Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

7

Mata Lingga mencengkeram mata Linang selama beberapa detik. Merasa terintimidasi, Linang menelan ludah. Ia memikirkan kemungkinan terburuk.

"Ngapain kamu di sini?" nada Lingga terdengar tajam.

"A-aku lihat pintu kamu terbuka."

Lingga menyeringai. Jemarinya mencengkeram rahang gadis di depannya, memaksanya agar tetap memandangnya. Ia memerhatikan wajah Linang dengan saksama. Matanya bergerak menuju pangkal leher gadis itu. Ada bekas luka yang sudah samar di sana. Ingatannya menyeruak secara sporadis menampakkan potongan gambar. Ia yang menciptakan bekas luka sayatan di leher gadis itu, setahun lalu.

Bangkit berdiri, Lingga menggerakkan tangan meminta Linang segera enyah dari hadapannya. Ia berdiri membelakangi gadis itu. Menghela napas panjang, Linang perlahan berdiri sembari mengeratkan kardigannya. Tak ada sepatah kata yang keluar dari mulut Lingga, tidak seperti biasa.

"Jangan lupa mengunci pintu biar kamu nggak nyalahin orang kalau ada yang masuk," Linang berujar pelan.

"Yang namanya lancang nggak ada pengecualian."

"Maaf." Mendesah pendek, Linang berlalu pergi.

Lingga memutar badan, melihat gadis itu lenyap di balik pintu kamarnya. Perhatiannya berpindah menuju selimut yang tergeletak di bawah. Ia memungut selimut tersebut, menatapnya selama beberapa saat, lalu melemparnya ke sofa.

Mimpi buruk itu datang lagi. Kesalahannya memang lantaran tidak menghidupkan musik saat memutuskan tidur. Bila tidak keluyuran demi menuntaskan tugas, mau tak mau ia harus bisa melawan dirinya sendiri dalam perang emosi dan batin.

Saban malam ia bermimpi buruk sejak keluar dari panti asuhan. Menyiasati agar tak dihantui mimpi yang selalu berulang itu, ia memutar lagu klasik. Sejak tahu cara mengalihkan perhatian dan terbebas dari mimpi buruk itu, ia mulai menikmatinya. Membunuh bagaikan penyelamatnya. Ia tidak perlu lagi dihantui mimpi buruk, sebab itulah bila Barata membebankan tugas untuknya (setelah ayah lelaki itu meninggal), Lingga tak pernah menolak. Selain untuk menepati janji pada ayah Barata, juga demi menyelamatkan dirinya sendiri.

*

Dari balik dinding kaca, Lingga mendapati Linang duduk di depan kanvas, di pekarangan rumah. Gadis itu terlihat asyik mencoretkan cat minyak, membiarkan bajunya ternoda warna-warni. Saat ia mengusap pipi dengan telapak tangan, ia tak sadar pipinya kotor; ada cat minyak merah di sana.

"Ah, warna apa ya yang bagus buat ini?" Linang memandangi lukisannya yang baru setengah jadi. Jari telunjuknya didekatkan di bibir, berpikir sejenak.

Dari belakang, kuasnya direbut paksa, membuat Linang terkesiap dan menoleh ke belakang. Matanya membeliak. Kali ini, apa kesalahannya? Selama ini Lingga tak pernah melarangnya melukis. Menelan pertanyaan yang membuatnya penasaran, Linang berusaha mengambil kuasnya. Alih-alih memberikannya, Lingga menjauhkan kuas itu dari jangkauan Linang, lalu mengambil warna biru dan menggoreskannya ke ruang kosong yang sebelumnya membuat Linang dilema. Ia mewarnainya biru.

"Biru."

Melihat hal itu, Linang mengerjapkan mata tak paham. Saking syoknya, ia tak sadar posisi Lingga berada sangat dekat dengannya. Tepat di sebelah sisinya. Lelaki itu membungkuk sehingga pipinya hampir bersentuhan dengan pipi Linang yang terkena noda cat.

Linang mengamati gerakan tangan Lingga. Beberapa tahun dalam kebisuan dan ketakutan, baru kali ini gadis itu bisa merasakan sedikit rileks. Ia memerhatikan kanvas dengan pandangan kosong. Tangannya diangkat. Ia memandang kuas yang sudah ada di genggamannya.

Meski tak ada percakapan di antara keduanya, ada suatu hal yang hangat menyublim. Linang bisa merasakan itu dari tangannya yang menggenggam kuas. Atau pandangannya yang dilempar ke arah Lingga. Mata mereka bertemu sesaat.

Masih tanpa kata, tetap membisu, Lingga berbalik pergi meninggalkannya. Sekali lagi, Linang memerhatikan kanvas. Ia tak berhenti menatap warna biru yang baru saja ditorehkan Lingga.

Entah apakah ia harus tersenyum atau menangis. Ia melakukannya sekaligus. Gadis itu mengatur napas, masih tak menghilangkan senyum di bibir sekaligus air mata yang menggenang. Ia melanjutkan lukisannya.

Biru. Mengapa harus biru?

Itu warna kesukaan Lingga.

*

Sampai di rumah Barata, hal pertama yang didengar Lingga adalah suara beling pecah dan benda-benda berjatuhan. Ia mengangkat sebelah alis, mempercepat langkah menaiki anak tangga sekadar memastikan tak ada hal buruk. Di depan kamar Barata yang pintunya terbuka, terdapat dua pria yang menjaga. Lingga berhenti di depan kamar tersebut, mendapati Diandra duduk menggelesor di lantai, sedangkan Barata berdiri dengan amarah meledak. Diandra menoleh, membuat Lingga mengernyit. Wajah perempuan itu penuh lebam dan darah. Hendak menerjang masuk, salah seorang penjaga menahan dadanya.

"Hey, nggak usah ikut campur. Pergi sana."

Lingga memandang temannya yang masih menahannya. Ia menepis tangan temannya dan merapikan blazernya kasar.

"Dasar sialan!" Barata melayangkan pukulan ke arah Diandra.

Pria lainnya menutup pintu menghindari Lingga ikut campur. Sebelum pintu benar-benar tertutup, hal terakhir yang dilihat Lingga adalah tatapan memelas Diandra yang sarat akan permohonan. Terdengar teriakan dari dalam kamar tersebut.

"Perempuan tolol! Berengsek! Sialan!"

Menghela napas panjang, Lingga menengadah. Ia berdecak. Berbalik badan, ia berlalu pergi menuruni anak tangga. Bukan untuk menghindar, melainkan mencari cara agar Barata berhenti. Ia membuka ponsel, mengutak-atiknya, lalu menunggu di bawah anak tangga. Ia menengadah, mengecek jam tangan, menengadah lagi. Sampai akhirnya pintu dibuka kasar diikuti langkah tergesa-gesa Barata yang merapikan jas.

Melewati Lingga, Barata berhenti. Ia berbalik dan mengacungkan telunjuknya.

"Kita bicara empat mata malam nanti." Dan melanjutkan langkah.

Begitu Barata memasuki mobil dan pergi, Lingga berjalan ke atas. Pintu kamar Barata dibiarkan menjeblak terbuka. Ia melihat Diandra berbaring miring membelakanginya. Didekati perempuan itu, mengamatinya dengan saksama. Saat tangannya terulur mengusap bahu, Diandra terkesiap. Ia menoleh ke belakang, duduk, kemudian menerjang memeluk Lingga. Tangisnya pecah sesenggukan.

"Will you help me to end this nightmare?"

Lingga mengusap rambut Diandra, meliriknya beberapa saat. "I will."

*

Sesuai perintah Barata, malam itu mereka berdua berbicara di dalam mobil. Sopir diminta keluar, yang sudah pasti pertanda obrolan akan menjadi sangat rahasia. Sebelum memasuki percakapan, Barata menghabiskan rokoknya, lantas menutup jendela. Ia menoleh memerhatikan Lingga yang menunggu.

"Dia memang cantik, ya?" Barata mulai membuka suara.

"Siapa?"

"Diandra. Siapa lagi." Barata terkekeh. "Dulu, aku pertama ketemu dia waktu masih remaja. Sekitar lima belas tahunan. Waktu itu dia ikut paduan suara. Dan aku baru tahu kalau bapaknya pendeta gereja yang biasa keluargaku datangi. I fell in love. She's amazing, right? Kayak malaikat yang sengaja dijatuhkan Tuhan buat aku." Lelaki itu menyeringai. "Atau buat kamu?" Kemudian tertawa.

Ia menghela napas panjang. Lingga mulai tahu ke arah mana pembicaraan mereka. Meski demikian, ia masih bergeming.

"Time flies. Papa tahu aku sangat tergila-gila dengannya. Jadi, Papa mengancam keluarganya kalau nolak permintaan kami. Diandra diambil paksa dan diasingkan ke suatu tempat. Sampai akhirnya, ayahnya meninggal karena sakit. Sejak itu dia berubah, sangat menurut padaku." Ia menoleh menatap Lingga. "Baru tahu, kan? Ya begitulah. Kayak nggak tahu keluargaku aja. Papaku bakal ngelakuin apa pun demi kebahagiaan anaknya."

Selesai mendengar cerita itu, Lingga tertawa tak bersuara. Barata memandangnya, ikut-ikutan tertawa. Ia menyodorkan buku bersampul kulit pada Lingga.

"Sampai akhirnya aku tahu alasan Papa mengambil Diandra selain demi aku. Never trust people. Once an angel was a devil too."

Lingga memandang buku yang disodorkan Barata. Ia menerima buku tersebut dan mengamati dengan saksama, penuh pertanyaan.

Barata tersenyum simpul. "Kamu juga bakal tahu kenapa Papa mengambil kamu. Ah, orang-orang dewasa waktu itu emang bikin pusing ya." Ia mengetuk kaca, memberi kode pada sopir agar segera masuk. "Bawa aja. Aku nggak suka jelasin secara gamblang."

Sampai mobil Barata melaju pergi meninggalkan Lingga yang berdiri di dekat mobilnya sendiri, buku bersampul kulit itu masih menjadi misteri.

*

Rumah sepi dan gelap. Biasanya, Linang terbangun tengah malam untuk minum, makan, atau bahkan lancang masuk ke teritori Lingga yang terlarang. Namun, gadis itu tak terlihat keluyuran. Awalnya, Lingga berniat menengok memastikan gadis itu tidak akan lancang lagi, namun ia menangguhkan keinginannya dan langsung menuju kamarnya. Ia meletakkan buku pemberian Barata ke meja depan sofa, berganti pakaian, lalu duduk dengan kaki berselonjor di meja. Sebelum menyentuh kacamata bacanya, ia mendengar suara gaduh di bawah. Bola matanya berputar. Ia melangkah gusar mendekati sumber suara.

Di dapur, seperti dugaannya, Linang membuat ulah. Gadis itu duduk di lantai sembari meringis kesakitan. Ada pecahan gelas berserakan di dekat telapak kakinya yang berdarah. Lingga menghampiri Linang. Ia melipat tangan di depan dada.

"Bisa tidak kamu berhenti keluyuran tengah malam dan tidur dengan tenang?"

"Kamu sendiri tahu aku selalu terbangun tengah malam karena haus." Linang mendesis sakit. Ada beling yang bersarang di telapak kakinya. "Aku nggak sengaja jatuhin beberapa gelas di atas. Maaf."

Berjongkok, Lingga menepis tangan Linang dan mengamati luka gadis itu. Tanpa basa-basi, ia menggendong Linang, membuat gadis tersebut membeliak kaget. Badan Linang terasa kaku. Ia menunduk tak berani menatap wajah lelaki yang menggendongnya dan mendudukkannya di sofa dekat meja makan.

Begitu Lingga pergi mengambil sesuatu, Linang menjilat bibir. Gadis itu memandang kakinya. Ia mengulurkan tangan, namun lagi-lagi ditepis Lingga yang membawa beberapa peralatan medis dari kotak P3K.

Tanpa tedeng aling-aling, Lingga mencabut beling kecil di telapak kaki Linang, membuat gadis itu merintih dan mencengkeram bahunya. Lingga melirik tangan Linang di bahunya, lantas beralih memandang Linang yang membuang muka dan menggigit bibir menahan sakit. Melihat ekspresi gadis itu, ia tertawa pendek, nyaris tak bersuara.

Dengan telaten, Lingga merawat luka Linang dari membersihkan sampai memerbannya. Selama itu pula, Linang yang awalnya merasa kesakitan sedikit nyaman saat tangan lelaki di depannya menyentuh kakinya. Ia memerhatikan Lingga. Mau tak mau, ia teringat kejadian sewaktu masih di panti, di mana ialah yang selalu merawat luka Lingga setiap mendapatkan pukulan sebagai hukuman dari Singgih.

"Kenapa kamu melakukan ini?" Tiba-tiba pertanyaan itu terlempar dari mulut Linang.

Lingga mengangkat dagu, memandang Linang dengan tatapan tak terbaca. "Karena aku mau."

Jawaban tersebut membuat Linang tertawa sarkastis. Kakinya masih berada di paha Lingga. Ia menurunkannya hati-hati.

"Ya... kayaknya aku harus nunggu sampai ke symptom berikutnya. Beberapa hari lagi pasti kamu...." Linang berhenti, enggan melanjutkan kalimatnya.

"Aku kenapa?" tuntut Lingga. Gadis di depannya menggeleng. "Menyiksa kamu?"

Linang menjilat bibir, tak ingin melanjutkan percakapan. Ia menundukkan kepala. Obrolan benar-benar terhenti. Tubuh Linang diangkat lagi, digendong menuju kamarnya. Selama perjalanan menyusuri koridor, gadis itu terdiam. Lalu, perlahan ia mengangkat kepala, memandang Lingga yang memakukan pandangan lurus ke depan. Ia tak akan berekspektasi tinggi, sebab sikap Lingga sekarang tak pernah bisa ia pahami.

Lingga merebahkan Linang di ranjangnya. Saat itu, Linang bahkan bisa merasakan helaan napas Lingga di wajah dan lehernya. Ia mencengkeram selimut dan menariknya.

"Terima kasih," ujarnya tulus.

Lingga tak menanggapi apa-apa. Ia berlalu pergi dan menutup pintu. Dipandangnya kausnya yang terkena bercak darah gadis itu. Ia memerhatikan beberapa saat. Namun sialnya, ingatan beberapa tahun lalu malah terputar lagi.

Ingatan saat ia melihat Singgih, ibu Linang, berdiri di sebelah ranjang ibunya yang telah bersimbah darah.

*****

Ku terharu ternyata banyak yang menantikan cerita ini bhahak

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro