2 | Tuntutan
"Ya Allah ... kenapa ada-ada ajaaa?" Candra mendorong kasar daun pintu setelah ia memasuki studio latihan. Di mana ketiga temannya telah sibuk dengan aktifitasnya masing-masing.
Candra ini vokalis Vcity. Sering disebut cokiber alias cowo kita bersama oleh penggemarnya yang mayoritas perempuan. Memiliki paras tampan, suaranya sopan masuk ke telinga, dan aksi panggung luar biasa. Kelakuannya selalu menjadi booster bagi setiap orang di dekatnya, termasuk satpam BCA. Rasanya tidak perlu suntik vaksin selama ada di dekat Candra.
Pria itu berjalan cepat lalu menepuk bahu Kaivan kencang, sampai ponsel di tangan Kai terlepas. "Posisi lo sama tuh cewek sama-sama nggak berdaya, Coy!" katanya ekspresif.
Seketika perhatian semua rekannya teralih ke arah Candra.
"Kenapa? Ada berita terbaru apa?! Gue baru kelar photoshoot langsung ke sini, terus belum ngomongin banyak soal itu," sahut Arjuna dengan nada suara tinggi.
Dia memang anggota yang mudah sekali terpancing oleh hal mengagetkan jenis apa pun. Ditambah kesabarannya setipis tisu di bagi dua. Tipikal senggol bacok tapi manis sekali di depan penggemar. Dia Arjuna, gitaris Vcity.
Candra menoleh ke arahnya kemudian duduk di sofa sebelahnya. "Nyokapnya cewek itu nuntut Kai dengan tuduhan penyebab jatuhnya cewek itu. Walaupun tindakan ketidaksengajaan, tapi dianggap membahayakan, Jun," jelas Candra.
"Mampus!" Ekspresi iba langsung ia pamerkan pada Kaivan yang sama sekali tidak memperhatikan mereka. Sibuk dengan pikirannya sendiri. "Kai, terus nasib band gimana?"
Selepet dari ketapel jari Candra mendarat di dahi Arjuna. Sontak pria itu mengerang kesakitan dan balas menonjok.
"Lo mau dicium gue atau babi? Pertanyaan lo ngeselin, Jun," protes Candra tenang tapi penuh tekanan. "Temen kita lagi frustasot, depresot, merosot, jangan lo tanya begitu ke dia lah, pundaknya udah berat anjir, jangan lo tambahin beban."
"Loh, salah gue di mana? Gue nanya begitu karena peduli sama kelanjutan Vcity. Gimana kontrak-kontrak kita sama beberapa brand? Gimana mini tour kita? Gue denger orang manajemen juga ngomel besar, kan?" Dahi Arjuna mengerut tak mau kalah, merasa argumennya benar.
"Egois, tolol," sergah Candra tak tahan. "Kita ini grup, kalo satu redup, ya otomatis semua ikutan. Lagian dampak ke kita nggak terlalu besar, paling cuma rehat sebentar. Tapi beda sama Kai, dia yang punya masalah. Seenggaknya kita dukung dia di saat manajemen, media sialan, dan hates comment lagi liar mojokin Kai. Lo bisa obrolin itu sama gue kok." Kali ini sisi kedewasaan Candra menguar. Jarang dia seperti ini.
Kaivan melirik mereka sekilas kemudian menghela napas, "Gue kasian sama tuh cewek, tapi gue nggak mau masuk penjara cuma gara-gara nggak sengaja nyenggol orang." Akhirnya lelaki itu bersuara.
Pada dasarnya, Kaivan memang seorang introvert. Tapi setelah masalah ini, dia jadi lebih tertutup dan bicara seperlunya.
"Keputusannya belum pasti, kalau pun masuk persidangan, ada kemungkinan lo bisa menang kok," kata Erik seraya menenangkan sobat karibnya.
Bersyukurlah Vcity punya orang seperti Erik. Berkepribadian tenang, dewasa, hampir tidak pernah marah, tapi kalau sudah mode banteng PDIP, tolong mundur atau menjauh jika masih ingin hidup. Sekali menyerang, mental orang bisa diacak-acak sama dia. Meski begitu, orang ini sangat receh, melihat kucing makan rumput saja tertawa.
"Emang gimana caranya Kai bisa menang sidang? Kondisi cewek itu parah banget, kan? Kai juga udah ngaku kalo hampir nyenggol dia," tanya Arjuna, matanya mengarah ke Erik lalu melirik Kaivan sekilas. "Tapi gue nggak paham hukum sih."
"Waktu kejadian lo liat kan ada cewek di situ?"
Arjuna mengangguk, kemudian Erik melanjutkan, "Itu adiknya, menurut kesaksian dia, Jevika itu main handphone jadi no control dan nggak aware sama sekitar, itu berarti kelalaian dia juga. Terus Jevi itu fans kita, Jun. Katanya sih, kita bisa serang balik pakai pernyataan itu. Jadi tinggal nunggu keterangan dari Jevi, dia baru selesai operasi."
"Operasi?"
Erik mengangguk, "Operasi patah tulang tangan kanan. Syukur loh tulang ekornya nggak bermasalah, jadi dia terhindar dari kelumpuhan," jelasnya sambil berjalan ke luar ruang.
"Kok lo tau banget, Rik?"
*
Sekitar satu jam berlalu, dua anggota polisi meninggalkan ruang bernuansa putih-hijau dengan aroma antiseptik yang pekat. Detik ini ayahnya baru datang untuk menjenguknya.
Terdapat tulang yang mengalami perubahan bentuk di bagian lengan kanan. Maka Jevika menjalani tindakan operasi pemasangan pen.
Seusai menjalani operasi, Jevika dimintai keterangan terkait kejadian yang menimpanya kemarin. Dari sana, pikirannya jadi bercabang layaknya gerai Mixue. Ada di mana-mana, menempati lapak yang kosong.
Pikiran Jevi dipenuhi dengan kondisinya, rasa ngilu yang memaksa untuk dirasakan, dan tuntutan dari ibunya pada Kaivan.
Mungkin dia tidak akan berpikir terlalu jauh jika yang terlibat dalam masalah bukan Kaivan. Anggota band yang ia kagumi. Punya perhatian cukup besar di mata publik.
Bagaimana jika abang Gojek beranak tiga yang menyenggol? Pasti keluarga Jevi hanya perlu sekuat tenaga mengikhlaskan dan mengakui ini adalah kelalaian sendiri.
"Ma, tolong ya jangan bawa masalah ini ke ranah hukum," ungkap Jevika setelah beberapa menit mengumpulkan keberanian. "Udah cabut aja gugatannya, biar mereka tanggung jawab dengan bayar semua biaya pengobatan sampe aku pulih."
Dahi Ineke–ibu Jevi, seketika mengerut. Jantung Jevi pun mulai menggila, takut ibunya mengamuk lagi.
"Lihat kondisi kamu, Je," sentak Ineke. "Patah tulang, memar-memar, nyeri dada, nggak bisa beraktifitas dengan normal. Katanya kamu butuh keadilan?"
"Tapi ada solusi lain tanpa menggugat Kai, Ma. Sekarang media lagi menggiring opini netizen mengarahkan kalau Kai itu mencelakai aku, tapi ketika faktanya udah keluar, netizen akan berbondong-bondong nyerang aku. Aku bisa digoreng abis-abisan karena aku fans Vcity, Ma. Dikatain yang nggak sesuai fakta, mungkin akan dituduh menguntit. Malah jadi ke mana-mana." Jevi menjeda kalimatnya, menghela napas berusaha menenangkan diri.
"Jujur, tadi aku malu diinvestigasi polisi. Kai mungkin salah, tapi aku pun salah, Ma," jelas Jevi hati-hati. Matanya tidak lepas menatap seluruh perubahan mimik ibunya juga sesekali menatap ayahnya.
Ineke mendecak, "Mama tuh cuma mau adil, Papa juga udah ngabarin manajer mereka kalau artisnya kami gugat."
"Papa bisa cabut gugatan kalau dirasa perlu," sahut Hendra–ayah Jevi, tenang sambil melipat lengannya di dada. Di seberang sana Ineke melototi Hendra sampai bola matanya nyaris keluar.
"Ya udah, jadi kamu mau apa?"
"Aku rasa menikah bisa jadi opsi bagus, Mama nggak perlu lagi jodoh-jodohin aku. Aku suka Kaivan, dia or–"
"Je, don't make impulsive decisions when you're in despair," potong Hendra cepat. Sepasang bola mata hitamnya menatap serius.
"Maaf, Pa. Aku memang baru kepikiran ini, tapi usiaku dua puluh tujuh tahun, cukup matang untuk menikah. Masalah ini bisa diurus secara kekeluargaan, kan?"
Hendra bergeser mendekati putrinya, "Ngejalanin bahtera rumah tangga itu nggak mudah, Jevi. Jangan kamu pikir ini jalan pintas yang akan mudah buat kamu," sanggah Hendra tegas.
Zacarie–adik Jevi yang tampak ingin keluar dari ruangan ini, mengetuk-ngetuk ujung kakinya ke lantai, lalu bicara, "Emangnya Kaivan mau sama lo, Kak? Lo mau nyusahin dia, ya?" tanya Zac terang-terangan. Anak itu memang tidak ada takutnya.
Wajah Jevika berubah geram, rasanya ingin sekali ia menerkam adiknya saat ini juga. Agak lama Jevika tidak menjawab, Ineke mendahului.
"Jangan macem-macem deh, Je. Kamu milih handphone baru aja lama banget, masa milih suami kayak main capcipcup gini," protes ibunya jelas tidak terima.
"Dia bukan dari orang sembarangan kok, Ma, pun dia musisi yang jam terbangnya udah tinggi, bukan artis musiman ... soal dia suka aku atau nggak, ya ... cinta bisa datang karena terbiasa toh?" Jevi menatap anggota keluarganya satu per satu. Tidak ada satu pun dari mereka yang terlihat setuju.
Hendra menghela napas kemudian bicara perlahan, "Je, pikiran kamu di mana? Hal itu nggak semua orang bisa berhasil, kalau Kaivan kamu paksa untuk nikahin kamu, apa kamu yakin pernikahan kalian akan bertahan lama?"
Wanita itu terdiam, namun semua orang dapat melihat bahwa Jevika menunjukan protes lewat ekspresi murungnya.
"Baiklah, kayaknya kamu udah siap gagal dalam pernikahan. Jujur, Papa nggak tega, tapi kalau kamu maunya begitu, Papa urus semuanya."
Sontak ketiganya terkejut, perasaan mereka bergemuruh campur aduk. Jevika ini bukan anak yang manja. Justru karena ia jarang meminta, kedua orang tuanya kerap khawatir ia merasa kesulitan sendiri.
Tapi untuk kali ini, permintaannya sungguh egois.
***
Kamu mau bilang apa sama Jevika?
Atau mau salam sama Kaivan? Sok manggaa..
See yaa lopp, voment juseyonggg maniez💗
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro