24
Menghela napas berat, Nengga menatap ponsel. Jemu. Sudah dua jam mobilnya mogok di tengah jalan yang sepi. Dokter Rafi pun bolak-balik memanggil mobil derek yang tak kunjung datang. Mereka telah tertinggal penerbangan, yang membuat dokter Rafi terpaksa menjadwalkan ulang penerbangan menuju Jerman dan bermalan di hotel dekat bandara.
Memandang ayahnya yang sibuk dengan ponsel di luar, Nengga melamun.
Tak berselang lama, ponselnya berdering. Nama Andang tertera di layar. Dengan segera, cowok itu mengangkat panggilan.
"Linang diculik?!" Spontan, Nengga terperanjat. "Aku akan bantu cari." Ia mengutak-atik ponsel selama beberapa detik.
Tanpa basa-basi, cowok itu menghambur keluar, membuat dokter Rafi menatap bingung. Cowok itu berlari tunggang langgang, tak memedulikan seruan ayahnya. Ia melambai menghentikan mobil pick up, dengan nada keras memaksa sang sopir membawanya dan berjanji akan memberikan timbal balik.
"Nengga! What happens??" dokter Rafi berseru dan mendecak lidah.
*
Diandra meneguk secangkir teh yang dihidangkan seorang pelayan. Ia duduk di kursi, memandang Lingga yang duduk di depannya dan tak melepaskan tatapan lekat. Senyum simpul terukir di bibir Diandra. Ia meletakkan cangkir dan melipat tangan di depan dada.
"Aku sudah menyuruh mereka berhenti."
Di atas meja, tangan Lingga terkepal, sebelum akhirnya direnggangkan diikuti senyum miring singkat. Ia berusaha tenang, meski jantungnya sudah berdebar, terpicu oleh emosi dan adrenalin.
"Aku biasanya tidak sebrutal ini," kata Diandra. "Well, aku orang yang keras dan akan melakukan apa pun demi kemauanku." Perempuan itu mencondongkan badan sedikit. "Aku orang yang terlalu sensitif dan gampang mendramatisir keadaan." Ia menyentuh dada hiperbolis. "Kamu kayaknya nggak terlalu kaget."
"Your duality got on my nerves."
Diandra tersenyum kalem. Ia mengusap-usap kuku. "Kamu boleh pergi." Matanya melirik Lingga. Mengamati lelaki itu yang beranjak dan melenggang pelan meninggalkan ruangannya. Persis seperti seekor anjing yang menuruti majikan. "Dan, terima kasih."
Lingga berhenti sebentar. Ia menoleh, memandang Diandra yang masih melayangkan senyum simpul.
*
Begitu sampai di titik sama dengan yang terdeteksi oleh GPS, Nengga berhenti di depan sebuah gedung terbengkalai di tengah hutan. Napasnya memburu. Ia mengamati keadaan sekitar, tak menemukan apa pun kecuali suara binatang liar yang bersembunyi mengamatinya semua itu.
Nengga melenggang ke dalam, menemukan sebuah akuarium besar yang telah terisi air. Di dalam sana, ia melihat seorang gadis yang mendangak, mencari udara.
"Linang!"
Mendengar seruan Nengga, Linang mengerjap. Ia tersenyum semringah. "Aku hampir mati tenggelam. Tolong bantu keluar."
"Tunggu, tunggu." Nengga berputar-putar mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk memecahkan akuarium. Matanya menyipit menemukan sebuah kunci yang ditinggalkan di dekat ambin. Dengan segera, ia mengambil kunci itu.
Linang tak mampu menggerakkan kepalanya. Sebab, jika ia menunduk, kepalanya pasti terendam air.
"Gimana kamu bisa sampe sini?" tanya Nengga yang menyeret ambin untuk naik dan membuka gembok rantai penutup akuarium.
"Aku nggak ingat. Ada yang membiusku dan saat terbangun, aku sudah sampai di sini." Linang menelan ludah. "Leheru keram sekali."
"Tunggu." Gembok berhasil terbuka. Dengan cekatan, Nengga membuka rantai dan atap yang berat itu. Rahangnya mengeras menahan beban berat. Bunyi hantaman keras besi membentur dinding akuarium menggelegak. Nengga membuang napas berat. "Pegang tanganku. Kamu bisa manjat, nggak?"
Linang menahan kedua tangan Nengga yang terulur. Kedua kakinya naik menjepit sis akuarium. Meski beberapa kali tergelincir, tubuhnya berhasil dipegang kuat Nengga (cowok itu bahkan menampakkan urat-urat di lehernya). Ia diangkat ke atas. Keduanya terjatuh di atas ambin dengan napas tersengal-sengal.
"Rasanya, aku sudah mau gila."
"Yeah. Aku juga." Nengga tertawa. Ia menoleh, memerhatikan wajah Linang yang pucat. "Sudah berapa lama kamu di sini?"
Gadis itu menggeleng. "Nggak tahu. Yang kutahu, ada banyak orang di tempat ini. Berusaha menenggelamkan aku. Lalu, mereka pergi sebelum air terisi penuh." Mata Linang tertutup lelah. "Aku...." Ia tak sempat melanjutkan. Napasnya mengalun lambat. Sepertinya, gadis itu pingsan karena kelelahan.
Nengga bangkit dan memeriksa nadi Linang yang melemah. Ia menepuk pipi gadis itu. Nengga celingukan, tak menemukan siapa pun. Bahkan tidak ada tanda-tanda keberadaan manusia di sekitar gedung itu. Ia menggendong Linang di depan dan membawanya keluar.
Dari lantai atas, jemari lentik Sheree terketuk. Gadis itu muncul, mengamati Nengga yang sudah keluar dari gedung. Senyum gadis itu terkembang separuh.
Beberapa mobil sampai di depan gedung, sesuai lokasi yang telah dibagikan Nengga. Keluar dari mobil, Andang menghambur mendekati mereka berdua. Ia memeriksa keadaan Linang yang pucat pasi.
"Cepat bawa masuk ke mobil." Andang memerintahkan Nengga memasukkan gadis itu ke salah satu mobil. Ia diminta menemani Linang sampai di rumah.
Selama perjalanan, tatapan Nengga tak berpindah sedikit pun dari gadis di sebelahnya.
"Bagaimana kamu bisa sampai di sana?" tanya Andang skeptis. "Kami bahkan belum memberi informasi."
Bahu Nengga mengedik. "Insting. Kebetulan, mobil yang mengantar ke bandara mogok dua kilometer dari lokasi. Well, kayaknya Tuhan sengaja mengatur semuanya. Mengirim aku untuk menjemputnya."
Senyum Andang terukir sekilas. Ia menggenggam telapak tangan Linang yang dingin. Selimut tebal di mobil itu ia bentangkan untuk membungkus tubuh Linang agar tetap hangat. Ia mengusap pipi gadis itu.
*
Singgih melenggang pelan menyusuri koridor, menuju kamar putrinya. Ketika masuk, ia melihat Kalya dan Andang. Wanita itu memandang Kalya, memintanya keluar. Mengerucutkan bibir ke samping, Kalya menuruti perintah Singgih.
"Dia sudah baikan?" tanya Singgih, duduk di samping anaknya dan memeriksa tubuh gadis itu yang agak lebam.
"Dia cuma kelelahan. Untunglah ada Nengga."
Singgih menengadah. "Tolong tinggalkan kami."
Mengangguk, Andang membiarkan Singgih bersama anaknya di kamar itu. Ia mengusap rambut Linang dan mencondongkan badan.
"Kenapa kamu harus mengulang apa yang menimpa ayah kamu? Aku sudah berusaha keras. Kamu tidak boleh ada di antara kobaran api, Sayang. Aku tidak akan membiarkan tanganmu ikut campur. Tolong, lepaskan Lingga."
Mendengar bisikan itu, perlahan mata Linang terbuka. Ia bertatap muka dengan ibunya yang tersenyum sekilas.
*
Langit malam mendung kelabu. Angin kencang berembus, melewati jendela dan menerbangkan kelambu kamar Linang. Gadis itu menutup jendela, mengusap kedua lengannya. Ia membuang napas berat. Gerimis sudah turun rintik, namun sampai detik itu, Lingga tak muncul untuk melihay keadaannya. Seharusnya, lelaki itu lebih defensif, kan? Seharusnya, Lingga menemuinya dan menanyakan kabar.
Alih-alih, Linang keluar dari kamar. Jarum jam menunjuk angka sebelas. Rumah sudah dalam keadaan sepi. Sejak jam tujuh tadi, Nengga berpamitan kembali menemui ayahnya. Ia sedang dalam proses negosiasi dengan ayahnya untuk tidak ikut ke Jerman. Terlebih sejak insiden penculikan yang nyaris membunuh Linang.
Linang berhenti ketika melewati ruang tengah. Ia menyadari keberadaan seseorang di sana, sedang berdiri di dekat jendela. Mengamati gerimis yang turun perlahan, seperti kidung malam. Tangannya menggenggam gelas berkaki.
"Lingga?" bisik Linang, lalu masuk dan menutup pintu.
Lingga menoleh. Ada senyum simpul di bibirnya sebelum dihapus dengan tegukan anggur terakhir. Ia meletakkan gelas tersebut ke atas meja.
"Kamu belum tidur?" Lelaki itu mendekat.
"Kamu... tahu apa yang terjadi, kan?"
Hanya anggukan yang menjadi balasan. "Aku sudah mengurus orang gila yang menyakiti kamu."
"Diandra?" tebak Linang. Sebab, hanya perempuan itu yang tega melakukan sesuatu yang buruk pada orang lain.
"Jangan dipikirkan. Aku pastikan, dia tidak akan menyentuh kamu." Ia mengusap rambut Linang, lalu duduk di depan piano.
"Apa yang kamu lakukan ke dia?" tanya Linang penasaran. "Kenapa dia melakukan itu padaku?"
"She's insane. Semua yang dia lakukan tidak punya alasan." Jemari Lingga menari di deretan tuts. "Tapi, aku bersumpah, dia tidak akan menyakiti kamu lagi. Aku akan membalasnya." Ia menoleh. Kepalanya mengedik, meminta Linang duduk di sampingnya untuk menemaninya bermain piano.
"Kamu nggak membunuh dia, kan?" Meskipun tidak menyukai Diandra, Linang tidak berharap Lingga menghabisi nyawa perempuan itu.
Membalas pertanyaan Linang, Lingga menggeleng. "Aku tidak sebodoh itu." Ia memulai intro lagu klasik Tchaikovsky, Swan Lake. Di tengah, barulah jemari Linang yang berganti memainkan lagu itu.
Lingga mengamati gadis di sebelahnya selama memainkan Swan Lake. Ekspresinya tak terbaca. Matanya turun memandang pundak gadis itu. Dengan lembut, ia mengecup pundak Linang. Gadis itu tidak bergeming, terlena dengan lagu yang ia mainkan sendiri. Jemarinya menekan kuat tuts menjelang akhir, menyesuaikan tempo asli. Konsentrasinya pecah saat wajahnya dipalingkan ke samping.
Lingga tak ingin menatap kedua matanya. Ia hanya memandang ibu jarinya yang mengusap pelan bibir gadis itu.
"Apakah sesakit ini?" bisiknya pelan.
"Apanya?"
"Atau lebih dari ini?" Ia menatap mata gadis itu. "Luka yang aku berikan."
"Kamu sakit?" Linang bertanya polos. Ia menyentuh dahi Lingga dengan telapak tangan. Lingga menurunkan tangannya.
"Maaf." Bisikan itu tak kentara. Sebelum Linang bertanya lebih banyak, Lingga menekan bibir gadis itu. Seperti tempo adagio dalam musik. Sangat lembut.
Ketika tubuhnya terdorong ke belakang, tangan Linang mencengkeram tuts hingga terdengar bunyi denting tak beraturan.
Gerimis masih merajam. Suara instrumen Tchaikovsky seolah menggema di ruangan itu. Menghangatkan tubuh sepasang kekasih yang tengah bercumbu.
*****
Buat yang belom liat mini trailernya:
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro