Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 27- Rencana

Aku menundukkan pandangan. Wajahku sekarang pasti memerah semu. Aku tidak cukup berani menatap mata safir Nalu. Saat ku pandang, warna matanya hampir mirip dengan manik oceanku.

"Putri ... kami akan mengantar Anda ke kapal. Namaku Ani."  Yang berbicara adalah mantan penculik Nalu. Kurasa, mereka tidak memiliki pemimpin.

"Apa kau bisa jadi ketua di sini? Jika iya. Bantu aku mencari kapal The Flying Dutchman. Dia menaruh kutukan padaku dan saudaraku." Kutunjukkan noda berlumut dan berlendir pada mereka.

"Kami punya waktu tiga hari. Ini hari kedua. Matahari mungkin akan terbit sebentar lagi."

Aku benar-benar mengejar waktu. Tanpa kusadari, Nalu malah meremas telapak tanganku yang tanpa kutukan.

"Kita akan melakukannya bersama. Di mana Rigel?" Sorot mata Nalu berubah serius.

"Dia ... masih di Ursa Mayor. Aku berenang sendiri ke sini bersama Pino dan si Penerang." Aku hampir saja melupakan keberadaan si Angelfish.

"Si penerang?" ulang Nalu

"Ikan Angelfish."

"Kau benar-benar bisa berkomunikasi dengan mereka."

Nalu menepuk pucuk kepalaku dengan hangat. Jika sebelumnya, sentuhan Nalu lebih ke seorang adik perempuan. Untuk kali ini, dia memperlakukanku seperti seorang wanita.

"Putri tidak bisa ke sana." Ani mengalihkan atensiku. "Kutukan itu sulit lepas, mereka yang terkena biasanya tidak selamat."

Ada raut kegelisahan di wajah Ani dan Siren lain.

"Aku mungkin akan jadi orang pertama yang mengalahkan mereka. Jadi ... kalian tahu di mana sang Kapten dan kapalnya berada?"

Ani mengganguk.

"Mereka tidak akan bisa ditemukan di dasar laut, Putri. Tapi mereka akan timbul di permukaan setelah matahari terbenam di dekat pulau kematian."

"Apa itu jauh dari sini?"

"Tidak, kurasa. Tapi area pulau itu di jaga oleh peliharaan mereka."

"Siapa?"

"Kraken."

Aku menelan ludahku.

"Antar aku ke sana sekarang juga."

"Aku dan Loleri akan mengantar." Ani menunjuk salah satu temannya.

"Baiklah, ayo."

Saat menyelam ke dalam air. Aku sadar, bahwa Nalu akan terkejut jika dia....

"Kaia?!" Dia melihatku menjadi duyung. Kuusahakan rambutku yang panjang menutupi area depan tubuhku.

"Tidak ada waktu untuk bercerita, ayo!"

Aku menarik tangan Nalu. Walau rasanya, aku ingin melarikan diri dari dia. Namun ekor mataku tidak bisa berpaling melihat wajah Nalu yang terlihat terpesona.

Kami berenang bersama dan beriringan. Pandanganku tidak fokus selama berenang. Cahaya matahari dari permukaan menembus masuk ke dalam lautan. Fajar sudah menyising.

Begitu kami tiba di tempat tujuan dan menyembulkan kepala. Kami sangat berhati-hati dan menjaga jarak dari pulau aneh yang menyerupai gua hitam cadas bergerigi tajam. Ada sebuah celah seperti pintu masuk di dalam sana.

"Kami hanya bisa mengantar sampai sini."

Aku mengganguk takzim pada Ani. Ada setengah hari untuk menyusun rencana.

"Masih cukup siang untuk mereka berulah. Kalaupun mereka muncul ke permukaan. Pasti ada sesuatu yang mendesak. Ini."

Ani menyentuh keningku secara pelan. Ada sesuatu yang terasa dingin terserap.

"Aku tidak bisa membantu lebih dalam. Aku bukan lagi pengikut The Flying Dutchman." Ani menatap cibir ke arah pulau kematian. "Dia menyukai kekekalan, tapi abadi tanpa sentuhan adalah mimpi buruk."

Aku ingin berucap apa yang sedang di maksud oleh Ani. Tetapi dia malah sudah mencebur ke dalam laut bersama sahabatnya.

"Kau bisa jelaskan padaku, Kaia. Apa yang terjadi hingga kau bisa seperti ini." Nalu menuntut penjelasan dan aku mau tidak mau menjelaskan apa yang terjadi setelah sekoci kami terbalik.

Nalu mendengar semua penuturanku dengan serius. Cerita berakhir saat dia berteriak akan namaku.

Kubiarkan Nalu berpikir dalam diamnya. Kami harus memiliki rencana, si Angelfish masih di bawah. Dia tidak bisa berenang lebih tinggi mendekat permukaan. Tapi aku juga punya utang penjelasan padanya, tidak ... lebih tepat imbalannya.

"Nalu," panggilku.

"Hm?"

"Tunggu sebentar. Aku mau bertemu si penerang."

"Aku ikut."

Aku ingin menolak. Tapi raut wajah Nalu sepertinya sudah menunjukkan dia tidak mau mendengar kata tidak.

Ketika berada di tengah-tengah kedalaman laut atlas. Si penerang sepertinya sudah tidak sabar meminta imbalan.

"Jadi ... beri aku mutiara ajaib." Dia meminta tanpa basa-basi.

"Mutiara? Mutiara apa?"

"Mutiaramu... kalian bisa membuatnya. Kudengar kalian bisa menciptakan itu."

Aku berpikir, apa aku harus menjelaskan asal-usulku? Aku tidak tahu menciptakan mutiara. Mutiara yang kutahu terdapat pada kerang laut.

"Duyung gila." Aku benci panggilan itu. "Aku sudah mengantar dan ikut bersamamu sejauh ini. Jadi ... beri saja. Atau aku akan melakukan hal buruk padamu. Aku tidak tahu, apa yang membuatmu bisa berteman dengan Siren tadi. Tapi bagiku ... ini sangat aneh."

"Kau tidak tahu siapa kami berdua?" Nah, sekarang malah Nalu yang menyela.

"Memangnya kalian siapa? Penyihir? Aku rasa iya. Kalian bisa bernapas dalam air."

Angelfish nampaknya benar-benar tidak tahu siapa kami. Dia lalu beralih menatapku.

"Kubantu kau, karena kau teman si lumba-lumba. Jadi mana umpan baliknya? Laut di sini tidak terlalu cocok bagiku."

Aku menarik napas dalam-dalam.

"Satu pertanyaan."

"Apa?"

"Cara membuat mutiara ajaib."

"Apa?!"

Kalau saja Nalu tidak berdiri di hadapanku. Mungkin saja, gigitan si Angelfish akan melukaiku. Nalu terpaksa mengeluarkan sebuah pusara air untuk melemparkan si Angelfish dengan cepat. Masalahnya, dia tadi ingin menggigitku.

"Nalu," lirihku. Dia tidak boleh menggunakan sihir. Atau kutukan akan semakin menjalar.

"Menangislah."

"Apa kau bilang?"

Dia berpaling padaku.

"Jika istri Poseidon seorang duyung. Maka mungkin kau bisa mengeluarkan mutiara dari air matamu."

"Kupikir itu hanya dongeng."

Nalu malah tersenyum tipis.

"Terkadang, dongeng adalah kenyataan yang ingin dijaga. Tutup matamu dan berkomunikasi dengan ibumu. Dia pasti melihatmu dari jauh. Seperti dia tahu kau dalam bahaya dan akhirnya mengirim si lumba-lumba dan melakukan pengakuan kau adalah putrinya."

Perkataan Nalu ada benarnya. Jika diminta menangis, aku tidak bisa menangis begitu tiba-tiba. Jadi, lebih baik aku berkomunikasi dengan ibuku melalui batin.

Aku menutup mata, membayangkan ibuku ada di suatu tempat. Lalu membisikkanku tentang mutiara ajaib. Pada saat melakukan ini, aku merasa ada sentuhan hangat dalam dadaku. Rasanya menyenangkan dan aku merasa aman.

"Kai?" Suara panggilan Nalu, membuatku membuka mata.

"Telapak tanganmu."

Aku menuduk untuk melihat. Mataku terbelalak lebar. Rasanya mustahil, tetapi itu benar-benar terjadi. Ada tiga mutiara putih di telapak tanganku.

Ibu...
Di mana pun Ibu berada... terima kasih.

_/_/___///___
Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro