4
Linang sama sekali tak berharap akan baik-baik saja setelah terpergok Lingga kabur. Sudah menjadi hal biasa baginya mendapat hukuman. Terlebih, kali ini kesalahan yang dilakukannya cukup fatal. Lingga tidak segan-segan menjatuhkan hukuman paling buruk. Keluar rumah tanpa izin adalah larangan yang seharusnya tidak ia langgar. Kini, perempuan itu hanya diam menunggu keputusan Lingga. Ia duduk di sofa. Sedangkan tak jauh darinya, Lingga duduk mengangkat kaki ke paha, mengamatinya lekat dari mata elangnya. Lelaki itu memain-mainkan pisau yang ia gunakan untuk menusuk preman berengsek tadi.
"Kamu tidak pernah mengenal rasa takut, ya? Apa yang paling kamu takuti di dunia ini? Pertanyaan itu belum pernah kamu jawab," Lingga membuka suara.
Menghela napas panjang, secara terang-terangan Linang membalas tatapan Lingga. Ia tersenyum separo. "Memberitahu lawan mengenai ketakutannya adalah tindakan yang kurang tepat. Harusnya kamu tahu itu."
Mendengar balasan sarkastis itu, Lingga tertawa pendek. Ia tak habis pikir dengan perempuan di depannya. Padahal, berulang kali ia menjadi pintu kematian bagi perempuan itu. Namun, Linang seolah tak pernah mengkhawatirkan dirinya karena telanjur memasuki lubang neraka. Pasalnya, itu sudah menjadi keputusan final.
Lingga mendesah kecewa. Ia menyelipkan pisau lipat di genggamannya ke balik pinggang. Pandangannya masih mengunci perempuan di depannya yang sangat tenang. "Harusnya kamu yang menusukkan pisau itu. Bukan aku. Apa peduliku? Bodoh." Ia menggeleng seakan mengutuk diri sendiri. "Harusnya juga kamu biarkan aku membunuh dia, bukan malah melepasnya."
"Aku memberinya kesempatan agar dia bisa mengenali kesalahannya."
"Sounds stupid, Babe. Kamu tidak akan bisa bertahan hidup dengan memberikan orang lain kesempatan."
Lingga beranjak berdiri. Ia menghampiri Linang, lalu menarik dagunya agar bisa bersipandang dengan mata tajamnya. Wajahnya didekatkan di depan wajah Linang. Hanya ada beberapa senti jarak yang memisahkan keduanya. Linang merasa tenggorokannya kering. Ia merasakan helaan napas lelaki itu di wajahnya. Hangat namun beku. Seperti mentari yang tak mampu bereksistensi di kutub. Jemari Lingga menjelajahi rambut Linang. "Jangan memberi kesempatan siapa pun."
"Kamu memberiku kesempatan hidup."
Sebelah alis Lingga terangkat. Kalimat itu cukup menohok. Namun, ia malah tertawa. "Bukan kesempatan yang aku berikan. Itu hukuman. Harusnya kamu minta aku membunuhmu sejak kamu pergi dari panti asuhan dan memilih hidup di sini. Itu kesempatan yang tidak akan aku berikan."
Linang menyeringai. Begitu Lingga mundur, perempuan itu mengembuskan napas panjang. Ia belum tahu apa yang akan menimpanya setelah ini. Rasanya aneh kalau Lingga membiarkannya menghirup udara dengan tenang.
"Aku harus memutuskan hukuman apa yang pantas buat pembangkang. Hm." Lingga mengusap dagu, tampak berpikir keras. Ia tahu bahwa hukuman apa pun tetap tak akan membuat Linang jera. Meski demikian, ia menyimpan banyak jawaban yang perlu dipilah. Begitu sudut bibirnya terangkat, Linang tahu lelaki itu sudah memutuskan hukumannya. "Aku bosan memberi kamu hukuman. Bagaimana kalau aku ajari kamu berhenti memberi orang lain kesempatan?"
Mendadak, perut Linang bergolak. Itu jauh lebih mengerikan daripada hukuman yang dijatuhkan. Ia tak pernah bisa menebak pikiran Lingga yang misterius. Walau demikian, Linang hanya menanggapi dengan kegemingan. Lingga menepuk puncak kepala Linang, lembut. Seharusnya itu menjadi hal yang manis bila dilakukan pria lain. Tidak bagi Lingga. Itu adalah ultimatum keras.
Lelaki itu melangkah meninggalkan Linang seorang diri. Sampai punggung Lingga lenyap dari pandangan, Linang menyatukan alis heran. Ia memikirkan apa kiranya yang akan dilakukan lelaki itu.
*
Barata disibukkan dengan pertemuan bersama teman-teman bisnisnya. Sengaja, ia meminta Lingga ikut bersamanya sekadar melihat target selanjutnya yang wajib dilenyapkan secara perlahan. Lingga berdiri di sebelah seorang bodyguard, mengamati jalannya pertemuan. Matanya berulang kali bertemu dengan mata Diandra. Perempuan itu tak jemu melihat ke arahnya. Sepanjang obrolan bisnis di meja makan, Diandra terdiam, mengikuti pembicaraan tanpa terseret dalam arus. Perempuan itu tersenyum ke arah Lingga. Bodyguard di sebelah Lingga menyenggol lengannya, memberi peringatan agar berhenti mengamati istri bos mereka.
"Mau cari mati, ya?" bisiknya.
Lingga melirik ke arah si bodyguard dan tertawa tak bersuara. "Death is my middle name. I don't need to." Nadanya dingin dan sarat akan ancaman balik.
Bodyguard itu menatapnya tajam, lalu mengalihkan perhatian lurus ke depan.
Pertemuan berjalan khidmat. Para pebisnis tersebut beranjak berdiri, saling berjabat tangan, lantas memisahkan diri. Barata mengikuti dua orang, mengajaknya berbincang sembari melangkah keluar. Lingga mengulurkan tangan pada Diandra, membantunya berdiri. Ia melangkah di belakang perempuan tersebut seperti penjaga khusus, membuat beberapa bodyguard Barata mengernyit tak senang.
Diandra berhenti sebentar, praktis membuat langkah orang-orang di belakangnya berhenti. Perempuan itu menoleh ke belakang.
"Kalian maju ke depan." Ia menunjuk dua bodyguard yang menjaganya. "Kamu tetap di dekatku." Lalu menunjuk Lingga.
Meski tak sependapat, dua bodyguard tersebut melangkah mendahului. Diandra mengulum senyum. Ia melanjutkan langkah ditemani Lingga.
"Aku lebih senang kalau kamu yang ada di dekatku. Di antara yang lain, cuma kamu yang aku kenal," katanya.
"I'm a grim reaper, not your guard."
"You can do both."
Begitu mobil jemputan berhenti, Barata memanggil nama Diandra. Perempuan itu berbalik memandang suaminya yang hendak masuk ke dalam. Diandra memandang Barata sekian detik, lalu tersenyum miring.
"Kamu duluan aja. Aku mau mampir ke makam Papa."
"Aku temani."
Diandra menggeleng. "Aku tahu kamu masih ada jadwal penting."
Barata mendesah pendek. Ia mengangguk dan memberi kode pada bodyguard yang lain agar mengikutinya. Sebelum masuk ke mobil, Barata menatap Lingga, memberi perintah agar mengikutinya. Lingga mengangguk patuh. Sebelum melangkah pergi, Diandra menggenggam tangannya, lalu melepasnya, membuat ia menoleh dengan menyimpan pertanyaan. Sebelum masuk mobil Barata, dipandangnya Diandra yang masih mempertahankan senyum manisnya. Bahkan sampai di dalam pun, Lingga tak berhenti memandang Diandra yang berdiri bersama dua bodyguard tadi.
"Dia kayaknya lebih nyaman di dekat kamu," mendadak Barata menukas di belakang Lingga yang duduk di jok depan.
Lingga memandang Barata melalui rearview. "Maaf."
"Kenapa minta maaf? Aku malah berterima kasih. Dia nggak punya teman di rumah. Bahkan awal kami bertemu, dia nggak banyak bicara dan nggak punya keragaman emosi. Dia bilang, kamu membuatnya nggak kesepian tiap aku pergi. Temanku, teman Diandra juga. Seenggaknya dia senang masih punya teman. Aku suka melihat senyumnya."
Lingga tergugu. Tatapannya masih melekat pada sosok Barata yang menatap ke langit-langit mobil dan tersenyum. Tampaknya, lelaki itu memang benar-benar jatuh cinta pada istri yang dinikahinya secara sepihak.
"Anda tidak takut?"
"Takut?" Barata memandang Lingga melalui rearview. Lelaki itu langsung memahami maksud perkataan itu. "Oh, nggak lah. Kan kamu udah punya cewek." Ia terkekeh, mengingat perempuan yang pernah diajak Lingga. "Sejak dulu kita suka berbagi, kan? Kasih sayang ayahku, mainanku, rumah, semua punyaku juga punya kamu. Tapi kalau soal perempuan, maaf, aku nggak bisa." Ia tertawa. "Aku percaya sama kamu."
Lingga tersenyum tipis. Ia memutus kontak mata dengan menatap lurus ke depan.
"Sampai sekarang kamu bahkan masih bicara kaku. Kita bersahabat. Aku nggak pernah menganggap kamu sebagai suruhan." Barata menghela napas panjang. Ia mengingat dengan baik awal pertemuannya dengan Lingga beberapa tahun lalu.
Ayahnya tiba-tiba datang membawa anak seusianya. Lantas, memperkenalkannya sebagai teman bermain. Barata sangat senang akhirnya memiliki teman sebaya. Sejak kecil, ia tak pernah memiliki teman. Banyak di antara teman sekolahnya yang takut pada ayahnya. Ia sering merasa kesepian.Keberadaan Lingga sontak mengubah hidupnya yang sangat monoton. Meski sikap Lingga yang kaku dan menciptakan sekat bagai majikan dan pesuruh, Barata menganggapnya sebagai sahabat. Bahkan lebih. Mungkin, saudara adalah kata yang tepat.
"Perempuan yang kamu bawa dulu," lanjut Barata, "kok aku nggak pernah tahu, ya? Sejak kapan?"
Mata Lingga berpindah menuju rearview lagi. "Cukup lama."
"Kenapa nggak kamu kenalin? Siapa namanya? Aku lupa."
"Ayudya Linangkung. Dia bukan tipe orang yang senang bertemu orang baru."
"Oh... Cocoklah sama kamu. Kalian sama-sama introvert. Tapi, tetap kenalkan dia ke aku, ya. Masa aku nggak tahu cewek kamu, sih? Kita udah bersahabat lama."
Mendengar pernyataan itu, Lingga tersenyum miring. Meski begitu, ia menanggapi dengan anggukan. Obrolan tak lagi berlanjut.
Keheningan merambat seperti sedia kala. Barata sibuk dengan iPad, sedangkan Lingga menjaga pandangan lurus ke depan. Matanya berpindah menuju genggaman tangannya. Ia membuka kepalan tangannya, membaca kertas yang sempat diselipkan Diandra.
//Temui aku di San Diego Hills//
*
Salah satu petak di San Diego Hills tampak sunyi. Diandra berjongkok sangat lama di pusara ayahnya yang berhiaskan patung-patung malaikat. Ia memandang kosong pada kuburan yang memiliki area luas itu. Langit mendung sudah memberi pesan akan menumpahkan hujan. Namun, perempuan itu masih betah duduk. Dua bodyguard yang diminta Barata untuk menjaganya sudah jemu. Keduanya menunggu di sebelah petak makam lain, memantau dari jarak jauh atas permintaan perempuan itu.
"Ini belum cukup adil. Aku bisa betah duduk di sini sampai malam," katanya. "Aku minta maaf."
Perempuan itu menengadahkan kepala menatap langit mendung yang baru meneteskan air di wajahnya. Ia tertawa pendek disambut gerimis. Dua bodyguard yang menjaganya kalang kabut mencari payung yang ditinggal di mobil. Perempuan itu masih berjongkok. Bibirnya terpilin. Emosi menguap dalam dirinya, hingga tak terasa air matanya telah bercampur dengan tetes hujan. Jemarinya bergetar saat meremas.
Mendadak, ia tak merasakan lagi sentuhan hujan di kulitnya. Menengadah, ia menyadari keberadaan payung hitam. Ia menoleh ke belakang, mendapati Lingga sudah berdiri memayunginya. Tangan lelaki itu terulur. Ia menyambut uluran tangan tersebut dan berdiri. Kakinya sedikit gemetaran lantaran terlalu lama berjongkok. Lingga menggenggam erat tangan Diandra, menahan keseimbangan tubuhnya. Mata mereka bertemu.
"Apa yang membawa kamu ke sini?" tanya Diandra.
Lingga menunjukkan kertas dari Diandra, membuat perempuan itu tertawa getir.
"Karena perintahku?" Ia melenyapkan senyumnya. "Terima kasih. Aku jauh lebih baik sekarang."
"Sama-sama."
"Bara?" Diandra masih belum puas dengan jawaban Lingga. "Kamu meninggalkan tugas demi bisa menemuiku di sini."
"Bara mengizinkanku pergi."
Diandra mendengus. "Jadi, kamu bilang kalau aku yang minta kamu datang?"
Lingga menggeleng. "Kamu membuat aku membohonginya untuk pertama kali, Diandra."
*
12.45
Linang memandang jam dinding di kamarnya. Perhatiannya yang awalnya tertumpu pada buku di pangkuan berganti menuju jendela begitu terdengar suara derum mesin mobil dan ban berdecit kasar. Ia melongok keluar jendela. Dahinya mengernyit melihat seorang perempuan yang baru keluar dari mobil Lingga. Selenting ingatan memasuki kepalanya. Ia mengingat perempuan itu. Diandra.
Spontan saja Linang menjatuhkan bukunya dan melesat keluar kamar. Terdengar keributan di tengah kegelapan rumah. Linang berdiri di pinggir birai tangga, mendapati Lingga dan Diandra yang berciuman panas sepanjang jalan. Diandra melepas blazer-nya dan menjatuhkan serampangan. Keduanya lenyap di balik pintu salah satu kamar di lantai bawah.
Linang memutar badan, menyandarkan pinggul pada birai tangga. Tatapannya terarah lurus ke depan. Sepanjang hidup di rumah itu, pemandangan seperti tadi menjadi yang pertama ia lihat. Ia tak tahu apa yang dilakukan Lingga di luar selain membunuh orang. Namun, lelaki itu tidak pernah membawa perempuan lain ke rumah itu sekali pun. Linang mengangkat tangan, menyentuh dadanya di mana jantungnya berdenyut sakit.
*****
Damn, baru aja lebaran udah beginian yang gue tulis. Maaf kalau jadinya berantakan di hape.
Btw, tiap dengerin soundtrack The K2 entah kenapa selalu keingat sama cerita ini, makanya gue lanjut ini bhahak. Gue kasih soundtrack K2, ya. Lagu-lagunya yang bahasa Jerman enak-enak :(
Kalau ngetik dari hape berantakan ga sih?
Laptop gue rusak coy, kaga bisa nyala T___T
Jadi, gue nulis dari hape buat sementara waktu hiks :(
Eid mubarak teman-teman!!!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro