6. Media care
Raka menempelkan es dawet di batok Stefa hanya dikarenakan gadis itu sedikit bego. Baru mereka memainkan tebak-tebakan. Di bagaian Stefa memberi pertanyaan gadis itu pula membenarkan jawabanya. Ya, masa ... satu tambah satu sama dengan jendela. Dua tambah dua sama dengan bebek, dan tiga ditambah tiga jawaban benar adalah delapan? Lalu kemana kedua angka? enam lompat ke deret delapan?
"Tiga belas di tambah satu, jadi apa?" Stefa menebaki lagi dengan tampang tidak berdosa, sambil memakan makanan lidi pedas beriringan melewati koridor.
Hari semakin sore, jejak para murid SMA Pamuel terlebih banyak telah kembali ke kediaman masing-masing. Kedua remaja itu masih berada di area sekolah dikarenakan hari adalah bimbel perdana Bahasa Jerman dari sekian murid terpilih.
"Otak lo kayaknya harus di bawa ke cleaning service, bentar."
Stefa membiarkan lawan bicaranya itu berbicara sesuka hati. Ia menghirup udara segar semilir angin di setiap jalanan yang dilaluinya. Bukankah, selagi hidup masih bisa menghirup oksigen? Ia juga tidak mengetahui hari akjalnya tiba.
Raka menyanyikan beberapa lagu random, meski hanya beberapa lirik dinyanyikan dan diganti dengan playlist lagu lain dengan suara fales.
Diam-diam Stefa menutup telinganya dengan sosial discanding, tidak lain menjaga jarak satu meter. Menjauh dari suara fales Raka yang dapat mengakibatkan perpecahan kendang telinga. Nada tingi pendek irama pun tidak beraturan. Bagaimana jika tiba-tiba mengenakan nada tinggi, tidak pada tempatnya dan meledak mengelurkan ledakan?
"Lily was a little girl."
"Afraid of the big ...."
Stefa meraih ponselnya di dalam tas selempang mini import white rice miliknya--bagaian dari tas ransel yang terkadang digunakannya.
Stefa segaja mengatur jadwal alarm mengenakan nada sama dengan nada dering panggilan.
Mendegarkan rightone itu, Raka melanjutkan lirik selanjutnya depan tepat.
" ... Within her castle walls."
"Now and then she tried to run."
"And then on the night with the setting sun."
Stefa menyumpel lelaki itu segera memperlihatkan nofikasi terbaru.
"Gue harus pulang."
"Why. Kenapa dadak sih, Stef?" Raka mengacak rambutnya kasar. Ekpsresi Raka, terlihat jelas lelaki itu penuh tanda tanya.
"Sorry. Gue hampir lupa ada bimbel!" Jika lupa beneran, Trea akan mengadakan persidangan. Stefa tidak ingin membuang waktunya lebih banyak lagi.
Schedule List
• Today
Notifikasi itu masih berada di layar ponselnya.
Dengan tidak enakan, karena merasa menahan gadis itu lebih lama, Raka menawarkan antar-jemput gratis tanpa dipungut biaya sepeserpun.
"Yok. Gue anter! Free ongkir!"
***
Education Center, Cempaka Indah
Dengan nafas terengah, Stefa kini mengehela nafas lega mengingat kedatangannya kemari diperkirakan hampir tiga puluh menit lagi dari jadwal kelas.
Gadis itu menyimbukan diri berdandan dari balik wastafel dengan memperhatikan penampilannya di depan cermin. Tidak lupa, mengoleskan sedikit liptint di area bibir pucatnya dan juga meratakan samar-samar bedak tipis di bagaian tertentu.
Sedangkan Raka selagi menunggu Stefa berada dalam bilik toilet, ia mengaruk kepalanya yang tidak gatal. Bagaimana ia bisa berada tempat tidak asing ini. Eh, maksudnya kembali.
"Cewek itu kalo dandan lama banget, ya! Katanya sih biar kelihatan cantik. Orang wajahnya gak bakal berubah, meski pakek satu kilo gram perias," gumamnya mulai jenuh. Ia melangkahkan kaki ke lawan arah tepat berada di balik area parkiran.
Stefa barusaja keluar dari toilet itu pun memergoki Raka yang sedang berjinjit menoleh ke kanan, dan kiri seolah mencari sesuatu. "Lo mau nyulik peda, 'kan? Huh!"
"Ish. Sembarangan!"
"Gue kira lo bakal nyasar kalo pindah tempat. Ternyata enggak," komentar Stefa dengan memangut-mangut memainkan makan di lesung pipi dengan gaya sok kyut andalan.
Raka menghiraukannya sementara waktu, beralih ke sebuah pertanyaan yang sedari tadi di bedungnya. "Ini tempat les lo, eh bimbel?"
Pertanyaannya dibenarkan.
"Berarti kemarin gue ketemu lo disini, karena ...."
Stefa mengangguk kembali mengerutkan kening. "Iya. Karena gue emang bimbel disini."
Anda belum beruntung.
Nasib baik tidak berpihak kepada Raka. Setahunya, ini adalah tempat les Rona, adiknya. Jika mengetahui kedatangan tiba-tiba di tempat sama, apalagi sengaja tidak mengantarkannya ... perang dunia III coming soon.
"Pantes. Gue kemarin waktu nganter Rona, gak sengaja ketemu Stefa. Nyatanya, oh nyatanya ... gue bego!" Batin Raka. Mengapa pernyataan sekecil itu tidak dapat diduganya?
"Rak? Lo ada masalah?" Raka mengeleng. "Pulang gih, gue juga gak enak sama elo."
"Udah, gapapa yok!" balas Raka diawali stay losss. "Oh iya, Stef? Junior SMP gitu ada jadwal kelas apa aja?"
Stefa melangkahkan kaki terlebih tanpa berniat membalas. Lebih baik mengisi tengorokannya yang kering terlebih dahulu dikarenakan terburu mengejar kelas.
Ia mengulurkan air mineral kepada Raka lalu menunjukkan berapa banyak murid bocil di antara mereka selagi menjawab pertanyaan lelaki itu dengan enteng, "Itu mereka. Junior SMP."
Hampir seluruh kantin dipenuhi oleh junior, itu membuat Raka menelan savila susah payah.
"Rak? Lo tadi tanya junior, 'kan? Itu mereka." Stefa mengulangi pernyatannya berada di pingir salah satu stand minuman menunjuk banyaknya junior SMP sesuai dengan yang Raka tanyakan.
Apa salahnya coba?
"Jam kelas mereka sama kelas angkatan kita beda, Rak." Raka memangut-mangut. "Lo cari siapa, sih?"
"Bang!"
Sebelum Raka mengingat jadwal les adiknya, suara tidak asing itu mengarahkan ke orang yang sama.
Disana Rona, a.k.a adik Bang Raka itu melambaikan tangan kepadanya. Tamatlah riwayatnya!
***
"Cie! Kalian pacaran yooo. Ngaku, engak? Ngaku-ngaku!!!"
Gadis bocil berada diantara mereka seketika merusak suasan dalam sekejap. Rona Alfiarest, adik Raka berusia lima tahun dibawah sang Kakak yangs saat ini masih menduduki bangku sekolah menegah pertama.
Rona, tidak ada habis-habisnya memuji Stefa, salah satu junior yang tidak jarang teman-temannya bicarakan. Kini Rona dapat berbincang langsung dengannya secara ekslusif perdana.
Kebahagian Rona menjadi kesenepan Raka saat ini dengan memojokkanya di sela setiap topik pembicaraan.
"Jangan mau di dekatin Bang Raka. Dia jelek."
"Kakak tau, Bang Raka kalo di rumah pekerjaannya cuma gamers doang. Padahal nop."
"Gara-gara elu kali, Siti. Jadi AFK!" bantah Raka. "Pengen tak hi."
Berapa banyak obrolan yang kedua gadis itu bicarakan. Cewek ketemu cewek, jiwa nghibah merontah.
Pada akhirnya, Stefa terpaksa memotong topik pembicaran ketika mendengar bel jam kelasnya akan segera dimulai.
"Kak Stefa, jangan lupa polbek instagram aku ya!" seru Rona lantang. "Aku udah polow instagram kakak waktu masih sepuluh rebu folowers dulu, lohhh!"
Entah kenapa, hari ini suasana hati Stefa mendadak membaik. Jika di luar rumah ia merasakan tawa-tiwi tanpa merasakan beban. Sedangkan di kediaman rumah, kebahagian itu mendadak lenyap.
Raka melempar kunci motornya kepada Rona, sesudah pembicaran akhir kedua gadis itu.
"Stef, gue masih teman lo. Cerita ke gue kalau ada masalah," bisik Raka sebelum menyusul langkah adiknya menjauh.
Stefa tertengun akan perkataan itu. "Gue punya masalah?" Ia bertanya-tanya kepada dirinya sendiri. "Hem, enggak!"
"Ish. Alay. Dasar cewek alay!"
Mulut mercon Raka lagi-lagi membuat Stefa kesal. Meski tidak diungkuri Stefa tidak pernah merasa menjadi cewek alay, yang selalu Raka katakan.
***
haloo,
pery bady ...
sampek sini, gimana?
makasi yang uda baca
smpek sini, jgn bosen yaa!
aku padamu🐤
*kukuruyuk🐤💛
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro