2
Restoran yang menjadi tempat jamuan makan malam terlihat ramai. Pandangan Linang beredar menuju seantero tempat. Ia memekik kaget begitu lengannya dicengkeram Lingga cukup kuat. Lelaki itu berisik di telinganya.
"Tersenyumlah. Jangan seperti orang paling menderita di dunia."
Linang bergidik merasakan helaan napas Lingga yang membelai telinganya. Ia mendesah putus asa.
Seorang pria yang tampak masih muda mengangkat tangan pada mereka. Melihat Barata, bosnya, di salah satu meja yang sudah dipadati segerombolan orang berjas dan bergaun mewah, Lingga mendekap Linang menuju meja tersebut. Ia menarik kursi dan mempersilakan Linang duduk.
Picik sekali, batin Linang, menahan diri tak mendengus. Sewaktu-waktu Lingga bisa mencubit pahanya di bawah meja.
"Ini orang kepercayaan saya yang saya ceritakan tadi. Lingga Parashakti." Barata memperkenalkan Lingga pada teman-teman bisnisnya. "Dan...."
"Ayudya Linangkung, istri saya."
Perempuan itu hanya membalas dengan senyum singkat setengah hati.
Obrolan seputar bisnis mengalir di meja makan. Selama itu, Linang memain-mainkan sendok tak minat. Matanya berganti menjelajah seisi tempat. Ketika pintu restoran dibuka pelayan berjas, seluruh mata pengunjung restoran terpaku ke sana. Seorang wanita yang terlihat sebaya dengannya berjalan diikuti seorang pria berjas yang mengawal. Kaki jenjang yang dihiasi sepasang sepatu hak tinggi hitam melangkah anggun melewati meja-meja pengunjung. Rambut sebahu bergelombang tersibak lembut ketika kepalanya bergerak mengedarkan pandangan ke sepenjuru arah. Ia berhenti di meja Barata, lantas melepaskan jaket dan menyerahkan pada pria yang mengawalnya tadi.
"Maaf terlambat. Saya masih ada urusan kecil sebelum menyempatkan datang ke sini," tuturnya. Suaranya yang berintonasi rendah lembut laksana beledu.
Barata tersenyum. "Teman-teman, perkenalkan. Calon istri saya. Diandra Dewi Kencana."
Perempuan berparas cantik itu melayangkan senyum memabukkan, membuat pria-pria di meja Barata ternganga dan tak berkdip sedetik pun, kecuali satu orang. Pandangan mata Diandra berhenti menuju seberang. Pada Lingga yang memandang piring tanpa minat. Sadar diamati, lelaki itu mengalihkan matanya, melirik Diandra. Keduanya bersitatap selama beberapa saat. Diandra menyelipkan senyum miring sekilas sebelum menghapusnya dengan meneguk segelas anggur merah.
*
Usai jamuan makan malam, teman-teman bisnis Barata berpamitan pulang. Pria-pria tersebut tak berhenti memerhatikan Diandra yang tak acuh. Bahkan sampai mobil jemputan datang, Diandra masih menjadi objek pengamatan. Alih-alih terganggu, perempuan itu menikmati setiap pandangan yang menyorot wajah dan lekuk tubuhnya. Ia tak segan-segan melayangkan senyum memikat.
Begitu mobil yang dikemudikan sopirnya muncul, Barata berdeham dan berbisik pada Lingga. "Salah satu di antara mereka harus lenyap. Sesegera mungkin." Lantas menepuk pundaknya. Lingga langsung tahu apa yang dimaksud bosnya. Ia yang mengikuti pembicaraan bisnis sejak awal pun dapat membaca pergerakan rencana diam-diam Barata.
"Baiklah."
"Ah, mungkin tunggu sampai pesta pernikahanku. Baru bereskan. Datanglah bersama Linang." Barata mengerling pada Linang yang sejak tadi hanya membisu. Perhatiannya beralih menuju Diandra. "Sayang, pengawalmu sudah membawa pulang mobil kamu, kan? Aku antar sampai rumah, ya. Nanti kita kangen-kangenan di rumah kamu."
Diandra membalas dengan anggukan. Barata yang masih melebarkan senyum bahagianya memasuki mobil, membiarkan Diandra di depan Lingga beberapa saat.
"Semoga kita bisa bertemu lagi." Perempuan itu mengulurkan tangan, disambut Lingga dengan genggaman dan kecupan.
"Kita pasti bertemu lagi."
Sebelum bertolak, Diandra menoleh memandang Linang yang tak memberikan perhatian sedikit pun padanya. Sebelah alisnya terangkat, meneliti perempuan itu dari puncak kepala sampai ujung kaki. Sadar diamati, Linang membalas tatapannya.
"What the hell are you looking at?" tanyanya kasar, membuat Diandra membulatkan mata.
"Nothing." Ia tertawa kecil, lantas memasuki mobil. Mobil sedan mewah tersebut melaju pelan.
Linang mendesah pendek. Ia bena-benar benci berada di antara orang-orang seperti itu. ia benci dikelilingi kaum borjuis. Pikirannya selalu berkelindan, mengingatkan bahwa orang-orang borjuis bukanlah teman yang tepat untuknya.
"Apa kamu tidak pernah diajari sopan santun?" nada Lingga terdengar tajam. Spontan, Linang menoleh.
"Aku nggak suka dipandang kayak tadi. Meremehkan sekali."
"Kalau kamu melakukannya sekali lagi di depanku, mimpi burukmu akan bertambah." Mencengkeram pergelangan tangan Linang, Lingga menyeret kasar perempuan itu, membawanya ke mobil.
*
Malam sesepi dan sesuram itu sudah dilalui Linang setiap hari. Ia akan mendengarkan deretan lagu-lagu kesukannya dan membaca buku sekadar mengusir kebosanan di kamar. Setidaknya, Lingga tak melarangnya mengambil buku-buku di perpustakaan pribadi. Sudah bermacam-macam judul buku dilahapnya habis. Ia bersyukur Lingga menyimpan ribuan koleksi buku yang disusun di lemari dinding perpustakaan besar. Dengan begitu, ia tak akan kehabisan buku bacaan.
Linang menutup novel karangan Oscar Wilde berjudul Lukisan Dorian Gray yang baru setengah dibaca. Ia meraih gelasnya yang kosong, lantas menuruni ranjang dan melangkah keluar. Gaun tidurnya yang tipis berayun-ayun mengikuti irama langkah. Ia mengambil air minum di dapur. Rumah besar yang hanya dihuni tiga orang itu terlihat sepi. Karena tak ada 'pekerjaan' yang dibebankan Barata hari itu, Lingga berdiam diri seperti biasa dan muncul keesokan harinya.
Kembali dari dapur, Linang melangkah santai naik ke lantai atas. Berhenti di depan pintu kamar, bola matanya melirik ke atas. Masih ada satu lantai lagi yang jarang dikunjunginya. Selain karena tempatnya telanjur gelap dan mengerikan, ia tak mau beradu mulut dengan Lingga. Bibirnya mengerucut ke samping. Rasa penasarannya tak pernah terpuaskan. Masih menggenggam gelas air putih, Linang melangkah naik ke lantai tiga, mengendap-endap seperti maling. Tatapannya terkunci pada pintu paling ujung. Ia melangkah lebih berhati-hati. Mencondongkan badan, perempuan itu memasang telinga. Ia mendengar suara-suara di dalam. Seperti suara rekaman. Selain itu hanya ada keheningan. Menggigit bibir, ia memberanikan diri memutar kenop pintu, sangat pelan, lantas mengintip ke dalam.
Melalui celah pintu sempit yang dibukanya, ia melihat televisi layar plasma yang sedang menayangkan rekaman video. Matanya mengerjap berkali-kali menyadari rekaman apa yang sedang ditayangkan itu.
"Kenapa kamu tidak pernah kapok, hah?! Berlutut dan minta maaf!"
Dahi Linang mengernyit mendengar suara sabetan ikat pinggang dan gerutuan seorang wanita paruh baya.
"Sudah Ibu katakan, jangan bertengkar! Jangan memukul! Mereka juga saudara-saudaramu! Anak setan! Berlutut dan minta maaf!"
Jemari Linang meremas pinggiran pintu. Ia menonton rekaman video tersebut dengan jantung berdebar. Seorang wanita yang tak lain adalah ibunya sedang memukul anak kecil. Ia melihat potret dirinya dalam diri seorang gadis kecil, berdiri mengamati. Pandangan Linang berubah sendu.
"Sudah cukup puas mengintip?" Suara Lingga yang serupa jarum tajam menyentak perhatian Linang. Lelaki itu menoleh ke belakang. "Kenapa hanya berdiri di sana? Takut kena hukuman lagi?"
Linang masih membisu.
"Masuk."
Ia masih tak beranjak.
"Ayudya Linangkung, aku menyuruh kamu masuk, Sayang. Masuk."
Dengan enggan, Linang melangkah masuk. Jarinya yang menggenggam gelas terasa licin. Ia memandang Lingga yang mengamatinya dari balik kacamata bening. Lingga berdiri, lantas merebut gelas tersebut dan meletakkan ke atas meja. Ia memberi gestur, meminta perempuan tersebut duduk di sofa. Menurut, Linang duduk dalam kebisuan. Lingga menghela napas panjang, duduk di sampingnya, lantas melanjutkan pemutaran video di depan.
Selama menonton, Linang menundukkan kepala. Ia tak mau melihat sisanya. Mendengar suara makian dan seruan wanita itu saja sudah membuat kakinya lemas.
"Kenapa tidak nonton? Aku menyuruh kamu masuk buat nonton bareng." Lingga menarik dagu perempuan itu secara kasar. Matanya yang dipijari api kemarahan membuat Linang menelan ludah susah payah. "Ayo lihat." Ia memutar paksa kepala Linang untuk mengamati tontonan di depannya. Video dokumenter yang menayangkan kekerasan yang dilakukan seorang wanita pada anak kecil.
"Kenapa orang seperti itu dibiarkan menjadi ibu panti?" tanya Lingga, berbisik di depan bibir Linang yang tak bisa bergerak. "Apa tujuannya membuat panti asuhan? Kenapa aku dilarang melakukan ini-itu? Kenapa dia memaksaku mengikuti perintahnya dan harus menerima hukuman, bahkan pada kesalahan yang tidak aku lakukan? Karena aku dianggap anak setan?" Nada suara Lingga terdengar datar dan rendah.
"Bukan," Linang menjawab gelagapan.
"Lantas?"
"Karena... Ibu sangat menyayangi kamu."
Praktis, Lingga tertawa mendengar balasan itu. Ibu jarinya mengusap bibir Linang yang gemetar.
"Still a liar."
"I didn't lie to you."
"Bikin muak saja." Lingga melepas cengkeramannya pada dagu Linang. Lelaki itu melepas kacamata ke atas meja. Ia bersandar ke punggug sofa sembari mengangkat satu kaki ke atas paha.
Keadaan menjadi canggung. Linang beranjak, namun tangannya dicekal Lingga yang langsung menghujamkan tatapan lekat.
"Aku mau tidur," tukas perempuan itu.
"Setelah lancang mengintip? That's not a good idea, Darling."
"Apa yang kamu mau? Memberi aku hukuman? Hukuman apa kali ini?"
Lingga menarik Linang duduk di pangkuannya. Ia menyingkirkan rambut panjang perempuan itu ke belakang, lantas berbisik seduktif,
"You know what I want."
*****
Karena ide saya pada cerita ini lagi ngalir, ya udah deh lanjut ini wakakakaak xD
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro