
Sin90
"Hueeek!" Suara Sky muntah menggema di penjuru sungai.
Di sinilah ia sekarang, berada di sungai jernih bersama lelaki berjubah. Tempat yang sangat berbeda dari sebelumnya, seperti dunia immortall menurut buku yang Sky pelajari, bahkan ia dapat melihat pantulan bulan dari genangan air.
"Kepala pusing seperti naik roller coaster," gumam Sky dengan sempoyongan dan memilih duduk di batu besar yang ada di sana.
Sedikit berdecih, kemudian seringaian kembali terbit di bibir tipis si lelaki tampan. Dia berjalan mendekati Sky, menatap wajah mungil yang masih terlihat pucat. "Kau masih belum mengerti? Di sini bukanlah tempatmu," ucapnya, kemudian duduk di samping Sky.
"Jika begitu ini di mana?"
"Ini tempatku? Apa itu cukup sebagai jawaban?" Si lelaki berjubah kembali melontarkan pertanyaan yang membuat tanda tanya memenuhi kepala si mungil.
"Kau membuat otakku semakin bodoh saja," ketus Sky dan membuang pandangannya ke arah bulan yang terlihat begitu indah malam ini.
Ah sial, bahkan langit sudah sepenuhnya menjadi gelap dan Sky masih terjebak di tempat aneh ini.
"Rain," ucap si lelaki di tengah kebisingan bunyi hutan.
Sky memalingkan wajah, menaruh atensi penuh pada lawan bicara. "Ha? Apa? Kau berbicara sendiri?"
"Itu namaku."
Singkat, tapi cukup jelas untuk dipahami otak minimalis yang dimiliki oleh Sky. Setidaknya ... sekarang dia yakin, jika orang yang bersama dengannya bukanlah seorang penjahat.
"Bluesky," cicit gadis itu pelan. "Namaku," lanjutnya dengan sedikit melengkungkan bibir, menciptakan senyum semanis permen kapas.
"Aku tau."
Dalam hitungan second, wajah Sky kembali memucat, bagaimana mungkin? Mereka belum pernah berkenalan sebelumnya.
"Bluesky, berusia 19th dengan zodiak snowblood," ucap Rain seraya menatap manik gelap si mungil yang membulat sempurna. Ya Tuhan, manusia sungguh terlihat menggemaskan ketika mereka ketakutan.
"Kau ... cenayang?" Sky berteriak nyaring dengan sedikit memajukan tubuhnya pada si jubah merah.
What the hell.
Apa hanya itu yang bisa dicerna oleh otaknya?
Rain menatap datar ke arah si mungil. "Kapasitas otakmu seimut pori pori buah pantat."
"Kau benar benar! Katakan saja cepat!" desak Sky galak, ia terlalu pusing memikirkan teki teki seperti ini.
"Sudah ku katak –"
"Jika lebih sulit dari 2 x 2 jangan menyuruhku untuk mencari jawabannya," potong Sky cepat, mendadak segitiga imajiner muncul di sudut kepala mungilnya.
Grasak!
Rain mendadak waspada, tangannya dengan spontan merangkul Sky yang ada di sebelah. Mata pemuda berkulit pucat itu menyusuri sekeliling, sebab merasa ada yang datang mendekat.
"Kenapa?" tanya Sky bingung.
"Kita harus pergi," ucap Rain panik, tapi berusaha menunjukkan ketenangan dari sorot matanya.
Turun dari tempatnya duduk, Rain menekuk lututnya tepat di depan Sky. Meminta gadis itu agar naik ke punggungnya secepat mungkin.
"Aku tidak mengerti apa yang terjadi di sini," gumam Sky ketika tangannya sudah memeluk leher Rain.
Seolah tidak mendengar, lelaki berjubah itu mulai melajukan kaki, berlari menjauh dari sana. Tidak memperdulikan gonggongan anjing hutan dan hewan liar lainnya.
"Rain," panggil Sky dan meremat pakaian si penggendong.
"Hm."
"Aku merasa tubuhku semakin lemah," ujar si mungil lirih, wajahnya menggesek pelan perpotongan leher Rain yang membuatnya merasa nyaman.
"Tidurlah, aku akan membawamu pulang," jawab Rain dengan semakin mempercepat tempo kakinya.
Sky merasa matanya semakin berat, bahkan tangannya tidak mampu untuk sekedar menggenggam satu sama lain, namun, sebisa mungkin ia tetap menjada agar kesadarannya tidak hilang.
"Sky?" gumam Rain pelan, wajahnya menoleh ke arah kelopak mata Sky yang semakin sayu.
"Apa masih jauh?" bisik Sky tepat di samping telinga lelaki itu.
Tanpa menjawab pertanyaan si mungil, Rain semakin mempercepat lajunya, hingga tibalah mereka di sebuah goa.
"Sudah sampai," ucap Rain seraya menurunkan dengan hati-hati tubuh mungil dari gendongannya.
Sky menyapu penglihatannya ke seluruh penjuru goa, pencahayaan yang minim membuatnya sedikit bergindik. "Dimana kita?"
"Gerbang dimensi waktu."
Sky diam, bahkan untuk bernapas saja rasanya sulit.
Saat hendak membuka portal itu dengan berbagai mantra, tanpa sengaja penglihatan Rain menangkap kalung berbentuk tetesan air bewarna biru yang menggantung di leher jenjang si mungil.
Gerakannya terhenti, sekelibat bayangan mulai menghantam kepala. "Sky?" ucapnya tak percaya setelah semua ingatan berkumpul dan menjadi memori indah yang sempat hilang terkikis waktu. "Dimana kau dapatkan kalung itu?"
Di sela kesadaran yang kian menipis, Sky sekuat tenaga menjawab pertanyaan lelaki berjubah itu, "Ibuku," lirihnya pelan, "Mommy said ... ini milikku, bahkan sebelum aku lahir," lanjutnya terengah-engah.
"Sky, aku merindukanmu." Perasaan aneh memenuhi rongga dada hingga membuatnya sesak, ia merasa bersalah karena tidak mengenali Sky. Gadis mungil yang menjadi permaisurinya di kehidupan lampau, karena kesalahan fatal Rain kepada dewa, dia harus berakhir tragis dan pergi meninggalkan dunia demi menebus semua dosa, merelakan belahan jiwa berjuang keras untuk terus menghembuskan napas.
Hingga, di sinilah Rain berada, hutan gelap dimensi waktu, tempat para pendosa berada demi penghapusan kesalahan. Namun, sepetinya Tuhan memang berpihak padanya. Zodiak snowblood yang dimiliki Sky, membuat gadis itu bisa masuk ke dalam dunia Rain.
Untuk kedua kalinya, Rain bisa bertemu dengan cinta sejati.
Belahan jiwa.
Sky, gadis mungilnya, istri tersayang Rain.
Tapi mengingat kembali dua bangsa yang berbeda bukanlah jalan mulus untuk mempertahankan hubungan ini.
Sky sedikit tersenyum dengan wajah yang tampak semakin pucat, membuat Rain membuka jubah yang dia kenakan dan menyelimuti tubuh si mungil.
"Bertahan aku akan mencoba membuka portal," ujar Rain menahan air mata yang berusaha lolos di manik gelapnya. Ia segera berdiri, mendekat ke sudut goa yang tampak gelap dengan ukiran kuno tertulis indah di dindingnya.
Mulut Rain mulai merapalkan banyak mantra dengan pengucapan yang sulit dimengerti, hingga sebuah cahaya putih muncul tepat di depannya.
Segera lelaki itu menghampiri Sky yang sudah terduduk lemah sejak turun dari gendongannya. "Sky, aku harap kau melupakan semuanya. Anggaplah aku bunga tidurmu, mimpi yang hadir di kala kau terlelap. Semua yang terjadi hanya alam bawah sadar," ucap Rain dengan memegang kedua sisi wajah Sky.
Rain menyatukan dahinya dengan milik Sky. Menatap mata sayu yang kian lama tampak semakin terpejam. "Aku akan merindukanmu, semoga kita kembali dipertemukan, dalam ikatan erat tak kasat mata ... di kehidupan yang lebih layak," bisik Rain pelan, kemudian mengikis jarak di antara dirinya dan Sky. Di detik berikutnya, tetesan air keluar dari mata kelam Rain, diiringi perpisahan bibirnya dan Sky.
"Rain ...," lirih Sky untuk terakhir kalinya sebelum semua tampak gelap di mata gadis mungil itu.
Memeluk tubuh gadisnya lembut, Rain kembali merengkuh Sky ke dalam gendongannya. Membawa raga 'tak berdaya itu dengan terus terisak. Sampai kakinya berpijak tepat di depan portal. Rain melangkah masuk ke dalam sana, tampak ruangan gelap tanpa adanya penerang sedikitpun.
Beginilah dimensi waktu, pikirnya.
Rain menurunkan tubuh yang ada dalam gendongannya. "Aku mencintaimu," bisik lelaki itu teredam mahkota indah Sky. Dengan perlahan, ia menidurkan raga mungil nan lemah Sky di atas sana sebelum kembali merapalkan beberapa mantra yang membuat dimensi waktu itu menghilang, menyisakan Rain dengan tangis pilu dan nyeri merambati bagian dada, seolah kembali kehilangan sebagian dari jiwanya.
To Be Continue.
Ya, Tuhan..
Nangis sekebon.
See ya~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro