Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

11

Bara tertawa bersama kolega bisnis di lapangan golf. Beberapa bodyguard telah berjaga secara menyebar, termasuk Lingga yang diminta ikut mengawal. Lelaki itu awalnya fokus pada keadaan di sekitar lapangan golf, namun Diandra yang duduk di kursi mengalihkan perhatiannya. Perempuan itu mengawasinya dari balik kacamata hitam. Mata Lingga bergerak menuju perempuan dengan kucir kuda yang diikat pita hitam, berdiri di samping Diandra. Gadis itu terlihat masih sangat muda. Mungkin seusia Kalya.

Suara Bara yang menghampiri kursi berpayung memutus kontak Lingga. Ia memilih melayangkan perhatian ke tempat lain. Tidak berselang lama, sampai gadis di samping Diandra melangkah pergi. Kesempatan bagi Lingga untuk mengikutinya dalam jarak agak jauh dan menyelinap bagaikan bayangan.

Beberapa menit menunggu, gadis tadi keluar dari toilet perempuan. Instingnya menangkap gerakan di belakangnya. Ia menghindari tepukan tangan Lingga dengan cengkeraman kuat.

"Who the hell are you?"

Gadis itu menatap datar. Ia berbalik badan. Namun, Lingga tak memberi kesempatan. Ia menarik kucir rambut gadis itu, membuat badannya mundur. Ia memiting leher gadis itu.

"Kalau senior bertanya, dijawab."

Dehaman Diandra sontak membuat Lingga melepas gadis itu dan mendorongnya.

"Jangan terlalu kasar pada asistenku. Namanya Sheree. Harusnya kamu ngenalin diri yang sopan." Diandra tersenyum kecil. Ia mengedikkan kepala, memerintah Sheree meninggalkan mereka. Gadis ity mengangguk dan melangkah pergi, masih dengan tatapan tajam yang mencengkeram mata Lingga, sampai ia lenyap di kelokan.

"She's a scary bitch."

Diandra menyengir. Ia maju lebih mendekat. Jemarinya meraba dada Lingga.

"I missed you. Tiap malam, cuma kamu yang selalu aku pikirin. Kenapa kita jadi nggak punya waktu bersama lagi kayak sebelumnya? You didn't come to my apartment."

Diandra menegakkan dagu, mendekatkan bibirnya bersamaan gerakan tangannya yang makin naik dan melingkar di leher Lingga. Sebelum Diandra menciumnya, Lingga memegang pergelangan tangan perempuan itu. Ia tersenyum simpul.

"Sorry, Darling. I have to go."

Kemudian, berlalu meninggalkan Diandra yang terkesiap. Perempuan itu memutar badan, memandangi kepergian Lingga dengan tatapan tak percaya. Bibirnya bergetar samar.

*

Suara Kalya yang merdu diiringi alunan piano yang dimainkan Linang membuat Andang yang membersihkan karpet dengan vacum cleaner tersenyum. Rumah suram itu makin ceria dan terlihat lebih menyenangkan. Seumur-umur kerja di rumah itu, baru kali ini Andang merasa bahagia.

Kalya menepuk tangan begitu menyelesaikan nyanyian, diikuti tepukan Andang dan Linang. Gadis itu duduk di samping Linang. Jemarinya menekan-nekan tuts.

"Eh, Kak. Selama di sini, Kakak nggak diapa-apain sama dia, kan?"

Mendapatkan pertanyaan ambigu itu, Linang mengangkat sebelah alis. "Maksudnya?"

Kalya merendahkan suara. "Disiksa, misalnya. Dia kan psikopat. Lihat nggak beberapa hari lalu? Dia matahin leher Arman dalam sekali gerakan loh. Oh! Dia juga nusuk anak buah Arman pake pisau. Mana ekspresinya kelihatan nggak ada beban dosa."

Andang menghentikan gerakannya, bergeming dan membiarkan telinganya yang bekerja.

Linang menatap Kalya. "Kamu ngelihat Kakak gimana sekarang?"

Kalya menutup mata satu dan memberikan gestur memotret dengan jarinya. "Cantik. You always look pretty. Ugh, I envy."

Linang terkekeh. Ia menggerakkan jemari memainkan lagu lain yang lebih lembut.

"Tapi, dia nggak pernah nyentuh Kakak, kan?"

Sontak, Linang menghentikan gerakan jemarinya. Ia menatap Kalya, tersenyum simpul. "Hah?"

"You know..." Kalya mengedipkan sebelah mata dan tersenyum geli. Gadis itu menekan-nekan tuts lagi. "Is he good on the bed?"

"Why need to ask?" Nada Linang berubah. Ia menyadari perubahan air muka dan nada Kalya.

Ada senyum miring samar di bibir Kalya. "He saved my life. He's scary, but he conquers me. Kayak Phantom." Kalya mendekatkan punggung tangan ke pipi. "Aku mau jadi Christine Daaé kalau dia Phantom-nya."

"Stop talking nonsense."

"Are you jealous?"

Linang menekan tuts kuat, membuat suasana di ruangan itu kaku. Ia menatap lekat Kalya.

"Jangan melakukan apa pun yang terlintas di kepala kamu." Linang mendekatkan telunjuk ke dahi Kalya. "Oh, jangan ke lantai tiga. Apalagi mendekati kamar paling pojok. Dia nggak suka siapa pun berkeliaran di dekat kamarnya."

Kalya mencebikkan bibir.

Linang beranjak menjauhi piano. Ia berhenti sejenak, menatap Andang yang melanjutkan aktivitasnya, sebelum melanjutkan langkah.

*

Lingga memejamkan mata dengan buku di dahinya. Ia tidak benar-benar tidur. Lagu yang terputar dari piringan hitam di kamarnya membantunya menenangkan pikiran. Mendengar suara langkah kaki, kedua matanya sontak terbuka. Ia bergeming, menerka seberapa jauh orang itu melangkah. Hitungan kesekian, Lingga berujar,

"What are you doing in front of my room, Ayudya Linangkung?"

Linang yang baru saja berniat mengetuk memejamkan mata rapat dan mengutuk diri. Ia mendesah, tak menyangka Lingga menghapal suara langkah kakinya.

"A-ada yang mau aku bicarakan."

"Entrance."

"Kamu nggak mengunci pintu?"

"Aku tidak sedang tidur."

Pintu dibuka. Linang melenggang masuk. Ia mendapati Lingga masih tiduran di ranjang dengan mata tertutup dan buku di dahi.

"Haruki Murakami."

Lingga membuka mata. Ia meraih buku di dahinya dan menatap. "I'm bored. Ada rekomendasi?"

Linang mengangkat bahu. "Aku nggak tahu selera baca kamu."

"Buku apa yang kamu suka?"

"Les Misérables. Ada di perpustakaan kamu."

"Aku belum baca. Itu hadiah dari Bara. Trims." Lingga melempar buku di tangannya. Ia memejamkan mata lagi. "Apa yang mau kamu katakan?"

"Boleh aku keluar akhir pekan ini? Sama Kalya. Ada pasar malam." Linang memainkan jemari.

"Hm." Lingga masih memejamkan mata.

Mendengar jawaban singkat dengan gumaman itu, Linang melompat dan berseru tak bersuara. Baru kali ini Lingga memberikan izin keluar ke tempat ramai.

"Take me with you."

Senyum Linang memudar. Aku nggak mungkin bawa dia dan biarin dia bantai orang-orang di pasar malam, kan? "Tapi."

"No but." Lingga mengibas tangan, mengusir Linang.

*

Keadaan canggung sejak mereka bertiga keluar rumah. Kalya yang telanjur senang terpisah, meninggalkan kakaknya bersama Lingga.

Linang menoleh ke samping, melihat Lingga berjalan dengan ekspresi datar dan kedua tangan masuk saku sweater turtleneck hitamnya. Sepanjang jalan lelaki itu mempertahankan sikap.

"Aku tahu kamu nggak suka keramaian," ujar Linang, memecah bisu di antara mereka.

Lingga masih memandang lurus ke depan.

"Nggak ada orang yang dibunuh lagi?"

Menanggapi pertanyaan bernada mengejek itu, Lingga menyeringai. Ia menoleh, mengamati gadis di sebelahnya yang malam itu membiarkan rambut panjangnya tergerai. Angin sempat menerbangkan beberapa helai, membuat wajah putih pucat Linang terlihat lebih jelas.

"Aku sedang cuti membunuh orang."

"Emang ada cuti membunuh?" Linang terkekeh mengejek. "Ah, aku nggak habis pikir bisa jalan-jalan sama orang yang sebelum ini hampir membunuhku berkali-kali."

Lingga tersenyum simpul. Sempat melihat senyum itu, mata Linang membeliak.

"Kok senyum?"

"It was fun."

Fun? Linang membuka mulut dan tertawa tak bersuara. Ia masih ingat momen-momen mendebarkan tiap kali Lingga bersuasana hati buruk. Hal yang paling diingatnya adalah saat ia ditenggelamkan di kolam renang. Ia tak sadarkan diri dan keesokan harinya sudah di kamar dengan selang infus.

"Apa yang ada di benak kamu setiap bermain-main denganku?"

"You looked like puppy." Lingga menyeringai. "Kenapa kamu bertahan? Kamu tahu aku nggak akan berhenti bertanya apa yang paling kamu takuti di dunia ini."

"Kehilangan orang-orang yang aku cinta."

Lingga sontak berhenti, diikuti Linang yang menyusukan kedua tangan ke saku jaket.

"Lalu, kenapa kamu baru mengatakannya sekarang?"

"Karena orang-orang yang kucintai sudah ada di dekatku dan aku sudah pegang janji kamu kalau kamu nggak akan nyentuh mereka."

Lingga mengulum senyum. Detik lain, ia merasa tubuhnya ditubruk seseorang dari belakang. Tadinya, ia berniat memaki siapa pun yang menubruknya. Namun, melihat seorang anak kecil berusia sekitar tiga tahun, ia tergugu. Gadis kecil berambut kriting itu menengadah, menatapnya dengan mata bulat.

"Maaf, Om."

"Hai..." Linang berjongkok untuk mensejajarkan dirinya dengan anak kecil itu. "Di mana Mama?"

Bocah itu menggeleng.

"Kamu terpisah sama Mama?" Linang menggigit bibir bawah. "Nama kamu siapa?"

"Netta."

"Nama yang cantik. Tante bantu cari Mama kamu, ya."

Netta hanya mengangguk dan diam.

"Kenapa orangtuanya tidak mengajari untuk tak mengobrol dengan orang asing?" tanya Lingga sengit.

Linang menggendong Netta. Ia merintih pelan, merasakan lehernya kaku.

"Kamu bisa gendong dia sambil cari ibunya atau menitipkan informasi?"

"What?"

"Kamu digendong Om dulu, ya. Leher Tante sakit."

Netta mengangguk sambil menggigit ibu jari. Linang menyerahkan bocah itu agar digendong Lingga.

"The hell? Why do I must carry this monster?"

"She's a kid. Not monster."

Lingga menahan diri tak memaki di depan anak kecil. Terpaksa, ia menggendong anak itu. Linang menjinjit mencari pusat informasi. Ia melenggang lebih dulu diekori Lingga yang menampakkan ekspresi malas. Beberapa kali ia menatap Netta yang menggigit ibu jari.

"I'm monster. Kamu tidak takut?"

Netta menggeleng, membuat Lingga tertawa tak bersuara.

"Ada peri!" Netta menunjuk Linang.

Lingga mengikuti arah pandang Netta. Ia memerhatikan Linang dari belakang. Gadis itu masih celingukan, dan akhirnya menemukan pusat informasi. Di sana, seorang wanita paruh baya yang tampak kebingungan berseru keras.

"Netta!"

"Mama!"

Wanita yang tak lain adalah ibu Netta berlari menuju putrinya. Lingga menyerahkan Netta pada ibunya.

"Tadi saya lihat anak Ibu keluyuran sendirian. Saya takut dia hilang."

Ibu Netta menggumamkan terima kasih berkali-kali. Ia membawa putrinya pergi. Netta masih menatap Lingga dan Linang, lalu melambai sambil menggigit ibu jari tangan lain.

"Ah, dia lucu sekali." Linang memcebikkan bibir.

Lingga melengos, berjalan mendahului. Mereka berdua melangkah menjaga jarak mencari Kalya untuk segera pulang.

Selang beberapa waktu, terdengar suara orang-orang di sekitar mereka tatkala terdengar suara desau yang membelah angin, seperti tembakan tanpa suara. Sebuah tiang lampu yang menjadi sasaran terhuyung. Lingga memutar badan. Tiang lampu itu bergerak jatuh, nyaris menimpa Linang seandainya Lingga tidak melesat cepat dan memeluk badannya hingga bergulungan. Orang-orang berkerumun dan bergumam panik. Linang membuka mata. Jantungnya berdebar. Ia menepuk jaketnya, membersihkannya dari kotoran tanah.

Lingga berjongkok di depan Linang. Ia mengamati kedua tangan gadis itu yang lecet. Kalya berlari menyerobot kerumunan. Lingga menoleh ke belakang. Ia mendapati seseorang bertopi hitam di belakang kerumunan, berlari menghilang.

*****

Hmmm aku sedang memikirkan bagaimana kira-kira wajah tokoh-tokoh di sini karena banyak permintaan readers biar mudah mengimajinasikan *semedi dulu nyari cogannya*

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro