Chapter 1
Mata biru remaja perempuan itu membulat besar. Ia lalu memasang tampang galak pada Poseidon.
"Aku tidak mau ayah!" seru Kaia dengan wajah memerah "Anak-anak Dewa itu akan menertawakanku!"
"Tidak ada yang berani menertawakan anak Poseidon! Kau putri kesayangan ayah." Poseidon menyakinkan Kaia. Anak perempuannya itu harus masuk sekolah. Entah bagaimana caranya, dia tahun ini harus pergi ke Ursa Mayor.
"Aku tidak bisa!" Kaia bersikeras. "Lebih baik menjadi manusia biasa."
Sekarang, malah tampang Poseidon yang sekonyong-konyong berubah gusar. Urat-urat di bawah matanya berkedut tidak terima. Itu adalah kata penghinaan yang tidak boleh diucapkan oleh keturunannya.
"Tidak ada jadi manusia! Kau harus menjadi Putri Laut. Roro akan mengantarmu besok pagi."
Poseidon membalikkan tubuhnya. Pintu kayu oak dari kamar Kaia tertutup otomatis dengan suara bantingan cukup keras.
Tidak lama kemudian, seorang remaja berpakaian serba hijau masuk ke dalam kamar Kaia. Sebelum remaja itu mengucapkan sesuatu, Kaia sudah lebih dulu berucap,
"Aku tidak bisa pergi Ro. Jangan memaksaku." Kaia lantas membelakangi Roro. Ia lalu menyibukkan diri membaca sebuah buku di atas meja.
"Ayahmu sudah menghubungi Kapten Maru," seru Roro. "Aku tidak bisa membantumu lagi, Kai. Kau tahu, kudengar banyak anak Dewa-Dewi di sana. Jika aku jadi kau, aku tidak akan menolak. Tempat itu pasti menyenangkan. Kita bisa berkumpul bersama anak-anak yang sama dengan kita. Tidakkah, itu menarik untukmu, Kaia?"
Kaia berdecak kesal begitu mendengarnya. Buku yang ia baca tetap berada pada halaman yang sama.
"Jangan membuat Poseidon marah." Roro masih berujar menyakinkan saudara sekaligus sahabatnya.
"Akhir-akhir ini kalian sering bertengkar. Aku juga mesti kembali ke selatan. Aku tidak bisa menemanimu lebih lama di Arnrial."
Kaia berbalik, menatap wajah Roro.
"Aku akan sangat merindukanmu."
"Aku juga," balas Roro. "Tapi sebagai sepupu jauhmu. Aku hanya bisa mengatakan bahwa kita berdua sama-sama punya tanggung jawab, Kaia. Kau di sini dan aku di sana. Walau kau tidak mewariskan kekuatan ayahmu. Kuyakin kau punya kemampuan istimewa."
Kaia menggeleng pelan. Ia tersenyum miris. Menjadi anak Dewa, tidak serta-merta membuatnya istimewa. Ia merasa berbeda dari anak Dewa yang lain. Dia tidak mewarisi hal seperti dimiliki oleh ayahnya dan itu membuat dada Kaia menjadi sesak.
Roro yang melihat ada mendung di wajah Kaia, segera memeluknya. Roro tahu, pasti berat memulai kehidupan di tempat yang tidak dikenal. Namun, dia yakin. Sepupunya itu bisa menjalaninya dengan baik.
.
.
.
Keesokan harinya, pagi yang dijanjikan Poseidon tiba. Roro pergi menemani Kaia ke pelabuhan bersama-sama.
Kaia hanya punya dua pilihan. Pertama, pergi di antar langsung oleh ayahnya sendiri atau kedua. Pergi bersama Roro dan Kaia pun memilih pilihan kedua.
Dia tidak ingin menarik perhatian banyak orang. Anak-anak lain akan menggangapnya anak manja. Dia tidak ingin merasa terbully di hari pertama masuk sekolah di Ursa Mayor.
"Bagaimana perasaanmu?" tanya Roro. "Aku hanya bisa mengantar sampai sini."
Kaia melirik ke arah geladak. Beberapa remaja yang ia kenal tampak dari atas sana. Mereka sedang bersenda gurau satu sama lain. Seolah tidak memiliki beban kehidupan.
"Aku rasa," sahut Kaia ragu. "Apa aku tidak bisa mundur?"
Roro menggeleng. "Tidak. Kau harus ikut Ursa Mayor. Kami yakin, kau bisa menemukan kekuatanmu di sini. Belajar di dunia daratan tidak akan terlalu membantu, Kaia. Kau anak laut dan selamanya akan begitu. Ingat! Laut adalah kekuatanmu dan kau harus yakin itu."
Lagi, Kaia tersenyum samar. Bagaimana pun dukungan Roro adalah kekuatan padanya. Gadis penyuka warna hijau itu pun berpamitan pergi.
Kaia melambai akan kepergian Roro ke tempat tinggalnya di selatan. Setelah Roro pergi, Kaia kembali memandang ke arah geladak. Kondisi di sana masih tetap sama. Semua anak Dewa-Dewi tampak mengobrol santai.
Dengan hati yang mantap dan tangan yang memegang erat ransel tas. Kaia pun berjalan naik ke atas galangan kapal.
Setibanya di geladak kapal. Seorang anak laki-laki berambut hitam kemerahan telah berdiri menghadang Kaia. Dia tersenyum tipis sembari melipat kedua tangan di depan dada.
"Lihat, guys. Coba tebak. Siapa tamu kita tahun ini? Nah, ini dia! Kaia Lulana Sitara. Putri Poseidon yang sangat manja."
Wajah Kaia memerah bagaikan kepiting rebus. Perkataan tersebut, membuatnya langsung menjadi pusat perhatian semua orang di atas geladak kapal.
"Hey, Rigel! Nalu! Ada kerabat jauh kalian!"
Dua cowok remaja dengan warna rambut senada mirip Kaia. Yaitu hitam kebiru-biruan menoleh bersamaan saat nama mereka disebut.
"Adik cengeng kalian. Tidak ada sambutan?"
Anak laki-laki itu terkekeh. Lalu seorang remaja perempuan dengan rambut pirang sedada. Menendang tungkai si anak laki-laki tersebut. Hingga suara rintihan mengalun keluar dari bibirnya.
"Iras! Inikah yang kau maksud salam pertemuan? Bersikaplah baik!" seru Annelisa, putri dari Dewi Athena. Dia lalu menatap ke arah Kaia.
"Iras, putra Ares." Dia menunjuk dengan menggunakan ekor matanya.
"Omongannya memang pedis. Maka dari itu, dia perlu belajar di tempat ini untuk membuatnya tahu diri. Aku Annelisa, putri Athena. Tetapi kau bisa memanggilku Lisa."
Lisa mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dengan ramah. Kaia menatapnya ragu.
"Jangan khawatir. Aku tidak seperti Iras. Aku bersumpah atas nama Ibuku." Lisa melakukan tanda silang di dada kanannya. Salam dan janji khas para Dewa.
"Kaia," balas Kaia. Lalu membalas uluran tangan Lisa. "Putri Poseidon."
Bodoh, kenapa aku mengakuinya.
Kaia membantin. Tetapi tidak ada gunanya. Anak bernama Iras sudah lebih dulu memperkenalkan dirinya pada semua orang. Jadi percuma saja, jika dia menyangkal sebagai putri Poseidon.
Lisa tersenyum bersahabat pada Kaia. Dia senang, Kaia tidak takut padanya. Dia agak cemas melihat perbuatan Iras yang dapat membuat Kaia berpikir bahwa semua anak Dewa di sana memiliki sifat kurang ajar seperti Iras.
Lalu dengan percaya diri. Lisa merentangkan tangan lebar-lebar di depan Kaia.
"Selamat datang di Ursa Mayor. Kapal bajak laut untuk sekolah sihir anak Dewa-Dewi."
Kaia menatap semua orang. Dia masih jadi pusat perhatian. Iras yang berdiri di belakang Lisa masih meringgis kesakitan. Tetapi, sorot matanya menunjukkan sebuah ancaman. Barangkali, dia akan mengganggu Kaia di lain waktu. Tanpa terlihat orang lain. Apalagi, Lisa.
Kaia bisa mengganguk hal ini sebagai hal baik atau pun hal buruk. Pengalaman pertama kadang kala bisa membawa pelajaran yang berharga.
__/_/_/____/____
Tbc....
Maaf ya teman-teman. Entah sudah keberapa kali saya menggonta-ganti alur ini. Ini sudah sangat sering terjadi pada saya.
Maaf atas ketidaknyamanan ini.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro