. Pria manis yang terkenal memiliki manner yang tinggi berubah jadi pria menyebalkan bila berhadapan dengannya.
Agak lama tidak ada respon, akhirnya Kaivan menarik bola matanya naik melihat wajah Jevi, "Kalo nggak suka ngga papa, gue bisa abisin, cuma lo mau makan apa? Jangan sampe lo makin sakit gara-gara gue."
"Jangan diabisin, selama masih ada bahan masakan di kulkas, jangan pernah beli di luar, gue suka masakan lo," puji Jeevi dengan intonasi datar. Meski terlihat tak acuh, Kaivan bisa melihat ada semburat merah di pipi si istri. Agaknya Jevi malu mengatakan itu secara gamblang.
"Gue mau makan ini dulu." Wanita itu langsung menarik pisau buah dan mencelupkannya pada selai coklat, susah payah mengoleskan selai ke satu lembar roti dengan satu tangan kiri. Bahkan di saat Kaivan ada di dekatnya, bibir Jevi masih setia bungkam untuk sekadar meminta tolong.
Kaivan mendecak sebal sebelum berinisiatif menahan rotinya tidak bergeser, "Gue lebih suka lo minta tolong mulu dari pada ada kejadian aneh-aneh atau kecelakaan season dua, gue tau kok, lo emang hobi nyusahin orang."
Tentu saja Kaivan bisa mendadak gila kalau terjadi sesuatu yang lebih parah pada Jevi, amukan Ibu mertua jelas bisa membakar habis sisa kewarasannya saat ini. Kaivan pun mengerti bahwa Jevi tetaplah wanita yang senang dengan perhatian.
Tingkat kepekaannya cukup untuk membantu Jevi tanpa diminta. Setidaknya ini yang bisa ia lakukan sebagai suami yang bertanggung jawab, demi ibunya. Sepertinya perlu digarisbawahi. Demi ibunya.
"Selagi gue bisa ngelakuin sendiri, kenapa nggak?" Belum tuntas selai coklat itu melapisi seluruh permukaan roti, Kaivan sengaja melepas jarinya dari roti, membuat roti itu bergeser mengikuti arah gerak pisau yang lengket dengan selai. Kai ingin Jevi tahu kalau dia perlu bantuan orang lain untuk sekadar mengoleskan selai ke roti.
Namun, harapan Kai hilang dibawa terbang elang, alias Jevi memilih tidak makan dibanding harus meminta tolong.
Lelaki itu menghela napas terang-terangan, bola matanya berotasi malas. Sekilas melihat wajah datar Jevi membuatnya kesal. "Lo tuh nggak perlu pura-pura nggak butuh bantuan gue saat keadaan lo kayak gini, ngomong aja, jangan tunggu gue tanya baru lo ngomong, Je."
"Bukannya gue nggak mau ngomong, cuma gue nggak suka ngeliat orang yang bantuin gue ini-itu mukanya nggak enak, terkesan terpaksa."
"Oh, lo lebih suka kelaperan dari pada minta tolong gue? Lo juga belom mandi, kan?" balas Kai dengan realitas di kalimat terakhir. Melihat ekspresi terkejut yang sekilas Jevi pamerkan, Kaivan yakin kalau ia tidak bertanya, Jevi tidak akan mandi seharian.
Wanita itu menarik rotinya menjauh dari Kai, sengaja menyembunyikan wajahnya dari rasa malu.
Kaivan lantas bicara lagi, "Kita tuh cuma tinggal berdua di sini, kalo lo lebih nyaman minta bantuan satpam apartemen buat bukain baju lo ya terserah, biar gue panggilin." Jangan dikira Kai serius dengan ucapannya, ia hanya usil.
Pernyataan itu sukses membuat Jevi menghentikan langkahnya dan berbalik, "Gila lo ya," intonasinya tinggi. "Lo mau istri lo dicabulin sama satpam?"
Kaivan menarik sudut bibir sebelahnya tipis, "Kalo lo nggak mau ya nggak bakal gue panggilin," katanya sambil berjalan ke arah kamarnya.
Jevika menatap punggung pemuda tiga tahun lebih muda darinya. Suami artis yang rasanya masih sulit digapai. "Kai, sini dulu."
Setelah lelaki itu berbalik dan bertanya lewat mimik wajahya, Jevi mengutarakan keinginannya, "Tolong lepasin pengait bra gue, biar abis makan gue langsung mandi."
Iya, hanya bra yang jadi masalah Jevi dalam urusan berpakaian, sisanya ia bisa kenakan sendiri. Rutinitas ini terjadi begitu saja sejak kemarin lusa. Kaivan dengan sukarela membantu tanpa diminta dan Jevi menerima tanpa menolak, meski malu setengah mati.
Tak perlu membuang waktu, Jevi lantas berputar memunggungi Kai. Lelaki itu mengangkat piyama Jevi dan memasukan kedua tangannya. Apakah posisi intim ini tidak membuat jantung keduanya berdebar?
Tentu saja ritme degup jantung mereka meningkat lebih cepat. Apalagi ketika jemari hangat Kai menyentuh kulit punggung Jevi. Namun keduanya menuntun pikiran masing-masing untuk menyimpan minat 'itu' jauh-jauh.
"Sebenernya, gue butuh temen ngobrol dari kemaren... lo mau nemenin gue buat satu film aja?" kata Jevi tiba-tiba sebelum Kai beranjak pergi dari tempatnya berdiri.
Jevi berbalik dengan sorot harap. "Ya udah, nanti WA aja kalo udah selesai," respon Kai luar biasa dingin.
Bukan masalah, yang penting Kai sudah mau, untuk saat ini, itu cukup bagi Jevi.
***
Oyoyy kamu mau juga ditemenin nonton sama Kaivan?? Komen yuk
Voment jusenyooom ya.. lop yu oll💗💗💗
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro