Chapter 3
Kaia... Kaia
Suara itu mengalun lembut. Semakin didengarkan, suaranya semakin jelas dan terasa hangat.
Nalu yang menemani Kaia di ruang pengobatan, bernapas lega saat gadis yang sedang ditungguinya itu menggerak-gerakkan kelopak matanya. Lalu perlahan terbuka.
"Kau sudah sadar?" Nalu bergegas meraih gelas di atas nakas dan menyerahkannya. "Minum dulu."
Kaia mengerjabkan matanya. Ia tertengun menatap seorang pria yang umurnya sedikit lebih dewasa darinya. Pria itu juga memiliki sepasang lesung pipi saat ia tersenyum. Kaia mencoba bangun dari atas ranjang sebaik mungkin.
"Terima kasih telah menyelamatkanku. Apa kita kembali ke daratan?"
Tawa Nalu pecah. Ia hanya menggeleng mendengar pertanyaan polos Kaia.
"Minum dulu." Ia mendesak gelas berisi air putih pada Kaia. Gadis itu menerimanya, lalu meminum hingga airnya tandas.
"Kita masih ada di Ursa Mayor. Kapal akan ke Tortuga. Apa kau benar putri Poseidon?" tanya Nalu hati-hati. Kaia menangkap rasa penasaran di sana.
"Apa aku perlu menunjukkan tanda Dewaku?" Kaia lalu menurunkan sedikit kerah bajunya. Di sana, terdapat tato biru bergambar trisula Poseidon yang terpatri di atas bahu.
Nalu yang melihat hal tersebut, buru-buru menarik kaos baju Kaia seperti semula. Wajahnya memerah semu. Orang lain yang melihat ini, akan berpikir bahwa dia adalah seorang pria mesum.
"Maafkan aku. Hanya saja ... orang-orang agak tidak mempercayai ini. Ada desas-desus aneh yang terdengar."
Kaia tersenyum tipis. Gosip tentang dirinya selalu menjadi hal paling menarik yang selalu dibicarakan. Itulah sebabnya, dia selalu suka sendiri dari pada keramaian.
Nalu merasa bersalah melihat wajah muram Kaia yang tertekuk lesu.
"Aku minta maaf. Bukan maksudku untuk---"
"Tidak apa-apa," potong Kaia, "aku memang beda. Kau anak Neptunus atau Aegir?"
"Neptunus," jawab Nalu dengan tersenyum. "Kita adalah saudara jauh bukan?"
Kaia tersenyum malu-malu.
"Kau tidak merasa malu mengakui kita saudara selaut?"
"Kenapa tidak?" sanggah Nalu, "itu sebuah kenyataan. Bahwa Poseidon, Neptunus, dan Aegir adalah Dewa Laut di wilayah mereka masing-masing."
Lagi-lagi, Kaia menampakkan senyumnya. Entahlah, dia tiba-tiba saja merasa nyaman saat berbicara pada Nalu. Padahal biasanya, dia tidak cukup baik berbicara dengan lawan jenis.
"Di Ursa Mayor. Aku bertugas sebagai ahli kemudi dan saudara kita yang satunya, Putra Aegir adalah seorang Quartermaster," jelas Nalu.
"Quartermaster?" tanya Kaia tak mengerti.
"Quartermaster itu bisa dibilang tangan kanan seorang Kapten. Dia orang kedua yang berkuasa di sini. Dia yang akan menyampaikan pendapat setiap orang pada kapten. Tugasnya sih, biasa menjaga ketertiban, menyelesaikan konflik antar kru dan segalanya." Nalu menarik napas dalam.
"Jika Kapten Maru terpaksa turun tangan tanpa bantuan Quartermaster. Itu tandanya seseorang itu dalam masalah besar."
"Apakah orang yang tadi aku ...." Kaia menggantung kalimatnya dan Nalu menyambung hal tersebut dengan sebuah anggukan kecil.
"Kau benar-benar dalam masalah adik kecil."
.
.
.
Nalu sudah berjalan pergi meninggalkan Kaia. Malam sudah semakin larut dan Kaia sama sekali tidak bisa memenjamkan matanya.
Sesekali ia menggeliat gelisah. Ia sudah banyak merasa tertidur sejak siang. Maka dari itu, ia memutuskan untuk menyibak selimut dan turun dari atas ranjang.
Padahal Nalu sudah berpesan, bahwa ia diperintahkan menginap hingga pagi. Tetapi rupanya, Kaia menolak. Ia malah memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar. Lagipula, mabuk lautnya pun sudah reda.
Begitu pintu ruang pengobatan dibuka. Gadis itu mendapati lorong panjang yang sepi, sunyi dan senyap. Tak seorang pun yang terlihat. Untuk sesaat, Kaia terpaku di depan pintu di sebrang ruang inap.
Di sana terpatri sebuah nama Reya Aenari Musicia, Penanggung jawab ruang pengobatan.
Kaia menelan salivanya. Ia harus keluar diam-diam tanpa sepegentahuan orang di dalam sana dan dengan hati-hati, ia pun menutup pintu dengan pelan. Lalu mulai melangkah dengan gerakan menjinjit.
Ia memang tidak tahu arah di dalam dek. Tetapi, rasa penasarannya membawanya menjelajah setiap tempat.
Sepanjang koridor yang Kaia lewati semuanya sunyi dan senyap. Orang-orang mungkin sudah tertidur di pulau kapuk.
Bagi Kaia, koridornya tidak terlalu menunjukkan suasana sebuah kapal. Ada beberapa modifikasi modern yang tercipta di sana. Hingga menciptakan desain interior yang memiliki suasana pada penginapan mewah.
Kaia terus melangkah. Lagipula, di setiap persimpangan terdapat papan penunjuk jalan dan arah yang kini dituju oleh Kaia adalah sebuah tempat penuh buku.
Entah di lantai berapa. Tetapi Kaia yakin, tempat tersebut berada di lantai paling atas. Setibanya di depan perpustakaan. Pintu dengan ukiran lumba-lumba itu tengah tertutup rapat.
Gadis itu merasa tidak yakin, apakah ruangan tersebut dibuka sewaktu tengah malam atau tidak. Tetapi karena rasa penasaran yang begitu besar. Kaia mencoba mendorong pintu tersebut.
Alhasil, pintu tersebut terbuka dari dalam. Suara derit pintu tersebut membuat hati Kaia was-was'an. Dia pun bahkan menoleh ke belakang, memastikan tidak ada orang lain yang melihatnya.
Begitu merasa yakin dia aman. Kaia pun buru-buru menyelinap masuk ke dalam perpustakaan, lalu menutup pintu itu dengan cepat.
Ruangan vintage penuh rak buku sekonyong-konyong membuat Kaia terganga dengan mata terbelalak. Ini seperti surga dunia baginya.
Ia pun buru-buru menghampiri meja resepsionis. Namun, tempat itu kosong. Tidak ada seorang pun di sana. Kaia lalu bernapas lega. Kemudian ia mulai menjelajahi tiap rak, mengambil sebuah buku dan mulai duduk untuk membaca hingga rasa kantuk mulai menyergapnya.
.
.
.
Kaia selalu punya kebiasaan buruk. Dia selalu tertidur tanpa bisa melihat jam dan situasi. Entah jam berapa dia terbangun. Kubah langit-langit perpustakaan menampilkan keindahan langit biru yang cerah tak berawan.
Dia tahu, dirinya telah membuat kesalahan. Nalu pasti akan mencarinya, pria itu telah berjanji akan mengunjungi Kaia besok pagi.
Buru-buru dia mengembalikan buku yang dibacanya semalam ke dalam rak. Lalu bergegas keluar dari perpustakaan. Tetapi, tindakannya malah menabrak seorang remaja laki-laki dengan setumpuk gulungan perkamen yang sedang dibawa.
"Maafkan aku," ucap Kaia yang langsung bergegas memungut gulungan yang terjatuh.
"Kau nampak buru-buru. Apa kau di kejar monster laut?" Remaja laki-laki itu berkelakar.
"Bukan," sanggah Kaia.
"Oh, ya. Apa kau tahu." Anak itu membisikkan sesuatu. "Ada seorang murid akademi yang hilang. Aku rasa, dia diculik monster laut."
Alis Kaia bertaut bingung. Sekaligus dirinya meras tertengun.
"Sungguh?"
"Yap." Anak itu mengganguk. "Aku harus mengembalikan gulungan peta ini dan mencari informasi baru untuk membantu penyelidikan. Maukah kau membantuku?"
Kaia merasa bimbang. Ia sebenarnya tidak ingin berlama-lama di tempat itu. Namun, dia tidak bisa mengabaikan seseorang yang meminta tolong.
"Baiklah."
Remaja laki-laki itu tersenyum lebar.
"Oh, ya. Perkenalkan, namaku Hoshi. Aku ingin menjadi seorang ahli Navigator."
Hoshi pun beranjak bangkit. Lalu berjalan ke arah tempat di mana Kaia keluar. Kaia pun menatap ke arah lorong panjang yang ingin ia telusuri.
"Hey, ayo!" panggil Hoshi. "Aku punya rencana untuk menemukan anak hilang itu."
Kaia mengganguk. Lalu mengikuti Hoshi kembali masuk perpustakaan.
__/_/_/____
TBC...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro