Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

16

"Do you love her?"

"I can't."

"Why?"

"She's my weakness. I shouldn't have weakness to face enemies."

Ingatan tersebut berputar di kepala Lingga selama mengamati Linang yang terlelap dalam dekapannya. Ia menunggu dan menemani gadis itu menjelajah mimpi di kamarnya. Tangannya bergerak perlahan menyentuh rambut panjang Linang. Ia menyingkirkan beberapa helai yang menempel di dahi dan pipi. Lalu, mengendus puncak kepalanya dan memberikan kecupan. Merasakan kecupan itu, Linang membuka mata perlahan, langsung disambut dengan pandangan lekat.

"Kamu masih di sini?" bisiknya, masih mengantuk.

Lingga mengecek jarum jam pendek di dinding yang menunjuk angka empat. Masih terlalu dini bagi Linang untuk bangun. Lelaki itu mengusap lengan Linang, memintanya melanjutkan tidur. Gadis itu menjawab dengan pejaman mata.

"Kamu bertanya apa kelemahanku, kan?" Linang berucap lagi, sangat pelan. "It's you."

"Aku?"

Gadis itu mengangguk, masih dengan mata terpejam. "I liked you, then hated you, and now love you. I hated the devil in you. But I don't wanna lost you."

Suara gerimis masih terdengar samar di luar. Udara dingin dari celah kecil ventilasi berembus, membuat Linang mengembuskan napas dan mengernyit menahan dingin. Lingga memeluknya lebih erat.

*

Diandra duduk dalam kegemingan di pojok kafe. Ia memandang cangkirnya yang masih penuh. Sesekali perhatiannya dilempar menuju ponsel. Ia rindu mendapatkan pesan dari Lingga. Semua pesan dan panggilannya diabaikan. Lamunannya pecah saat seorang lelaki paruh baya berkacamata hitam duduk di depannya. Diandra mengangkat kepala.

"Jadi, kenapa aku belum dengar kabar Singgih Parwati dan keluarganya?"

Diandra menatap pria itu datar. Tangannya meremas buntalan kertas bekas gula yang tadi dituang ke cangkir kopinya.

"Aku belum menemukan mereka."

Pria itu menatap mata Diandra dalam-dalam. "Kamu bohong, Sayang. Well, jangan kecewakan aku."

"Aku nggak akan bohong."

"Kalau begitu, cepat kerjakan tugas." Pria itu mengembuskan napas kesal. "Dasar tidak becus. Your stupidity made me abandoned you long long time ago, my dear."

"I'm not stupid." Suara Diandra bergetar. "You abandoned the wrong daughter, Papa." Air matanya tergenang.

"Jadi, buktikan kalau kamu memang tidak pantas menjadi anak buangan." Lelaki itu melempar secarik foto yang memerangkap potret ibu Diandra. "Sebagai pengingat." Lalu, melenggang meninggalkan meja Diandra.

"I'm carrying your grandchild."

Langkah lelaki itu terhenti. Ia menoleh menatap putrinya. "Kalau itu anak Bara, selamat. Dia akan mewarisi semua harta bapaknya. Kalau bukan, buang saja. Terserah." Dan melanjutkan langkah tak acuh.

Diandra menatap dinding di depannya. Air mata yang tadi dibendung sekuat tenaga meluncur di pipi merahnya. Bibirnya bergetar. Ia mengambil napas dalam-dalam dan mengerjapkan mata, menghapus sisa-sisa kesedihan dan kegetiran hatinya mengingat bahwa ayah kandungnya memperlakukannya seperti sampah.

*

"Aku sudah bilang berulang kali kalau kamu bisa minta tolong Andang atau orang-orang di pondok pengintai buat membelikan kanvas baru." Lingga mengembuskan napas kesal sembari membanting pintu mobil. Ia mengeluarkan rokok dan pemantik dari saku blazer.

Linang menggigit sudut bibir melihat mobil yang mereka tumpangi mogok di tengah jalan. Di sekitar mereka hanya ada hutan. Mereka tak akan menemukan bengkel sebelum turun ke kota.

"Mereka selalu beli kanvas yang salah." Mata Linang membeliak ketika melihat sebuah angkutan mendekat. "Kita naik itu sampai stasiun KRL."

Lingga menjatuhkan puntung rokok dan tertawa. "What?"

Tak memedulikan ekspresi Lingga, Linang melambai menghentikan angkutan umum yang padat penumpang. Sebelum masuk, lengannya diseret Lingga.

"What the fuck are you doing?" bisiknya kasar.

"Pergi ke kota?" Sudah pasti itu bukan jawaban.

"Aku tidak akan membiarkan kamu pergi sendirian."

"Aku nggak pergi sendirian. Kamu harus ikut."

Lingga menaikkan sebelah alis tak percaya. "Naik ini?"

"Kenapa?"

"Menyuruh pria yang menyimpan pisau duduk di antara keramaian penumpang angkutan bukan pilihan yang bagus, Sayang." Nada suara Lingga ditekan.

"Kamu nggak akan membunuh mereka, kan? Ya sudah." Linang tersenyum. "Aku lebih baik ke kota sendiri daripada nunggu mobil lain jemput. Nanti kemaleman."

Mau tak mau Lingga mengikuti permintaan Linang dengan wajah masam. Ia memilih duduk di dekat pintu. Alih-alih membalas pandangan gadis-gadis yang berbisik sambil menatapnya penuh ketertarikan, ia menatap tajam seorang pemuda bertato yang memperhatikan Linang dengan raut mesum. Pemuda itu menyadari tatapan tajam Lingga dan segera membuang muka ketakutan.

Linang menoleh. "Hey, rileks." Ia meraih dan menggenggam tangan Lingga, menyembunyikan senyum gelinya. Sepanjang perjalanan, Lingga menahan diri untuk tak menodongkan pistol ke sopir yang melajukan angkutan dengan ugal-ugalan.

Stasiun kereta tampak padat di akhir pekan. Berkali-kali Lingga mengetuk tumit tak sabar. Dan ketika kereta datang, sudut bibirnya terangkat melihat jubelan penumpang.

"Aku belum pernah mengatakan ke kamu kalau aku benci keramaian?" tanyanya kesal.

"Ah, sudah. Tapi tujuan kita nggak jauh kok. Cuma sebentar." Linang menggandeng tangan Lingga agar segera menaiki kereta sebelum pintu ditutup otomatis.

Lingga menyatukan alis tak senang merangsek di antara jubelan penumpang. Sementara, Linang merapatkan bibir agar senyumnya tak terlihat. Ia tak mendapatkan pegangan, sehingga tubuhnya tergoncang saat kereta mulai jalan. Dengan sigap, Lingga mendekapnya. Ia merapatkan lengannya di sekitar tubuh Linang sepanjang jalan, menahan gadis itu agar tak jatuh. Mata mereka bertemu.

"Aku akan menghukummu kalau kita sampai rumah," ujar Lingga pelan.

"You won't hurt me anymore. I believe in you."

Lingga menanggapi dengan senyum miring samar.

*

Tujuan mereka bertambah. Alih-alih hanya mampir ke toko seni, mereka juga berhenti ke swalayan.

"Sekalian, biar Bu Andang nggak kamu repoti terus. She's a good person," tukas Linang seraya mendorong kereta belanja dan berhenti di rak sayuran.

Lingga melempar kotak-kotak sereal secara kasar ke kereta belanja. Ia melempar kaleng sarden tak acuh.

"Hey! Kalau kena kepalaku gimana??" seru Linang sambil menata barang-barang yang dilempar Lingga.

"Lemparanku selalu tepat sasaran." Lingga melempar dua bungkus garam, tak memedulikan gerutuan Linang. "Jangan banyak menggerutu dan cepat ambil yang lain. Mobil jemputan sudah menunggu di depan."

"Boleh setelah ini aku mampir dulu ke toko buku?"

"Tidak."

"Why??"

"Jeez, bookworm, kita pergi untuk mencari kanvas. Bukan shopping." Lingga merebut pegangan kereta belanja dan mendorong cepat, meninggalkan Linang yang tergopoh-gopoh di belakang.

"Oke. Mungkin lain kali." Linang mencebikkan bibir. Mereka segera mengantre di kasir.

Mobil jemputan yang dibawa salah satu orang dari pondok pengintai sudah terparkir di pinggir jalan. Lingga meminta Linang masuk lebih dulu ke mobil. Ketika gadis itu bertanya, Lingga sudah melangkah pergi dan menghilang di balik dinding kaca yang bersebelahan dengan swalayan.

"Kamu mengintai kami?" Suara Lingga terdengar dingin begitu mendapati Diandra, langas menekan pundak perempuan itu sampai punggungnya menubruk dinding.

"Easy!" pekik Diandra seraya menepis tangan Lingga. "Kamu pikir aku nggak punya kehidupan, apa? Aku nggak tahu kalian ada di sini." Diandra membuang napas dan merapikan cape hitamnya. Ia menyeringai. "Well, well, siapa yang berusaha menjadi 'manusia' dengan bepergian berdua seperti pasangan yang baru menikah dan dipenuhi kebahagiaan? Ugh, itukah kenapa kamu nggak pernah memberiku kabar? You have a pet." Diandra mengubah ekspresinya menjadi dingin. "A weakness."

Lingga mencekik Diandra hingga membuat perempuan itu gelagapan.

"Don't play with a demon, Darling." Dan dalam sekejap Lingga meraih pisau lipatnya, mendekatkan mata pisau itu ke leher Diandra. "Ngomong-ngomong, mana bodyguard gothic sialanmu, hm?"

"Di mobil dengan yang lain." Diandra mencebikkan bibir. "Well, meski mereka nggak ada, kamu nggak akan bisa membunuhku."

"It'll be easy to kill you."

Sudut bibir Diandra terang. "You've changed." Perempuan itu tersenyum. "Colder but hotter. Kamu menyulutkan api yang bikin aku semakin semangat mengejar kelemahan kamu. C'mon, Babe. Aku bisa bantu kamu menyingkirkannya. Mungkin dengan membunuh dia?"

Lingga mencekik leher Diandra lebih kuat, membuat perempuan itu mencengkeram pergelangan tangannya.

"Please, please don't kill me. I'm carrying your child!" Diandra berteriak.

Seketika, Lingga melepas tangannya dari leher Diandra, membuat perempuan itu menghela napas panjang dan tertawa.

"Aku tidak pernah percaya ucapanmu, jalang berengsek."

Diandra mengelus pundak Lingga, lantas berjinjit untuk berbisik, "Tapi dia percaya."

Keduanya menoleh ke satu arah di mana Linang berdiri dengan tatapan terkejut sekaligus kecewa.

*****

Kan sudah kubilang, tangan ini gatal untuk memisahkan. Unch :*

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro