Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 23

Halo .... Masih ada yang baca kan?

Baru sempat update lagi nih...

Semangaattt

Jangan lupa baca dikarya karsa udah sampai bab 45...

----------------------------------------------------------


Tidak ada orang yang bisa mengukur sesakit apa rasa kehilangan, begitu pula hati yang ditinggalkan.

Pagi ini semua sudah berkumpul, setelah disholatkan secara bersamaan, ketiga peti jenazah akhirnya dibawa ke tempat pemakaman terakhir di daerah Karawang, Jawa Barat.

Bukan hanya satu dua orang yang datang untuk mengantarkan kepergian orang-orang yang mereka sayang, namun hampir ratusan orang yang berada di tempat ini, termasuk para wartawan yang terus memberikan liputan terupdate mengenai salah satu orang penting yang berada dalam kecelakaan pesawat di Malang.

Dipapah turun dari sebuah mobil, orang-orang yang berada di sana langsung memberikan jalan kepada seorang gadis yang terlihat tidak baik-baik saja, baik kondisi tubuh ataupun hatinya kini.

Setelah kejadian semalam, dimana Aesha mengamuk pada Adskhan dan juga Hawa, disaat kedua orang tersebut menjaganya di rumah sakit, terlihat baik Adskhan ataupun Hawa sengaja memberikan jarak agar keributan seperti semalam tidak terjadi lagi.

Memastikan semuanya sudah berada di sini, untuk menyaksikan pemakaman orangtua, adik, saudara, sahabat terbaik, dari kehidupan mereka, akhirnya satu demi satu peti mati mulai diturunkan ke liang lahat. Kesepakatan keluarga untuk menguburkan jenazah didalam peti sudah diperhitungkan baik buruknya. Sekalipun potongan tubuh tersebut dimasukkan ke dalam peti bersama barang-barang yang lainnya, milik jenazah, tetap saja semuanya dikafani dengan baik, sesuai dengan yang dicontohkan oleh Rasulullah.

Disaat peti sudah benar-benar masuk ke dalam liang lahat, Syafiq diminta langsung mengadzankan jenazah sebelum proses penguburan dilakukan.

Mendengarkan dengan khidmat adzan yang dikumandangkan oleh Syafiq, banyak orang yang diam-diam menitikan air mata, mengingat memori disaat Wahid dan keluarga masih hidup ditengah-tengah mereka. Ada juga yang memilih mundur dari barisan terdepan, karena tidak tahan menahan sesak dihatinya, mana kala sepupu sekaligus rivalnya dalam cinta kini telah tiada.

"Bang ...." Adskhan mendekati Zhafir, ketika ia melihat Zhafir malah mundur dari pemakaman ini.

"Hm." Masih berusaha menahan tangisnya, Zhafir menatap Adskhan.

"Yang sabar, Bang. Semua juga merasakan kehilangan yang sama."

Menepuk – nepuk punggung Zhafir, kedua tangan Zhafir menarik tubuh Adskhan untuk dipeluknya dengan erat. Disaat banyak orang menangis tersedu-sedu ketika pemakaman ini terjadi, kedua laki-laki ini sibuk menjadi kuat untuk satu sama lain atas luka yang mereka semua rasakan.

"Gue balik duluan. Kalau ada yang nanya, tolong kasih tahu mereka," ucap Zhafir ketika pelukan mereka terlepas.

"Lo enggak nungguin sampai selesai?"

Zhafir menggeleng. "Enggak. Soalnya Aneska lagi ada di rumah mertua, enggak enak gue ninggalin dia lama-lama."

"Oke, Bang."

"Gue titip Aesha juga, ya. Tolong lo sabar-sabar sama sikap dia sekarang ini. Kejadian semalam jangan diambil hati. Kita semua terluka, tapi posisinya berbeda. Yah, lo paham lah maksud gue."

"Baik, Bang."

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

***

Dengan tangan yang gemetar, Aesha mencoba menaburkan bunga-bunga di atas makam yang sudah sempurna ditutup dengan tanah. Masih terus dipapah oleh Nada, perempuan yang kini benar-benar berusaha menjadi ibu yang terbaik untuk Aesha, tidak pernah sedikitpun menjauh dari gadis itu.

Apalagi setelah mendengar kabar tidak enak semalam, Nada merasa sangat bersalah karena meninggalkan Aesha di rumah sakit bersama yang lainnya. Padahal dia yang seharusnya selalu bersama-sama Aesha dalam masa sulit ini. Tapi tetap saja, sebagai calon orangtua pengganti, Nada masih jauh dari kata sempurna.

Terlihat semakin lemah, Nada meminta untuk diambilkan kursi agar Aesha bisa tetap berada di sini, tanpa kelelahan.

Diakhiri dengan doa, satu persatu orang-orang yang mengantarkan kepergian Wahid dan keluarga, mulai meninggalkan tempat ini. Ada yang sempat ditahan wartawan untuk diwawancara sejenak, ada pula yang langsung kembali ke rumahnya masing-masing.

Hingga akhirnya hanya menyisakan beberapa orang saja yang masih setia menunggu Aesha termenung di depan makam keluarganya.

"Gue siapin mobil dulu, Gam. Nanti kalau udah mau balik, info aja. Gue langsung ke sini."

"Oke, Bar."

Tetap setia di samping Nada, Agam tahu istrinya itu juga sedang terluka atas musibah ini yang terasa sangat cepat dan mendadak, hingga sulit sekali dicerna untuk bisa mengikhlaskan. Akan tetapi di samping itu, Nada juga sedang berusaha kuat untuk seorang gadis muda yang kini masih menunduk di samping makam kedua orangtuanya.

"Balik dari sini kita makan dulu, yuk?" ajak Agam berusaha untuk mengubah suasana sedih menjadi normal kembali.

Nada meliriknya, kepalanya pelan menggeleng. Setelah mendapatkan kabar buruk ini, dia seolah lupa apa itu rasa lapar. Perutnya bahkan benar-benar tidak menerima apapun untuk dikonsumsi.

"Sayang, dengerin mas. Kehidupan mereka sudah di dunia ini. Tapi kita, yang masih hidup, masih berada di dunia ini, wajib untuk kuat menjalani hidup. Kalau kamu enggak makan-makan, bagaimana kamu bisa menjadi ibu yang hebat, Yang. Dia, anakmu ..." tunjuk Agam dengan lirikan matanya ke arah Aesha, "Sangat membutuhkan ibu yang kuat untuk menjadi sandarannya. Jadi mas minta tolong padamu, mulailah ikhlas untuk semua hal yang telah terjadi. Ayo kita sama-sama bangkit kembali. Kita sama-sama menjadi kuat kembali. Setidaknya itulah yang diharapkan Kiki, sahabat jannahmu."

Kehabisan kata-kata, Nada hanya menunduk. Tubuhnya terasa linglung saat ini. Dia hanya ingin kedepannya semua berjalan dengan baik. Dengan bahagia, tanpa ada air mata kehilangan lainnya.

"Sini ... mas peluk."

Memeluknya dengan hangat, Agam memejamkan mata. Hatinya terus berdoa kepadaNya. Semoga Tuhan memberikannya kesabaran dan keikhlasan untuk semua keluarga yang dia sayangi. Termasuk kedua orang perempuan yang kini benar-benar terpuruk di dekatnya.

***

Seperti yang Shafa perintahkan, izin Aesha keluar dari rumah sakit ini hanya untuk datang kepemakaman saja. Setelah selesai semuanya, Aesha harus kembali dan menjalani perawatan dengan sebaik mungkin. Darah rendah dengan kondisi fisik yang tidak stabil memang membuat Shafa memberikan peringatan keras untuk adik sepupunya itu agar tidak main-main dalam menjaga kesehatannya.

"Oke. Hari ini kebetulan bukan mbak yang jadi dokter jaga. Jadinya kamu harus menurutin kata dia," ucap Shafa sambil merapikan selimut Aesha yang baru saja berbaring kembali di atas ranjang.

Sementara di sofa bed ada Nada yang tengah sibuk membalaskan sesuatu melalui ponselnya. Sejak musibah ini terjadi, banyak sekali pesan serta panggilan masuk ke dalam ponselnya tersebut. Namun belum ada satupun yang dia balas, terutama dari teman-teman kampusnya dulu, dimana ia dan Kiki berada di kampus, jurusan dan kelas yang sama.

"Kalau kamu ada perlu apa-apa, panggil aja suster dari tombol ini, ya. Please, mbak mohon kamu istirahat yang tenang dulu, Sha. Mbak takut banget kamu kenapa-napa."

"Adskhan ada, Mbak?" tanya Aesha dengan pelan.

Gerakan Shafa merapikan makanan-makanan di meja terhenti. Dengan lirikan jahil, dia kembali mendekati ranjang Aesha.

"Kenapa? Mau minta maaf?"

"Enggak."

"Enggak papa kok kalau mau minta maaf duluan. Itu tandanya kamu hebat, Sha."

"Siapa yang mau minta maaf, Mbak."

"Hm, ya sudah kalau enggak mau minta maaf. Tapi kayaknya hari ini Adskhan enggak ada jadwal. Mungkin dia enggak akan ke sini."

"Berarti enggak ada siapa-siapa dong?"

"Enggak ada siapa-siapa maksudmu?"

"Ya ... enggak ada dokter yang aku kenal!"

"Dokter Athar ada di ruangannya. Sekalipun dia enggak ada jadwal, tapi kayaknya beliau ada. Terus kalau Aneska, kayaknya dia belum masuk juga. Siapa lagi ya, yang kamu kenal. Hm, mungkin dokter Kafi. Kayaknya dia ada praktek. Atau nanti mbak bawa dokter-dokter ke sini buat kenalan sama kamu."

"Enggak usah!"

"Jangan galak-galak begitu dong. Walaupun kamu enggak kenal dokter-dokter itu, mereka tetap akan melayanimu dengan baik. Siapa juga yang berani sama cucu Al Kahfi group?" tawa Shafa diakhir kalimatnya.

"Owh iya, satu hal lagi, Sha. Untuk waktu jenguk kamu, pihak rumah sakit batasi. Takut ada wartawan yang nyamar dan sebagainya, jadinya enggak ada yang bisa jenguk selain keluarga. Atau datang bersama keluarga. Jadi kalau ada teman dekatmu yang mau datang berkunjung, info aja. Nanti mbak pastikan satpam mengantarkan mereka dengan baik ke sini."

"Makasih, Mbak."

"Sama-sama, Sayang. Mbak pulang dulu, ya."

"Iya, Mbak."

"Tante Nada, Shafa pulang dulu, ya. Semua udah Shafa kasih tahu ke Aesha apa-apa aja yang bisa dia lakuin."

"Terima kasih banyak ya, mbak Shafa. Jangan lupa jaga kesehatan."

"Sama-sama, Tan. Tante Nada juga lah. Istirahat dulu. Kantung matanya udah menghitam gitu."

"Iya. Tante pasti istirahat."

"Pamit dulu semuanya, assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Ditinggalkan berdua dalam ruangan rawat ini, Nada meletakkan ponselnya di atas meja kaca, kemudian mendekati Aesha yang kini berbaring nyaman. Obat-obat yang dibutuhkan oleh tubuh Aesha, sudah Shafa berikan dengan baik, hingga perlahan rasa kantuk menyerang gadis itu.

"Istirahatlah, Nak. Ibu akan selalu di sini," ucap Nada sembari mengusap lembut kening hingga kepala Aesha.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro