Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

37. Season Final [C] - END

SIAP GAK SIAP, TAPI INI BENERAN ENDING, GAES 🌚🌚🌚🌚

Kelar baca tolong tumpahkan semua pikiran kalian tentang chpater ini. Aing pengin tahu gimana tanggapan kalian, ada yang menyangka tidak kalau endingnya akan berakhir segila ini 🤣🤣

Absen buat terakhir kali boleh kalik ya, kan besok-besok tinggal tunggu keputusan hakim untuk lampu hijaunya 👉👈

Kalau ada yang perlu dikoreksi, silakan dikoreksi aja. Jangan takut aing gigit 👌

Happy reading~

"Shut up," geram Alexon, kemudian menghantupkan kepala Jung-hoo ke dinding. Tampaknya sang profiler tidak ingin memberikan kelonggaran lagi. Dia jelas harus membalas semua perbuatan Park Bersaudara itu pada Lalisa.

"Hyung!" Lee Rang memekik saat sang kakak dibenturkan ke dinding.

Alexon tidak puas hanya dengan membenturkan Jung-hoo, laki-laki itu juga melemparnya ke meja, persis seperti yang Jung-hoo lakukan padanya. Namun, Jung-hoo tidak tinggal diam, dia langsung menyerang balik dengan menggunakan tendangan tingginya, tapi Alexon bergerak lebih gesit dengan menendang kaki Jung-hoo yang lain dan berhasil membanting lawannya ke lantai. Aksi sang profiler tidak berhenti sampai di situ, dia menghantamkan pecahan kaca besar pada Jung-hoo yang mencoba untuk bangkit, kemudian menendang dada laki-laki itu dan menahannya di lantai.

Jung-hoo mencengkeram kaki Alexon dengan kedua tangannya, berusaha untuk menyingkirkan kaki sang profiler dari dadanya, tapi laki-laki itu tidak mampu karena Alexon memegang kuasa penuh.

"How does it feel? Hurts?" Dengan sepatu basahnya, Alexon mencoba menginjak Jung-hoo lebih dalam lagi dengan senyum geli yang mengejek dan menunjukkan kalau dia baru saja membalas perlakuan tidak menyenangkan laki-laki yang diinjaknya ini dan menunduk agar lebih dekat untuk melihat lawannya. "Why are you risking your whole life? You shouldn't be like that," katanya berpura-pura kasihan. Lalu, menarik kerah Jung-hoo dan memberikan tujuh pukulan beruntun sebagai balasan.

"Alexon, awas!" Lalisa berteriak mengingatkan, tapi terlambat.

Pukulan kayu sudah menghantam Alexon lebih dulu, membuatnya hilang kekuasaan atas Jung-hoo dan sibuk dengan denyutan nyeri di kepalanya.

Jung-hoo segera melepaskan diri dari injakan Alexon, setelah adiknya memberikan peluang besar dan menendang Alexon menjauh, hingga laki-laki itu terjungkal.

Alexon mengusap jengkel kepalanya yang menjadi korban kekerasan Lee Rang dan menatap dengan berapi-api. "Aish, this brat!" Lalu, membiarkan lengan panjangnya memukul dada dan menendang kaki Lee Rang, hingga pemilik nama asli Park Jisung itu jatuh ke lantai bersama kayunya.

Lee Rang bangkit dengan cepat, berniat untuk memukul Alexon dengan kayu lagi, tapi sang profiler lebih dulu menangkap tangannya dan memberi pukulan penuh pada wajah Lee Rang dan kembali membuat si Park itu jatuh.

Sekarang giliran Jung-hoo untuk menyerang lagi. Laki-laki itu mengambil palu berkarat yang tidak jauh darinya, kemudian berusaha untuk menyerang kaki Alexon. Beruntung sang profiler menyadari pergerakan Jung-hoo dan segera menarik kakinya untuk menghindar. Lalu, menginjak dan menendang tangan Jung-hoo untuk menjauh darinya.

Alexon menatap Park Bersaudara itu bergantian dengan sorot prihatin. Dia jelas mengasihani kondisi keduanya yang terlihat tidak berdaya di lantai. Harusnya Alexon menghampiri Lalisa dan segera melepaskan ikatan di tubuh gadis itu, tapi yang dilakukannya justru malah berlutut di depan Lee Rang dan mencengkeram kuat rahang laki-laki itu. "I'm not someone you can handle."

"Aku juga bukan seseorang yang mudah menyerah." Lee Rang membalas dengan susah payah dan membiarkan sudut bibir tersenyum miring.

Alexon membeku saat merasakan ada sesuatu yang menusuknya, bukan pisau, melainkan moncong pistol. Dia melirik sekilas, lalu mengembalikan pandangan pada Lee Rang tanpa menunjukkan ketakutannya. "Shoot me, Kid," tantangnya. Bibir profiler itu melengkungkan senyum yang cerah, tangannya turun ke leher Lee Rang secara pelan, tapi pasti dan membiarkan kukunya menembus kulit. "And we'll see who dies first."

Alexon dan keangkuhannya adalah masalah terbesar laki-laki itu.

Lalisa yang merasa kalau Alexon sudah memegang kendali penuh dalam situasi ini memutuskan untuk menundukkan kepala dan mengatur napasnya. Jantung Lalisa rasanya seperti pecah, tubuhnya bergetar ketakutan saat rasa dingin menerpa kulit telanjangnya, dan sisa-sisa sentuhan Lee Rang pada tubuhnya membuat gadis itu lemas dan ingin menjatuhkan diri ke lantai.

Namun, siapa yang menduga kalau Jung-hoo akan bangkit dan langsung melingkarkan benang kawatnya pada Alexon, kemudian menyeret profiler itu untuk menjauh dari adiknya sambil terkikik penuh kemenangan.

Lee Rang langsung mengambil napas dalam dan memegang lehernya yang terasa seperti akan patah karena cengkeraman tidak berperasaan dari Alexon. Laki-laki itu beringsut mundur, mencoba untuk menjaga jarak kalau-kalau profiler itu kembali menyerangnya.

Alexon berusaha untuk melepaskan benang kawat yang melilit lehernya, sambil memberontak dengan kedua kaki dan tangannya, yang tanpa sengaja mendendang pistol Lee Rang menjauh dan terlempar ke bawah melalui sela-sela pagar pembatas di lantai tiga.

"Alexon!" Lalisa berteriak panik saat mendengar erangan sang profiler. Tali yang mengikat kedua tangannya ditarik keras-keras, berusaha untuk melepaskan diri dengan cara apa pun. Kakinya bahkan mencoba menendang udara, berharap akan ada keajaiban yang terjadi di tengah hujan deras.

Alexon tercekik. Wajahnya memerah menahan sakit yang menekannya, sementara Jung-hoo menertawakannya di belakang, dengan gigi yang penuh darah.

Tidak ada yang waras di ruangan ini. Semua tampak gila dengan tindakan masing-masing, bahkan Lalisa masih dengan bodohnya menarik tali yang mengikat tangannya, membuat lukanya yang masih basah menjadi semakin parah. Namun, ajaibnya gadis itu sama sekali tidak merasakan sakit apa pun. Tekadnya untuk menyingkirkan Jung-hoo dari Alexon jauh lebih besar.

"Lepaskan Alexon!" Lalisa memberontak dalam ketidakberdayaannya. "Aku tidak akan membiarkanmu hidup jika terjadi sesuatu padanya!"

Lalisa berteriak mengancam, berharap gertakan dari gadis belasan tahun ini akan didengarkan oleh orang sinting di depan sana. Namun, jelas tidak ada yang peduli dengan teriakannya, bahkan Alexon tidak memiliki waktu untuk melihat betapa kerasnya usaha gadis itu melepaskan diri dengan cara menggigiti tali yang mengikatnya.

"Kau tahu, Ace ..." kata Jung-hoo dengan gigi gemertak, seraya menarik benang kawatnya di leher sang profiler. "... setelah melihatmu membunuh Nam Sun-ho, aku selalu memimpikan untuk membunuhmu setiap malam."

Alexon menjawab dengan kekehan tawa yang mencekiknya. Sudut mata laki-laki itu mengelurkan air karena menahan sakit, tapi tidak berniat untuk memohon ampun sedikit pun.

"Dan mimpi itu akan menjadi nyata malam ini."

Jung-hoo tertawa, tapi tawanya tertahan di ujung tenggorokan, seolah dia sedang tercekik dan benar saja, Alexon memang mencekiknya saat Jung-hoo mendekatkan wajah untuk berbisik pada sang profiler. Rasa sakitnya akibat lilitan benang kawat dibalasnya dengan cekikan lima jari yang terasa langsung menembus kulit.

Meski tidak terlalu terang, tapi Lee Rang bisa melihat darah yang meleleh di tangan Alexon dan mendapati wajah kakaknya yang memerah seakan tidak bisa bernapas. Lee Rang tahu sekuat apa cengkeraman Alexon. Jika sampai berdarah, itu artinya sang kakak bisa mati di tangan profiler itu.

"Dia benar-benar psikopat." Lee Rang bergumam dengan bibir bergetar. Tidak pernah sebelumnya laki-laki itu melihat seseorang melukai orang lain hanya menggunakan cekikan lima jari dalam waktu kurang dari satu menit. "Seorang psikopat sejati."

Alexon membalas bisikan Jung-hoo dengan tawa tertahan. "Keep dreaming of killing me till you die," bisiknya. Lalu, menggunakan sebelah tangannya untuk memukul Jung-hoo menggunakan kayu.

Lee Rang yang begitu terpaku dengan tetesan darah yang membasahi tangan Alexon sampai tidak menyadari pergerakan sang profiler.

Lilitan benang kawat di tangan Jung-hoo melonggar, seiring menurunnya kesadaran laki-laki itu akibat pukulan, juga cekikan di lehernya.

Alexon langsung menjauhkan diri dari Jung-hoo untuk mengambil napas, tapi dia menyempatkan diri menendang wajah laki-laki itu sebagai bentuk protes karena sudah mencoba untuk membunuhnya, kemudian berdiri agak sempoyongan untuk menjaga jarak. Diam-diam Alexon berharap kalau dia menggunakan sepatu bot hari ini, alih-alih sepasang sneakers.

Empat orang-gila-yang berada di sana kompak menahan napas dan saling melemparkan pandangan, tidak terkecuali Lalisa yang menatap Alexon dengan penuh kengerian. Di balik sikap yang manis dan lembut padanya, Alexon menyimpan sisi brutal yang mengerikan-yang bahkan tidak pernah Lalisa bayangkan sebelumnya.

Melihat darah Jung-hoo menetes dari sela-sela jari Alexon membuat putri sang walikota merinding, terlepas dari belaian angin malam yang bercampur dengan dinginnya hujan.

Alexon menatap Jung-hoo sengit, mencoba untuk menimbang apa yang harus dilakukannya pada laki-laki yang ingin membunuhnya ini? Tangga yang tadi dinaikinya terlihat sedikit curam karena merupakan tangga model lama, dengan jarak yang cukup tinggi antara satu tangga dengan tangga yang lain.

Lalu, tanpa membiarkan dirinya menimbang lebih lama, langsung saja dia menyeret Jung-hoo yang masih sibuk dengan rasa sakitnya untuk kemudian dilemparkan menuruni anak tangga-tanpa memikirkan bagaimana laki-laki itu akan mengatasi rasa sakitnya.

Lee Rang memekik tertahan di belakang Alexon, tapi tidak ada cukup waktu untuk berteriak memanggil Jung-hoo seperti yang sudah-sudah. Hal yang sama pula dilakukan oleh Lalisa. Kedua mata gadis itu membulat tajam saat melihat tindakan tidak manusiawi dari sang profiler.

Saat Alexon menikmati pemandangan tubuh Jung-hoo yang berguling melewati anak tangga dan menabrak tembok dengan bunyi yang begitu keras, ada Lee Rang yeng menyelinap di belakang Alexon guna menghampiri Lalisa. Setidaknya Lee Rang masih memiliki tawanan yang bisa dijadikan alat untuk mengontrol sang profiler.

Menggunakan pisau yang tadi dilemparkan Alexon padanya, Lee Rang berjuang untuk memotong tali yang mengikat Lalisa. "Sudah kukatakan kalau profiler itu adalah seorang monster, sama seperti kami," katanya dengan kepanikan yang melompat tajam ke ubun-ubunnya. Lalu, menggeleng untuk meralat ucapan sebelumnya. "Tidak, tidak! Dia jelas lebih gila dari kami."

Lalisa bergeming, tidak tahu harus merespons bagaimana. Gadis itu terkejut, hingga seluruh tulangnya terasa ingin lepas dari tubuhnya. Apa yang dilihatnya malam ini, hampir tiga kali lipat lebih mengerikan dari saat Alexon menghadapi Sungjae. Sang profiler bertindak kasar dan brutal, seolah ada yang mengendalikannya dari suatu tempat.

Kedua tangan Lalisa bergantung lemah di sisi tubuh ketika Lee Rang berhasil memutuskan tali yang menggantung tangannya. Lalu, laki-laki itu beralih untuk memotong tali di kaki gadis itu, tapi dia tidak pernah menyelesaikan kegiatannya saat itu karena Alexon langsung menyeretnya untuk mejauh dari sang gadis.

Lee Rang memberontak menggunakan pisaunya untuk melawan, yang tanpa sengaja berhasil melukai lengan Alexon yang digunakan untuk menyeretnya. Sontak Alexon melepaskan Lee Rang.

Lee Rang berbalik untuk menatap Alexon. Di mana profiler itu tengah mencurahkan perhatiannya pada goresan dalam yang baru saja Lee Rang berikan. Kedua sudut bibir laki-laki itu tersenyum yang dibalut tawa, untuk menyembunyikan betapa takutnya dia pada Alexon saat ini.

Lalu, tanpa ingin menunggu lebih lama lagi, dia langsung menyerang Alexon dengan brutal. Ayunan pisaunya membentuk huruf X, seakan ingin membelah dada sang profiler detik ini juga. Namun, Alexon menghindarinya dengan begitu mudah dan mendorong Lee Rang menggunakan kakinya, yang diam-diam berharap bisa menjatuhkan si Park itu, tapi Alexon harus puas karena hanya bisa membuat Lee Rang mundur empat langkah darinya.

Lee Rang mengayunkan pisaunya dengan sangat lihai. Genggamannya terlihat erat, ayunannya pun terlihat tegas dan tidak pernah ragu-ragu. Kepala, perut, lengan, dan kaki, semuanya Lee Rang incar untuk melukai Alexon, tapi tidak ada satu pun yang berhasil melukai. Semua sayatannya hanya nyaris mengenai.

Alexon menahan tangan Lee Rang yang ingin menyayat lehernya. Lalu, memukul tepat di lipatan tangan dan menahannya kuat-kuat, yang harusnya mampu membuat lengan laki-laki itu ngilu dan menjatuhkan senjatanya, tapi pisau Lee Rang masih kokoh dalam genggemannya.

Lee Rang menggunakan tangannya yang kosong untuk balas menyerang Alexon. Satu kepalan tangan berhasil mendarat tepat di wajah sang profiler, membuat laki-laki itu mundur karena terkejut. Hal ini Lee Rang manfaatkan untuk mendesak Alexon ke dinding, sambil mengukuhkah pisaunya tepat di depan perut dan menahan sebelah tangannya di bahu sang profiler agar tidak ke mana-mana.

Lalisa lemas tidak berdaya melihat pertarungan sengit Alexon dan Lee Rang. Gadis itu merasa tidak ada harapan sedikit pun saat ini. Jangankan untuk melarikan diri dan mencari bantuan, untuk melepaskan ikatan di kedua kakinya saja Lalisa merasa tidak mampu. Gadis itu bingung karena ditelan ketakutannya, hingga tidak memiliki tenaga untuk bertindak.

Pisau di tangan Lee Rang tidak pernah menyentuh perut Alexon, karena sang pemilik pisau menahan benda logam itu menggunakan tangannya tanpa memperlihatkan rasa sakitnya. Alexon bergerak berlawanan dengan pisau di tangannya, berusaha untuk mencapai gagangnya. Lalu, membalik arahnya untuk menyerang Lee Rang.

Jika tadi Alexon bisa menahannya dengan tangan, maka Lee Rang tidak mampu melakukan hal yang sama untuk melindungi diri.

Napas Lee Rang tertahan saat benda asing itu menusuknya dengan tajam. Matanya tampak membulat karena terkejut.

Alexon mendorong tubuh Lee Rang agar dirinya bisa terbebas dari dinding yang menekannya dan balas mendesak laki-laki itu pada pagar pembatas, sambil menekan pisau di tangannya.

"Kau memang terlahir sebagai monster," kata Lee Rang dengan terbata-bata, berusaha mengambil napas yang tertahan di tenggorokan dan menahan tangan sang profiler agar tidak menekannya lagi.

Alexon tidak menjawab. Profiler itu cenderung bertindak dengan aksinya dan bukan dengan ocehan. Jadi, dia membiarkan Lee Rang mengucap kata-kata terakhir dan menikmati setiap detik ketakutan yang dilihatnya, dengan sudut bibir yang merekah lembut dan mata yang tersenyum cerah.

"I won again and you lost," bisik Alexon. Senyumnya tampak bengis, dengan tatapan kosong dan hampa, seolah tidak pernah ada kehidupan di sana-alih-alih kebahagiaannya melimpah ruah setelah bertemu Lalisa.

"Alexon," Lalisa memanggil lirih dan terdengar sangat putus asa.

Profiler itu menoleh, menatap Lalisa seolah tidak mengenali gadis yang disukainya itu. Tatapannya menyapu seluruh tubuh Lalisa tanpa melewatkan apa pun dan melihat banyak bekas luka. Lagi-lagi kulitnya yang mulus harus dihiasi berbagai macam bukti perlawanan.

Lalisa balas menatap. Tatapannya juga terlihat seperti tidak mengenali laki-laki yang belakangan ini mewarnai harinya, seakan Alexon yang dilihatnya bukan Alexon yang dikenalnya-sama seperti kemarin.

"Alexon, jangan." Lalisa berbicara lembut, seolah ingin membangunkan Alexon dari mimpi buruknya.

Alexon menatap dalam diam. Terlihat seperti menunggu Lalisa untuk meneruskan kalimatnya, tapi gadis itu tidak berkata apa-apa lagi. Dia hanya menggeleng, pertanda Alexon tidak boleh menyakiti Lee Rang lagi-dengan alasan itu hanya akan merugikannya sendiri. Namun rupanya, gelengan Lalisa tidak berdampak apa pun untuk sang profiler karena yang terjadi malah sebaliknya.

Alexon menekan pisaunya lebih dalam lagi, membuat mulut Lee Rang terbuka lebar saat merasakan sakit yang teramat di sekujur tubuh. Napasnya tertahan di tenggorokan dengan pinggang yang menempel sempurna pada sisi pagar pembatas dan rasanya seperti Lee Rang berada di pintu akhirat ketika Alexon memutar pisau itu di dalam perutnya.

Inilah alasan kenapa Ji Hoon tidak ingin Alexon bertindak sendiri. Laki-laki itu hanya takut jika profilernya akan kehilangan kendali dan melakukan hal yang mungkin bisa merugikan dirinya sendiri.

Alexon membisikkan kalimat panjang tepat di telinga Lee Rang, sebelum akhirnya melepaskan tangan dari pisaunya. Laki-laki itu mundur selangkah, seakan ingin melihat seberapa banyak dia berhasil melukai lawannya.

Wajah laki-laki itu tanpa ekspresi saat memperhatikan Lee Rang yang berusaha untuk menarik keluar pisau dari perutnya, sementara satu tangan yang lain digunakan untuk berpegangan pada pagar pembatas. Namun, tidak ada yang tahu kalau Lee Rang tanpa sengaja menekan tubuhnya ke belakang, saat berusaha menahan rasa sakit yang merobek perutnya.

Tubuh Lee Rang terbalik melewati pagar pembatas dan tidak ada waktu untuk mencari pegangan.

Lee Rang jatuh menghantam lantai dengan hentakan tubuh yang membuat Lalisa tersentak.

"Jisung~ah!" Jung-hoo berteriak histeris. Sejak tadi dia memperhatikan dari pelataran yang menghubungan antar lantai dan melihat bagaimana sang adik menahan rasa sakitnya.

Alexon mengintip dan mendapati darah sudah menggenang di sekitar kepala Lee Rang, dengan tubuh yang bergerak kaku. Oh, tampaknya Alexon memenangkan permainan-lagi.

Derap langkah terdengar menuruni tangga dengan terburu-buru, tanpa perlu menoleh pun Alexon tahu siapa yang membuat suara berisik itu. Sang profiler seakan menunggu Jung-hoo untuk menghampiri Lee Rang, agar bisa menyaksikan melodrama dari Park Bersaudara itu. Alexon menunggu dengan sabar dan membiarkan tangannya bersandar pada pagar pembatas.

Jung-hoo memangku kepala adiknya. "Jisung~ah," panggilnya seraya menepuk pipi Lee Rang, berharap sang adik akan menjawabnya. "Bangun!" rengeknya.

Lee Rang terbatuk, pertanda laki-laki itu masih bernapas, meski sulit. "Dia psikopat," katanya dengan susah payah. Matanya merah dan berkaca-kaca. "Lari, Hyung."

Tampaknya Lee Rang tidak ingin sang kakak memiliki nasib yang naas sepertinya. Selagi masih ada waktu, dia ingin Jung-hoo melarikan diri.

Jung-hoo menggeleng dengan linangan air mata. Hanya Lee Rang yang dia miliki di dunia ini dan laki-laki itu tidak akan meninggalkan adiknya pada saat-saat terakhir seperti ini. "Aku akan membalas perbuatannya padamu."

Lee Rang menggeleng dengan sisa tenaganya. "Dia monster, Hyung. Kau tidak akan bisa melawannya." Napasnya tersangkut di tenggorakan untuk setiap kata yang diucapkan. "Lari, Hyung. Selamatkan ...."

Oh, sayang sekali, Lee Rang tidak sempat menyelesaikan kalimatnya karena ajal lebih dulu menjemputnya. Laki-laki itu mengembuskan napas terakhir dalam pangkuan, juga pelukan sang kakak.

Jung-hoo berteriak penuh kesakitan memanggil nama adiknya.

Lalisa tidak melihat apa yang Alexon lihat saat ini, tapi bisa merasakan pedihnya kehilangan yang Jung-hoo rasakan, hingga tanpa sadar gadis itu meneteskan air matanya. Pada akhirnya, Lalisa jatuh terduduk. Membiarkan kulitnya bergesekan di lantai, tanpa memiliki tenaga untuk meraih pakaiannya yang hanya berjarak kurang dari 2 meter darinya.

Alexon menoleh pada Lalisa setelah tidak tertarik lagi pada drama picisan dua kakak beradik Park itu dan memutuskan untuk menghampiri. Mantelnya dilepas saat dalam perjalanan, kemudian diperas untuk membuang air yang meresap ke dalam kain. Lalu, memakaikannya pada Lalisa untuk menutupi tubuh terekspose gadis itu.

Lalisa mengangkat pandangan. Wajahnya basah karena air mata. Namun, tidak ada kata yang gadis itu ucapkan. Dia hanya diam dan menatap, menunggu sang profiler untuk bicara lebih dulu. Namun, Alexon juga tidak mengatakan apa pun. Keduanya tampak seperti orang asing yang tidak saling mengenal.

"I'll clean up this mess," kata Alexon pada akhirnya.

Tanpa menunggu jawaban Lalisa, profiler itu berdiri tanpa memberikan sentuhan fisik seperti biasa. Namun, ketika akan mengambil langkah, Lalisa menahan tangannya memiliki noda darah dan menggeleng pelan.

"Aku tidak ingin kau terluka," lirihnya.

"No one can hurt me. So, don't worry." Alexon membalas dengan senyum kecil. "I'll be right back. Without getting hurt. I promise." Alexon memenggalnya menjadi beberapa kalimat guna meyakinkan gadis di depannya kalau dia akan baik-baik saja.

Lalisa melepaskan kepergian sang profiler dengan setengah ikhlas ketika laki-laki itu melangkah menjauhinya dan membiarkan tautan tangan mereka terlepas perlahan.

Sungguh, ini adalah hari yang paling melelahkan di sepanjang hidupnya.

Lalisa membiarkan dirinya duduk kehausan, sementara Alexon berlari menuruni tangga dengan cepat untuk menghampiri Jung-hoo. Persis seperti yang dikatakan sebelumnya, sang profiler ingin mengakhiri hubungan dengan Park Bersaudara itu-untuk selama-lamanya.

Lalisa meraih sweternya tanpa tenaga, melepas sebentar mantel basah sang profiler untuk memakai pakaiannya. Gadis itu menatap kakinya yang masih terikat dengan tiang dan tali. Lalu, mengedarkan pandangan mencari apa saja yang bisa membantunya melepaskan diri.

Ada sebuah guci yang berada di dekatnya. Tanpa pikir panjang, Lalisa meraihnya dengan susah payah hanya untuk dipecahkan, kemudian mengambil pecahan paling besar dan menggunakannya sebagai alat potong. Lalisa tidak bodoh, gadis itu melapisi pecahan kacanya menggunakan mantel, sebelum digesekkan pada tali yang mengikatnya. Satu menit Lalisa habis untuk membebaskan diri. Dia memakai kembali mantel sang profiler dan mengikat tali pinggangnya dengan erat-tanpa menggunakan celananya lagi.

Gadis itu mengambil langkah hati-hati untuk menghindari pecahan kaca, tapi tubuhnya tersentak dan nyaris terjatuh saat mendengar suara tembakan. Pikirannya langsung melayang pada sang profiler. Jantungnya meledakkan kekhawatiran yang membuatnya pening. Mendadak gadis itu mual, tapi mati-matian menahan diri.

"Alexon!" Lalisa berteriak untuk memastikan. Kakinya diseret untuk melangkah secepatnya.

"I'm okay!" Alexon balas berteriak, "Stay there while I kill him. No! I mean ... chasing him."

Sial! Lalisa nyaris mati ditempat saat mendengar tembakan itu. Dia mungkin tidak akan bisa melangkahkan kaki jika tidak mendapat jawaban dalam waktu sepuluh detik. Tapi tunggu!

"Kill him?" gumam Lalisa.

Alexon benar-benar mengatakan itu sebelumnya, 'kan? Lalisa yakin itu.

Buru-buru Lalisa melanjutkan langkahnya dengan terseok-seok. Jika itu yang ingin Alexon lakukan, maka Lalisa harus menghentikannya. Gadis itu tidak ingin sang profiler terlibat dalam kasus pembunuhan apa pun-lagi.

Namun, saat sampai di lantai dasar, Lalisa tidak menemukan Jung-hoo, maupun Alexon. Hanya ada mayat Lee rang di sana. Terbujur kaku dengan lautan darah dan kedinginan. Putri Walikota Jung itu menahan napas sesaat, menatap iba beberapa detik, sebelum akhirnya mendekati laki-laki itu hanya untuk mencuri ponsel yang tergeletak tidak jauh dari mayat Lee Rang.

Lalisa berlari keluar rumah. Rasa dingin langsung menusuknya dari segala arah. Mantel yang dipakai sebenarnya tidak banyak membantu karena sama dinginnya dengan cuaca malam ini, tapi setidaknya bisa menutupi tubuhnya yang terkspose.

Gadis itu sedang berada di antara hidup dan mati beberapa saat lalu, tapi masih bisa bersyukur karena ponsel yang ditemukannya tidak menggunakan sandi atau pola tertentu. Lalisa mencoba peruntungannya dengan menelepon Alexon, barangkali sang profiler bersedia mengangkat telepon sejenak-meski sedang sibuk.

Hanya berjarak 500 meter dari rumah kosong tempat Lalisa disandera, ada tim Ji Hoon yang masih menyisir hutan tanpa henti dan saling memberi kabar dengan tim yang lain.

"Kim Ho-rang, tim tiga di sini." Seseorang baru saja melapor pada Ji Hoon melalui sambungan radio. Napasnya terdengar cepat, seperti sedang berlari. "Sepertinya aku melihat dua orang laki-laki yang saling mengejar ke arah selatan, tapi tidak yakin apakah mereka orang yang kita cari atau bukan."

"Ikuti mereka dan laporkan perkembangannya padaku," titah Ji Hoon, "Dan bawa tim yang paling dekat denganmu untuk ikut mencari."

"Aku mengerti."

"Kau pikir siapa mereka berdua?" Jaebum langsung bertanya.

Ji Hoon menggeleng. "Bisa saja Jung-hoo dan Lee Rang, tapi bisa juga itu Alexon dan salah satu dari keduanya," katanya setengah ragu, tapi segera menemukan keyakinanya. "Itu artinya Lalisa ada di suatu tempat. Kita harus menemukannya lebih dulu."

Jaebum dan Tae-il menyanggupi dengan anggukan singkat. Mereka ingin melanjutkan langkah, tapi Tae-il menunjukkan ponsel Alexon yang memiliki panggilan masuk dari nomor tidak dikenal saat ini.

Ji Hoon mengangguk, pertanda Tae-il boleh mengangkatnya.

Tae-il mengaktifkan pengeras suara dan menunggu seseorang di seberang sana untuk bicara lebih dulu.

"Oh, Alexon, syukurlah. Kau ada di mana sekarang?"

Semua mata saling melemparkan pandangan dan menyebut satu nama yang sama dengan penuh keterkejutan. "Lalisa?"

"Oh!" Lalisa terdengar terkejut dari seberang sana saat yang menjawab panggilannya lebih dari satu orang. "Kalian sudah bersama Alexon?"

"Lalisa, kau baik-baik saja, 'kan?" Ji Hoon membalas pertanyaan Lalisa dengan pertanyaan pula, bahkan nyaris merampas ponsel Alexon dari Tae-il agar bisa berbicara dengan gadis itu.

"Lalisa, kau ada di mana sekarang?" Tae-il ikut menimpali.

"Lalisa, apa kau terluka? Katakan di mana lokasimu saat ini, kami akan segera menjemputmu dan membawakan paramedis. Tunggu kami di sana dan jangan pergi ke mana-mana." Jaebum terdengar paling cerewet di antara dua rekannya yang lain.

Namun, Jinyoung akan menjadi dua kali lebih bawel dari Jaebum jika saja maknae itu ada bersama mereka saat ini.

Ji Hoon dan Tae-il menatap bingung saat Jaebum terdengar sangat mengkhawatirkan Lalisa. Merasa ditatap dengan penuh selidik membuatnya buru-buru memberikan penjelasan.

"Dia putri seorang walikota, Hyung," tegasnya berapi-api, seraya menatap dua rekannya bergantian. "Keselamatannya jelas yang terpenting saat ini."

Sungguh, kekhawatiran yang Jaebum berikan saat ini tidak kurang dan lebih karena memandang Lalisa sebagai putri sang walikota yang berharga. Bukan karena dia memiliki perasaan tertentu pada gadis itu.

"Jadi, kalian tidak bersama Alexon saat ini?" Pertanyaan Lalisa menarik kembali fokus ketiga detektif itu. Suaranya bergetar panik. "Tolong temukan Alexon sekarang. Dia sedang mengejar Jung-hoo dan salah satu dari mereka membawa pistol."

"Itu artinya yang Ho-rang lihat adalah Alexon dan Jung-hoo?" tanya Tae-il pada dua rekannya.

Ji Hoon mengangguk asal-asalan dan kembali fokus. "Lalisa, tenanglah. Sekarang kirimkan lokasimu lebih dulu. Kami akan menjemputmu dan mencari Alexon setelah."

"Kumohon temukan Alexon lebih dulu." Lalisa terisak di seberang di sana. "Aku tidak ingin dia membunuh Jung-hoo dan berakhir sebagai seorang pembunuh."

Ji Hoon memberi kode pada Jaebum untuk mencari tahu kabar terbaru dari pengejaran dua laki-laki yang Ho-rang lihat sebelumnya dan meminta semua tim menyusul tim tiga.

"Lalisa, jangan khawatir. Kami membawa banyak orang hari ini untuk menangkap Park Bersaudara itu dan mereka semua akan mencari Alexon. Jadi-" Ji Hoon menahan pertanyaannya saat Tae-il menyenggol lengannya dan mengatakan kalau dia akan melacak nomor ponsel yang Lalisa gunakan saat ini. Anggukan singkat dia berikan pada Tae-il dan kembali bicara pada Lalisa. "Kami sedang melacak lokasimu sekarang. Jadi, bisakah kau jelaskan apa yang terjadi sebenarnya antara Park Bersaudara dan juga Alexon?"

Jaebum sudah meminta tim yang lain untuk menyusul tim tiga dan meminta satu tim untuk menyusul mereka. Tae-il sendiri sudah berhasil mendapatkan posisi Lalisa dan perjalanan kembali berlanjut dengan agak tergesa-gesa.

"Hubungan ketiganya sangat rumit. Aku tidak bisa menjelaskannya karena itu bukan kapasitasku untuk bicara." Lalisa masih terisak, tapi suaranya sudah lebih stabil sekarang dan tidak lagi bergetar.

Sama seperti Alexon yang menghargai privasinya, Lalisa juga berusaha menghargai dengan tidak membicarakan masa lalu laki-laki itu tanpa izin.

Ji Hoon mengangguk paham. "Ngomong-ngomong di mana Lee Rang?"

Lalisa memberikan jeda yang sangat panjang dan gumam yang terdengar ragu. "Lee Rang meninggal. Dia jatuh dari lantai tiga."

Ketiga rekan Alexon menatap mayat Lee Rang dengan ringisan. Jaebum berinisiatif untuk mencari kain guna menutupi tubuh kaku itu. Mereka semua sepakat akan ikut mencari Alexon setelah paramedis datang untuk mengurus mayat Lee Rang.

"Lalisa, pergilah ke rumah sakit bersama tim medis. Kami akan mencari Alexon," kata Ji Hoon pada Lalisa saat mayat Lee Rang bungkus dengan kantong jenazah.

Lalisa menggeleng kuat. "Aku akan ikut bersama kalian," tegasnya berapi-api.

"Lalisa, kau tidak bisa," bantah Ji Hoon tidak kalah kuatnya, "Ini terlalu berbahaya untukmu. Kau sudah sangat kelelahan sekarang. Tubuhmu tidak akan kuat untuk berdiri di bawah dinginnya air hujan."

"Aku bisa." Lalisa masih berusaha meyakinkan.

"Lalisa, tolong jangan keras kepala." Ji Hoon memohon dengan sangat. Dia tidak terlalu banyak menghabiskan waktu dengan Lalisa, tapi mengetahui dengan baik bagaimana kerasnya sifat putri sang walikota. "Aku berjanji akan menemukan Alexon untukmu. Jadi, pergilah ke rumah sakit dan dapatkan perawatan."

Lalisa tetap bersikeras ikut dan meyakinkan berkali-kali. "Hanya aku yang bisa menghentikannya," katanya dengan penuh kepercayaan diri yang tinggi, "Alexon tidak pernah mendengar siapa pun, tapi dia tidak akan pernah bisa membantahku."

Terkutuklah Lalisa karena menyombongkan diri di depan orang-orang yang lebih berpengalaman darinya.

Gadis itu terdengar begitu angkuh, meski faktanya dia sedang menahan diri yang bergetar. Melihat Alexon yang menusuk Lee Rang setelah dilarang, membuat Lalisa berpikir ulang sebenarnya, tapi tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada Alexon. Jadi, Lalisa harus ikut meski tidak yakin bisa mengatasi Alexon atau tidak.

"Lalisa benar, Hyung." Tae-il menimpali setelah mendengar perdebatan yang pastinya tidak akan pernah ada habisnya jika Ji Hoon tidak mengalah. "Hanya dia yang bisa mengendalikan Alexon. Jika diibaratkan hewan, Lalisa adalah pawang Alexon."

Diam-diam Lalisa berterima kasih karena Tae-il berada dipihaknya.

Ji Hoon mengembuskan napas kasar seraya menyugar rambutnya yang basah. Memiliki satu anggota yang keras kepala seperti Alexon saja sudah membuatnya pusing, sekarang ditambah lagi dengan pekerja paruh waktunya yang bahkan lebih keras kepala lagi.

"Baiklah, kau boleh ikut." Ji Hoon mengalah pada akhirnya. Dia tidak bisa melawan keras kepala gadis itu. "Tapi berjanjilah untuk tidak melakukan tindakan apa pun dan tetaplah berada di bawah pengawasan kami bertiga," tegasnya berapi-api.

Sungguh, Ji Hoon tidak ingin mengambil risiko sekecil beras pun untuk keselamatan Lalisa.

Lalisa mengangguk menyanggupi, tapi gadis itu tidak pernah sungguh-sungguh dengan janji yang diucapkan. Jika dirasa itu bisa mengubah situasi, maka tidak ada alasan bagi Lalisa untuk tetap memegang janjinya.

"Sial! Mereka kehilangan jejak, Hyung." Jaebum mengumpat panik dan menatap semua orang yang bisa ditatapnya.

Tidak ada yang bisa disalahkan atas kehilangan yang satu ini. Hujan dan gelap jelas menjadi penghalang untuk mengejar target.

"Terakhir kali melihat keduanya di sisi barat daya hutan, sekitar 1-2 km dari rumah kosong sebelumnya," tambah Jaebum memberikan penjelasan.

"Apa kalian tahu ada sungai di sekitar sini?" Lalisa bertanya di saat yang lain sedang memikirkan cara lain untuk menemukan Alexon dan Jung-hoo.

Semua orang terlihat bingung, tapi Ji Hoon bersedia untuk menjawab tanpa balik bertanya. "Kami melewati sebuah sungai tadi."

"Apa jaraknya jauh dari rumah kosong itu?" tanya Lalisa lagi.

Ji Hoon menggeleng agak ragu. "Sepertinya tidak sampai 1 km."

"Aku yakin mereka pasti ke sungai itu!" seru Lalisa berapi-api.

"Bagiamana kau tahu kalau mereka akan pergi ke sana?" tanya Ji Hoon skeptis. Pandangan yang sama juga diberikan oleh Tae-il dan Jaebum.

"Kumohon percaya saja padaku untuk kali ini," pinta Lalisa. Gadis itu tidak bisa menjelaskan mengenai apa yang dia ketahui.

Baiklah, untuk kali ini mereka semua mempertaruhkan keberuntungan di tangan putri sang walikota. Mereka berempat meninggalkan rumah kosong berlantai tiga yang kini sudah menjadi TKP, setelah tim empat datang untuk menggantikan mereka menggeledah.

Tepat seperti yang Lalisa yakini, Jung-hoo dan Alexon memang berlari ke sungai atau lebih tepatnya Jung-hoo sengaja berlari ke sana.

Dengan napas terengah, keduanya saling berhadapan dan menatap satu sama lain di tengah-tengah sungai yang terbentang lebar kurang lebih 10 meter dengan panjang ... entahlah. Tidak ada yang ingin repot-repot mengukur panjang sungai di saat seperti ini. Jarak keduanya saat ini hanya 1 meter dan cukup dekat untuk saling memukul.

"Kau masih tidak ingat?" tanya Jung-hoo dengan tawa geli. Kedua tangannya direntangkan, dengan sebelah tangan menggenggam pistol. "Di sinilah tempat kau membuang mayat Nam Sun-ho."

Alexon mengedarkan pandangan, bertanya-tanya tepatnya di mana dia membuang sesosok tubuh yang kaku sembilan belas tahun lalu. Namun, sang profiler enggan untuk mengingatnya.

"Why are you so obsessed with me?" tanya Alexon seraya menatap lekat laki-laki di depannya. Tatapannya sama sekali tidak terlihat takut seperti saat ingatan masa lalu menerobos dinding kenangannya lagi. "I know I'm handsome, but that doesn't mean you should be obsessed with me."

Jung-hoo tertawa miris. Dia pikir selain terlahir sebagai psikopat, Alexon juga terlahir dengan kepercayaan diri yang berlebihan dan itu membuatnya agak muak dan langsung melesatkan satu pelurunya ke arah sang profiler.

Entah tangan Jung-hoo yang bergetar karena takut atau hujan membuat pelurunya meleset jauh dari Alexon, padahal sang profiler bergeming, seolah tahu kalau peluru Jung-hoo tidak akan pernah mengenainya.

"You're shaking." Alexon menertawakan Jung-hoo secara terang-terangan atas kegagalan laki-laki di depannya ini.

Tidak terima dengan penghinaan barusan, Jung-hoo kembali melesatkan timah panasnya. Namun sial, dia kehabisan peluru. Berkali-kali dia menekan pelatuknya, tapi tidak ada apa pun yang keluar dari moncong pistolnya. Kesal karena tidak bisa menyerang dengan senjata apinya, membuat Jung-hoo melemparkan benda tidak berguna itu ke mana saja dan memutuskan untuk menyerang dengan tangan kosong.

Keduanya jatuh ke sungai yang penuh dengan bebatuan dan kembali bergumul dengan tangan kosong di bawah derasnya hujan.

Lalisa berjuang mati-matian untuk menyesuaikan kecepatan lari dari tiga detektif yang bersamanya. Gadis itu ingin mengeluh lelah, tapi hati kecilnya menguatkan dengan terus mengingatkan kalau sang profiler sedang dalam bahaya saat ini. Jadi, tidak ada waktu untuk istirahat mengambil napas lebih dari satu detik.

Ada banyak hal yang bisa terjadi dalam lima menit. Pertarungan tidak lagi sengit seperti sebelumnya. Baik Jung-hoo maupun Alexon, keduanya sudah sama-sama babak belur karena pukulan demi pukulan yang diberikan oleh masing-masing pihak.

Namun, sang profiler tetap memimpin permainan. Sebelah tangannya mencengkeram leher Jung-hoo, sebelahnya lagi menggenggam pisau di udara dan siap ditusukkan pada laki-laki yang saat ini didesaknya pada batu raksasa.

"ALEXON!"

Teriakan Lalisa berhasil mencegah Alexon melakukan aksi pembunuhan. Pisaunya tertahan sekitar 5 cm di atas permukaan jantung Jung-hoo. Laki-laki itu menoleh saat mendengar teriakan yang begitu frustrasi. Dilihatnya Lalisa tengah menatap putus asa di bawah guyuran air hujan, yang membuat wajah gadis itu tampak sangat pucat.

"Jangan bunuh dia, kumohon." Pintanya dengan suara serak. Gadis itu berdiri dalam satu baris bersama tiga rekan Alexon yang lainnya. "Kau tidak sama sepertinya," katanya dengan gelengan kecil.

"Alexon, turunkan pisaumu dan lepaskan dia." Ji Hoon ikut menimpali. Wajahnya terlihat was-was, sama seperti dua rekannya yang lain. "Apa pun yang sudah dia lakukan padamu, biarkan hukum yang membalasnya. Jangan mengotori tanganmu dengan membunuhnya."

"Ji Hoon hyung benar." Tae-il ikut menimpali dengan suara bergetar yang sama. "Jangan sia-siakan usaha kita selama ini hanya untuk membunuhnya. Biarkan dia terkurung di balik jeruji besi sampai mati sebagai balasannya."

"Yak, pikirkan Lalisa jika kau mendekam di balik jeruji besi! Siapa yang akan menjaganya nanti?" Jaebum ikut berteriak. Terlihat seperti laki-laki itu baru saja berbagi jiwa dengan Jinyoung, hingga celotehannya menjadi asal-asalan seperti maknae-nya.

Alexon menatap Lalisa. Meski di bawah guyuran air hujan, tapi dia tahu kalau Lalisa sedang menangis sekarang. Ekspresinya terlihat begitu sekarat.

"He asked me to kill him," kata Alexon dengan polos. Laki-laki itu seperti bocah yang selalu menuruti perintah yang diberikan padanya. "And there's no reason to reject it."

Lalisa menggeleng kuat dengan air mata yang jatuh tersamarkan hujan. "Kau bukan monster sepertinya. Jadi, tidak ada alasan untuk membunuhnya dan menjadi monster sepertinya," katanya dengan begitu lembut, "Jangan kotori tanganmu dengan darah siapa pun. Kumohon."

Ji Hoon, Jaebum, dan Tae-il tampak tidak terlalu mengerti dengan apa yang Lalisa bicarakan. Ini merupakan obrolan pribadi yang hanya diketahui oleh orang-orang tertentu saja.

Alexon menatap Lalisa, tampak seperti mempertimbangkan ucapan gadis itu. Lalu, menatap tangan yang terluka memegang pisau, di mana sebelumnya tangan itu digunakan untuk menusuk Lee Rang dan sekarang akan digunakan untuk menusuk Jung-hoo.

"I can't kill him?" Lagi-lagi Alexon bertanya dengan kepolosannya, seolah yang ingin dia lakukan saat ini adalah membeli permen kapas di ujung jalan, alih-alih sedang bertanya untuk membunuh seseorang.

Lalisa menggeleng. "Lepaskan dia dan biarkan mereka mengurusnya."

Alexon bergeming. Lalu, menatap Jung-hoo yang masih berada di bawah kuasanya. Meski sibuk bicara dengan yang lain, tapi cengkeramannya tidak melonggar sedikit pun.

"She says I can't kill you," katanya melaporkan pada Jung-hoo, kemudian melonggarkan cengkeramannya perlahan. Ekspresi laki-laki itu terlihat agak kecewa, meski poni yang basah menutupi sebagian besar wajahnya. "But I won't apologize for hurting you."

Semua orang tampak memperhatikan dengan waspada. Tidak ada yang tahu dengan apa yang Alexon dan Jung-hoo obrolkan kecuali mereka berdua. Namun, Alexon terlihat agak jengkel karena tangannya kembali terangkat, seperti ingin mencakar wajah Jung-hoo.

"Alexon." Lalisa memanggil lagi agar laki-laki itu segera datang padanya.

Alexon turun dari atas batu raksasa dengan terpaksa dan membuang pisaunya asal-asalan, membiarkan Jung-hoo luruh dari atas batu dan terduduk terendam air sebatas pinggang.

Laki-laki itu menarik napas dari segala sudut untuk mengisi paru-parunya. Sementara Alexon menatap dari atas sana, seolah belum puas dan masih ingin menghajar Jung-hoo sampai mati. Karena Alexon tidak diizinkan untuk membunuh, maka yang bisa laki-laki itu lakukan adalah menendang air sungai ke wajah Jung-hoo. Lalu, mengambil langkah dan menarik turtleneck-nya, kemudian mengeluarkan sesuatu yang sejak tadi membuatnya tercekik.

Oh, ternyata profiler itu menambahkan sesuatu di balik turtleneck-nya, sebuah pelindung leher yang membuatnya baik-baik saja ketika Jung-hoo melilitkan benang kawat di lehernya tadi.

Empat pasang mata yang melihatnya merasa lega karena keputusan sang profiler untuk tidak mengotori tangan dengan membunuh Jung-hoo.

Namun, tetap saja ada kejadian tidak terduga yang terjadi dalam hitungan detik. Jung-hoo yang tadinya terlihat tidak berdaya, nyatanya masih memiliki tenaga untuk mengambil batu yang bersembunyi di dalam air dan bangkit dari keterpurukan dengan batu yang siap dipukulkan pada kepala Alexon.

Di antara empat orang yang menunggu kedatangan Alexon, Lalisa-lah yang bergerak paling cepat. Gadis itu mengambil pistol milik Ji Hoon dari saku belakang laki-laki itu, menguncinya dengan kecepatan kilat, dan langsung melesatkan timah panasnya pada kepala Jung-hoo.

Alexon menoleh ke belakang, tepat saat tubuh Jung-hoo yang lemah menimpanya dan membuatnya terjerembab.

"Lalisa." Ji Hoon menoleh pada satu-satunya gadis yang bersama mereka, begitu pula dengan yang dilakukan dua rekannya.

Lalisa terlihat bergetar dengan pistol yang masih terkokong kokoh di tangannya. Napasnya terlihat begitu kasar dengan tatapan yang masih tajam.

Semuanya terjadi begitu cepat.

Lalisa jatuh terduduk setelah dua puluh detik berlalu sejak dia melesatkan pelurunya. Petir menyambar, seakan ingin menyadarkan semua orang dari keterkejutan saat ini.

Waktu kembali berjalan. Ji Hoon dengan sigap memberikan kabar melalui radio dan meminta tim medis datang. Sementara Jaebum dan Tae-il menghampiri Alexon dan Jung-hoo.

"Jung-hoo masih bernapas," kata Tae-il melaporkan, "Tapi dia mungkin akan mati jika terlambat mendapatkan penanganan."

"Hyung, Alexon pingsan. Sepertinya dia terbentur cukup keras." Jaebum juga memberikan laporannya setelah memiskahkan Jung-hoo dan Alexon. Lalu, menyadari ada luka kening sang profiler.

Ji Hoon tidak menyahut karena kepalanya tiba-tiba saja pening dan rasanya seperti akan pecah. Sementara Jaebum dan Tae-il berusaha menyeret Alexon dan Jung-hoo keluar dari air.

"Ketua Tim Ji, maaf." Lalisa membuka suara setelah menyadari betapa gilanya aksi yang dia lakukan tadi. Dia menatap pistol di tangannya dengan linangan air mata. "Aku tidak bermaksud melanggar janji, tapi aku tidak bisa membiarkan Alexon terluka."

Ji Hoon menatap Lalisa dengan begitu putus asa. Dia tahu kalau gadis itu tidak akan pernah menepati janjinya pada siapa pun, hanya saja dia tidak tahu kalau Lalisa akan bertindak segila itu untuk menyelamatkan Alexon.

Sebagai ketua tim, sudah seharusnya laki-laki itu mengambil tanggung jawab tentang kejadian demi kejadian yang terjadi dalam setiap kasusnya.

"Kau tidak melakukan apa pun." Ji Hoon menegaskan seraya mengambil kembali pistolnya dari Lalisa. "Akulah yang menembak Jung-hoo."

Lalisa menatap Ji Hoon di atasnya. Isakan tangisnya pecah saat laki-laki itu ingin bertanggung jawab atas perbuatannya. Beruntung hanya ada tim Ji Hoon saat ini. Entah bagaimana bisa kebetulan, tapi tidak ada satu pun dari tiga detektif itu yang terpikir untuk menghubungi detektif lainnya dan memberitahu mengenai kemungkinan keberadaan Jung-hoo dan Alexon setelah bertemu Lalisa, seolah mereka semua tahu kalau akan ada kejadian tidak terduga.

Ji Hoon harus menuliskan laporan lengkap tentang kejadian hari ini dan menambahkan beberapa kebohongan untuk melindungi Lalisa dan hal yang sama akan dilakukan Lalisa juga demi melindungi Alexon.

📍📍📍

Di chapter ini, sungguh kubangga dengan kemampuan menulisnya bantat. Dalam hampir tiga tahun nulis, tidak pernah aing tuh merasa sebangga ini pada diri sendiri, tapi partner beneran bikin aing untuk pertama kali bangga pada diri sendiri 😭😭😭😭

Bagi aing pribadi chpater ini paling epik sepanjang aing berkecimpung di dunia orenji. Dahlah, pokoknya aing bangga sama bantat. Kiss mwah mwah 🤣🤣🤣

Sedih sih karena di momen paling penting ini gak ada maknae, huweeeee padahal kan dia yang dendamnya paling banyak 😭😭😭😭😭

Tinggal tunggu epilog, habis itu kita ketemu di sensus klub penggemarnya pak alek. Nah, habis itu baru ketemu mini bonchap 😈😈😈😈😈

Dadah, gaes, semoga malam minggunya menyenangkan 😘😘😘😘

12 Desember 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro