Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

14

"Kamu tahu kalau yang kamu lakukan ini salah?"

"Mama, berhenti!"

"Kenapa kamu di sini? Minggir!"

"Jangan pukuli dia lagi..."

Lingga membuka mata. Hal pertama yang ia lihat adalah cahaya lampu. Ia hendak bangkit, tapi badannya terasa nyeri hingga membuatnya kembali berbaring. Ia ingat kejadian sebelum tak sadarkan diri. Memandang ke sekeliling, ia mengenali tempat itu; ruangan khusus penanganan medis di rumahnya. Perhatiannya beralih menuju seseorang yang tertidur di samping bangkar. Ia menepikan rambut gadis itu dan mendapati wajah lelah Linang. Tangan gadis itu ditempel perekat. Ia menduga, gadis itu mendonorkan darah untuknya.

Linang mengangkat kepala. "Are you okay?"

Tak ada jawaban. Lingga menutup mata lagi, mengatur napas. Ia baru saja mengalami mimpi panjang dan diingatkan lagi kejadian selama di panti asuhan. Hal itu malah menimbulkan kemarahan dalam dirinya. Ia lantas mengingat lagi apa yang terjadi padanya, membuatnya tertawa pendek.

"Pergi."

Linang menyatukan alis. "No words?"

"What words?" Lingga membuka mata, menoleh ke arah gadis itu. "Aku sudah hampir mati cuma gara-gara perempuan kayak kamu. Sekarang, pergi, sebelum kamu menyesali diri."

Ucapan itu menohok jantung Linang. Gadis itu menggigit bibir samar. Ia memundurkan kursi, beranjak berdiri. Lingga tak menatapnya lagi. Itu membuat Linang kesal. Padahal dua hari itu ia bolak-balik menunggu di ruangan tersebut demi menunggu Lingga membuka mata.

Linang memutar badan, melangkah gusar dengan tangan mengepal. Ia berhenti dan berbalik.

"You know what? You are right. I'm too good to deal with a demon like you." Ia melenggang gusar. Pintu diturup agak keras. Lingga menoleh ke arah pintu. Ia menghela napas panjang. Bibirnya dipilin.

Linang menaiki anak tangga. Ia berhenti di dapur, mengambil air minum, dan mengamati gelas di genggaman. Air matanya merebak. Ia meletakkan gelas kasar dan merosotkan tubuh di lantai, memeluk kaki. Suara isak tangisnya terdengar Andang yang baru memasuki dapur. Ia mendapati Linang membenamkan wajah di paha.

"Dia mulai lagi?" tanya Andang enteng.

Linang mengangkat kepala. Wajahnya basah. Ia tak mau menjawab.

Andang mengambil cangkir dan mulai membuat teh. Senyum tipis terkembang di bibirnya. "Menghadapi dia memang tidak mudah. Sejak dibawa Pak Heri, aku diutus menjaganya. Selain bertindak sebagai pengasuh dan pelayan, juga ibu." Ia berhenti mengaduk. "Dan dokter." Lalu terkekeh. Ia berjongkok di depan Linang, menyodorkan secangkir teh yang baru dibuatnya. Ia memperhatikan gadis itu.

"Anda sudah lama bekerja dengan Pak Heri, kan?"

Andang mengangguk. "Sebagai dokter pribadi Tuan Bara sewaktu kecil."

"Did you marry?"

Andang menggeleng. "Mengurus satu keluarga saja sudah bikin pusing, apalagi mengurus keluargaku sendiri?"

Terdengar suara benda berjatuhan dari lantai atas. Andang buru-buru beranjak pergi. Saat Linang berdiri, wanita itu mengangkat tangan.

"Sebaiknya kamu tetap di sini."

"Tapi...."

"You know him better, right. Stay."

Andang mempercepat langkah. Suara berisik di lantai atas juga mengundang perhatian Kalya dari kamarnya yang juga ditempati Singgih. Ia mengintip keluar, melihat Andang berjalan cepat menaiki anak tangga. Menutup pintu, Kalya menghampiri Singgih yang duduk termenung di kursi roda memandang taman.

Andang membuka pintu kamar Lingga. "Kenapa kamu di sini? Seharusnya kamu masih di white room, Lingga." Matanya menyusuri pecahan guci dan barang-barang yang berserakan. "Kamu tidak baik-baik saja."

"I'm fine." Lingga menekan nadanya. Ia menahan sakit di depan Andang yang akan bertingkah menyebalkan.

Andang menatapnya lekat. "But your pale face doesn't seem ok. Sini, aku bantu." Ia memegang tangan Lingga, membantunya rebahan di ranjang, tapi tangannya ditepis.

"Aku bilang aku baik-baik saja."

Andang mengubah raut wajahnya menjadi serius. Ia menggeledah kotak di kamar mandi dan mengambil botol kecil dari sana. Ia meletakkan sebotol obat Olanzapine (sejenis obat antipsikotik) ke atas nakas, membuat Lingga tertawa.

"I'm not sick."

"Jangan jadikan orang lain pelampiasan kemarahan seperti sebelumnya. Your anger hurts people, Dearie. Control yourself."

Andang membuka tirai kelambu merah marun kamar tersebut, mempersilakan cahaya mentari membias kaca jendela.

"Perlu aku panggilkan Rafilius? Kebetulan dia akan kembali ke Indonesia."

"I said, I'm not fucking sick." Lingga menurunkan nada makin berat.

Meski menolak, Andang tidak memedulikan jawabannya. Ia melenggang pergi meninggalkan kamar Lingga, kembali ke dapur. Linang masih menunggu di sana.

"Dia baik-baik saja, kan?"

"Tidak usah khawatir." Andang mengambil telepon tak berkabel yang digantung di dinding. Ia menekan nomor seseorang dan menunggu jawaban. Seorang pria menjawab di seberang. "Sepertinya saya butuh Anda."

*

Berita tentang kematian Bara disiarkan selama satu minggu berturut-turut. Awalnya, banyak yang menduga lelaki itu dibunuh. Ada yang berasumsi pesaing bisnisnya yang membunuh. Namun kesaksian Diandra yang mengatakan Bara sudah beberapa hari sakit membuat publik mulai menerima sebagai kabar kematian wajar. Sampai dokter menyatakan kematian wajar murni oleh penyakit.

Kalya meninggalkan Singgih untuk mengambil syal di kamar karena udara yang terasa sangat dingin sore itu. Singgih memandang danau kecil di dekat rumah Lingga. Di seberang tampak hutan rimbun.

"Bagaimana rasanya masih betah pura-pura jadi manekin?"

Mendengar suara Lingga di belakang, Singgih menggenggam telapak tangan. Lelaki itu sudah berdiri di sebelahnya.

"Well, untuk seorang ibu pengecut, kayaknya tidak masalah. Mereka yang kamu maksud sedang mengejar kamu itu ... keluarga Wiranata, kan? Aku sedang mempelajari kasus yang sebenarnya malas kucampuri."

"Malas kamu campuri?" Singgih menengadah. "Berita Bara meninggal sudah menyebar. Dokter akhirnya mengatakan dia meninggal karena serangan jantung. Padahal, kamu tahu penyebabnya."

Lingga tersenyum miring. "Diandra yang membunuhnya. Lantas? Kamu takut dia datang kemari dan membunuhmu?"

"Kamu sudah tahu alasan anak itu membunuh Bara?"

"Aku tidak peduli lagi."

Singgih mencondongkan badan. "Kasus tahun 1992. Cari. Karena ayahmu juga terlibat. Mereka mencariku karena cuma aku satu-satunya saksi mata yang masih hidup."

Ekspresi Lingga berubah. Ia memberikan waktu pada Singgih untuk melanjutkan sampai tuntas.

"Tugas kamu mencari tahu sendiri." Jawaban itu seperti kalimat yang diucapkan Diandra.

Lingga menyeringai. "Boleh aku tanya lagi?" Ia mencengkeram lengan kursi roda dan mencondongkan badan. "Kenapa kamu melakukan itu?"

"Melakukan apa?" Singgih membuka mulut mengingat tindakan buruknya pada Lingga sewaktu kecil. "Oh. Aku hanya ingin mendisiplikan kamu."

"Mendisiplinkan. Kamu yang membuat aku mendapatkan mimpi-mimpi buruk seumur hidup dan..." Lingga mengambil napas. Ia mencengkeram lebih kuat lengan kursi roda itu. "Menghabiskan waktu di ruang konsultasi, mengkonsumsi antidepresan, bahkan membunuh orang-orang tanpa rasa bersalah. Aku selalu membayangkan wajah kamu tiap membunuh mereka." Ia pindah ke belakang kursi roda, memegang pendorong.

"Mau apa?"

"Hanya karena putrimu memintaku untuk tidak menyentuhmu, bukan berarti harus aku turuti, kan?"

"Kamu mau membunuhku?"

"Expose you." Lingga mendorong kencang kursi roda itu menuju danau.

Singgih mencengkeram lengan kursi roda. Matanya membelalak sepanjang selasar kayu. Sebelum kursi itu terjun dan tenggelam di danau, ia melompat. Bunyi debur terdengar cukup keras, membuat Linang dan Kalya berlari tergopoh-gopoh menghampiri. Mereka terkesiap melihat Singgih berdiri tegak di selasar, berhadapan dengan Lingga. Linang dan Kalya berlari mendekat.

Lingga mengangkat tangan. "Tada."

"Mama...." Linang tak mempercayai tatapannya. Hatinya terluka dibohongi ibunya sendiri.

Lingga menyeringai puas. Ia memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana, melangkah meninggalkan selasar. Melewati Linang, ia berhenti.

"Janjiku waktu itu, aku tidak bisa menepati. Soalnya, ibumu terlalu bajingan." Kemudian melanjutkan langkah diikuti senyum miring.

Bibir Linang bergetar. Ia memandang Singgih yang membuang muka menatap hutan.

*

Diandra membuang napas panjang. Ia mencengkeram pinggiran wastafel, merasakan pusing yang hebat. Ia menatap cermin. Wajahnya pucat pasi. Ia berjalan sempoyongan dan ambruk di ranjang. Matanya dipejamkan.

"Anda baik-baik saja?" Sheree masuk dan sedikit cemas melihat keadaan Diandra.

"No."

"Seharusnya Anda senang kan akhirnya bisa bebas dari Bara dan memiliki apa yang Anda inginkan?"

Diandra membuka mata. Ia memandang langit-langit.

"Sheree."

"Yes?"

Diandra menoleh ke arah Sheree. Pandangannya datar. "I'm pregnant."

*****

Hayolo anak siapa.

Muka Diandra Dewi Kencana kurang lebih kayak:

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro