Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

10

"Tolong titip anakku di sini."

Singgih menoleh, mengamati bocah laki-laki berusia empat tahun yang berdiri memandang patung malaikat di taman depan panti asuhan.

"Kenapa kamu titipkan kepadaku?"

"Dia lebih aman bersamamu." Wanita berambut pirang dengan mata biru sebening laut bernama Sara, menggenggamkan sebuah rosario ke tangan Singgih. Ia memandangi putranya dengan mata basah. Menahan isak tangis, ia menghampiri Lingga yang menatapnya polos. Lalu, menunduk dan memeluknya. "Kamu di sini dulu ya. Mama akan jemput kamu kalau waktunya tiba. Ich liebe dich."

Lingga masih terdiam membisu. Bahkan saat sang ibu melepaskan pelukan, kemudian melambai ke arahnya sebelum masuk ke dalam mobil Chevrolet. Bocah itu memandang kepergian mobil ibunya dengan tatapan datar. Dari belakang, Singgih mencengkeram kedua bahunya. Wanita itu menunduk hingga bibirnya berada di telinga Lingga.

"Kalau sudah hidup di sini, kamu harus patuh. Paham?"

Lingga menoleh, tak membalas. Perhatiannya lantas tertuju ke arah koridor, di mana Linang kecil menatap ramah dan melambaikan tangan.

*****

Singgih merogoh saku kardigannya. Ia menunjukkan rosario yang pernah diberikan Sara padanya. Rosario itu samar-samar muncul di ingatan Lingga. Tentu, ia mengenali benda yang selalu dikalungkan ibunya. Ia masih tak menyambut uluran tangan Singgih.

Menghela napas panjang, Singgih menarik tangan. "Bukan aku yang membunuh ibumu."

Wanita itu memandang jendela, membawa ingatannya berayun jauh. Ia mulai membuka mulut, mengantar dengan apik sejumput kenangannya.

Beberapa tahun lalu, ia kecolongan. Lingga kabur dari panti asuhan dan tak urung kembali selama beberapa hari. Singgih yang masih mengingat rumah keluarga von Goethe pun datang ke sana sekadar memastikan keberadaan anak itu.

Memang benar Lingga di sana. Singgih mengenali jaketnya yang digantung. Ia mencari Sara dan menemukan perempuan itu sudah dalam keadaan tertikam pisau. Spontan, Singgih berlari mendekatinya. Ia melepas syal di leher, panik.

"Siapa yang melakukan ini?" tanyanya.

"T-tolong, bawa dia pergi," Sara berkata terbata-bata.

Tak dapat berpikir panjang, Singgih mencabut pisau yang bersarang di tubuh Sara, bertepatan saat Lingga masuk ke kamar ibunya.

Mendengar cerita itu, Lingga bergeming. Ia memandang lekat rosario yang masih berada di genggaman Singgih. Perlahan, lelaki itu melangkah mendekat. Ia menerima rosario ibunya. Tatapannya kosong. Namun tak berselang lama, senyum mengejek terukir di bibirnya. Ia menatap Singgih lurus-lurus.

Detik selanjutnya, Lingga melempar rosario itu keluar jendela. Ia tak sanggup berkata-kata. Entah marah, entah kecewa, entahlah... Ia tidak mengerti apa yang dirasakannya sekarang. Ada sesuatu dalam dirinya, seperti luapan yang hendak dimuntahkan keluar bagaikan magma. Ia hanya bisa mengatur napas, kemudian melenggang gusar meninggalkan Singgih.

*

Linang membagi pandangan antara Kalya yang asyik mencari-cari buku di setiap rak dengan buku yang dipegangnya. Ia mendengar suara derum mobil. Gadis itu beranjak, menghampiri jendela dan melihat mobil Lingga memasuki pekarangan. Ia mengernyit melihat seseorang diseret ke dalam.

Linang berlari tergesa-gesa menuruni anak tangga. Lingga mendorong Arman yang sedang terikat, sampai bersujud di kaki Linang.

"Apa yang kamu lakukan?" tanya Linang terkejut.

"Well, Sayangku. Aku ingin mengajarkanmu sesuatu." Lingga menghampiri Linang, memandang Arman yang gemetaran ketakutan. "Kamu mau menghukum dia, kan?"

"Aku udah memaafkan dia."

Lingga menarik sebelah alisnya. Ia berdecak panjang. "Kamu bilang apa?"

"Aku udah memaafkan dia."

"Kamu lupa apa yang dia lakukan?"

Arman bersujud di kaki Linang. Kepalanya mendongak. "Maafkan saya, Linang. Tolong bebaskan saya. Tolong biarkan saya pergi."

"Hm. Kalau begini saja baru minta maaf." Lingga mendorong punggung Arman dengan kakinya. Ia mengeluarkan pistol dan menyerahkannya pada Linang. "Bunuh dia."

Linang menatap Arman yang masih bersujud memohon maaf. Lelaki berengsek itu merengek seperti anak kecil yang kehilangan ibu.

"Anak-anakku menunggu di rumah," lanjut Arman dengan suara bergetar.

Lingga menatap Linang, tajam. Ia mengangsurkan pistol ke depan muka gadis itu. "Aku mengajarkan kamu untuk tidak pernah memberikan kesempatan pada orang berengsek seperti ini. Apalagi..." Ia menarik rambut Arman. "Memaafkan dia."

"Aku memaafkan dia Lingga." Linang menghela napas panjang. "Aku memberinya kesempatan kedua. Please, let him go."

Lingga menyeringai. Ia menyelikan pistolnya ke balik pinggang lagi dan mengangguk. Arman menghela napas lega, merasa lolos dari kematian berkat kemurahan hati Linang.

Namun, detik selanjutnya, Lingga memutar kepala Arman. Mematahkan lehernya dalam sekali gerakan. Linang mengatupkan bibir dengan telapak tangan. Matanya membelalak. Arman tergeletak memelototinya. Sudah tidak bernyawa.

Lingga menyingkirkan anak rambut yang menghalangi matanya. Ia menyeringai makin lebar.

"Never forgive, Darling. That's how you survive and rule." Mengabaikan tatapan ngeri Linang, Lingga melenggang tak acuh. Ia menggumam kesal harus menambah pekerjaan menyingkirkan mayat Arman dengan bantuan anak buahnya yang menjadi pengawas di pondok yang terletak beberapa meter di belakang rumahnya.

Linang memandang Arman. Ia memejamkan mata sejenak, tak sanggup berkata apa pun. Sementara dari balik tembok, Kalya mengamati dalam diam. Gadis itu tersenyum sekilas.

*

Lampu kamar sudah mati, kecuali di atas nakas yang membantu Diandra membuka alkitab. Ia memerhatikan secarik foto usang yang selalu disimpan di salah satu halaman. Foto itu memerangkap sosok dirinya sewaktu kecil bersama seorang pastur, yang merupakan ayahnya. Bukan, bukan ayah kandung, melainkan ayah angkat. Ia dibesarkan di gereja Katolik Paroki Jantung Maria selama bertahun-tahun. Setiap memandang foto ayah angkatnya, jantungnya berdenyut ngilu.

Diandra menutup alkitab dan memasukkannya ke laci ketika terdengar derap langkah seseorang. Ia berbaring ke kanan, pura-pura memejamkan mata.

Bara mengamati Diandra. Lelaki itu menaiki ranjang, mengusap bahu dan menghirup aroma tubuh istrinya. Matanya memejam.

"Akhir-akhir ini nggak ada aroma lelaki lain yang nempel di badan kamu, Sayang. I'm so happy." Ucapan itu agak menohok, namun Diandra tetap diam. Ia hanya membuka mata ketika Bara mulai menurunkan tali gaun tidurnya dan membenamkan wajah ke lehernya. "You smell like a flower." Bara memeluk Diandra erat. "Seperti mawar berduri yang bisa melukai jari orang lain." Lalu, menyentak tubuhnya hingga terlentang. Mata Bara mengunci mata Diandra yang menyorot datar. Ia melucuti gaun tidur Diandra.

Sepanjang malam persetubuhan itu, Diandra hanya menatap langit-langit, datar, seakan jiwanya tak menempati tubuhnya. Tiap Bara menyentuhnya, ia selalu membayangkan Lingga.

*

Kalya mengintip dari balik kosen pintu. Ia tersenyum selama memerhatikan jari-jemari Lingga yang menari di atas piano. Tanpa sadar, Kalya ikut menggerakkan jemarinya. Ia memang tak mahir bermain piano. Linang yang mahir. Dulu saat tergabung dalam paduan suara, ia berada di barisan sopran, sedangkan Linang yang memainkan piano. Banyak yang memuji suaranya saat menyanyikan Agnus Dei atau Amazing Grace. Ia ingin menunjukkan bakat menyanyinya di depan lelaki itu. Sebab, orang-orang bilang, siapa pun akan terpikat pada suara indahnya.

Kalya menggeleng. Ia mengetuk kepala, mengingatkan diri kalau Lingga adalah orang yang menghancurkan keharmonisan dan kebersamaan keluarga kecilnya. Ia yang hampir membunuh Singgih, mengambil Linang, dan memisahkan mereka selama dua tahun. Namun tak dapat dipungkiri, pesona lelaki itu tak bisa ditolak.

Kalya terperanjat mendengar denting serempak tuts-tuts piano yang ditekan oleh kesepuluh jari Lingga. Bola mata lelaki itu melirik Kalya, sedangkan dagunya terangkat. Kalya sontak berbalik badan, berjalan cepat sambil menyumpah serapah kebodohannya. Berpapasan dengan Linang, ia makin salah tingkah.

"Muka kamu kenapa merah?" tanya Linang.

"Nggak apa!" Kalya berlari tanpa mengangkat dagu.

Linang memerhatikan Kalya yang menghilang ke kamarnya. Ia memutar badan, terperanjat begitu melihat Lingga sudah berdiri di depannya.

"Mengagetkan saja," bisik gadis itu. Ia sadar kalau Lingga ada di rumah. Padahal biasanya lelaki itu pulang larut atau subuh.

"Aku tidak punya tugas," Lingga menjawab pikiran Linang. "Jadi, mau nemenin keluar? Aku suntuk."

"Keluar?" Tumben amat.

"Ah, lupa. Ini bukan permintaan, tapi perintah." Tanpa menunggu jawaban Linang, Lingga menggandeng pergelangan tangan gadis itu, menyeretnya agak kasar.

Mobil dilajukan melewati hutan, melewati gerbang besi yang memisahkan jalan setapak dengan jalan kecil menuju rumah besar. Meluncur ke atas, berkelok mengikuti jalan yang gelap, dan membawa udara dingin yang segar saat Linang membuka kaca jendela. Ia melongokkan kepala. Senyumnya merekah.

Sekitar lima belas menit, akhirnya mereka sampai di puncak bukit. Lantaran tak pernah diberi kesempatan keluar rumah, Linang tidak tahu ada tempat seindah itu. Ia berjalan riang sambil memutar-mutar badan, mengamati sekeliling.

"Wow," bisiknya takjub melihat gemerlap lampu kota yang terhampar di bawah. Ia menoleh, mendapati Lingga yang duduk di rumput, menekuk kaki, menatap ke depan. Linang melompat mendekatinya, duduk di sebelah. "Curang. Kenapa nggak pernah ngasih tahu ada tempat sebagus ini?"

Lingga tak menjawab. Angin berembus perlahan menerbangkan beberapa helai rambut Linang dan menempel di wajah. Beberapa kali gadis itu menyingkirkannya.

"I hate you."

Mendengar kalimat itu, Linang menoleh. "Why?"

"Aku membencimu karena Tuhan menciptakanmu sebagai malaikat, sedangkan aku iblis."

Mendengar jawaban itu, Linang tertawa kecil. "I hate you too. Because you change so much till I don't know who I deal with." Linang merogoh sesuatu di saku kardigannya. Rosario Sara. "Nggak sepatutnya kamu membuang ini."

"Kenapa? Tuhan dan Mama sama. Mereka membuangku."

"Jangan bilang begitu. Mereka nggak pernah meninggalkan kamu, apalagi membuang kamu."

Lingga merampas rosario di tangan Linang. Dari reaksi itu, Linang membulatkan mata, khawatir kalau rosario tersebut dibuang ke jurang. Alih-alih, Lingga mengalungkan benda itu ke leher Linang.

"Don't," Lingga berbisik, "don't fall for me." Ia kemudian beranjak berdiri, melangkah pergi menjauh sekadar mencari udara.

Linang berdiri dalam kegemingan memandang Lingga dengan sorot mata sendu.

"You said I'm an angel. But some angels are destined to fall. Even in a hell."

******

Lagu di mulmed itu yang pernah dimainin Diandra pake biola :D

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro