Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

11.Rain is Falling

Stefa terdiam dalam posisinya. Mengulurkan tangan ke rintikan hujan selagi menunggu hujan reda.

Raka yang saat ini berada di bawah guyuran hujan memainkaan bola bersama teman lain itu terlihat menyenangkan, membuatnya ingin terjun bermain di bawah hujan.

Terakhir kali, Stefa ingat ketika bermain di bawah hujan, sewaktu berumur jagung. Trea memarahinya. Dan keesokannya badannya menjadi demam.

"Mamaaa! Ayook maen hujan!"

Stefa kecil berkecek memainkan hujan dibawah genangan air menada dengan kedua tangan.

Gadis kecil itu memperhatikan komplotan anak lelaki seusianya bermain bola di taman kompleks. Ia sangat meninginkan mempunyai banyak teman--teman yang bisa diajaknya bermain disela waktu. Harapan itu hampas, ketika Mamanya, Tria selalu membatasi pertemanan.

Kembali ke masa sekarang, gadis itu kini menyadari bahwa teman banyak juga, tidak selalu berada dalam opini kebahagian. Setidaknya, ia memiliki satu teman dari seribu banyak teman  yang selalu bersamanya--suka maupun duka.

"Rakaaa! Gue pingin maen hujan!" Stefa mengulurkan tangan kepada lelaki yang kini mengenakan celana trining olahraga itu.

Raka, adalah salah satu teman dari sekian banyak teman yang Stefa anggap teman.

"Gak mau ah! Ntar lo sakit. Terus yang nyakitin gue, sapa cobak?" Lelaki itu tertawa rengah menarik gadis yang sedaritadi berdiri di pingir koridor itu hanya menada rintik hujan.

Stefa merasa tubuhnya di tarik di bawah guyuran hujan itu belahan membuka mata. Rintik hujan kini menghantam tubuhnya tanpa terkecuali. Kini ia kembali di masa kecilnya, bermain hujan dengan riang tanpa memperdulikan hari esok ketika jatuh sakit. 

***

Raka telah menghentikan permainan sepak bolanya semenjak kehadiran Stefa bergabung di bawah guyuran hujan.

Yang ada, gadis itu kini mengingil kedinginan meski kurun waktu kurang dari satu jam.

"Cih! Sok-sokan maen hujan sih," cibir Raka berulang kali berdecih. Ia memberikan hoodie-nya yang berada di dalam tas kepada gadis itu.

"G-gue kangen hu-hujan ..." Stefa mendongak tersenyum ke arah selagi memperhatikan para siswa bermain sepak bola di tengah lapangan, meski becek melanda. Begitu juga, para siswi siap mantel hujan merabat ke area kering--bagi mereka yang tidak bersiap ketika hujan datang.

"Seru, gak?"

"Seru!" jawab Stefa berbinar di pingir lapangan koridor memeluk tubuhnya mengingil kedinginan. "Kapan-kapan ...."

"Gak seru juga, kalau lihat lo sakit," decak Raka memutar bola mata sedikit kesal dikarenakan sifat gadis itu keras kepala. "Kalau lo sakit-sakitan di bawah hujan, kenapa ngajakin hujan-hujan segala sih!?"

Stefa memanyunkan bibir cemburut hingga jeritan nyaring dari Raka terdengar nyaring.

"Stef! Awassss!" Setelah itu tatapannya menjadi gelap.

***

Raka menyangga gadis itu dengan cepat. Tidak sengaja memperlihatkan arah bola mengenai Stefa tepat.

Ia membopong tubuh gadis itu di tepi jalanan kering menuju ruangan UKS. Wajah Stefa yang pucat pasi, ia sedikit merasa terbebani akan hal itu.

"Sial! Kenapa, gak ada siswi PMR, sih!" Raka menata badan Stefa yang seolah menjadi mayat dengan muka putih pucatnya itu di atas brankar ruangan uks. Selagi meraih selimut, sebelum menutupnya hingga ke bagaian kepala, ia bergumam pelan, "Yah kenapa gue kayak mau nutup badan orang meninggal, sih!"

Karena tiada jawaban, Raka tertawa kecil membenarkan posisi selimut menutup hingga bagaian leher. "Yahkan, gak ada respon. Cepet sembuh, cewek alay. Respon bicara gue, ogheyyy!"

Sekian beberapa menit Raka men-hairdyer rambutnya alami dengan bantuan kipas. Disaat bersamaan gadis yang kini masih berbaring di ruangan UKS itu membuka mata belahan memperhatikan ruangan serba putih dimana saat ini ia berada.

Mengingat jadwalnya berjibun hari ini, Stefa buru-buru bangkit dari brankar ruangan UKS, acuh tidak acuh dengan tatapan Raka yang sedaritadi mengamatinya.

"Istirahat dulu, wajah lo masih pucet," tegur Raka meraih pergelangan tanagn Stefa mencegah langkahnya untuk kali pertama berujar setelah sedaritadi hanya terdiam mengetahui gadis itu telah terbangun.

Stefa menghempas pergelangan tangan Raka menerobos hujan. Gadis itu sempat tergejolak sesaat dikarenakan hujan pun belum meredah. Kepalanya masih berdenyut sakit, sedikit ia tahan. Stefa tidak bisa membuang waktunya berlama-lama di tengah padatnya schedule.

"Stef ... lo keras kepala banget, sih!"

Kali ini, Raka menghalangi langkah gadis itu yang telah melajukan langkah keluar dari ruangan UKS.

Tatapan mengintimasi dari keduanya membuat orang sekitarnya mengira bahwa kedua remaja itu sedang dalam kedaaan tidak baik-baik saja. Meski tidak dupungkuri bahwa kedua remaja bukan tayang perdana berkelahi di depan umum karena masalah sepele.

"S-sorry, tapi hari ini gue ada les ..." Memikirkan itu belahan kepala berdenyut kembali, apalagi memikirkan betapa padatnya schedule hari ini.

Sebelum pulang sekolah, Stefa telah menjalankan ekstrakulikuler drama, atau sama halnya dengan teather. Di sore hari nanti, ia harus menjalankan khursus theather.

Saat ini--sepulang sekolah, Stefa harus menerima bimbel, bertemu dengan kumpulan soal-soal ulangan dikarenakan telah berada di kelas akhir. Dalam satu minggu, tiga hari Stefa harus menetap di ruangan kelas berlawanan dengan hari kursus teather melaksanakan bimbel bahasa jerman.

Sedikit bersantai sejenak, hingga ia lupa rasanya bersantai tanpa padatnya schedule. Rebahan di sepanjang waktu tanpa melakukan apa-apa.

"Lo itu bukan robot, yang harus ngejalani semua tanpa kata lelah."

Stefa menahan sesak pernafasannya. Perkataan itu memohok relung hatinya.

"Lo tau apa, ha? Tau apa!?" Gadis itu mengengam erat jemari tangannya--ekspresi yang ditunjukan ketika ia menahan amarah, meski mulut gadis itu rerlalu keluh untuk bicara meski sekedar menatakan apa yang terjadi. "Berhenti ikut campur urusan gue! Pada akhirnya, lo gak akan pernah ngerti, Rak!"

Setelah mengatakan peruntunan kalimat, Stefa tetap menerjang hujan. mengacuhkan orang-orang sekitarnya yang menujukan kepedulian.

Sejauh mana ia berlari, Stefa menikmati sensasi hujan hari--di mana, ia menemukan tempat pelarian.

Kata orang, hujan adalah teman terbaik ketika menyembunyikan isak tangis. Setiap rintikannya, menyamarkan tetesan air mata.

Laksonan taksi yang dicegahnya, Stefa memilih tidak mengubrisnya. Berjalan ke sembarang arah tanpa tujuan. Menghentikan langkah dimana kakinya sudah tidak mau menompang betapa banyak lukanya.

Di jejalanan sepi, gadis itu melengkuk kedua lututnya menduduk rapuh, menumpahkan isak tangisan yang selalu dibedungnya.

Stefa membenarkan, perkataan Raka. Ia hanyalah seorang robot yang ditakdirkan mengikuti kemauan sang pemilik. Itulah dirinya. Stefa cukup mengerti asal usul dari mana, ia berada. Sedikit ucapan yang seharusnya menjadi haknya itu selalu dibalas dengan tamparan kasar. Seketika mentalnya rusak belahan dan tetap tunduk kepada si pemilik robot--Tidak lain Mamanya, Trea.

Terkadang orang terdekatlah yang mudah terpengaruh dengan mental breakdown seseorang.

"Gue benci! Gue bego! Gue emang gak berguna!" Stefa memukul apapun disekitarnya, termasuk jalanan aspal. Mempelampiaskan kekesalannya, hingga darah segar bercucuran dari sudut jemari tangannnya.

Luka itu mungkin tidak sebanding, tetapi ia menyukai goresan lukanya. Luka yang selalu dibuatnya, melepaskan semua beban. Luka itulah yang selalu menemaninya hingga saat ini. Ketika luka itu belahan menghilang, ia akan mengoreskan berapa banyak ketika atensitas itu kembali bermunculan.

Stefa meraih benda tajam, yang selalu dibawanya sebagai teman, mengoreskannya di lengan tangan tanpa rasa rasa sakit. Itu akan membuatnya bisa memperhatikan berapa banyak luka dan darah segar akibat goresannya.

***

btw, aku mau tanya nih

Stefa itu gimana?


Raka??
hem, Raka gimana?

kalo ada yang replay
makasih😭✊💚✨

-
mode promosi terselubung bentar,
flw ig aku : _agness.s
mari berteman😋

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro