39. Epilog [2]
Sudah siapkah kalian untuk ending sesungguhnya? 🌚🌚🌚🌚
Hihihi, jangan ngamuk liat endingnya, ya.
Pagi-pagi sekali, Alexon sudah disibukkan dengan beberapa pemeriksaan, untuk memastikan kalau benturan kemarin tidak akan mengganggu keseharian sang profiler ke depannya nanti.
Pukul delapan pagi, laki-laki itu sudah menuntaskan sarapannya dengan bantuan Lalisa. Seperti yang diduga, makanan rumah sakit memang tidak cocok dengan selera Alexon, bahkan sang profiler nyaris memuntahkannya pada suapan pertama, jika saja Lalisa tidak memaksa laki-laki itu untuk makan.
Ditatapnya tangan kanan yang terbalut perban dengan kebingungan yang memenuhi wajahnya. Lalu, menatap Lalisa yang sibuk menumpuk mangkuk kotor yang telah kosong dan bertanya dengan polos. "Apa kau tahu kenapa tanganku terluka? Sepertinya luka ini cukup dalam karena rasanya sakit sekali setiap kali menggerakkannya." Bibir Alexon mengerucut karena keluhannya.
Lalisa mengembuskan napas saat dia harus menjelaskan tentang apa yang terjadi malam itu. "Lee Rang mencoba untuk menusukmu, tapi kau menahan pisaunya dengan tangan dan kau terluka," jelasnya tanpa kemarahan. Gadis itu hanya merasa tidak senang jika disuruh mengingat lagi rentetan kejadian malam itu.
Alexon mengangguk kecil dan ber-oh-ria, seakan memahami penjelasan yang diberikan, alih-alih semua itu berada di dalam ingatannya sendiri.
"Ah, bagaimana kondisi Jinyoung?" pekik Alexon kala mengingat jasa sang maknae yang rela berkorban karena permintaannya untuk menjaga Lalisa. "Dia baik-baik saja, 'kan? Lukanya tidak parah, 'kan?"
"Jinyoung dalam masa pemulihan." Lalisa mengambil duduk di kursi samping tempat tidur, alih-alih duduk bersama Alexon seperti semalam. "Mereka semua selalu mengunjungimu selama kau dirawat."
Lega rasanya saat mendengar Jinyoung sudah dalam masa pemulihan. Alexon mungkin akan sangat menyesal jika kondisi maknae itu masih belum membaik sampai saat ini.
"Lalu, bagaimana—"
Alexon tidak sempat menyelesaikan pertanyaannya karena mendengar pintu bergeser dan teriakan pecah di detik selanjutnya.
"HYUNG!" Jinyoung berseru heboh dari ambang pintu. Tubuhnya juga dibalut dengan pakaian pasien yang sama seperti Alexon, lengkap dengan tiang infus yang diseretnya.
Di belakang Jinyoung, ada rekan Alexon yang lain. Setiap melakukan kunjungan, mereka semua akan menghampiri sang maknae lebih dulu, bukan karena Alexon dinomorduakan, tapi karena ruangan Jinyoung berada satu lantai di bawah sang profiler.
Langsung saja Jinyoung menyeret tiang infusnya dengan tidak sabaran dan menghambur ke pelukan Alexon. Tubuhnya dipeluk erat oleh si maknae, bahkan punggungnya ditepuk keras, membuat Alexon kesakitan.
"Hyung, aku senang kau sudah sadar," katanya dengan penuh rasa syukur. "Aku sungguh cemas karena kau tidak sadarkan diri selama berhari-hari."
Alexon yang mulai pengap karena pelukan Jinyoung mencoba untuk menjauhkan laki-laki itu dengan mendorongnya pelan dan menarik diri. Lalu, saat pelukannya terlepas, Jinyoung tidak membiarkannya begitu saja. Kedua tangannya membungkus pipi Alexon dan berbicara tepat di depan wajah sang profiler.
"Hyung, terima kasih karena masih hidup." Jinyoung mengutarakan isi hati dengan penuh kesungguhan, ekspresinya bahkan terlihat seperti akan menangis.
Buru-buru Alexon melepaskan tangan Jinyoung dan mengakhiri drama komedi—menjijikkan—pagi ini. Tangannya mengusap pipi yang sebelumnya dibungkus begitu erat oleh sang maknae. "Aish, ada apa denganmu? Kenapa bertingkah seperti ini?" protesnya kesal, "Reaksi Lalisa bahkan tidak seperti ini saat aku sadar semalam."
"Itu artinya aku lebih mengkhawatirkanmu daripada Lalisa, Hyung," balas Jinyoung berapi-api.
Alexon meringis dan beringsut menjauhi Jinyoung yang terlihat begitu agresif padanya. "Aku tidak butuh khawatirmu," katanya dengan gelengan kecil. "Jadi, berikan saja pada orang lain." Alexon menegaskan dengan gigi terkatup dan menarik Lalisa untuk mendekat padanya. "Karena aku sudah punya Lalisa."
Wah~ bukankan Alexon terlalu kejam untuk membalas perhatian yang diberikan Jinyoung padanya?
Jinyoung menoleh pada rekan lainnya yang sudah menempati sofa kosong dan menatap dengan senyum yang dipaksakan. "Seperti yang diduga, Alexon hyung memang baik-baik saja, meski tidak sadarkan diri berhari-hari. Sifatnya masih kejam seperti biasa." Lalu, mengembalikan pandangan pada Alexon dan membuka lebar kedua tangannya untuk menyambut Alexon dengan heboh. "Selamat datang kembali, Hyung."
Seisi ruangan tertawa saat mendengar tawa garing Jinyoung lebih dulu. Maknae itu mencairkan suasana di pagi pertama Alexon, setelah pertarungan sengitnya dengan kisah masa lalu.
Pandangan Alexon mengedar ketika semua orang tertawa dan saling melemparkan ejekan kecil, seolah tidak ada malam mengerikan yang pernah menimpa mereka.
Musim dingin pagi ini terasa hangat bagi Alexon. Ada genggaman Lalisa di tangannya dan ada semua tawa dari rekannya, membuat profiler itu diam-diam bersyukur dengan yang Tuhan berikan sejauh ini untuknya.
"Tapi Alexon ...."
Alexon yang tadinya menunduk dan memandang tangan Lalisa yang ada di genggamannya sontak menatap Ji Hoon. Semua tawa sudah mereda dan digantikan dengan suasana hening ketika semua orang menatapnya.
"Sebenarnya apa yang terjadi antara kau dan Park Bersaudara?" Ji Hoon menanyakan hal yang sudah lama sekali ingin dia ketahui jawabannya. "Lalisa dan Jinyoung tidak ingin mengatakan apa pun—meski mereka tahu—dan meminta kami untuk bertanya langsung padamu, karena bagaimanapun juga masa lalu itu adalah milikmu."
Ah, ternyata sampai juga pada pertanyaan puncak yang membuat kasus Sweetest Killer menjadi kacau dan berjalan di luar rencana.
Alexon melepas tangan Lalisa, kemudian menyimpan kedua tangannya di atas pangkuan. "Dua anak yang diculik bersama mereka saat itu adalah aku dan adikku," katanya apa adanya, "Aku tidak mengingat detail kejadian itu karena sebelumnya ingatan itu memang tidak pernah ada."
Semua mendengarkan dengan saksama. Lalisa bahkan masih memasang telinga baik-baik, kalau-kalau ada yang dia lewatkan semalam.
"Aku kehilangan ingatan tentang penculikan itu karena kecelakaan saat berusia sembilan atau sepuluh tahun dan tidak ada ingatan masa kecilku yang kembali sejauh ini." Alexon mengakhiri penjelasannya dengan menggulung bibir dua detik dan memberikan senyum kaku yang tipis.
Semua orang masih diam memandang Alexon dan sesekali melemparkan pandangan. Ini adalah jenis situasi di mana ada rahasia yang terungkap secara tidak langsung dan jelas bukan sesuatu yang baik.
"Lalu, bagaimana dengan adikmu?" tanya Ji Hoon hati-hati, "Apa dia ingat tentang penculikan sembilan belas tahun lalu?"
Alexon menggeleng lemah. "Kuharap dia juga tidak mengingatnya. Akan lebih baik jika Alexa-lah yang kehilangan ingatan dan bukan aku," lirihnya.
Ji Hoon menggigit bibir bagian dalamnya, bingung harus mengatakan apa untuk melanjutkan pembicaraan ini. Laki-laki itu terlihat ragu, juga merasa tidak enak hati untuk membahasnya lebih lanjut, tapi harus meluruskan semuanya.
"Alexon, kami menemukan palu di rumah kosong itu, yang dicurigai adalah barang bukti untuk kasus pembunuhan lama." Ji Hoon terlihat getir. Tatapannya tampak tidak terlalu nyaman saat bertatapan langsung dengan sang profiler. "Dan kami menemukan DNA-mu dan Nam Sun-ho, pedofilia yang tewas ketika menyandera empat orang anak di awal tahun 2000-an."
Alexon mengangguk kaku, bibirnya terkunci rapat. Terlihat sekali kalau laki-laki itu sedang menahan diri untuk terlihat menyedihkan. "Jung-hoo bilang ... aku yang membunuhnya," katanya getir. Lalu, menggeleng kecil. "Tapi aku tidak ingat pernah melakukannya."
Semua orang tidak senang dengan kejujuran Alexon. Mereka tahu apa yang akan terjadi jika kasus kematian Nam Sun-ho kembali dibuka. Meski tidak tahu dengan keputusan akhirnya, tapi Alexon akan berada di balik jeruji besi sementara waktu jika kasus ini masuk ke pengadilan.
"Apa kami bisa bertanya pada Alexa tentang penculikan itu?" Lagi, Ji Hoon melemparkan pertanyaan dengan hati-hati.
Alexon menggeleng tidak setuju. "Tolong jangan ganggu adikku tentang masalah ini," pintanya memohon. Tatapannya masih terlihat terluka dengan kejadian itu, setelah ingatannya kembali. "Jika memang harus berurusan pada hukum tentang kasus sembilan belas tahun lalu, biar aku saja yang terlibat."
"Alexon," Lalisa menegur dengan sangat pelan. Sorot matanya tampak marah, tapi merasa tidak berhak untuk mengatur profiler itu.
"Tapi Alexa adalah satu-satunya saksi, selain Jung-hoo," kata Ji Hoon.
"Aku bisa bersaksi untuk diriku sendiri." Alexon bersikeras untuk tidak melibatkan Alexa dalam kasus ini. Ingat atau tidak, sang profiler tidak ingin membebani adiknya dengan kejadian mengerikan itu.
Baiklah, Ji Hoon tidak bisa memaksa Alexon untuk membicarakan hal ini pada Alexa. Namun, pada akhirnya tetap saja, kembaran Alexon Black itu akan dipanggil oleh pengadilan—jika kasus ini sungguh kembali dibuka.
"Kalau perlu, aku akan melakukan hipnoterapi agar mendapatkan ingatan itu." Alexon menyela ucapannya sendiri dengan tekad yang mantap tanpa keraguan. "Aku akan melakukan apa saja untuk mengingat, tanpa melibatkan adikku."
Lalisa memandang Alexon dengan penuh kekaguman. Saat profiler itu menyayangi seseorang, maka apa saja rela dilakukannya untuk orang itu. Dia tidak masalah harus mendapatkan kesulitan, jika dengan kesulitan yang dia alami orang yang disayangnya akan baik-baik saja.
"Kita akan pikirkan masalah ini nanti." Ji Hoon resmi menutup obrolan. Alexon baru saja sadar dan tidak seharusnya pikiran laki-laki itu langsung dibebani dengan masalah seperti ini.
Alexon mengangguk. Laki-laki itu tidak masalah dengan pembicaraan ini. Mungkin sudah saatnya sang profiler mendapatkan ingatannya kembali. Toh, sedikit ingatannya sudah kembali. Jadi, tidak ada alasan lagi untuk tidak mendapatkan ingatan yang hilang itu.
Namun, Lalisa diam-diam memikirkan sesuatu. Setahunya, hipnoterapi untuk menggali ingatan dilakukan ketika pemilik ingatan melupakan kejadian tertentu karena waktu sudah berlalu lama atau karena hipnoterapi itu sendiri, tapi untuk kasus hilang ingatan karena di sebabkan kerusakan otak ... Lalisa tidak yakin kalau itu akan berhasil. Gadis itu takut jika Alexon memaksakan diri, hal itu justru akan berdampak buruk pada sang profiler.
"Alexon, maaf karena tidak membawakan sesuatu untukmu. Kami tidak tahu kalau kau sudah sadar." Tae-il mengambil alih ketidaknyamanan saat ini dengan obrolan ringan. "Kami meninggalkan semuanya di kamar Jinyoung."
"Aku tidak membutuhkan apa pun," Alexon membalas dengan senyum kecil. Laki-laki itu merapatkan bibir saat suasana masih setengah canggung. "Terima kasih karena sudah datang saat itu." Meski terdengar agak ragu, tapi Alexon mengatakannya dengan sungguh-sungguh.
"Terima kasih untuk apa?" Ji Hoon menyahut lebih dulu. "Kami hanya melakukan tugas sebagai seorang polisi," tambahnya ringan, seakan tidak ada pengorbanan yang dia lakukan dalam menuntaskan kasus ini.
"Aku mendengar semuanya dari Lalisa." Untuk kali pertama, Alexon bersikap begitu sopan pada Ji Hoon dengan mengulas senyum. "Katanya kau yang mengambil tanggung jawab untuk penembakan yang dia lakukan."
Ji Hoon menghela napas kasar. "Kau tahu kita semua akan mendapatkan masalah besar jika Komisaris Kang sampai tahu mengenai keterlibatan Lalisa di dalamnya," jelasnya panjang lebar. Laki-laki itu terkesan tidak ingin menunjukkan kepeduliannya pada orang lain. "Dan Lalisa menjadi tanggung jawabku sejak dia terlibat dengan Lee Rang. Jadi, sudah sewajarnya aku yang mengambil kesalahan Lalisa malam itu—karena dia juga tidak sepenuhnya bersalah."
Alexon mengangguk kecil. Jika Ji Hoon tidak mengambil tanggung jawab itu, maka Alexon yang akan melakukannya untuk Lalisa. Bagaimanapun juga, dialah yang menyebabkan semua kekacauan tidak terduga malam itu.
Lalisa tidak menyesal karena sudah menembak Jung-hoo, tapi gadis itu menyesal karena sudah menempatkan Ji Hoon dalam situasi yang sulit. Jadilah putri walikota Seoul itu menunduk penuh rasa bersalah sambil memilin kedua tangannya.
"Aku juga berterima kasih padamu maknae karena bisa kuandalkan hari itu." Alexon mengintip ke arah Jinyoung yang sejak tadi menunduk tidak bersuara dan tersenyum tulus. "Kau pasti tidak akan terluka jika aku tidak memintamu untuk datang ke sana dan menjaga Lalisa sampai aku datang."
Lagi-lagi Jinyoung merasa terharu atas penuturan Alexon. Laki-laki itu nyaris menangis jika tidak mengedip cepat untuk menghilangkan air matanya. "Karena kau mengandalkanku, Hyung," balasnya sungguh-sungguh. Tingkah konyol dan bodoh yang sudah melekat padanya sama sekali tidak terlihat. "Aku tidak bisa mengecewakan orang yang sudah mengandalkanku dan aku juga sudah berjanji padamu kalau aku akan menyelamatkan Lalisa untukmu."
Lihatlah betapa dewasanya maknae mereka saat ini. Demi sebuah janji dan kepercayaan yang diberikan, Jinyoung rela berkorban sampai sejauh itu.
"Tapi kenapa sampai mengorbankan nyawa untuknya?" Alexon paham jika Jinyoung ingin menjaga janji padanya, tapi nyawa maknae itu jelas lebih berharga dari janji yang diberikan. "Ada cara lain untuk menyelamatkannya, tanpa harus melukai dirimu."
Jinyoung bergumam cukup lama sambil menimbang jawaban. "Agar kau berhutang budi padaku untuk waktu yang sangat lama," balasnya sungguh-sungguh. Senyum jahil terukir lebar di wajahnya. "Jika aku terluka karena menyelamatkan Lalisa, kau pasti akan selalu berterima kasih padaku dan merasa aku sangat berjasa untukmu. Jika sudah begitu, kau pasti akan selalu memperlakukanku dengan baik."
Alexon yang jengkel dengan cekikan dan senyum lebar Jinyoung, langsung melemparkan bantal pada laki-laki itu. Dia sudah memperhitungkan lemparannya agar mengenai kaki maknae itu.
Sosok yang dilempar justru malah semakin geli dengan tawanya, yang juga memancing tawa lainnya. Suasana kembali ramai berkat ocehan Jinyoung.
"Maaf mengganggu."
Semua tawa langsung hilang. Hening menyelimuti dengan canggung dan mereka yang duduk langsung berdiri terkejut, sambil memberi hormat pada sosok yang baru saja menyela, sang walikota.
Ini adalah pertemuan pertama Ji Hoon, Tae-il, Jaebum, dan Jinyoung bersama tuan Jung, tapi sudah menjadi pertemuan yang kesekian untuk sang profiler.
Lalisa agak terkejut karena melihat ayahnya, tapi tidak membuka suara untuk menanyakan maksud dan tujuan kedatangannya ke ruangan Alexon, tapi gadis itu yakin ada sesuatu yang penting, yang ingin dibicarakan ayahnya—dan Lalisa memiliki firasat yang buruk tentang itu.
"Apa aku bisa bicara secara pribadi dengan Alexon?" Tuan Jung baru saja meminta izin pada seisi ruangan dengan sopan, membuat mereka semua merasa tidak nyaman.
"Ah, iya, silakan." Ji Hoon menyahut dengan gugup. Buru-buru dia memberikan kode pada rekannya untuk segera meninggalkan ruangan Alexon dan pamit pada pemilik ruangan. "Alexon, kami pergi dulu. Kami akan menjengukmu lagi nanti malam atau besok."
Alexon membalas dengan angukan ringan. "Terima kasih karena sudah menyempatkan untuk datang menjengukku."
Tamu Alexon pergi meninggalkan ruangan satu per satu dan tuan Jung melangkah menghampiri sang profiler, berhenti di samping kursi kosong dan menatap putrinya yang bergeming.
"Aku ingin bicara berdua dengan Alexon," tegasnya sekali lagi.
Lalisa melipat kedua tangan di dada dan menantang ayahnya lewat tatapan mata. "Apa sekarang aku sudah menjadi orang asing untukmu?"
"Lalisa," tegur Alexon lembut. Kepalanya menggeleng kecil, pertanda gadis itu tidak boleh bersikap seperti tadi pada tuan Jung.
"Jika kau ingin bicara dengannya, maka bicaralah di depanku." Gadis itu bersikeras untuk tidak pergi ke mana pun. "Jika kau tidak ingin bicara saat aku ada di sini, maka datanglah lain kali."
Alexon mengembuskan napas kasar saat Lalisa kembali mengibarkan bendera perang pada ayahnya. Setiap kali Lalisa bersikap kasar pada tuan Jung, selalu Alexon yang merasa tidak enak hati.
"Pergilah ke kantin selama kami bicara." Alexon berbicara dengan sangat lembut untuk memberikan pengertian. "Kupikir aku menginginkan es krim."
"Aku tidak akan pergi ke mana pun," tegas Lalisa tanpa ingin didebat lagi.
Alexon menjilat bibir dan menggaruk tengkuknya. "Baiklah, kalau begitu kau tunggu di sini saja. Biar kami yang bicara di luar," katanya seraya bersiap turun dari atas tempat tidurnya.
"Ah, ah, ah, baiklah, aku mengalah!" Lalisa menahan Alexon agar tidak menginjakkan kaki di lantai dengan panik. "Aku yang akan keluar." Gadis itu terlihat jengkel saat mengatakannya.
Alexon tersenyum penuh kemenangan, berbanding terbalik dengan Lalisa yang terlihat begitu jengkel saat mengambil langkah untuk menjauh darinya. "Jangan menguping pembicaraan kami atau telingamu akan menjadi panjang seperti Pinokio," katanya mengingatkan.
Lalisa mendengus dan menjejakkan kaki di lantai. Tatapannya terlihat begitu kesal. "Bagian tubuh Pinokio yang bisa memanjang adalah hidung. Itupun terjadi karena dia berbohong, bukan karena mencuri dengar!" katanya jengkel, kemudian menggeser pintu dengan sedikit berapi-api.
Alexon tertawa geli melihat tingkah menggemaskan gadis itu—dan sama sekali tidak menyadari ada sepasang mata yang menatapnya dengan perasaan yang campur aduk.
Tuan Jung menghela napas panjang dengan kepala tertunduk.
"Jadi, apa yang ingin kau bicarakan Walikota Jung?" Alexon menarik perhatian tuan Jung dengan pertanyaannya. Bibir pucat itu melengkung sopan.
Tuan Jung tidak langsung menjawab, melainkan dia mencari kata yang tepat untuk dikatakan pada Alexon. Ini adalah kali pertama tuan Jung seperti kehilangan kepercayaan diri di depan sang profiler. Sementara Alexon menunggu dengan sabar untuk mendengar apa yang ingin disampaikan oleh Walikota Jung.
"Aku sudah mendengar tentang Jung-hoo. Aku juga tahu alasan di balik hilangnya istriku hari itu dan kejadian yang menimpa putriku malam itu." Pada akhirnya, tuan Jung bisa membuka pembicaraan dan menjelaskan maksud kedatangannya saat ini.
Mulut Alexon terkatup. Senyumnya lenyap ditelan rasa bersalah.
"Aku tidak tahu kalau profesimu bisa sangat berbahaya untuk orang di sekitarmu." Suara tuan Jung terdengar agak bergetar. Terlihat juga sepertinya dia tidak ingin mengatakan hal itu pada Alexon, tapi harus membicarakan hal ini demi kebaikan putrinya. "Aku sangat berterima kasih karena kau sudah menjaganya sejak dia diculik pertama kali, merawatnya dengan sangat baik, dan membantunya melewati masa-masa sulit saat dia mengalami episode lagi."
Alexon tersenyum getir. Kepalanya menunduk karena tidak berani menatap tuan Jung, bukan karena Alexon takut, tapi karena laki-laki itu merasa sudah mengecewakan sang walikota dan merasa tidak pantas untuk berhadapan dengan ayah dari gadis yang disukainya setelah laki-laki itu ketahuan mengecewakan.
"Tapi maaf, Alexon ..." Suara tuan Jung parau dengan gelengan penuh sesal. "... aku tidak bisa membiarkan putriku terlibat dalam bahaya yang bisa mengancam nyawanya."
Sudah Alexon duga kalau pembicaraan tuan Jung akan menyinggung tentang keselamatan Lalisa. Tidak ada yang bisa Alexon katakan saat ini. Laki-laki itu hanya diam mendengarkan dan menunggu sampai sejauh apa tuan Jung akan berbicara mengenai Lalisa.
"Aku tidak bisa melihat putriku menderita lebih banyak lagi." Tuan Jung nyaris berbisik saat mengatakannya. Laki-laki itu seakan tidak mampu untuk mengucapkan kata-kata itu pada sosok yang sudah sangat dia percaya untuk menjaga putrinya. "Kau pasti mengerti kekhawatiran seorang ayah untuk putrinya, 'kan? Kau tahu betapa Lalisa sangat berharga bagiku."
Alexon mengusap matanya yang basah. Uluh hatinya nyeri mendengar semua penuturan tuan Jung. Meski belum mengatakan maksud yang sebenarnya, tapi Alexon tahu apa yang tuan Jung inginkan saat ini dan profiler itu tidak akan pernah bisa untuk melakukannya.
Alexon memberanikan diri untuk menatap tuan Jung. Senyumnya terlihat kering dan kaku. "Kau ingin aku menjauhi Lalisa?" tanyanya getir.
Tuan Jung menggeleng. "Aku memintamu untuk menjaga Lalisa, jadi bagaimana mungkin aku memintamu untuk menjauhinya?" tanyanya balik.
Mendengar semua itu membuat Alexon bernapas lega. Ternyata dia sudah salah membuat asumsi.
"Tapi aku meminta kesadaran dirimu dengan sangat," tambah tuan Jung, "Aku yakin kau tahu keputusan apa yang terbaik untuk kalian berdua."
Ah, ternyata tuan Jung hanya tidak ingin menarik ucapannya saja. Tidak etis memang rasanya jika dia meminta Alexon untuk menjauhi Lalisa, setelah memohon pada laki-laki itu untuk menjaganya. Pada kenyataannya, tuan Jung memang ingin Alexon menjauh dari putrinya, tapi mengatakannya dengan cara lain yang justru malah menjebak profiler itu dalam bimbang.
"Aku tidak bisa melarang Lalisa untuk berdekatan denganmu, karena dia bahkan lebih mendegarmu daripada ayahnya sendiri." Sekarang giliran tuan Jung yang tersenyum getir. Dia pun merasa bersalah karena harus berbicara seperti ini pada Alexon. "Jika ada sosok yang akan dia dengarkan, maka itu hanyalah ibunya, tapi karena ibunya belum sadar sampai sekarang ... hanya kau sosok yang ingin dia dengarkan. Jadi .... tolong buat keputusan yang tepat."
Tidak ada jawaban yang bisa Alexon berikan selain anggukan kaku—yang diiringi dengan jatuhnya air mata laki-laki itu. Ah, sungguh, rasanya lebih menyakitkan mendengar ucapan tuan Jung saat ini, ketimbang mendengar pernyataan Lalisa kalau mereka hanyalah sebatas orang asing dan dia hanya dimanfaatkan.
"Aku tahu kau sangat menyayangi Lalisa dan Lalisa sendiri juga sangat nyaman setiap kali aku melihat kalian bersama." Lagi, tuan Jung membuka suara, yang justru malah membuat Alexon semakin tertekan. "Aku tahu—"
"Aku paham, Walikota Jung." Alexon memotong cepat. Dia tidak ingin mendengar kata-kata yang membuatnya semakin dihantui rasa bersalah. "Memang salahku karena melibatkan Lalisa dalam bahaya, tapi itu bukan sepenuhnya keinginanku. Andai waktu bisa diputar kembali, aku ingin menunda pertemuan kami setidaknya sampai aku menyelesaikan kasusku. Aku juga tidak ingin melihatnya terluka karenaku, apalagi membahayakan nyawanya."
"Alexon, kau adalah laki-laki yang baik." Tuan Jung sungguh-sungguh dengan pujiannya. "Tapi aku tidak bisa mengambil risiko atas keselamatan putriku untuk laki-laki sebaik dirimu."
Tampaknya Alexon baru saja kehilangan lampu hijau yang didapatkannya dari tuan Jung. Sekarang apa yang harus laki-laki itu lakukan? Bagaimana dia bisa menolak atau menerima keinginan tuan Jung untuk menjauhi Lalisa?
"Aku mengandalkanmu, Alexon." Tuan Jung menepuk pundak Alexon dan meremasnya pelan, meletakkan harapannya di sana, dan berdoa agar keputusan sang profiler sesuai dengan keinginannya.
Tuan Jung meninggalkan Alexon yang tertunduk, menggeser pintu dengan sangat halus dan membiarkan profiler itu memikirkan permintaannya dengan tangisan kecil.
Alexon mengusap kasar wajahnya yang sedikit basah. Napasnya ditarik dalam untuk melonggarkan rasa sesak di dadanya. Ah, sial, bagaimana bisa dia menjauhi Lalisa setelah gadis itu menjungkirbalikkan dunianya dalam sekejap mata? Bagaimana Alexon harus menjalani harinya tanpa bertemu dengan gadis itu?
Pintu kembali digeser, menandakan ada seseorang yang datang. Buru-buru dia menghapus air mata dan menetralkan nada bicaranya.
Senyum Alexon mengembang saat Lalisa melangkah menghampirinya dengan satu kotak es krim di tangan. Ternyata gadis itu sungguh menuruti perintah Alexon.
"Jangan dengarkan apa pun yang dia katakan," kata Lalisa seraya memberikan es krim yang dibelinya pada Alexon. "Kau tidak perlu menuruti perintahnya karena kau tidak bekerja untuknya.
Alexon menerima es krimnya dengan senyum palsu. "Kau menguping pembicaraan kami, 'kan?" tukasnya, dengan tatapan penuh selidik. " Dasar Pinolisa," dengusnya berpura-pura tidak suka dengan apa yang gadis itu lakukan.
Lalisa menggeleng dan mengambil duduk di tepi tempat tidur Alexon. "Aku tidak menguping," bantahnya kuat, "Tapi aku tahu kalau cepat atau lambat dia akan memintamu untuk menjauhiku dengan alasan mencemaskan keselamatanku. Cih."
"Jangan lakukan itu atau kau akan menangis setiap malamnya karena menyesali keputusanmu." Lalisa mengusap wajah Alexon yang masih sedikit menyisakan air mata dengan punggung tangannya. "Faktanya kaulah yang bergantung padaku."
"Jadi, maksudmu ... aku tidak perlu menuruti permintaan ayahmu?" tanya Alexon memastikan. Wajahnya terlihat seperti bocah yang sedang merengek pada sang ibu.
Lalisa menggeleng, mengambil kembali es krim yang diberikannya, dan menyuapkannya pada sang profiler. "Aku saja tidak pernah mendengarnya, lalu kenapa kau harus mendengarkan dia yang notabenenya adalah orang asing untukmu?" Lalisa terdengar tidak acuh, seakan yang mereka bicarakan saat ini bukanlah ayahnya.
Alexon melembutkan es krim di dalam mulutnya lebih dulu, kemudian membalas Lalisa. "Dia ayahmu. Jadi, bagaimana bisa menjadi orang asing untukku?"
"Dia bahkan sudah menjadi orang asing untukku," balas Lalisa tidak mau kalah. Satu suapan kecil dia berikan lagi pada Alexon.
"Kenapa tidak berbaikan saja dengan ayahmu?" Alexon bertanya sungguh-sungguh. Mungkin sudah waktunya dia tahu alasan di balik kebencian gadis itu pada ayahnya. "Kau terlihat nyaman saat berpelukan dengannya tempo hari."
"Itu hanya refleks," bantah Lalisa berapi-api, "Aku masih belum benar-benar memaafkannya."
"Kenapa kau menjauh darinya?"
Lalisa mengembuskan napas kasar dan meletakkan es krimnya di nakas, kemudian melipat kedua kaki di atas kasur agar bisa duduk menghadap sang profiler.
"Saat itu aku masih berusia sebelas tahun ...." Lalisa memulai ceritanya. Gadis itu tidak terlihat terganggu sama sekali. Wajahnya bahkan tampak baik-baik saja saat harus mengungkit kisah lama yang sangat ingin dia lupakan. "Kami memliki janji temu di sebuah taman. Aku pergi bersama ibuku, sementara dia menyusul. Berjam-jam kami menunggu, tapi dia tidak datang, sampai akhirnya malam datang dan hujan turun dengan deras. Ibuku mencoba untuk meneleponnya, tapi dia mendadak tidak bisa dihubungi."
"'Ayahku'," kata Alexon saat Lalisa memberikan jeda untuk ceritanya.
Alis Lalisa berkerut bingung saat Alexon tiba-tiba berbicara seperti itu, tapi menunggu sang profiler untuk melanjutkan katanya.
"Dia adalah ayahmu. Jadi, gunakan panggilan yang benar untuknya." Oh, ternyata Alexon sedang membenarkan panggilan Lalisa pada tuan Jung.
Lalisa yang mendengarnya hanya bisa mendengus sebal. "Karena hujan, ibu mengajakku pulang dan mengatakan akan bertemu dengannya lain kali."
"Kalian bertiga tidak tinggal bersama?" Alexon menyela karena tidak bisa menahan rasa ingin tahunya.
"Aku dan ibu tinggal di desa, sementara ayahku ..." Menyebut kata 'ayahku' membuat gadis itu tidak nyaman. Rasanya seperti saat pertama memutuskan untuk membenci tuan Jung. "... bekerja di kota dan pulang setiap dua minggu sekali atau parahnya lagi sebulan sekali. Jadi, kami jarang bertemu dan saat itu kami yang menemuinya di kota."
"Lalu, dalam perjalanan pulang, aku melihatnya tampil di LED kota. Seorang putri Mahkamah Agung menikah dengan perayaan besar-besar dan laki-laki yang menjadi pasangannya adalah ayahku." Lalisa tersenyum getir. Rasa marahnya ketika berusia sebelas tahun masih bisa dirasakannya dengan jelas, tapi tidak membuat gadis itu menangis seperti tujuh tahun lalu. "Aku tidak tahu bagaimana perasaan ibuku saat melihat itu, tapi aku sangat marah dan aku mebencinya detik itu juga." Lalisa tidak menangis. Sorotnya masih terlihat tegas dan kuat.
"Lalu, kami pulang menggunakan bis. Aku menangis di sepanjang jalan, tapi ibuku sama sekali tidak bersuara, bahkan tidak berusaha untuk menenangkanku dengan kata-katanya." Ini adalah bagian terburuknya, hingga Lalisa perlu menarik napas dalam. "Dan dalam perjalanan pulang, bis kami mengalami kecelakaan. Aku tidak tahu bagaimana persisnya, tapi bis menubruk dengan kuat sebelum akhirnya terbalik. Karena kecelakaan itu ibu koma sampai sekarang dan aku juga tidak sadarkan diri selama beberapa minggu dan saat aku bangun ... ayahku bukan lagi milikku. Dia sudah menjadi ayah dan suami untuk orang lain dan sudah menjadi walikota."
"Jika saja dia tidak berjanji untuk menemui kami hari itu, ibuku pasti baik-baik saja. Jika saja dia mengatakan tidak bisa datang, ibuku pasti akan baik-baik saja. Dan jika saja kami tidak pergi ke kota untuk menemuinya, ibuku pasti baik-baik saja." Sungguh, Lalisa mengungkit kisah yang paling menyakitkan di dalam hidupnya tanpa terlihat terluka sedikit pun, seakan luka yang pernah membuatnya hilang akal tidak pernah terjadi. "Dialah alasan kenapa aku kehilangan kebahagiaanku selama tujuh tahun ini dan saat aku menemukan sosok yang mampu memberikanku kebahagiaan, dia justru malah berusaha untuk menjauhkanku dari apa yang membuatku hidup kembali."
Lalisa tertawa kering dengan gelengan tidak habis pikir. "Dia adalah ayah yang jahat, 'kan?" decihnya tidak suka, "Dia bertingkah seperti seorang ayah yang ingin menjaga putrinya, padahal dia tidak lebih dari sosok yang sudah merampas kebahagiaan putrinya sendiri."
"Ayahmu tidak seperti itu, Lalisa," bantah Alexon dengan gelangan kecil. Tangannya yang tidak terluka membungkus pipi Lalisa. "Dia hanya takut kau terluka jika terus bersamaku."
"Tapi dia tidak tahu kalau orang yang paling membuatku terluka adalah dirinya." Lalisa balas membantah. Matanya memancarkan luka yang dalam, tapi coba ditutupi dengan sikapnya yang dingin. "Dia pikir dengan menjauhkan kita, aku tidak akan terluka, tapi faktanya itu malah membuatku semakin terluka karena dia menjauhkanku sekali lagi dari orang yang aku sayang."
Apa Lalisa baru saja mengutarakan perasaan pada Alexon secara sadar atau gadis itu hanya spontan bicara?
Pada akhirnya, Alexon mengangguk kecil, menerima segala penuturan Lalisa, dan tidak berniat untuk membantah mengenai tuan Jung lagi. Lalu, menarik Lalisa ke dalam pelukannya dan mengusap punggung gadis itu.
"Aku akan mencari cara untuk mendapatkan kepercayaan ayahmu lagi," bisiknya tepat di telinga Lalisa.
Lalisa membalas pelukan Alexon dengan sangat erat, enggan melepaskan laki-laki itu. "Itu artinya kau tidak akan menjauhiku, 'kan?"
"Apa kau pikir aku akan menjauhimu?" tanya Alexon balik.
"Jika menimbang semua demi keselamatanku, maka kau tidak akan ragu untuk menjauhiku seperti yang diperintahkan," lirih Lalisa. Suaranya mulai terdengar parau dan ingin menangis. "Keselamatanku selalu jadi yang utama untukmu."
"Jika aku melakukannya, maka aku menangis setiap malam seperti yang yang kau katakan," balas Alexon dengan tawa kecil.
Lalisa menarik diri dari pelukan Alexon dan menatap sang profiler dengan penuh kesungguhan. "Jika di masa depan nanti kau memang akan meninggalkanku, maka keinginan itu harus berasal dari lubuk hatimu yang terdalam," katanya seraya menyentuh dada Alexon dengan jari telunjuknya. "Bukan karena perintah orang lain, apalagi paksaan."
"Kau pikir aku bisa meninggalkan hal yang paling aku sukai di dunia ini?" Alexon bertanya balik. Tatapannya begitu lembut dan penuh dengan cinta.
"Kau bisa meninggalkan hal yang paling kau sukai, demi melindungi hal yang kau sukai." Lalisa tersenyum tipis—sangat tipis—hingga Alexon tidak melihatnya. "Tapi alih-alih melindunginya seperti kaca, kuharap kau akan menempanya dan membuatnya menjadi perisai untukmu."
Alexon tersenyum dengan rasa harunya karena ucapan gadis di depannya. "Kau akan melindungiku?"
Lalisa mengangguk kuat. "Tentu saja. Aku akan melindungimu dengan tanganku yang kecil ini," katanya seraya memamerkan telapak tangannya yang begitu mungil pada Alexon dengan memutarnya kecil di depan sang profiler. "Jadi, cobalah untuk tidak menghawatirkanku karena gadis nakal ini akan melindungimu mulai dari sekarang."
Alexon mengangguk kecil, membuat genangan air yang tadi memenuhi pelupuk mata pada akhirnya jatuh juga. Namun, Lalisa sigap menghapusnya dengan punggung tangan.
Lalisa menikmati kebersamaan dengan Alexon, begitu pula sebaliknya. Satu bulan yang dihabiskan nyatanya mampu membuat keduanya untuk saling berjanji dan menjaga satu sama lain. Meski Lalisa bisa dibilang masih terlalu muda untuk Alexon, tapi faktanya gadis itu mampu mengimbangi sang profiler di saat-saat tertentu dan sudah mendapatkan cukup banyak pengalaman untuk terlibat lebih jauh lagi dalam pekerjaan yang ditekuni Alexon. Jadi, tidak ada salahnya jika gadis itu memilih untuk tetap bersama laki-laki yang sudah mewarnai harinya, 'kan?
Dan profiler itu sendiri sudah mengambil keputusan. Dia mungkin harus meminta maaf pada tuan Jung karena tidak memberikan keputusan yang laki-laki itu inginkan.
Alexon memutuskan untuk tidak melepaskan Lalisa, alih-alih melepaskan gadis itu, Alexon akan melindungi, sekaligus menempanya seperti yang putri sang walikota itu inginkan.
📍📍📍
Dah ya, endingnya emang sampai di sini aja. Yang penting nasib mereka gak aing gantung di pohon toge 😝😝😝
Habis ini ada sensus penduduk. Awas ya kalau gak ikutan absen, nanti di blacklist dari daftar buchennya pak Alek.
24 Desember 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro