Bab 30
Masih ada yang baca, kah?
Komen coba berapa orang?
Kalo dikit, aku stop sampai di sini yang versi WP
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Keluarga tempatku memulihkan luka, sekaligus menciptakan luka baru yang tak pernah kuduga sebelumnya.
Mengambil cuti lebih lama demi menyehatkan pikiran dan hatinya, kegiatan Aesha selama di rumah hanya melamun, dan melamun saja. Jika ditegur oleh Nada, Aneska, Zhafir, ataupun Agam, barulah dia menjawab seadanya. Bahkan Zyva, adik Zhafir, yang terdengar sangat ceriwis, termasuk orang yang paling dihindari Aesha dalam berkomunikasi.
Jika tidak ada yang mengajaknya bicara, gadis itu memilih diam. Tenggelam dalam pikirannya sendiri. Bahkan dia juga sering melamun di hadapan televisi besar, seolah televisi itu yang menonton dirinya. Bukan kebalikan.
"Sha, mau ikut ibu, enggak? Ibu mau ke rumah om Shaka? Siapa tahu kamu bosen sendirian di rumah."
Aesha tak langsung menjawab, dia melihat ke sekitar, mencermati bila Zyva turut serta pergi bersama ibunya siang ini.
Sedangkan Aneska dan Zhafir sejak tadi malam menginap di sebelah, yakni di rumah orangtua Aneska yang memang posisi rumahnya persis di samping rumah ini.
Namun meski begitu, tidak mungkin rasanya Aesha meminta istri sepupunya itu untuk menemaninya siang ini. Terlebih lagi, kehadiran Aneska pun terasa percuma karena Aesha belum kunjung bisa bercerita banyak hal kepada orang-orang di sekitarnya pasca musibah itu.
Karena itulah, dari pada dia semakin terkubur dalam kesedihan yang tak kunjung ikhlas untuk merelakan kepergian keluarganya, Aesha mengangguk perlahan. Dia setuju untuk ikut keluar rumah, bersama Nada dan juga Zyva ke rumah salah satu omnya, Shaka.
"Mau ikut? Ayo siap-siap. Tapi ibu bawa motor loh, enggak papa, kan?" cengir Nada begitu lebar.
Walau dia sudah berulang kali diajarkan oleh Agam, suaminya, untuk mengemudikan mobil, namun tetap saja Nada masih kurang percaya diri untuk mengemudikan kendaraan tersebut.
Hanya mengambil jaketnya saja, Aesha sudah mengikuti Langkah Nada tuk keluar dari rumah ini.
Setelah memastikan pintu terkunci, Nada mulai naik ke atas motor maticnya, disusul oleh Zyva dan juga Aesha. Mirip seperti ibu dengan dua anak perempuan, baik Zyva ataupun Aesha sama-sama memeluk Nada dengan erat. Seolah mereka pun sama-sama tidak mempercayai sang ibu saat mengendarai motor tersebut.
"Udah siap? Ayo kita jalan," ucap Nada berseru riang.
Berusaha tuk menstabilkan laju motornya, sesekali Nada melihat pantulan wajah Aesha yang terlihat pucat melalui spion motornya. Sejujurnya dia sendiri pun ragu Aesha dalam kondisi stabil tuk naik motor seperti sekarang ini. Akan tetapi keputusan Nada tetap mengajak Aesha pergi menggunakan motor semata-mata ingin menghibur keponakannya itu.
"Sha, dulu kamu sering ya dibonceng motor sama Aiz?" tanya Nada hati-hati. Dia sengaja mengambil topik yang sangat sensitif, karena Nada ingin Aesha terbiasa membicarakan keluarganya sekalipun mereka kini telah tiada.
Bukankah luka lama-lama terasa tak sakit lagi karena telah terbiasa menikmati rasa sakitnya?
"Hm. Dulu. Sekarang ...."
"Sekarang kan ada bang Zhafir. Misalkan kamu mau ke mana-mana, minta diboncengin sama Zhafir bisa kok, Sha. Atau kalau kamu enggak keberatan ibu yang anterin, ibu siap loh kapanpun kamu butuhin. Lagian kamu lihat sendiri. Kalau Zyva lagi liburan kayak gini mah boro-boro ibu pergi. Yang ada di rumah aja, sampai lumutan. Padahal dulu Waktu zaman masih kuliah, bareng ibumu, ibu sama dia selalu pergi jalan-jalan kalau lagi enggak ada kelas. Makan-makan. Pokoknya tipe-tipe manusia yang menikmati setiap detik kehidupan dan kebersaman deh. Yah, walau kamu sendiri pun tahu, sekalipun ibu sama ibumu udah sering sama-sama menikmati kehidupan, tetap aja kalau ditinggal pergi tuk selama-lamanya sedih juga. Cuma yah ibu mah yakin aja, ibumu di sana, ayahmu, atau abangmu, ingin kamu terus menikmati hidup seperti sebelum-sebelumnya. Menikmati pekerjaan yang merupakan hobimu itu. Yang ibu tahu, kamu hobi banget kan jalan-jalan. Datang ke tempat baru, lakuin aja terus, Nak. Nikmati kehidupanmu. Ibu sama ayah Agam akan selalu dukung. Insha Allah, kami enggak akan membeda-bedakan dirimu dengan Zhafir ataupun Zyva. Kami akan selalu mendukungmu, Nak."
Panjang lebar bercerita sambil mengemudikan motornya, Nada berhadap komunikasi ini bisa memupuk kesembuhan di hati Aesha saat ini. Walau Nada yakin tidak mungkin dalam sekejab mata kesedihan itu sirna, tapi Nada berharap Aesha menjadi jauh lebih percaya kepadanya untuk menggantikan peran ibu yang kini telah tiada.
"Bu ..."
"Iya, Sha."
"Kapan-kapan kita ke Malang, gimana?"
"Ah? Ke Malang?"
"Hm. 40 harian di sana boleh enggak? Sekalian ajak Aesha keliling di sana dong, Bu. Ceritain semua hal yang pernah kalian lakuin dulu di sana. Aesha juga mau mampir ke kampus ibu. Siapa tahu beberapa kenangan indah bisa Aesha temuin di sana?"
Berbinar, menemuin hal seru yang bisa dilakukan bersama-sama demi menghapus luka menjadi bahagia, Nada tanpa pikir panjang langsung mengangguk. Dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini untuk merangkul Aesha menjadi lebih dekat kepadanya.
"Nanti ibu bantu siapkan semuanya, ya. Ajak juga kapten Gen, ya. Kok ibu suka lihat mukanya. Putih bersih macem tepung aci."
"IBUUUU..."
"Hahaha, tepung aci. Cilok dong, bu!" seru Zyva yang diam-diam turut mendengarkan percakapan ini.
***
Mendatangi rumah Shaka, sepupu laki-laki dari Nada, adalah tujuan yang tepat untuk merilekskan pikiran yang sedang kacau. Walau letak rumah Shaka tak jauh dari rumahnya, namun entah mengapa menurut Nada, rumah sepupunya ini jauh lebih asri ketimbang rumahnya sendiri. Mungkin karena luas tanahnya pun cukup berbeda, sehingga Rara, istri Shaka, bisa menghiasnya dengan berbagai macam tanaman yang membuat asri pemandangan.
"Ayo," ajak Nada saat motornya sudah terpakir di samping mobil Rara, yang biasa perempuan itu pakai untuk pergi ke mana-mana.
Sudah cukup lama tidak mendatangi rumah ini, membuat langkah Aesha terasa berat. Apalagi jika dirunut berdasarkan keturunan, Shaka bukanlah om dari keluarganya secara langsung. Hanya saja memang kebetulan keluarga Al Kahfi dan Abdul Hamid memang sudah terikat pernikahan sejak kakek nenek mereka dulu. Ditambah lagi tali silaturahim mereka tidak pernah putus sampai generasi ketiga, yakni generasi Aesha, karena itulah sudah tidak ada lagi yang meragukan ikatan keluarga mereka.
"Assalamu'alaikum," salam Nada begitu kencang.
Tidak berubah. Begitulah karakter Nada. Walau kini dia sudah berumur, sudah tidak muda seperti dulu lagi, namun karakternya yang selalu ceria tidak pernah berubah.
"Wa'alaikumsalam, ya ampun tamu jauh nih." Rara menyambutnya. Saling memeluk satu sama lain, Rara cukup kaget disaat tatapannya beradu pandang dengan manik mata Aesha yang berdiri di belakang Nada.
"Masya Allah, Aesha. Sini Nak, masuk."
"Assalamu'alaikum, Tante."
"Wa'alaikumsalam. Ayo masuk-masuk."
"Sumpah panas banget diluar, duh ... aku buat minuman dingin ya, Mbak."
"Sekalian ambil buah-buahan di kulkas, Nad."
Langsung duduk di ruang keluarga yang luas, dengan banyak ukiran kayu di sekitarnya, Aesha tidak banyak bicara ketika Rara terus menerus melemparkan pertanyaan kepada perempuan muda itu. Meski Nada tidak berkata apapun mengenai alasan dirinya mengajak Aesha ke sini, namun Rara sadar Nada berusaha menghibur putri sekaligus keponakannya itu.
"Nih, es sirup sama buahnya," seru Nada bahagia.
Melihat Zyva mengambil minuman tanpa ragu, Aesha turut mengikuti di belakangnya. Meneguk pelan air dingin itu, rasa panas yang sebelumnya ia rasakan, perlahan sirna.
"Bang Shaka mana, Mbak?"
"Di bengkel biasa lah."
"Owh, aku mau ngomong sesuatu sama dia. Kucoba telepon deh, suruh pulang," katanya bagai perintah.
Sambil berusaha menghubungi Shaka, Nada bergerak menjauhi ruangan itu. Dia membiarkan Zyva, Aesha dan Rara berada di sana
"Kamu sehat kan, Nak? Udah coba cek lagi ke Shafa? Soalnya kalau tante lihat wajahmu masih pucat banget."
Meletakkan gelas esnya di atas meja kaca kembali, Aesha mengangguk secara perlahan. Walau belum sepenuhnya fit, namun ia merasa saat ini tubuhnya sudah jauh lebih sehat dibandingkan hari-hari pasca musibah itu. Namun jika yang ditanyakan mengapa wajahnya terlihat pucat, Aesha juga tidak begitu paham alasannya. Yang pasti, setiap Nada suruh untuk makan, dia tetap makan sekalipun tidak banyak. Atau misalkan Nada perintahkan Aesha tuk istirahat, ia akan berusaha tuk istirahat walau memang kualitas tidurnya belum sempurna.
Karena setiap kali matanya terpejam, ada saja muncul pikiran mengenai kecelakaan itu yang membuat tidurnya menjadi tidak nyenyak. Bahkan sempat ia terbangun dari tidurnya dalam kondisi menangis. Takutan dan hampir saja menjerit ditengah malam.
Atas kejadian itulah, Aesha tebak mengapa wajahnya menjadi pucat. Sehingga membuat khawatir semua orang yang melihatnya.
"Sha ..." panggil Rara pelan. "Tante tahu kamu masih amat sangat sedih atas kecelakaan itu. Tante dan yang lainnya pun merasakan hal yang sama. Tapi, Sha, cobalah untuk mengikhlaskan semua kejadian itu. Doakan banyak-banyak keluargamu. Karena di sana, keluargamu juga tidak akan merasa bahagia jika melihat kondisimu seperti ini. Jiwa-jiwa mereka akan menjadi tidak ikhlas dengan takdir yang terjadi. Namun jika kamu ikhlas, kamu mulai menjalani hidupmu kembali, insha Allah, mereka semua pasti akan bahagia. Dan juga tentu saja mereka akan tenang meninggalkanmu di dunia saat ini. Yah, walau tante pun sadar semua itu tidak mudah, tapi bukan berarti tidak mungkin, kan?" Senyum Rara diakhir kalimatnya.
Aesha mengangguk. Dia pun sadar semua orang baik di sekitarnya terus mendoktrin hal baik agar dapat menjalani hidup dengan normal kembali pasca musibah tersebut. Akan tetapi rasanya tidak semudah itu. Ada rasa pedih yang tidak mungkin lenyap begitu saja, dan jelas Aesha butuh obat untuk meredakannya.
"Duh, bang Shaka mah minta ampun deh. Disamperin ke rumah, disuruh ke bengkel. Emang keterlaluan tuh orang."
Sambil mendumal kesal, Nada kembali bergabung di ruang keluarga, mengambil satu irisan buah sembari melihat raut wajah Rara serta Aesha secara bergantian. Ada muncul pertanyaan dalam pikiran Nada, namun dia tahan kuat-kuat sebelum yakin dengan kondisi yang terjadi saat ini.
"Loh ... loh, kok pada sedih-sedihan lagi? Udah dong, Sha. Jangan sedih terus. Emang enggak kasihan sama temanmu, kapten Gen, yang niatnya baik banget loh mau buat kamu bahagia, eh ... kamunya malah sedih di sini?"
Sengaja menggoda, Nada berusaha mengubah suasana menjadi bahagia kembali sambil berkedip genit ke arah Aesha yang kini wajahnya tengah bersemu merah.
"Kapten Gen? Siapa tuh?" seru Rara bingung.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro