Juri Tiga
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah saya panjatkan kepada Allah Yang Maha Kuasa, karena atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya, penjurian dari karya yang berjudul "Partner in the Past" dapat saya selesaikan. Harapan saya, penjurian ini dapat memberikan informasi dan masukan bagi penulis-penulis lama dan baru di komunitas menulis daring Montase Aksara dalam rangka memeriahkan acara bulanan untuk jagat literasi platform Wattpad.
Dalam pembuatan penjurian ini, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Ibu Fitriyana Ilmi S.S. selaku Pawang Acara yang selalu menuntun dan mengingatkan para juri akan kewajibannya. Selain itu, ucapan terima kasih juga saya tujukan kepada teman-teman juri lainnya, Bapak Achmad Aditya Avery dan Ibu Caroline sebagai teman seperjuangan dan pemecut semangat karena lebih dulu mengumpulkan tugas daripada saya.
Tidak lupa, ucapan terima kasih sedalam-dalamnya untuk seluruh panitia dan peserta acara bulanan Montase Aksara. Tanpa acara tebak-tebakan penulis dan VN kalian, komunitas kita tidak akan seramai dan semenyenangkan sekarang. Karena kalian pulalah saya dapat menyelesaikan penjurian ini tepat waktu (lewat sedikit tidak apa-apa).
Demikian, penjurian ini saya hadirkan dengan segala kelebihan dan kekurangan. Oleh sebab itu, kritik dan saran yang membangun demi perbaikan penjurian ini sangat saya harapkan. Semoga penjurian ini dapat memberikan manfaat dan pengetahuan bagi pembaca, khususnya penulis yang sakit pantat setelah membacanya.
113˚30'- 114˚07' Bujur Timur dan 1˚35'- 2˚24' LintangSelatan, 31 Oktober 2019
Juri
P.S. Kebetulan sekali, sekarang Halloween dan malam Jumat Kliwon. Tidak ada yang ngepet berjamaah? Saya tunggu di depan lapangan kuning pukul 01.00 WIB ya. Tiada kesan tanpa kehadiranmu. Salam pesugihan!
Java de Oorlog
Penulis satu (8,5)
- Narasinya padat, panjang, dan sedikit membuang napas. Kadang satu paragrap terasa sangat panjang. Tetapi saya suka dengan kalimat-kalimatnya yang rapi. Rentetan adegan per adegan menjadi dasar penokohan. Misal, Dimas adalah seorang rakyat biasa yang berjuang hidup dan bertemu dengan seorang aristokrat. Pertemuan mereka menumbuhkan benih-benih cinta sekaligus keinginan menghapus penjajahan lewat perang Diponegoro yang pecah dalam lingkup keraton.
- Walau minim dialog, adegan tetap tersampaikan dengan baik. Detail kecil seperti pengetahuan tentang hukum tanah dan keadaan Yogyakarta yang memanas memberi kesan tersendiri seperti ornamen cantik di kuil yang kalem atau relief pada dinding rumah peridabatan. Tidak terlalu bisik dan bisa ditangkap dengan mata.
Penulis dua (6,5)
- 'disebuah' yang benarnya 'di sebuah'
- Narasinya jadi jomplang karena di sini paragraf lebih pendek dan lugas. Sebenarnya tidak apa-apa, hanya saja ornamen yang timbul di awal hilang di sini. Kesan cantik dan kalem lenyap, jadinya tempo lebih cepat, dan seperti dikejar-kejar oleh setan deadline.
- Penggunaan tanda tanyanya kebanyakan, cukup satu per kalimat. Tidak perlu dua seperti menuntut gebetan saat chat tidak dibalas. Berlaku juga untuk tanda seru.
- Mulai ke bawah cerita menjadi tidak rapi dan terburu-buru. Beberapa paragraf terpenggal padahal belum selesai.
- Bisa saya bilang akhirnya menjadi cheesy. Sebenarnya tidak apa-apa menyelipkan kisah cinta yang tragis, tetapi penggambarannya yang cuma sekalimat-sekata membuat adegan sedih kurang tergali. Saya maklumi batasan kata.
- Saya agak menepuk jidat pada adegan kaburnya Dimas dari tahanan. Maryse jadi sangat polos dan ceroboh. Tidak dikatakan pula perihal gelang yang jatuh. Tahu-tahu di akhir benda tersebut jadi kunci kegagalan cinta mereka. Twist-nya jadi tidak nendang.
- Ketika Dimas menggantikan hukuman Maryse, saya tidak bersimpati sama sekali dengan tokohnya. Dampak yang timbul dari putusnya ikatan cinta di panggung pemenggalan kurang tergali.
- Kesimpulan, penulis dua masih butuh belajar menulis narasi yang padat dan bisa mencangkup semua adegan tanpa membuatnya terkesan sesak. Pilihlah adegan yang perlu diperpanjang dan persingkat adegan yang cuma jadi batu pijakan.
Perjuangan Tanpa Henti
Penulis Satu (6):
- /Suara Tembakan/ Tolong untuk suara tambahan lain kali deskripsikan saja, seperti detus pistol itu, letusan senapan, gelegar senjata api menyeruak, dst—lebih baik karena dapat langsung terimajinasikan.
- ["Apa kau baik-baik saja?" Tanya sang lelaki ...] untuk dialog tag atau penggiring dialog, kata seperti ujar, tanya, kata, jawabnya, itu ditulis huruf kecil, jangan kapital. Ayo, belajar dialog tag.
- Sehelaipun, pun-nya ditulis terpisah.
- Disini, diluar, yang benar di sini, di luar.
- ... saat para pasukan lawan gentar memberi ampun. Hayo, cari lagi di KBBI arti gentar. Secara kasar maknanya 'takut'. Ya, apa yang menakutkan dari memberi ampun? Kecuali yang dimaksud 'pantang mundur', cobalah cari padanan kata lain.
- " ... Berlebih dirimu, sayang." Chotto matte, mungkin maksudnya 'terlebih'. Karena berlebih memiliki makna yang tidak padan pada kalimat dan situasi tersebut. Kata ganti panggilan untuk orang pun, harusnya ditulis kapital 'Sayang'.
- Disebelah, di sebelahnya.
- Untuk kata ucap dan teriak, penulis bisa menggunakan penggiring dialog dengan benar. Mungkin sebelum-sebelumnya khilaf, semoga tidak salah lagi ya.
- Secara garis besar tulisannya penuh dialog dan minim deskripsi tempat, waktu, serta suasana. Gambaran perang dideskripsikan penuh teriakan dan suara tembakan. Sebenarnya cukup, tetapi kurang tergali dan menyakinkan. Tentang letak tempat dan kesengsaraan penjajahan juga kurang dieksplorasi. Terlalu ngambang. Apa yang hendak disampaikan sebenarnya sudah dapat cuma kurang nendang.
Penulis Dua (6)
- Secara keseluruhan, masalahnya sama dengan Penulis Satu. Mulai dari penggunaan di dan ke (jika menunjukkan waktu dan tempat, ditulis terpisah), terlalu banyaknya menggunakan dialog, minim deskripsi, dan cepatnya tempo cerita berlalu tanpa memberikan kesan mendalam.
- Ada beberapa saltik (salah ketik) di beberapa kata. Coba cari lagi.
- Saya merasa sejarah di tulisan ini masih dangkal. Adegan wanita penghibur, pesta, dan penyerangan dadakannya kurang terdeskripsikan dengan baik. Masih terlalu kasar (mereka mabuk, mereka menari, seragam bermotif tidak asing). Cobalah menjadi unik dan detail. Buat pembaca juga ikut berfantasi dengan menggambarkan seperti apa mereka mabuk (sempoyongan dengan wajah merah), seragam bermotif tidak asing (berwarna cokelat/abu-abu dengan loreng hijau tua dan pangkat lencana di bahu serta saku depan, misal).
- Semakin ke bawah semakin berantakan. Ada kalimat yang tidak dalam petik tetapi seperti seruan ketika Daniel ditikam. Lagipula, kenapa Daniel bersikeras jadi penjahat padahal hidupnya tinggal sedikit lagi? Di sini tokoh-tokohnya stereotip, prajurit pemberani, penjajah jahat, dan gadis-gadis cantik yang lemah tetapi licik. Ada yang kurang seperti bumbu kemanusiaan dan motivasi.
- Bisa saya bilang juga cerpen ini terlalu lebar mengambil lampu sorotnya. Sebenarnya bisa diperdalam hanya di adegan ketiga prajurit Indonesia mencoba mengalahkan penjajah dengan racun dan serangan mendadak. Daripada di awal, ketika peperangan meledak entah di mana. Itu lebih ngena sekaligus menghemat tempat.
Pembodohan Rasa
Penulis Satu (8,5)
- Udah bagus
- Dapat bonus puisi
- Rapi juga
- Diksinya beragam dan tidak monoton
- Setting tempat dan waktu jelas
- Bingung saya mau ketik apalagi
Penulis Dua (8,3)
- Oke, saya sempat speechless saat Kathelijn ikut bunuh diri bersama Rajen. Agak-agak psikopat narsis, sengaja datang menjadi malaikat maut gebetannya, supaya mati romantis dalam cinta terlarang. Tetapi saya suka idenya. Eksekusinya juga rapi dan tidak terlalu padat. Ibarat bolu, rasanya pas. Manis dan keempukannya nikmat sehingga tidak bikin tersedak. Mungkin akhirnya aja yang agak wha gitu.
- Saya masih tidak ikhlas dengan perubahan karakter Kathelijn, kalau mau membuatnya jadi seperti Dewi Ayu di Cantik itu Luka (yang masa bodo, apatis, dan sarkatis) maka keluarkan karakter itu sejak awal. Buat ia memiliki kepribadian yang mencerminkan masa lalunya, misal, karena Kathelijn adalah anak dari salah satu selingkuhan, maka dia tidak peduli tidak dihormati, pakaiannya terkesan tidak mewah, dan sikap psikopatnya dari rasa biasa saat merasakan sakit di tangan/kaki. Jadi, tidak kaget saat mencapai akhir. Ada foreshadowing gitu.
Amerta
Penulis Satu (7,5)
- Tidak ada kesalahan yang fatal. Hanya saja deskripsi dan dialognya kurang menggigit. Kesannya tulisan Penulis Satu itu tidak yang bagus banget, tidak juga jelek sekali. Pas di tengah, medioker.
- Yang saya tangkap, penulisnya belum punya warna tersendiri dalam medeskripsikan sesuatu. Adegan kejar-kejaran itu juga terasa klise dan sering terlihat di anime, manga, film, dan lain-lain. Jadi udah ngeh arahnya ke mana.
- Begitu pun dialog dengan Bapak Rajendra. Kesannya masih kaku sekali, bisa diperhalus. Dengan menyisipkan gestur yang lebik unik, misal memilin kumis, menggeser pantat berkali-kali, atau mengelap peluh saking panasnya menahan emosi. Gunakan deskripsimu untuk mengangkat cerita menjadi lebih hidup, tambahkan perasaan tokoh ini dan itu. Ungkap kegelisahan mereka, keluarkan lewat tindakan. Jadi, saat Rajendra marah, dia benar-benar marah karena melihat penderitaan rakyat di jalan/desa/atau temannya yang mati disiksa.
- Sebab saya merasa, Penulis Satu terlalu banyak tell-nya ketimbang show.
- Selebihnya, semua rapi dan sistematis.
Penulis Dua (7,5)
- Oke, endingnya tragis.
- Sama seperti penulis satu, walau rapi, kesannya masih kurang dalam dan tergali unsur sejarahnya. Rajendra di sini seperti aktivis mahasiswa yang sudah diincar pihak keamanan alih-alih pejuang muda berdedikasi. Cara Rajendra untuk menerbitkan surat pemantik perjuangan agak kurang mulus. Saya kira, Rajendra akan lebih cerdik lagi dengan berdiskusi bersama teman-temannya dan tidak bertindak gegabah.
- Paham, karena jiwa penolongnya dia langsung naik pitan dengan kompeni yang menyakiti nenek-nenek tua. Cuma kondisinya, Rajendra sedang sendiri. Dia bangsawan seharusnya punya sedikit kekuatan untuk menolong si nenek, dengan cara elegan. Bukannya main tendang dan mengumpat.
- Karena jujur saja, Rajendra di sini sangat gegabah. Dia punya orang tua, harta, dan akses pendidikan yang baik. Jadi kesannya, Rajendra seperti anak manja bar-bar yang haus perkelahian. Jangan-jangan dia ... Dilan is that you?
- Saran untuk kedua penulis, lebih perdalam lagi bagian emosi-emosinya. Deskripsi harus harus lebih unik. Coba padu-padankan diksi. Suasana kolonialnya belum dapat, karakter juga belum kuat. Tetapi sebagai permulaan, ini sudah bagus. Tinggal ditingkatkan lagi dengan banyak latihan dan membaca.
Kalakian
Penulis Satu dan Penulis Dua (9 dan 9)
- Saya suka pembukaannya
- ANJIR INI LUCU TAPI SEDIH BEUT
- Aduh, pas adegan penghancuran jembatan saya ikut deg-degan :"
- DETAILNYA KECE PARAH
- ENDINGNYA PECAH
- KEYBOARD SAYA MELEDAK WOY
- *sedang maintanance*
- *juri akan kembali sesaat lagi*
- Eh beneran mati laptopnya tauk, charge-nya belum dicolok, pas baterai habis, tamat. Jadi harus ngetik lagi ulasan cerpen ini.
- Pertama, saya apresiasi kedua penulis yang total dalam menggarapn naskah berdurasi 2000-an kata ini (I love You 2000). Diksi yang digunakan beragam, tersempil apik dalam cerita dan menjadi warna tersendiri yang mengangkat suasana lawas di bawah jaman kolonialisme.
- Saya suka karakter Soepardi dan Djoko. Keduanya sepasang sahabat karib yang erat karena penderitaan. Dimasak oleh ketidakadilan, peperangan yang mereka lakukan murni untuk berjuang karena sudah tidak punya apa-apa lagi. Mereka tidak takut mati.
- Celetukan-celetukan dalam dialog juga segar, komedinya berbaur sempurna dalam tragedi yang pahit. Jadi nano-nano rasanya, tetapi itu yang membuat cerpen ini sangat menarik dan berkesan.
- Ide yang diangkat sebenarnya sederhana, hanya pengemasannya benar-benar total sampai ke tahap GILA (bagi saya). Latar masa kolonialnya dapat banget, penyebutan londo itu sangat jenius. Juga suasana desa yang kalem, suara tokek, dan harapan sederhana tentang kawin dan burung. Benar-benar menggambarkan orang yang gak muluk-muluk dan berusaha beradaptasi dengan takdir.
- Meski akhirnya tragis, saya akui saya suka sekali cerpen ini. Baik Penulis Satu dan Penulis Dua sama-sama punya kepiawaian seimbang.
- Hal paling keren adalah jembatan Tjomal. Di awal cerita, kakek tokoh utama meninggal di jembatan tersebut sebagai pekerja paksa. Jembatan itu pula yang menjadi jalan utama para penjajah. Jadi ketika ending, jembatan itulah simbol penderitaan yang harus dihancurkan. Pinter banget, beneran. Baca keseluruhan cerpen tuh, semuanya terasa penting, jadi tidak ada yang sia-sia.
Bungasnya Hiro
Penulis Satu dan Penulis Dua (7)
- Sayangnya, negaraku yang kecil ini memiliki orang-orang hebat yang mampu merebutnya. Biasanya, jika ada kata sayang di awal itu, untuk mengungkapkan kebalikan dari kalimat sebelumnya, atau keprihatinan, atau suatu pernyataan negatif. Jadi kurang pas, kalau memiliki orang-orang hebat yang mampu merebutnya disandingkan ke kata tersebut.
- Oke, ini komentarnya satu ya untuk kedua penulis. Karena secara rasa dan kepenulisan, keduanya sama.
- Pertama, karakter Hiro yang baik dan naif masih belum kuat. Dia dikatakan merasa tertipu, karena tentara Nippon datang hanya untuk menyiksa dan mengeruk kekayaan negara lain. Padahal janjinya Nippon datang sebagai Cahaya Asia. Di sini, latar belakang sikap Hiro harus dijelaskan. Pembaca harus tahu bagaimana dan kenapa ia bisa berbeda? Apakah dalam keluarganya mereka menjunjung tinggi kehormatan, atau ia seorang anak pendeta yang terpaksa jadi tentara demi nama baik keluarga? Hal-hal sekecil itu bisa menjadi bumbu sekaligus penguat karakterisasi Hiro.
- Karakter Bungas juga begitu. Dikatakan ia wanita cantik dan cerdas. Namun, sepanjang penceritaan dialog-dialog yang keluar dari bibirnya hanya mengenai kritik terhadap Nippon. Tidak kelihatan cerdasnya. Kalau pun diperlihatkan sebagai fragmen, misal diceritakan dalam paragraf, seharusnya ditunjukkan ia cerdas seperti apa: pernah menipu 'Mama' di rumah Bordil, atau merencanakan sendiri siasat kabur. Bukannya nunggu ditolong Hiro dulu seperti pangeran berkuda putih menyelamatkan seorang putri.
- Sampai akhir, saya lempeng aja dengan ceritanya. Konfliknya jadi kurang kuat karena karakterisasinya masih harus diperdalam lagi.
- Lainnya, cerpen ini bagus. Rapi dan tidak banyak kesalahan. Secara teknis sudah keren, tinggal unsur instrinsiknya lagi yang direhab.
- Semangat!
Kuncup Edelweiss untuk Pertiwi
Penulis Satu (7,5)
- Ada typo menggatikan, kurang n
- Penulis satu ini, kalau saya lihat tugasnya untuk mengenalkan suasana, apa itu Sekolah Istri, Rahayu, dan konflik.
- Hal yang bagus sekaligus agak mengganggu adalah diksi yang selalu berima di akhir. Dulu pernah ada penulis koran, A*yu Uta*mi namanya, yang selalu bagus dalam kepenulisan dan menjadi kiblat sastra bagi sebagian orang. Tetapi, di salah satu cerpen kompas, dia memakai gaya seperti ini. Semua kata dalam satu paragraf berakhir berima, bahkan dialog juga. Ketimbang dipuji, dia dianggap terlalu melampaui batas. Alih-alih disanjung karena cara eksekusi yang nendang, dia malah terlalu fokus pada rima, sampai lupa kalau cerpennya itu masih harus dipoles sana-sini terutama pembawaan konfliknya.
- Itu, merupakan penurunan seorang Ay* Uta*mi. Harapan saya, penulis satu ini juga belajar. Rima itu bagus kalau pemakaiannya tepat dan sesuai. Terlalu banyak jadinya bikin eneg. Karena ini cerpen, fokuslah pada penyampaian karakter dan latar. Buat seunik mungkin dengan diksi dan padanan berbeda.
- Selebihnya, cerpen ini sudah rapi dan bagus.
Penulis Dua (7,4)
- Wha, rasanya cepat sekali tempo cerpen di sini. Dari awal keinginan Ayu bertemu Agung, sampai bisa berbicara berdua dengannya: saya merasa seperti melihat klip-klip film yang dipercepat dan hanya dilambatkan sedetik di satu adegan.
- Saya suka karakterisasi Ayu yang dibangun perlahan dari awal sampai akhir. Hal yang mempengaruhi persepsinya tentang penjajah sekaligus caranya mendekati sang pujaan.
- Kalau boleh jujur, konfliknya masih kurang menggigit. Saya belum melihat konsekuensi bila Ayu gagal menggapai impiannya. Saya menunggu-nunggu Ayu memulai mimpinya membuka sekolah, minimal mengajarkan adik/temannya menjahit dan membaca aksara sukarela di surau. Lalu dilanjutkan dengan pertentangan kecil ala anak-anak, misal, Agung mencibir karena menganggap perempuan seharusnya pulang saja mengurus orang tua di rumah.
- Sebab, konflik di cerpen ini terlalu lurus. Grafik ketegangannya juga nyaris datar. Tidak ada gejolak-gejolak yang mengangkat tensi cerita.
- Sepanjang Penulis Dua bercerita, dia sibuk mengungkapkan apa itu cinta dan rasanya jatuh cinta. Bagus sih, cuma ketika cinta itu tidak sampai pada Agung, dan malah berbuah kesakitan. Cerita yang sudah capek-capek dibaca dari awal seperti tidak mendapat akhir yang memuaskan.
- Maunya Ayu mendapat titik balik dan berubah drastis. Oh iya, penempatan endingnya sudah bagus. Cuma proses ke sana yang agak lempeng.
- Jadi saran untuk kedua penulis, perbanyak konflik-konflik kecil yang menuntun ke konflik besar dan solusinya di akhir. Ini cerpen, beberapa narasi yang dianggap terlalu banyak makan tempat, bisa dipangkas demi keefektifan menuturkan cerita.
Bergerak
Penulis Satu (8,8)
- Pembukaannya mirip-mirip dengan cerpen lain, jadi terasa pasaran
- Damn, paragraf-paragarf awalnya mulus terbaca. Dialognya walau satu-dua kali muncul benar-benar menggambarkan suasana dan isi hati tokoh.
- Padat, singkat, dan jelas. Penulis Satu sepertinya kebagian tugas memperkenalkan tokoh dan konflik (yaiyalah), dan di sini tugas itu terembani dengan sangat baik. Semua rangkaian cerita menyatu apik dan mulus dibaca. Siapa tokoh Aku kelihatan, kenapa ia bisa menjadi romusha, dan motivasinya untuk bangkit dari keterpurukan. Jadi, tidak ujug-ujug mau berjuang tanpa alasan.
- Saya suka keegoisan dia yang manusiawi, seperti mementingkan diri sendiri ketimbang nyawa orang lain, karena suasananya kepepet. Itu memberikan bumbu bahwa tidak semua protagonis itu suci dan luhur.
- Menurut saya, ini segmen pembuka yang bagus.
Penulis Dua (6)
- Disaat ditulis di saat
- ... karena kelelehan bekerja. Akan lebih baik kalau ditulis ... karena kelelahan kerja. Supaya lebih efektif.
- Tapi Nusa tetap masih terjaga. Ada yang tidak efektif dan rancu. Mungkin bisa diubah menjadi Nusa terjaga atau Nusa masih terjaga. Tapi di awal itu kurang merasuk ke dalam kalimat.
- Tanya Abdi. Seharusnya ditulis huruf kecil tanya Abdi, karena penggiring dialog/dialog tag
- Banyak miss pemakaian di, ku, dan ke. Coba pelajari lagi atau tanya di grup bagaimana penggunaannya. Bisa jadi bahan diskusi menarik.
- Adegan Nusa bertemu ibunya datar. Tidak ada serpih-serpih emosi dan berlalu sangat cepat. Nusa memeluk ibunya, ibunya tidak kaget dan malah bertanya bagaimana nasib teman-teman Nusa. Mbok, anakmu baru bebas dari penjajah seharusnya merespons lebih terharu dan bahagia lagi.
- Sebentar, Nusa mati dengan lompat ke jurang? Kok tidak ada bau-baunya. Ending terlalu cepat selesai tanpa solusi yang jelas. Terkesan buru-buru dieksekusi. Rasanya seperti sudah diajak ke sana-kemari, tetapi endingnya tokoh utama cuma mimpi. Itu nyebelin.
Mariana
Penulis Satu (6,5)
- Ada pernyataan cukup kritis untuk ukuran di zamanku ... dalam cerita, kesannya seperti self-proclaim alias ngaku-ngaku. Sejujurnya pembaca tidak suka hal begitu karena kelihatannya narsis, kecuali tokoh utama memang punya tingkat kesombongan tersendiri. Lebih baik tunjukkan kekritisannya lewat tindakan dan ucapan. Langsung saja di awal perlihatkan adegan tersebut.
- Perkenalan dalam cerpen biasanya tidak perlu karena hanya membuang waktu (aku ini, aku itu). Lebih cepat masuk konflik lebih baik. Penjelasan mengenai latar belakang karakter dapat dilakukan sambil jalan dalam cerita.
- Dialog Mariana dan ibunya masih kurang dalam. Terlalu dangkal, kata-kata yang diucapkannya generik.
- Konflik yang diangkat sebenarnya sederhana, tentang seorang perempuan yang mencoba melawan penjajahan atas dirinya. Dia tidak mau menikah, dijodohkan, masih ingin sekolah. Tetapi sepanjang cerita Mariana tidak melawan, terus menggerutu, cuma mengomel tetapi tidak mengambil konfrontasi kecil. Dia seolah pasrah karena bingung harus bagaimana tetapi menginginkan perubahan.
- Pola pikir Mariana masih mentah, lebih mentah lagi karena konflik cuma ada dalam batinnya. Tidak dengan tindakan. Mariana tidak berusaha kabur/melawan/mengikuti sanggar seni/atau jadi tentara sekalian supaya lepas dari perjodohan. Padahal, bagian awal penting untuk mengungkapkan konflik dan jalan menuju penyelesaiaannya. Tetapi ini masih terasa lempeng dari awal sampai akhir penulis satu.
Penulis Dua (6)
- Menunggu ada yang mendukung, membuat Mariana terlihat hanya mencari perhatian ketimbang berusaha menyelesaikan permasalahannya. Oke, mungkin Mariana butuh merasa ada teman untuk berjuang. Tetapi di awal dia selalu menyebutkan tentang wanita mandiri dan kritis. Jadi, kelihatannya kontradiksi. Gak enak dibaca.
- Ujung-ujungnya Mariana malah menuruti tradisi dengan mengalah pada laki-laki, padahal di awal begitu menggebu-gebu menjadi wanita kritis yang cerdas.
- WHAT?! Endingnya malah Tarni—gebetan di kelas—yang nyelamatin Mariana! Padahal sepanjang cerita ini tentang Mariana. Kenapa ujug-ujug ada Pangeran Berkuda Putih yang menyelamatkan semesta. Bah! Sia-sia aku ini baca.
- Apapula itu akhirnya, seperti sinetron. Dari awal cerpen ini sudah cheesy, tentang hutang dan menikahkan anak perempuan sebagai ganti bayar itu idenya udah pasaran. Seharusnya ada yang unik jika ingin mengambil ide yang sama.
- Latar kolonialismenya juga tidak kelihatan. Patriarki itu abadi, ada di mana-mana, baik dari jaman Gilgames jadi raja Uruk di semenanjung Sumeria sampai perselingkuhan artis yang pihak perempuannya selalu dicaci warganet. Jadi, kesan jaman dulu yang coba ditampilan cuma tempelan semata. Ibarat panggung, pohon dan gunungnya itu cuma kertas diwarnai krayon. Kelihatan sekali palsu.
- Untuk kedua penulis, belajar lagi cara membawakan konflik dan memberi ruh kepada tokoh utama. Semangat.
Api dan Cinta yang Membara
Penulis Satu (7)
- Wow, pembawaan di awalnya seperti berita harian koran.
- Tidak jelek, cuma kesannya seperti artikel wikipedia yang ditambal sulam dengan tokoh fiksi biar tambah menarik.
- Oke, ketika masuk adegan sulit makan di bunker bawah tanah, yang saya harapkan suasana di sana bagaimana. Apa hal-hal otentik yang bisa kamu bawa—yang tidak pembaca tahu—ke dalam cerita supaya berbeda. Misal, bagaimana penerangannya, air bersih, sanitasi, pembagian dengan keluarga lain, dan ketakutan serta sumber informasi. Tinggal di bunker setahu saya sudah disiapkan bantuan logistik. Tidak ada istilah beli ke warung/cari telur di pertigaan terdekat untuk makan sekeluarga.
- Makanya, kesan yang saya dapat ini beneran bunker bawah tanah atau kos-kosan dua petak?
- Selebihnya, tuturan kalimat, dialog, dan narasinya sudah oke. Semua rapi dan enak dibaca. Cuma latarnya saja yang masih belum melekat. Sejarah Bandung sudah dijelaskan di awal, hanya kurang berdampak pada pilar cerita yang ternyata mempermasalahkan nafkah. Ini kayak, seorang kontestan datang dengan pakaian mewah, sudah siap-siap mendengar suaranya indahnya, eh ternyata saat nyanyi terdengar datar saja. Untung masih bagus.
Penulis Dua (7)
- Napas ya, bukan nafas.
- Di sini Hanif bisa dengan leluasa mengunjungi keluarganya yang ia sembunyikan di rumah bawah tanah. Padahal, kalau masih masa perang. Mengunjungi tempat pengungsian itu berbahaya. Karena dapat dikuntit musuh dan dijadikan sandera agar tentara lawan menyerah.
- Atau balik lagi, ini bukan bunker, tapi kos-kosan dua petak. Hmm...
- Walau banyak logika bolong di cerpen ini, seperti ngapain penjajah menculik pengungsi tanpa pasukan memadai (masa iya mudah dikalahkan warga) dan masalah bunker tadi. Endingnya cukup menyentuh. Karena tulisan rapi dan deskripsi perasaannya lumayan dapat, kematian Adinda jadi cukup disayangkan.
- Detail peperangan di awal penulis dua sama seperti penulis satu, seperti kalimat berita yang berusaha ditambal-sulam menjadi fiksi. Masih kurang mulus lagi. Harapannya semoga kedua penulis dapat belajar memfiksikan sejarah dengan lebih baik.
- Bagaimana caranya? Banyak-banyak latihan dan membaca.
Satu set seragam sekolah dan sebuah kepercayaan (6,8)
Penulis Satu
- Jadi namanya siapa, Hiruto, Haruto, atau Eko? Ada tiga nama nempel secara berdekatan.
- Seingat saya, Nippon itu bangsa yang superior. Ketika datang ke Indonesia, hal yang mereka galakkan gerakan 3A. Untuk itu Indonesia mendukung, tetapi mereka harus memberikan pajak yang tinggi demi mengusir 'penjajah' lewat tentara Nippon. Lalu akhirnya sadar, Nippon cuma mau memeras kekayaan mereka. Jadi, aneh rasanya ada orang Nippon bisa berbahasa pribumi dan bermain di kebun yang notabene berisi para budak kerja paksa. Apa dia tidak takut diamuk warga? Jaman itu, tingkat depresinya tinggi, orang bisa saling bunuh demi berebut pakaian.
- Nippon itu terkenal paling bengis dan kejam. Jauh lebih seram daripada Belanda yang cuma ingin menjadikan Indonesia wilayah adikuasanya.
- Nippon itu tinggi harga dirinya, mereka menganggap negara jajahannya itu cuma ladang dan manusia tukang. Semakin aneh melihat ada seorang Nippon menjadi baik dan tiba-tiba membawa masuk seorang pribumi (yang tidak punya status apa-apa, padahal saat kemerdakaan yang masuk ke rumah Maeda itu para petinggi yang sering bertemu di medan politik).
- Hiruto terlalu baik dan semakin janggal karena tidak ada latar belakang motivasinya jadi baik itu kenapa. Apakah ia percaya karma buddha? Atau menyakini adanya samsara?
- Chotto a minute, tiba-tiba saja Hiruto memberikan seragam sebagai tanda pertemanan. Karena dia merasa bersalah. Kalau tidak benar (karena tidak salah sudah mainstream), saat jaman perang (apalagi di bawah kedudukan Nippon), sekolah-sekolah rakyat nyaris ditutup semua karena agresi militer berkesinambungan.
- Saya merasa latar asing yang digunakan di sini (tentang Jepang) seperti tempelan saja yang tidak memberi dampak psikologis dan sosial. Kalau cerita ini diubah tentang anak orang kaya dengan pekerja cilik di kebun tehnya, hasilnya sama saja. Tidak ada yang berubah.
- Kesannya, pengarang seperti pemain boneka yang tidak mengerti bonekanya sendiri. Dia gerakkan tanpa riset budaya (alias kepepet) jadi kelihatan semu dan hampa. Untungnya tulisan ini rapi dan tidak banyak kesalahan. Jadi masih enak dibaca.
Mentari di Ujung Napas Defras
Penulis Satu (7)
- Banyak deskripsi malang-melintang mengambil lampu sorot sehingga latar suasana, latar perasaan, dan konfliknya terasa belum terjamah.
- Saya pribadi suka kedua karakternya yang romantis namun sendu. Ketika mereka berada di pantai, suasana ademnya dapat. Tetapi—entah kenapa—dalam pembacaan saya, dialog-dialog mereka sangat kaku dan masih kurang masuk. Percakapan dadakan tentang situasi Indonesia terkini membuat mereka seperti sepasang pembawa berita alih-alih orang kasmaran yang tengah meluapkan rindu. Ada yang kurang dari adegan tersebut.
- Ketika Ayah Tari muncul, konflik mulai terasa. Namun semakin ke bawah, alur cerita jadi sangat cepat. Tiba-tiba terselip sebuah paragraf yang menayangkan kematian Jenderal Wallaby. Cerpen jadi tidak fokus. Dari awalnya tentang sepasang kekasih, kematian seorang jenderal, sampai suasana perang. Ibarat menonton, rasanya seperti gonta-ganti kanal antara drama, berita, dan variety show.
- Mungkin penulis perlu fokus pada satu karakter, mengikutinya sebagai orang pertama atau ketiga. Informasi diselipkan lewat perantara, misal kabar radio, koran, televisi, atau cerita dari orang-orang sekitar. Supaya tidak terkesan cerita tambal-sulam.
- Selebihnya cerpen ini rapi dan lumayan enak diikuti. Diksinya juga manis ketika menjabarkan matahari terbenam dan laut.
Penulis Dua (6,8)
- Saya sangat terganggu dengan diksi-diksi modern seperti cheesy, mommy, daddy. Ini cerita berlatar jaman kolonialisme, lebih baik pakai bahasa Belanda kalau memang ingin menggunakan Ayah, Ibu, kakak. Kalau bahasa Inggris, kesannya jadi anak CEO konglomerat yang gak boleh mencintai orang biasa karena status. Jatuhnya sinetroniyah.
- Bagian surat-menyurat itu sebenarnya bagus, sudah romantis. Tetapi akhirnya Defras lebih memilih anak perdana menteri ketimbang cintanya di Indonesia. Ada yang kurang sebenarnya, Defras tidak terlihat berusaha. Dia pasrah, ibunya bilang apa dia nurut. Negaranya minta apa, dia iya aja jadi tentara. Dan entah status bangsawan seperti apa yang membuatnya dapat dikenalkan anak perdana menteri. Perdana Menteri itu statusnya udah kayak presiden, sementara Ratu itu kaisar di atas presiden.
- Defras tidak terlihat sebagai tentara berprestasi. Dia cuma manusia biasa yang lahir dari rahim ibu Belanda, tetapi dapat dua gadis cantik dalam hidupnya. Kok jadi saya yang kesal, heh.
- Defras karakternya lemah, berbeda dengan Tari yang masih menunggu. Defras terlalu menurut dan di akhir karakternya semakin lempeng dan tidak berkesan. Defras tidak melakukan sesuatu selain mengirim surat cinta dan perpisahan. Lalu, begitu saja. Tidak ada dampak yang terjadi. Ketika konflik berakhir, pembaca ingin dibuat terkesan dengan akhir yang semakin sedih (kalau dibuat menurun) atau bahagia (kalau happy ending).
- Tetapi di sini, semua diakhiri dengan kedataran. Jadi kurang berminat.
- Dialog-dialognya juga kaku, Mommy Daddy itu sungguh mengganggu sekali.
- Harapannya penulis belajar lagi cara menulis cerpen supaya singkat, padat, dan impactful.
Pencuri kecil dan Gadis pelayan (Btw, kalau judul harus diawali huruf kapital semua kecuali kata sambung)
Penulis Satu (6)
- Diantaranya yang benar di antaranya
- Disamping yang benar di samping
- 'sekiranya dapat menguntungkan mereka'. Di sini belum jelas siapa mereka dan siapa yang ditangkap. Terlalu riskan bermain misteri jika di awal sudah harus tebak-tebakan. Tidak salah, cuma saya pribadi (iya, saya seleratif sekali makhluknya) kurang mengenakkan dibaca.
- 'tepat 5 rumah lagi disamping' yang benar ditulis 'tepat lima rumah lagi di samping'. Kenapa? Angka di bawah dua digit harus dibilangkan kecuali untuk memaparkan fakta atau data (biasanya non-fiksi) (tetapi ini kepercayaan saya sih).
- diluar seharusnya di luar
- Keluhan pertama, dialognya kaku sekali. Saya sudah sering baca dialog kaku, tetapi ini benar-benar kaku. Misal "Berhentilah menyeret dan memukul" kata seorang wanita dengan suara serak saat dirinya digiring ke luar rumah. Di dunia nyata orang tidak akan berkata sepanjang itu, saat terdesak dia lebih "Ampun, Pak, ampun! Jangan sakiti saya, ampun!" atau "Tolong saya, ampun, jangan ... jangan ... ja—" Buat senyata mungkin, sependek atau sedramatis apa pun boleh selama sesuai dengan suasana.
- Deskripsinya juga terlalu panjang. Hampir separuh pembacaan, saya belum menemukan konflik utama. Pencuri kecil jadi pencuri karena keterpaksaan. Asal mula Askar menjadi pencuri, kebohongannya yang berlanjut sampai ia tertangkap. Tetapi ketika mendeskripsikan 'rumah mewah', penulis tidak memberi detail apa-apa lagi. Padahal di awal banjir gambaran seperti keadaan digrebek, suara gaduh, dan orang-orang yang terpaksa bekerja. Di sini saya menangkap, penulis kehabisan jumlah kata. Dia terlalu jauh mengambil rentang cerita, padahal cerpen bisa dimulai dari konflik ketika Askar dibawa tentara. Cerita boleh mulai di sana dan informasi tentang dirinya diselipkan perlahan-lahan.
- Kesannya, bagian Penulis Satu ini masih belum rapi dan diedit. Banyak kalimat-kalimat tidak efektif, kesalahan PUEBI, dan adegan panjang yang ternyata tidak terlalu masuk ke konflik utama. Mungkin cerita ini bagus dijadikan novel, tetapi untuk cerpen masih terlalu lebar dan alot.
Penulis Dua (6,6)
- Masih banyak salah penggunaan di dan ke-nya. Di dan ke untuk keterangan posisi dan waktu dipisah (ke mana, di mana, di situ, ke rumah, di siang hari), kalau di untuk kata kerja pasif dirangkai satu (dimakan, ditelan, ditiup)
- Saya sangat terganggu dengan kata ganti suara SPLASH, bawaannya jadi ingin mengutuk karena suasana sudah bagus, tiba-tiba ada kata asing dicetak miring TEBAL LAGI mengambil alih perhatian. Lebih baik dideskripsikan saja, jadi 'suara tikaman, suara daging lunak dihantam benda tumpul menguar di telinga, dst'
- Paragraf pertamanya lumayan, tetapi semakin ke bawah deskripsinya mulai terlalu banyak. Dialognya sudah tidak sekaku Penulis Satu.
- Dan siapa Didi, kenapa dia bisa tiba-tiba ada? Seharusnya di awal ada dikasih petunjuk, walau cuma sedikit. Rasanya dadakan, pembaca tidak bisa mengantisipasi, dan merasa kehilangan jejak.
- Kedatangan Marni juga tiba-tiba. Saya tidak punya petunjuk bagaimana dia yang menolong Askar di awal. Karena saat ketahuan mencuri, dia dibawa ke rumah mewah (oh, mungkin di sana rahasianya).
- Tetapi semua berlalu sangat cepat. Tahu-tahu cerita maju ke depan, Askar jadi tentara, Didi jadi guru, Marni pun menyatakan perasaan. Terlalu banyak konflik berjejalan sementara setting kolonialismenya tersendat-sendat. Ada satu titik di mana setting pasar terlihat bagus, namun di tempat lain suasana desa, perang, malah kerasa jomplang. Naik-turun.
- Cerpen ini terasa sesak dan padat. Jujur saja kurang nyaman untuk dibaca. Ibarat makan bakso, soto, dan nasi goreng bersama-sama. Enak sih enak, tapi kalau tercampur jadinya bingung ini rasa apa dan bagaimana makannya.
- Harapannya, untuk kedua penulis, jika ingin menulis cerpen, tolong tonjolkan satu konflik saja. Perluas di titik itu, rangkai dengan urutan konflik per konflik yang baik. Hiasi dengan ornamen sejarah sesuai kadarnya. Dan akhiri dengan manis/tragis.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro