17. Performance Day
Hari ini adalah hari dimana acara festival sekolah diadakan. Malam penuh kebangaan bagi penghuni SMA Pamuel.
Tidak luput dari banyaknya osis, mereka dibagi menjadi beberapa sesi. Gedung SMA Pamuel terlihat menonjol dari gemerlap lighting.
Raka melepas tudung hoodie-nya berlarian memasuki outdoor dengan nafas terengah-engah. Para peserta dan para tamu undangan telah berjejer rapi di kursi penonton selagi menunggu timeline.
"Brooo! Balik layar belum pada selesai?"
"Stay di belakang panggung," ujar anggota osis didekatnya menunjukkan tempat para pengisi acara di kumpulkan dalam satu ruangan.
Tidak lain, itulah ruangan aula.
"Satu-kosong."
Gadis didekatnya itu menunjuk satu jari telunjuk dengan jari tangan membentuk bilangan nol.
Raka mengernyitkan kening binggung. "Kan gue engga senggel sama Davici."
"Kan tadi lo habis ngasih pertanyaan. You know? you get one point." Gadis itu menunjuk jaru telunjuknya yang menunjukan poin satu untuk Raka. "Now, I want to show the statement so that it has equal value."
Stefa mengangakat jari telunjuknya di tangan satunya agar menunjukkan point sama. Ia akan memberikan pernyataan agar nilai mereka seimbang.
"Sure," balas Raka dalam artian selain 'Yes' or 'No'--Dalam artian kamus yang paling diketahuinya sejak zaman peradaban. "Gue gak bisa bahasa asing. Permisi, nilai gue selalu telur puyuh."
"Dimasak. Di buka, di pecah, di goreng, lalu dimakan." Stefa tertawa kecil.
Lelaki itu masih menyamakan posisinya setelah ia berlarian kecil menjauhinya. Bagaimana tidak, setelah mengatakan hal itu Stefa merasa kehilangan tempat wajah. Ia merasa malu dikarenakan terlalu frontal.
Raka, yang dipilih gadis itu menyembunyikan kepercayan dirinya sesaat. Ini bukanlah waktu tepat. Jika tidak, gadis itu berlarian menjauh karena menahan malu.
Raka mengingat itu sedikit tertawa pelan menuju balik ruangan dimana para pengisi acara festival ulang tahun sekolah malam ini.
Stefa kembali melanjutkan pembicaraan inti dimana ia mengajuhkan pernyataan.
"Datang ke acara sekolah besok. Lihat akting gue di atas panggung. Temani gue sampek acara selesai. Gak keberatan, 'kan?"
Pernyataan itu terdengar seolah tiada jawaban untuk berkata 'Tidak' ataupun sekedar menolak halus.
Raka mengangguk tidak keberatan. "Gue akuin deh, lo 'kan cewek alay best actor."
Sebelum Raka melangkah masuk, perdebatan kedua lelaki disaksikannya. Tidak jauh, ia mendengar apa yang mereka perdebatkan, apalagi lawan bicarannya dengan salah satu anggota inti osis.
"Pelit-pelit, kuburan lo sempit. Gue sumpahin!" Gelgi beradu dengan anggota osis teman seangkatan mereka.
Raka mengambil kesempatan itu melajukan langkah menghindari tatapan mencurigakan.
Pada akhirnya, Gelgi dan Raka sama-sama terciduk.
"Belagu nih, Rak. Kita gak dibolehin masuk," aduh Gelgi dengan tatapan menyinyir di depan--jika boleh berteriak langsung ditelinga orang yang bersangkutan.
Selang beberapa menit, salah satu guru pembimbing itu keluar dari persenyembunyiannya sedikit merumpi ala-ala anak jaman now, yang memperdebatkan selagi membawa bingkisan.
Tidak asing dengan guru itu, Raka menyapanya dengan hormat. Bu Reren mengambil tote bag milik Gelgi bingkisan dengan berujar, "Ini buat saya?"
Sebelum Bu Reren, pembina drama itu membuka isi dalam tote bag, Gelgi mengambilnya kembali.
"Gue harus bisa main akting nih!" Gelgi memijat kepalanya ketika berhadapan dengan Bu Reren. Statusnya saja pembina ekstrakuliker drama teather, Gelgi tidak bisa membayangkan betapa banyaknya drama yang dibuatnya dalam kehidupannya sendiri.
"Kalau gak ada yang disampaikan, saya mau kembali."
"Tungu, Bu! Pesan saya ijinkan saya masuk. Saya ingin bertemu dengan salah satu murid Ibu."
"Siap! Saya laksanakan. Laporan diterima," balas Bu Reren. Rupanya guru itu memainkan akting drama.
Memperhatikan Gelgi dengan ekspresi memohon yang dibuat-buat membuat Bu Reren tertawa kecil.
Raka memberikan sesuatu kepada Bu Reren dengan sedikit berbisik lalu guru itu kembali memasuki ruangan.
"Stefaaa!!!"
Si pemilik nama pun buru-buru mendongak. Pelatihnya itu menghampirinya selagi memberikan tas kanvas mini kepadanya.
Stefa belahan mengalihkan arah sedari bertaut dengan ponsel kini ia meletakannya dengan layar berada di lookscreen.
Belahan ia mengeser tas kanvas ijo tosca itu mendekat lalu mengeluarkan tepak makak berisi roti coklat dengan susu pisang.
Di bagaian terselip, sebuah kertas diary bergulung menjadi empat bagaian.
Nama si pemilik, yang diyakin sebagai pemgirim itu terlihat sengaja dengan rangkaian nama 'Rakaganteng'. Membaca kalimat itu membuat mual. Apalagi itu sangat menganggu keindahan lukisan.
Belahan senyumannya itu terbit meski air matanya saat ini beraih. Entah senyum bahagia atau senyuman dalam bentuk menahan kesedihan, Stefa tidak bisa menjelaskannya.
Ponsel yang sedaritadi di tatapannya kini bergetar menampilkan notifakasi terbaru. Stefa buru-buru mengeceknya. Siapa tau itu balasan singkat dari orang yang ditunggunya. Nyatanya itu mustahil. Berbading balik dengan realita.
Stefa berharap, harapannya itu akan datang meski hanya secuil. Nama Raka memenuhi notifikasi teratas, gadis itu segera membalasnya.
***
Teather drama kali ini, lagi lagi mendapatkan undangan dari sekolah sebagai bintang tamu di SMA Pamuel.
Tim drama akan memaksimalkan penampilan di depan pangung. Tidak salah lagi, Stefa-lah yang menjadi pemeran utama.
Disana terdapat Sherli, sebagai lawan main Stefa, yang diperankan sebagai Jukyung sebagai peneran antagois. Begitu juga Stefa tetap berperan sebagai pemeran utama protagonis memerankan karakter Minsho.
Minsho, adalah murid pintar dengan IQ tinggi. Pada awalnya, kisah mereka dua sejoli itu adalah teman baik. Dimana Jukyung, adalah satu-satu teman Misho. Tidak jarang, Misho selalu mendapat pembullyan dari salah satu geng kapak di kelasnya yang membenci keberadaannya.
Sejenak menganti kostum, pakaian Stefa kini terlihat kusut dengan penampilan yang acak-acakan. Mendalami karakter bagaimana cara penyampain untuk siapapun yang saat ini berada dalam posisinya.
Menyerah itu bukanlah segala. Terbukti dari karakter Minsho yang diperankan Stefa, ia tetap berada di alur cerita hingga akhir.
Hari dimana, hari ulangan tiba. Skandal mencuri barang itu di pihak Minsho. Sherli memainkan berusaha memainkan karakter, dimana ia harus bertindak membela Minsho, yang kesusuhan.
Fak in bitch.
Para penonton di kecoh dengan kebaikan Jukyung--diperankan oleh Sherli sedari tadi menabur kebaikan kepada Minsho.
Ketika antara sebuah klimaks dan resulusi bertemu, Jukyung, adalah pelaku sebenarnya. Pelaku dimana, gadis itu telah menuduh Misho dengan pefitnah. So. Fitnah lebih kejam daripada pembunuhan.
Setelah itu, Jukyung mendapatkan hukuman yang diterimanya. Kekejian para guru yang selalu tidak berpihak kepadanya itu membuatnya muak.
Mereka hanya mengandalkan murid berprestasi tanpa toleransi kepada murid rendahan sepertinya. Padahal setiap murid juga ingin mendapatkan hak yang layak.
Bagiamana pun, apa yang diinginkan orang lain, tidak berpaut dengan aoa yang kita inginkan. So, mereka hanya berpaut apa yang mereka lihat secara instan, tanpa memperdulikan dibalik kapan serangan itu datang.
"Kenapa kamu melakukan ini kepadaku? Bukankah kita adalah teman?" Misho--diperankan oleh Stefa itu membiarkan air matanya lolos seagukan.
Dengan pakaian lusuh, memperhatikan para guru melakukan hukuman. Tetapi, ini bukan yang dimaunya. Guru itu memberikan hukuman sebagai bentuk kekerasan.
"Aku membencimu!" seru Sherli memerankan karakter Jukyung. Karakter itu duapit dengan beberapa teman satu timnya yang memainkan karakter sebagai guru, dengan penampilan make mendalami perwatakan seorang guru.
"Lihat. Sebagaimana mereka mengistimewakanmu," tutur pemeran Jukyung, dengan berbanding dengan karakter awal. Itu membuat sebagaian para menonton mengumpat kasar.
"Maafkanku karena telah membuatmu ...."
"Tidak. Ini hukuman harus kuterima," Sherli--karakter Jukyung berada di dekat pembatas. Dimana saat ini latar pemeran disuguhkan dengan suara roftop dengan layar 3D.
Para penonton dapat memperlihatkan layar led agar lebih mendalami suasana dan karakter layaknya menonton film sunguhan dengan adanya camilan, yang disposori oleh para murid sebagai bazar.
Di alur skenario, karakter Jukyung meginjakam kaki di udara, melebisi area batas. Dalam artian karakter Jukyung tidak diperbolehkan mengikuti adegan lanjutan, dan beristirahat di balik layar terlebih dahulu.
Sebagai pergantian nuansa, lampu platfrom dipadamkan sejenak hingga dihidupkan kembali beralih dengan pemeran Stefa yang tetap melanjutkan pemeran hingga hampir akhir.
Lampu platfom itu meyolok ke arahnya. Suara tepuk tangan terdengar mengemah dengan beberaoa dari mereka yang menahan isak tangis dari adegan sebelumnya. Tidak jarang pula, perasan mereka tersentuh dengan karakter Minsho, yang perankan Stefa saat ini.
Bagaimana ia bertahan sampai akhir.
Sebuah pengkhiataan dari teman, rupanya itu juga sangat menyakitkan. Mereka seharusnya bersyukur memiliki teman yang selalu ada.
Bagaian slide akhir, menceritakan layar mundur di layar monitor dengan efek dinamis hitam putih vintage.
"Bagaimanapun, kita tetaplah teman."
Perkataan terakhir yang kedua pemeran itu bicarakan. Berakhir dengan penutupan.
Stefa kembali di balik layar saat lamou platfrom itu dimatikan. Suara tepuk tangan meriah. Itulah sebuah penghargaan tersendiri untuknya.
***
13005kata
chapter terpanjang di cerita ini😭
eh btw gatau aja sih,
tiba-tiba ngetik pemeran teater dramanya, huh ..
bosen ga?
yg bnr di tulis ato d skip sih,
eh?😭
jari tanganku lagi gercep,
smoga kena di kalian aja, yoo
ogheyy!!😋💛
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro