22
Lingga menatap Diandra yang terbaring di ranjang ditemani dokter pribadi dan Sheree. Tepat ketika perempuan itu pingsan, Sheree datang bersama beberapa bodyguard dan langsung membawanya ke kamar. Lingga melengos, lantas melenggang keluar, menuju selasar. Ia mengeluarkan sebatang rokok dan pemantik. Sebelum menyulutkan api, Sheree muncul di sebelahnya, sontak membuat ia berhenti. Ekor matanya mengikuti gadis itu.
Sheree mengulurkan tangan. Alisnya yang naik memberi isyarat pada Lingga. Mendesah panjang, Lingga menyodorkan rokok dan pemantik padanya.
"Thanks." Sheree menyelipkan rokok itu di bibirnya. Ia menyulut pemantik dan mengembuskan asap pertama. Tatapannya melayang ke depan, pada lautan dengan ombak rendah. "You'll leave?"
"As soon as possible." Lingga menoleh. Sudut bibirnya terangkat. "Jangan berpura-pura sok akrab setelah berulang kali berusaha membunuh Linang. You're still a bad bitch."
Sheree tersenyum miring. Ia menjilat bibir. "Yang aku lakukan cuma buat melindungi dia. Aku hidup lama dengan dia sejak dibuang. Kelihatannya, dia memang kejam, semena-mena, psychotic, obsesif, gila, dan nggak punya rasa takut. Tapi, dia lebih dari itu." Sheree mengembuskan asap perlahan sembari memejamkan mata. "Dia punya mimpi. Seperti orang kebanyakan. Rumah besar dengan seorang ayah penyayang yang akan membelikannya boneka sepulang dinas luar negeri. Atau yang menciumnya sebelum tidur dan membacakan dongeng. Sayang, dia cuma anak yang nggak diharapkan lahir." Ia memutar badan, menghadap ke arah Lingga. "Yang kamu ucapkan padanya memang benar. Sangat sulit mencintai perempuan seperti dia. Tapi, sulit pula membencinya. She was so innocent until people wrecked her heart into pieces. Aku memang dikirim Pak Bagia untuk mengawasinya. Tapi, loyalitasku tetap untuk Yael. Yael menolak melaksanakan perintah papanya untuk membunuh keluarga Singgih yang tersisa, meskipun dia sudah tahu bahwa Linang, gadis yang kamu cintai sekaligus dia cemburui, adalah anaknya. Dia bisa saja memberikan informasi mengenai keberadaan Singgih dan Linang ke papanya. Dia menolak."
"Kenapa?" tanya Lingga datar.
"Karena kamu juga masih punya hubungan dengan kasus tahun 1992."
Rahang Lingga menegang. Ia sudah membaca semua kumpulan surat kabar yang diberikan Diandra dan dapat merumuskan permasalahan yang bermula di tahun 1992. Sheree menyeringai.
"Dia bukan melindungi Linang, tapi melindungi kamu. Kalau Pak Bagia tahu siapa kamu...." Sheree memberi gestur menggorok leher dengan ibu jari. "Be nice to her." Ia menjatuhkan puntung rokok ke atas rerumputan sebelum melangkah pergi meninggalkan Lingga yang mencermatinya dengan tatapan tajam.
*
Linang memanjat tangga kayu demi mengambil buku di bagian teratas. Ia berjinjit, menggapai-gapai, hingga akhirnya berhasil mendapatkannya. Di saat bersamaan, buku-buku lain berjatuhan ke lantai, menimbulkan suara ribut. Nengga yang melihat gadis itu kesulitan mengatur buku-buku yang jatuh tertawa. Ia melangkah mendekat.
Mendesah panjang, Linang memungut buku-buku itu. Ia mengerjap melihat Nengga berjongkok di depannya, membantunya memungut yang lain.
"Makasih." Linang tersenyum.
"Sini, biar aku yang naruh ke atas." Ia menaiki tangga dan meletakkan kembali buku-buku yang disodorkan Linang dari bawah.
"Kamu nggak tidur?"
Linang mengangkat pundak seraya menyusupkan kedua tangan ke saku kardigan. "Aku nggak bisa tidur."
"Kebiasaan insomnia?" Nengga menuruni tangga.
"Kalau lagi kepikiran."
Melihat senyum kecil di bibir Linang, Nengga menyeringai. Ia mengeluarkan sesuatu dan menyerahkannya ke Linang. Sebelah alis Linang terangkat mendapati sebungkus permen karet.
"Bisa ngurangi stres," kata Nengga.
"Thanks." Linang menerima permen karet itu sambil tertawa kecil.
"Ah, iya. Beberapa hari ke depan aku sama Papa bakal balik ke Jerman. Sering-sering kasih kabar nanti, ya."
"Aku nggak punya ponsel." Linang menggigit bibir setengah menyeringai. Sejak tinggal di rumah Lingga, ia dilarang memegang ponsel.
Mendengar pernyataan itu, Nengga membulatkan mata. Ia tidak habis pikir bagaimana mungkin di era modern, seseorang tidak memiliki benda yang sangat penting dan membantu komunikasi antarmanusia. "Buruan minta ponsel. Kamu nggak hidup di zaman batu."
Bibir Linang mengerucut ke depan. "Aku emang nggak tertarik sama ponsel."
"Hah? Astaga. Di dalam ponsel nih ya, ada game. Bisa main Get Rich. Terus, bisa online Facebook, Instagram, Path, buat gaya-gayaan. Pokoknya surganya manusia modern. Kamu bisa streaming. Mau nonton nggak perlu ke bioskop, tinggal beli aja di iTunes. Terus...."
"Aku tahu." Linang tertawa kecil. "Aku juga pernah punya. Tapi, aku nggak suka aja main gawai."
Nengga berdecak dan menggeleng-geleng. Ia baru tahu ada manusia sejenis Linang. Padahal, ia saja mempertaruhkan nyawa demi sebuah iPhone yang dilempar dua orang yang ia duga sebagai perampok.
"Aku mau baca di sini." Linang mengangkat buku yang diambil tadi. Ia duduk di sofa panjang dan menyandarkan punggung pada lengan sofa. Nengga memerhatikan gadis itu dengan saksama. Ada senyum kecil terukir di bibirnya.
"Jangan tidur terlalu malam, ya."
Linang menoleh dan menunjukkan gestur 'oke' sambil menyunggingkan senyum. Ia menekuri buku yang dibacanya lagi, mengabaikan Nengga yang mengamatinya sebelum berlalu pergi.
Waktu berputar. Tanpa sadar, Linang sudah memejamkan mata dengan buku di atas perut. Kepalanya berbantal lengan sofa. Meski tampak agak tidak nyaman, ia lelap sekali. Bahkan tak menyadari langkah kaki mendekatinya.
Lingga berhenti. Ia memandangi gadis itu dengan saksama, kemudian mengayunkan perhatian ke seantero perpustakaan. Ia melangkah makin mendekat dan berhenti di samping sofa. Tangannya terulur perlahan, menyingkirkan rambut di wajah gadis itu. Senyuman kecil bermain di bibir. Ia berniat memindahkan Linang, namun gadis itu membuka mata tiba-tiba.
"Ah, kamu udah pulang?" tanya Linang antusias, lantas bangkit duduk. Ia tampak semringah.
"Kenapa kamu tidur di sini?"
"Tadinya sih aku nggak bisa tidur, terus ke sini buat nyari buku dan sekalian baca. Eh, ketiduran." Linang mengerjap matanya yang bundar. "Sekarang, aku malah nggak ngantuk." Bibirnya mengerucut ke depan.
"Kalau gitu, kita jalan-jalan keluar." Lingga mengulurkan tangan, disambut gadis itu dengan genggaman. Mereka berjalan bergandeng tangan keluar perpustakaan.
*
Cuaca malam itu tampak cerah, tidak seperti malam-malam biasanya yang kerap mendung. Selama di mobil, Linang menatap radio yang mati. Ia melirik Lingga yang hanya fokus ke depan. Tanpa menoleh, Lingga menggumam.
"Hidupkan mode tape."
"Kamu nggak terlalu suka musik."
"Musik modern," ralat Lingga. Ia menoleh. "Cari Led Zeppelin."
"Woah. Aku nggak tahu kamu suka Led Zeppelin." Linang tersenyum lebar sembari menghubungkan ponsel Lingga dengan radio.
Lingga menoleh, tertawa tak bersuara. "Bukan aku. Papa."
Spontan, senyum Linang lenyap bersamaan terdengar intro Stairway to Heaven. Ia teringat foto yang dibuang Lingga di tong sampah. Menyisihkan ingatan foto Diandra, ia berusaha mengulik tentang foto orangtua mereka.
"Kamu udah tahu, kan?" tanya Lingga lagi. "Soal orang tuaku."
"Aku... cuma nggak mau kamu terbebani masa lalu." Linang menatap menyesal.
"Aku udah tahu lama kalau orang tua kita berteman. Ayahmu bertemu dengan ayahku di kantor surat kabar. Mereka rekan jurnalis. Dan sama-sama jadi korban pembunuhan." Lingga berdeham. "Untuk sekarang, aku tidak mau membahas topik seperti itu."
"Oke." Linang mengangguk mantap. Ia ingin bertanya ke mana Lingga pergi, tapi urung mengeluarkannya. Pertanyaan itu ditelan bersama ludah.
Mobil berhenti di depan sebuah gedung dengan balok-balok bertuliskan "The Jenkins" yang memberikan fasilitas bioskop mini. Linang menengok jam di dasbor yang menunjuk angka satu. Linang menatap Lingga seakan melemparkan pertanyaan. Membalas ekspresi wajah Linang, Lingga tersenyum.
"Kita akan menonton film berdua."
Linang mengerjap. Seharusnya bioskop mini itu tak buka. Bahkan ada tulisan "Close" yang tergantung di pintu. Meski demikian, ia mengikuti saja ke mana Lingga pergi. Pintu rupanya tak benar-benar ditutup. Masih ada beberapa orang di gedung itu yang mengantar mereka ke salah satu theater.
"Kamu nggak ngancem mereka dengan pisau atau pistol biar bioskop ini dibuka, kan?" Dahi Linang mengerut.
Mendengar ucapan senewen itu, Lingga tertawa. "Kali ini aku pakai cara yang lebih manusiawi." Ia mengangguk pada penjaga theater yang membukakan pintu. Lingga dan Linang mengambil tempat duduk di tengah. Beberapa kali Linang menengok ke kanan-kiri. Tempat yang tadinya terang itu menjadi gelap begitu film mulai diputar di layar.
"Lalu, kamu ngapain?" tanya Linang, masih mencoba menggali. Ia hanya khawatir Lingga merugikan orang lain.
Lingga menatap gadis itu. "Pakai uang. Pantas saja orang-orang jadi gila karena uang. Uang bisa melakukan apa pun."
Dahi Linang berkerut diiringi suara tawa renyahnya. Ia memutar bola mata dan memerhatikan layar di depan. Film The Phantom of the Opera keluaran 1925, yang mana masih dalam bentuk film bisu.
"Woah! Masih film bisu," ujar Linang berbinar-binar takjub. Baru kali ini ia menonton film bisu.
"Juga dengan uang aku mendapatkannya," balas Lingga. Sebelah alisnya terangkat.
Linang melengos. Ia mencoba menikmati film bisu klasik tersebut. Antusias tergambar jelas di kedua matanya. Lingga memerhatikan gadis itu selama film diputar. Senyum miring tipis terukir di bibir. Ia tidak butuh menonton film bisu. Ia lebih menikmati ekspresi senang Linang.
"Du bist hübsch (kamu cantik)."
Mendengar bisikan itu, Linang menoleh.
"Deine Schönheit tötet mich (kecantikan itu bisa membunuhku)." Ia mencondongkan badan, mencium lembut bibir gadis itu.
*****
Akhirnya aku lanjut juga.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro