33. Follow Me
Selamat menikmati keuwuan terakhir mereka 😈😈😈
25 ribu kata selanjutnya tidak ada akan keuwuan lagi 🤣🤣🤣
Happy reading ~
Lalisa merasa agak gelisah dalam tidurnya. Gadis itu terus membolak-balikan tubuh di atas kasur, padahal dia menggunakan bantal yang memiliki aroma lembut sang profiler, dengan selimut yang biasa dipakai juga oleh laki-laki itu, tapi tetap saja Lalisa tidak bisa menutup matanya lebih dari sepuluh detik. Sementara Alexon tertidur pulas di sofa panjang.
Lalisa menarik punggungnya dari kasur dan duduk menghadap sang profiler, kemudian menimbang sebuah pemikiran yang baru saja terlintas di benaknya. Lalu, memutuskan turun dari tempat tidur dan menghampiri Alexon di sofa untuk bergabung bersama laki-laki itu.
Sofanya cukup lebar untuk menampung dua orang dan Lalisa bersyukur akan hal itu. Namun, diam-diam juga berdoa agar Alexon tidak menyadari keberadaannya saat ini. Gadis itu memberikan sedikit jarak agar tidak terlalu menempel pada sang profiler dan membelakangi laki-laki itu. Jika mereka saling berhadapan, Lalisa pasti akan semakin sulit untuk tidur.
Lalisa bermaksud memperbaiki posisi selimutnya, tapi naas, sikunya tidak sengaja menyenggol lengan Alexon, membuat sang empunya terkejut dan langsung membuka mata.
"Lalisa, kenapa kau tidur di sini?" Suara Alexon jelas terdengar sangat terkejut saat mendapati Lalisa yang berada di sofa yang sama dengannya, padahal sebelumnya gadis itu tidur di kasur.
Lalisa meringis karena kecerobohannyaa. Dia berbalik perlahan untuk menghadap Alexon dengan ringisan penuh rasa bersalah. "Maaf ... aku tidak bermaksud untuk membangunkanmu. Aku tidak bisa tidur. Jadi ...." Gadis itu menggantungkan katanya di udara. Bagaimana Lalisa harus mengatakan kalau dia sepertinya memerlukan pelukan laki-laki itu.
Alexon menunggu Lalisa untuk melanjutkan kalimatnya yang masih menggantung di udara. Tatapannya terlihat setengah mengantuk dengan wajah yang tampak lelah.
"Kau membutuhkan usapan di kepala?" tebak Alexon asal-asalan.
Lalisa bergumam dengan begitu pelan.
Alexon tersenyum kecil dan mengusap gemas puncak kepala gadis itu. "Kembalilah ke kasur. Aku akan mengusap kepalamu, sampai kau tertidur pulas dan hanya akan bangun jika aku yang membangunkanmu."
Lalisa menggeleng pelan. "Lakukan di sini saja. Aku ingin tidur di sofa."
"Tapi sofa ini terlalu sempit untuk kita berdua. Kau tidak akan nyaman tidur di sini." Jelas Alexon tidak ingin membuat Lalisa tidur di sofa sempit, sementara ada kasur berukuran king size miliknya yang menganggur.
"Aku nyaman selama tidur di sofa bersamamu." Lalisa membalas dengan kesadaran penuh. Rasanya lelah juga jika harus menyembunyikan perasaan terus-terusan pada Alexon. "Jadi, usap saja kepalaku agar aku bisa tidur," pintanya setengah rengekan.
Alexon takjub dengan kejujuran Lalisa, wajahnya bahkan terlihat agak terkejut karena gadis itu berbicara dengan santai dan tanpa paksaan. Laki-laki itu menyelipkan tangan di balik punggung Lalisa, tapi alih-alih mengusap kepala seperti yang gadis itu inginkan, Alexon malah menepuk punggung Lalisa sebagai gantinya.
"Apa yang kau temukan di tempat persembunyian SK?" Lalisa pikir dia ingin melemparkan beberapa pertanyaan lebih dulu, sebelum melanjutkan tidurnya. "Sejak pulang dari sana, kau tampak berbeda."
Alis Alexon berkerut bingung. "Apanya yang berbeda?"
Lalisa menggeleng pelan. "Entahlah, aku hanya merasa kau tidak seperti Alexon yang aku kenal selama ini."
"Memangnya Alexon seperti apa yang kau kenal selama ini?" tanya Alexon ingin tahu.
Lalisa bergumam seraya meletakkan tangan di bahu sang profiler. "Alexon yang aku kenal tidak pernah mengabaikanku, kecuali saat dia marah padaku," jelasnya seolah yang sedang bicara dengannya bukanlah Alexon. "Dan Alexon tidak pernah mengabaikanku lebih dari sepuluh detik, tapi Alexon yang berada di depanku ini mengabaikanku lebih dari tiga kali hari ini."
Alexon agak terkejut dengan penuturan Lalisa, hingga matanya terlihat membulat. "Aku mengabaikanmu?"
Lalisa mengangguk pasti. "Kau tidak sadar karena kau terlalu larut dalam pikiranmu," tegasnya berapi-api, "Jadi, apa yang mengganggumu, hingga aku diabaikan berkali-kali?"
Alexon meringis. "Maaf karena mengabaikanmu. Kau tahu kalau aku tidak bermaksud seperti itu, 'kan."
"Jika kau merasa bersalah, maka jawab pertanyaanku."
Bagaimana Alexon harus menjawab jika dia sendiri saja tidak tahu dengan apa yang terjadi di masa lalunya. Laki-laki itu masih berusaha untuk menggali ingatannya, meski tidak ada yang didapat sampai sejauh ini.
"Aku tidak tahu." Alexon menggeleng lemah. "Aku hanya merasa terganggu dengan fakta kalau Park Bersaudara itu pernah diculik saat masih anak-anak. Rasanya seperti aku pernah berada di posisi mereka."
"Kau pernah diculik?" Lalisa memekik dengan mata membulat.
Alexon tertawa kecil karena reaksi berlebihan Lalisa. "Aku tidak yakin karena tidak memiliki ingatan apa pun tentang penculikan saat masih anak-anak, tapi rasanya seperti aku pernah mengalaminya."
"Kau sudah bertanya pada Alexa?"
"Aku meneleponnya untuk menanyakan hal itu, tapi entah kenapa aku merasa kalau itu bukan keputusan yang tepat," jelas Alexon apa adanya, "Jadi, aku tidak mengatakan apa pun padanya."
"Kenapa tidak mengatakannya sejak tadi siang?" rengek Lalisa. Gadis itu jelas ingin mengetahuinya lebih awal. "Jika aku tidak bertanya, kau pasti tidak akan mengatakannya, 'kan?"
Alexon pikir dia tidak perlu mengatakannya pada Lalisa, karena gadis itu sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan masa lalunya dan dia tidak ingin membagi bebannya pada putri sang walikota.
"Lupakan saja," kata Alexon setengah acuh, "Sekarang tidurlah. Tujuanmu bergabung denganku di sofa untuk tidur, bukan untuk yang lainnya."
Lalisa merapatkan diri dan melingkarkan sebelah tangan pada pinggang Alexon, kemudian menenggelamkan wajah pada dada sang profiler, kemudian menarik salah satu tangan alexon untuk diletakkan di kepalanya. "Usap kepalaku, jika ingin aku tidur."
Alexon melakukan seperti yang Lalisa minta. Tangannya mengusap dengan begitu lembut seraya meletakkan dagu di pucuk kepala gadis itu. "Ayahmu bilang, kau tidak pernah bisa tidur saat ada orang di sekitarmu, tapi kau selalu tidur pulas hanya ketika aku menemanimu. Menurutmu kenapa bisa begitu?" tanyanya dengan penuh rasa ingin tahu.
"Itu benar. Aku tidak bisa tidur saat ada orang di sekitarku, bahkan orang tuaku sendiri," balas Lalisa dengan setengah gumam, sepertinya gadis itu sudah mulai berjalan memasuki alam bawah sadarnya. "Tapi kau adalah sebuah pengeculian yang sebelumnya tidak pernah ada."
"Kenapa aku menjadi pengecualianmu?"
"Entahlah, tiba-tiba saja kau masuk ke hidupku dan menatanya ulang."
Alis Alexon berkerut bingung. "Menatanya ulang?"
Kenapa Lalisa mengatakan kalau Alexon menata ulang hidupnya, sementara Alexon malah berpikir sebaliknya?
Lalisa mulai mendengkur halus, tapi masih memiliki kesadaran untuk menjawab. "Sejak ibuku koma, aku tidak pernah menjalani hidup seperti orang normal. Aku seperti hidup dalam ruang kosong yang hampa, dengan luka menganga dan puing-puing rasa sakit. Lalu, kau datang dan memperbaiki segalanya." Penjelasan panjangnya terdengar seperti gumam, tapi masih terdengar begitu jelas di telinga sang profiler. "Kau mengganti tujuh tahunku yang penuh dengan rasa sakit hanya dalam satu bulan. Itulah kenapa kau adalah pengecualian untukku. Kau adalah ...."
Oh, sepertinya Lalisa sudah tidak kuat menahan rasa kantuk yang menyerang, hingga kejujurannya tertelan begitu saja. Padahal Alexon akan merasa sangat senang, jika gadis itu bisa menyelesaikan kalimatnya.
"Selain pengecualian ...." Alexon sadar kalau Lalisa sudah terlelap, tapi tidak membuatnya ragu untuk bertanya. "Apa artiku untukmu?"
Keduanya baru saling mengenal selama kurang lebih satu bulan, tapi Alexon sudah menyadari kalau gadis yang dia peluk saat ini adalah segalanya. Entah bagaimana caranya, tapi laki-laki itu tahu kalau apa yang dia rasakan pada Lalisa bukanlah perasaan sesaat. Setiap perhatian yang diberikan sudah menunjukkan seberapa berartinya gadis itu untuknya.
"Apa kau masih membutuhkanku setelah ini?" Alexon bertanya getir.
Dia pikir kondisi Lalisa semakin hari semakin bertambah baik. Lalisa yang tadinya sulit bergaul, sekarang justru malah mudah sekali akrab dengan rekan Alexon, bahkan tidak ragu untuk menyapa duluan. Lalisa yang tadinya tidak suka membicarakan diri, sekarang justru malah selalu menjawab Alexon lebih dari yang diminta. Lalisa yang tadinya begitu dingin pada sang ayah, sekarang sudah mulai melunak dan Lalisa sudah mengumpulkan kepercayaan diri yang lebih banyak lagi saat ini.
Lalu, jika semuanya sudah kembali normal, apakah Lalisa masih membutuhkan genggaman sang profiler?
Alexon pikir dia takut ditinggalkan oleh Lalisa suatu saat nanti.
📍📍📍
Saat Alexon bangun, Lalisa sudah tidak ada di sampingnya. Hanya ada dirinya dan selimut di sofa, tanpa gadis cantik yang menemaninya beberapa jam lalu.
Alexon menggosok matanya yang gatal dan menegakkan tubuh sambil mengedarkan pandangan. "Apa dia membuat sarapan lagi pagi ini?"
Membayangkan Lalisa yang sedang menyiapkan sarapan seperti kemarin, membuat kedua sudut bibir Alexon tersenyum lembut. Langsung saja dia menyibak selimutnya dan berjalan ke kamar mandi untuk membasuh wajah. Lalu, melangkah ke dapur guna mencari Lalisa.
Namun, Lalisa tidak terlihat di sudut dapur mana pun dan dapurnya sama sekali tidak berantakan seperti kemarin pagi. Pertanda kalau tidak ada siapa pun yang menyentuh dapur pagi ini. Lalu, ke mana perginya Lalisa?
"Lalisa!" Alexon memanggil dengan setengah teriakan, diiringi langkah setengah berlari yang mulai mencari di setiap sudut.
Halaman depan dan belakang, kolam renang, bahkan atap yang keberadaannya tidak pernah diketahui Lalisa, semuanya tidak luput dari pencarian Alexon. Namun, tetap saja dia tidak bisa menemukan gadis itu, bahkan ponsel Lalisa tidak bisa dihubungi.
Sepertinya Alexon baru saja kehilangan Lalisa.
"Tenang Alexon, tenang." Laki-laki itu menarik napas dalam dan mencoba untuk berpikir dengan tenang. Rasa frustrasinya sekarang setara dengan yang dirasakannya ketika Sungjae menculik Lalisa.
Dengan mata terbuka lebar, laki-laki itu berlari ke ruang kendali CCTV, berharap akan menemukan rekaman gadis itu. Sekarang pukul delapan pagi dan biasanya Lalisa terbangun pukul enam. Jadilah Alexon memeriksa CCTV di kamarnya yang sudah dia aktifkan kembali.
Sekitar pukul 06.15, Lalisa terbangun dari tidur nyenyaknya semalam. Gadis itu tersenyum simpul karena melihat sang profiler berada tepat di depannya. Dia merasakan lingkaran erat di bahu, pertanda Alexon memeluknya sepanjang malam.
Lalisa mengusap lembut pipi Alexon, kemudian melepaskan diri dari dengan hati-hati dan memeriksa ponselnya.
"Ibu," Lalisa bergumam lirih saat melihat kiriman di ponselnya. Gadis itu memutar video yang entah siapa pengirimnya dan segera menutup mulut untuk menahan jeritannya.
Ada seseorang yang merekam ibunya yang masih koma. Ruangannya tidak terlihat seperti di rumah sakit, melainkan sebuah ruangan sempit yang terlihat agak kotor. Lalu, muncul sebilah pisau lipat yang ditodongkan tepat di leher ibu gadis itu.
Oh, astaga, sepertinya ada yang telah menculik ibunya. Siapa yang tahu kalau ibunya sedang koma di rumah sakit dan siapa yang tahu kalau dia adalah putri sang walikota? Lalisa jelas tidak bisa memikirkan satu nama pun, tapi Alexon pasti tahu di satu detik setelahnya.
"Bagaimana jika aku melepaskan alat bantu pernapasannya? Kira-kira apa yang terjadi pada ibumu?" Seseorang di dalam video bertanya dengan serius, tanpa memperlihatkan wajahnya. "Apa dia akan bangun karena kesulitan bernapas atau dia akan mati?"
Tubuh Lalisa bergetar hebat dengan mata memanas. Tangannya menggenggam ponsel dengan begitu kuat. Ibunya dalam bahaya dan Lalisa tidak tahu apa yang harus dilakukan selain menangis. Sebilah pisau yang terlihat mengkilat itu sedang mengusap lengan ibunya.
Oh, apa ini? Lalisa merasa seperti deja vu. Gadis itu seperti merasakan sensasi dinginnya pisau itu di permukaan kulitnya, padahal sang ibulah yang disentuhkan kulitnya pada sebilah pisau yang dingin.
Lalisa tersentak saat ponselnya bergetar dalam genggaman. Buru-buru dia keluar dari kamar untuk menjawab panggilan dari nomor asing.
"Siapa kau sebenarnya? Apa yang kau lakukan pada ibuku?!" Lalisa menggeram dengan tertahan. Dia tidak ingin membuat keributan dan membangungkan Alexon.
"Oho~ santai saja, Sayang. Aku tidak akan melukai ibumu." Sosok di seberang sana menjawab dengan ringan, tapi Lalisa tidak bisa mendengar jelas suaranya karena teredam masker. "Tapi sebagai gantinya, temui aku di suatu tempat," katanya memberikan penawaran, "Sendirian."
Lalisa mengepalkan sebelah tangannya. "Kenapa kau menculik ibuku?" tanyanya dengan gigi gemertak. Diam-diam gadis itu menahan rasa takut yang semakin membanjiri tubuhnya.
"Tentu saja untuk mendapatkanmu," balas laki-laki di seberang sana, "Kau pasti tidak akan datang secara sukarela jika aku mengundangmu, 'kan?"
"Apa yang kau inginkan dariku?" Lalisa masih menggali. Dia sungguh tidak mengenal siapa orang yang sedang berbicara dengannya saat ini.
"Aku akan mengatakannya saat kita bertemu nanti. Jika kau ingin ibumu kembali ke rumah sakit dengan selamat, maka temui aku."
"Di mana kau sekarang, Berengsek?!" Lalisa jelas perlu mengumpat untuk melepaskan sedikit ketakutannya. "Aku akan membunuhmu jika sesuatu terjadi pada ibuku."
"Aku bersumpah ibumu akan kembali dengan selamat, jika kau menemuiku." Laki-laki di seberang sana kembali meyakinkan Lalisa. Nada suaranya sangat bisa dipercaya, terdengar seperti laki-laki yang tidak akan pernah mengingkari janjinya. "Sen. Di. Ri. An," tegasnya dengan memenggal setiap suku kata untuk mengingatkan Lalisa.
"Kirimkan alamatmu sekarang!" geram Lalisa dengan gigi terkatup.
Laki-laki di seberang sana bergumam, terdengar seperti tidak setuju dengan permintaan Lalisa. "Terlalu berisiko jika mengirimkan alamatnya padamu. Jadi, aku akan menuntunmu ke tempat di mana kita akan bertemu."
Lalisa terdiam. Gadis itu sedang memikirkan bagaimana cara menyelamatkan sang ibu, tanpa harus bertemu dengan laki-laki yang meneleponnya ini.
Alexon.
Jelas Lalisa harus mengatakannya pada sang profiler. Alexon pasti memiliki cara untuk menyelematkan ibunya, pasti ada tipu muslihat yang bisa dilakukan.
Lalisa berniat untuk kembali ke kamar Alexon dan mengadu, tapi langkahnya tertahan saat akan menyentuh gagang pintu.
"Aku melihatmu, Sayang," kata laki-laki di seberang sana. Nadanya terdengar agak geli. "Kau menggunakan piyama dengan motif catur dan sedang berdiri di depan kamar profiler itu. Aku benar, 'kan?"
Lalisa mematung. Bagaimana mungkin laki-laki itu dengan piyama yang dipakainya dan bagaimana laki-laki itu tahu posisinya sekarang? Apa Lalisa sedang diawasi di suatu tempat.
"Jadi, jangan coba-coba untuk memberitahu profiler itu atau pun ayahmu karena ibumu yang menjadi taruhannya." Laki-laki di seberang sana mengingatkan sekali lagi. Nadanya mengancam dengan serius. "Aku akan memberimu waktu sepuluh menit untuk bersiap-siap. Jadi, jangan sia-siakan kebaikanku hari ini."
Lalisa jatuh ke lantai saat sambungan diputuskan. Sekarang apa yang harus Lalisa lakukan? Bagaimana dia bisa menyelamatkan ibunya tanpa sang profiler? Pengalamannya sama sekali tidak banyak untuk melawan penjahat. Gadis itu bahkan tidak bisa menelepon ayahnya karena sedang diawasi.
Oh, Tuhan, apa yang bisa Lalisa lakukan saat ini selain menangis? Gadis itu ingin menyelamatkan ibunya, tapi dia takut melakukannya sendiri. Jelas Lalisa ingin melakukannya bersama Alexon.
Dua menit waktunya terbuang sia-sia hanya untuk menangis, sambil memutar keras otaknya. Lalisa menghapus kasar air matanya dan segera bersiap, tidak ada banyak waktu yang tersisa saat ini. Dengan penuh kehati-hatian, Lalisa bergerak secepat mungkin untuk bersiap.
Gadis itu memperbaiki posisi selimut Alexon, sebelum benar-benar meninggalkan sang profiler.
Napas Alexon tertahan saat melihat Lalisa yang keluar dari gerbang rumahnya dengan mengendap, tepat pada pukul 06.30.
"Ke mana Lalisa pergi sepagi itu?" Alexon bergumam penuh tanda tanya. Wajahnya menunjukkan kecemasan. "Dan siapa yang menelepon tadi? Kenapa dia menangis dan terlihat panik?"
Ada banyak sekali pertanyaan yang berputar di benak Alexon. Dia hanya melihat, tanpa bisa mendengar pembicaraan Lalisa.
Alexon tidak ingin membuang waktunya untuk berpikir terlalu lama. Buru-buru dia kembali ke kamar dan menelepon Tae-il untuk melacak nomor Lalisa, kemudian bersiap mencari gadisnya.
Sementara itu, Lalisa masih menerima intruksi satu demi satu yang terus diberikan. Pertam-tama, Lalisa dijemput oleh seseorang di jalan besar perumhan Alexon, kemudian diturunkan di sebuah konter ponsel untuk mengambil pesanan yang diminta laki-laki yang meneleponnya. Lalu, gadis itu diminta untuk membuang ponselnya di mana saja dan menggunakan ponsel yang baru saja diambilnya untuk berkomunikasi.
Sungguh, laki-laki itu ingin memutuskan komunikasi Lalisa dari Alexon.
Sekarang gadis itu berada di sebuah taksi yang akan membawanya ke suatu tempat. Hampir di sepanjang perjalanan, gadis itu menangis tanpa henti. Dia menghawatirkan ibunya, tapi juga merasa sangat takut karena pergi tanpa sang profiler.
"Ahgassi, kau baik-baik saja?" Supir taksi yang membawa Lalisa menegur lembut karena gadis itu terus saja menangis di kursi belakang. "Kau tampak begitu tertekan."
Buru-buru Lalisa menghapus air matanya dan mengulas senyum. "Aku baik-baik saja."
Supir taksi yang terlihat beberapa tahun lebih tua dari ayah gadis itu mengangguk kecil. "Kita akan sampai di tujuan sebentar lagi."
Lalisa hanya membalas dengan anggukan singkat. Dia berusaha keras untuk menenangkan diri dan mengatasi semuanya sendiri. Gadis itu tidak boleh menggantungkan harapan apap pun pada Alexon.
"Sekarang aku harus pergi ke mana lagi?" Lalisa bertanya dengan setengah jengkel. Mati-matian dia menutupi rasa gugupnya.
Gadis itu turun di dekat pasar tradisinonal yang cukup dekat dengan kereta bawah tanah dan ada cukup banyak orang di sekeliling Lalisa.
"Tenang, Sayang. Kenapa buru-buru sekali?" Laki-laki di seberang sana tertawa renyah untuk mengejek Lalisa. "Apa aku sudah tidak sabar untuk bertemu denganku?"
"Aku tidak sabar untuk membunuhmu," balas Lalisa dengan gigi gemertak. Mata gadis itu terasa panas karena diselimuti amarah.
"Memangnya kau mengerti bagaimana caranya membunuh?" tantang laki-laki itu. Desahan penuh kekecewaan yang dibuat-buat terdengar begitu jelas. "Ah, benar~ Kau tahu caranya membunuh. Kau pernah mencoba untuk membunuh ayahmu dan baru-baru ini kau membunuh kucingmu, 'kan? Jadi, bagaimana rasanya, apa kau menyukai sensasi saat darahnya mengalir di tanganmu?" ejeknya dengan nada geli.
"SEBENARNYA SIAPA KAU, BERENGSEK?!" Lalisa melepaskan kemarahannya. Gadis itu tidak peduli kalau dia sedang berjalan di tengah keramaian sekarang. "Apa yang kau inginkan dariku, Sialan?!" Lagi, kemarahan Lalisa lepas kontrol dan memancing beberapa pejalanan kaki untuk menatapnya.
"Oh, Sayang, jangan menangis di tengah jalan seperti itu. Kau hanya akan mempermalukan dirimu sendiri." Laki-laki di seberang sana terdengar prihatin, tapi Lalisa tahu kalau dia sedang diejek sekarang.
Lalisa mengedarkan pandangannya dengan liar, mencari siapa saja sosok yang terlihat mencurigakan di antara banyaknya kerumunan. "Keluar dan temui aku sekarang juga," geramnya dengan gigi gemertak. Lalisa sama sekali tidak peduli dengan air matanya yang jatuh. "Jika kau memang seorang laki-laki sejati—"
"Jika aku menemuimu di sini, maka itu artinya kau tidak akan bertemu dengan ibumu." Laki-laki di seberang sana memotong ucapan Lalisa dan bergumam mengejek. "Aku berada kurang lebih 100 langkah darimu, aku bisa menghampirimu sekarang jika kau mau, tapi sebagai gantinya ibumu akan—"
"Bajingan!" Lalisa balas memotong dengan umpatan kasar. Rahangnya mengeras dengan tangan terkepal dan buku-buku jari yang memutih.
"Jadi, bagaimana? Aku yang menghampirimu sekarang atau kau yang akan menemuiku?" Laki-laki itu kembali memberikan tawaran.
Lalisa mengertakkan gigi seraya menutup mata rapat-rapat. Dia harus mengendalikan diri saat ini dan menemukan ibunya lebih dulu, setelah itu Lalisa akan memikirkan apa yang harus dia lakukan pada laki-laki sialan ini. "Katakan ke mana lagi aku harus pergi?"
📍📍📍
Harusnya hari ini Alexon menemui Jung-hoo. Ada banyak hal yang perlu dibicarakan terlepas, dari sang profiler yang masih mencari bukti kejahatan sang pengawal pribadi tuan Jung. Namun, semuanya berantakan saat Lalisa tidak bisa dihubungi dan membuat Alexon frustrasi dan terus saja memaki di sepanjang perjalanannya menuju kantor.
Penyelidikan Jung-hoo tidak boleh terhambat, meski Lalisa hilang.
Alexon sendiri perlu bertanya mengenai apa saja yang Tae-il temukan di ponsel Lee Rang. Jelas mereka memerlukan sebuah petunjuk hari ini.
"Bagaimana? Apa kau sudah menemukan keberadaan Lalisa?" Alexon langsung bertanya ketika dia memasuki ruang rapat yang hanya dihuni oleh timnya.
"Sinyal ponselnya berada di Jayang-dong. Aku sedang meretas CCTV di sekitarnya." Tae-il menjawab tanpa mengalihkan pandangan dari laptopnya.
Alexon mengangguk paham, mencoba untuk tidak menggila saat ini. "Lalu, bagaimana dengan ponsel Lee Rang? Apa ada sesuatu di sana?"
"Tae-il hyung sudah memeriksanya dan tidak ada tempat mencurigakan yang sering Lee Rang kunjungi. Satu-satunya tempat yang tidak biasa adalah gedung kemarin. Sepertinya Lee Rang sering meninggalkan ponselnya di mobil," jelas Jaebum panjang lebar, menggantikan Tae-il yang sibuk melacak. Lalu, menunjuk ponsel jadul Lee Rang dengan ogah-ogahan. "Dan tidak ada yang bisa didapatkan dari ponsel jadul itu. Kontak dengan nama 'Hyung' yang kemarin terus meneleponnya juga tidak aktif lagi, bahkan alat pelacak dan penyadap kita tidak lagi berguna. Mereka jelas sudah menemukannya."
Alexon mengangguk dan menjilat bibirnya. "Aku bertemu Jung-hoo semalam dan membalas pesan cintanya tempo hari," decihnya dengan gelengan kecil. "Harusnya aku tidak bersikap gegabah seperti itu. Jika aku berpura-pura tidak tahu, kita mungkin masih bisa melacak Lee Rang."
Sungguh, Alexon menyesali perbuatannya semalam. Mungkin harusnya dia bersikap ramah seperti biasa, alih-alih menangkap Jung-hoo dengan kalimatnya.
"Aish, sial!" Alexon mengusap kasar wajahnya seraya menyesali tindakannya. Kini pekerjaannya menjadi dua kali lipat lebih banyak.
Tidak ada yang berniat untuk menyalahkan sang profiler. Semua orang hanya diam dan membiarkan Alexon menyalahkan diri, sementara Tae-il masih sibuk dengan pencariannya.
Ponsel Alexon bergetar. Buru-buru sang empunya merogoh mantel, berharap telepon itu dari Lalisa, tapi sayangnya, ayah dari gadis itulah yang meneleponnya. Dengan raut gugup dan bibir bergetar, Alexon menjawab panggilannya.
"Ya, Walikota Jung?"
Semua mata memandang Alexon dengan penasaran dan sang profiler tidak mampu menyembunyikan kegugupannya saat tuan Jung bertanya tentang keberadaan Lalisa.
"Lalisa ... dia ...." Oh, apa yang harus Alexon katakan pada tuan Jung. Bagaimana dia harus mengatakan kalau Lalisa pergi dari rumahnya tanpa mengatakan apa pun. "Walikota Jung, aku minta—"
"Alexon, aku mohon padamu. Tolong jangan biarkan Lalisa datang ke rumah sakit hari ini." Tuan Jung memotong sebelum Alexon sempat mengucapkan permintaan maaf karena tidak bisa menjaga Lalisa. "Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi ibunya tidak ada di ruangan."
Mata Alexon membulat terkejut. "Tidak ada di ruangan? Bagaimana mungkin?"
"Kupikir ada seseorang yang sudah menculiknya dan aku sedang menyelidikinya sekarang. Jadi, tolong cegah Lalisa untuk datang ke rumah sakit sampai aku menemukan ibunya. Anak itu akan menggila jika tahu ibunya tidak ada."
Ah, sekarang Alexon paham kenapa Lalisa tiba-tiba saja pergi dari rumahnya.
"Emm, Walikota Jung, apa Jung-hoo sedang bersamamu sekarang?" tanya Alexon bertanya hati-hati.
"Dia tidak bersamaku. Aku bahkan tidak bisa menghubunginya sejak tadi." Suara tuan Jung terdengar seperti keluhan karena sang pengawal tidak ada di saat genting. "Memangnya ada apa?"
Alexon tersenyum kaku meski sang walikota tidak melihatnya. "Tidak ada. Aku hanya sedikit memiliki urusan dengannya dan juga tidak bisa menghubunginya."
"Pokoknya pastikan kalau Lalisa tidak menginjakkan kakinya di rumah sakit sampai aku memberikan kabar." Tuan Jung kembali menegaskan tujuan awalnya menelepon Alexon, yang kemudian disanggupi oleh sang profiler.
Laki-laki itu menjatuhkan ponselnya ke meja dengan desahan yang begitu kasar, mengabaikan empat pasang mata yang tengah menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu.
"Apa yang terjadi? Siapa yang tidak ada di ruangannya?" Ji Hoon adalah satu-satunya orang yang berani bertanya pada Alexon dalam kondisi apa pun.
"Seseorang menculik ibu Lalisa yang sedang koma dari rumah sakit dan aku yakin kalau ini adalah perbuatan Jung-hoo dan Lee Rang." Alexon mengangkat pandangan dan menatap semua rekannya dengan kejengkelan. "Dan yang berbicara di telepon dengan Lalisa adalah salah satu dari mereka. Lalisa pasti diancam menggunakan ibunya. Itulah kenapa dia pergi begitu saja tadi pagi."
"Itu artinya Lalisa dan ibunya sedang dalam bahaya." Jinyoung mengumumkan sesuatu yang sudah jelas diketahui semua orang. "Tapi kenapa Lalisa?"
Jinyoung melemparkan pandangan pada semua orang untuk mencari jawaban. Laki-laki itu sama sekali tidak salah melemparkan pertanyaan.
Alexon tertawa dalam genangan air matnya, kemudian menarik napas dalam. "Jelas yang Jung-hoo inginkan adalah aku. Dia menggunakan Lalisa untuk mendapatkanku."
Semua rekannya tahu seperti apa sikap Alexon pada Lalisa dan sudah jelas gadis itu adalah kelemahan yang seharusnya disembunyikan oleh sang profiler.
"Dan kenapa dia hanya menginginkanmu?" Jinyoung kembali melemparkan pertanyaan. Hal yang ingin ditanyakan oleh rekannya yang lain. "Di sini bukan hanya kau saja yang berusaha untuk menangkapnya, tapi ada kami berempat, tapi kenapa dia hanya mencoba untuk menarik perhatianmu saja? Ini bukan seperti kita yang menangkapnya, tapi dia yang mencoba untuk mendapatkanmu."
Untuk kali pertama dalam sejarahnya bekerja sebagai anggota termuda Ji Hoon, baru kali ini pembicaraan Jinyoung memiliki bobot dan jauh sekali dari pertanyaan bodoh yang biasa ditanyakan.
"Seperti dia memiliki sesuatu yang ingin dibicarakan denganmu secara pribadi," tambah Jinyoung saat semua orang hanya diam mendengarkan. "Dan dia ingin kau datang padanya dengan memanfaatkan Lalisa."
Alexon mengangguk membenarkan. Memang ada yang Jung-hoo inginkan dan Alexon tahu itu, hanya saja sang profiler tidak tahu pasti dengan apa yang sebenarnya Jung-hoo inginkan.
"Kupikir kami pernah bertemu saat masih anak-anak ..." Alexon bergumam penuh keraguan, " ... dan terlibat dalam sebuah insiden."
"Insiden seperti apa?" Ji Hoon merespons dengan penuh rasa penasaran, biasanya Jinyoung-lah yang tidak bisa menahan diri untuk bertanya.
Alexon menggeleng lemah. Dia sendiri masih belum yakin dengan apa yang sebenarnya terjadi antara dirinya dan Park Bersaudara di masa lalu. Jika dia memang bersama dengan Park Bersaudara saat penculikan itu, lalu apa masalahnya? Kenapa Jung-hoo terkesan ingin bertemu dan mengingatkan Alexon dengan apa yang terjadi belasan tahun lalu.
"Oh, apa ini?" Tae-il bergumam terkejut saat melihat sesuatu di layar laptopnya. Tampak seperti sebuah titik sinyal yang bergerak lambat. "Kenapa ada alat pelacak yang aktif, selain yang kita gunakan di mobil Lee Rang?" tanyanya menatap satu per satu rekannya.
Jelas-jelas alat pelacak semalam sudah tidak bisa dilacak lagi sinyalnya dan sinyal yang masuk merupakan sinyal yang berbeda dengan milik Lee Rang. Lalu, siapa yang mengaktifkan alat pelacak saat ini?
"Lalisa!" Alexon berseru tertahan. Tatapannya terlihat agak kosong, tapi dia tahu kalau gadis itu baru saja mengirimkan sinyal pada mereka mengenai lokasinya. "Dia pasti membawa alat pelacak bersamanya sebagai ganti karena kita tidak bisa melacak ponselnya," kata Alexon dengan keyakinan penuh.
Matanya berkaca-kaca karena rasa leganya. Lalisa memang tidak pernah mengecewakan dalam situasi apa pun.
"Lacak terus sinyal itu. Aku yang akan menghampirinya," katanya pada Tae-il. Jelas Alexon yang harus datang pada Lalisa. "Kalian pergi saja ke rumah Jung-hoo dan geledah semuanya. Periksa juga CCTV di Rumah Sakit Hannam saat pukul sepuluh malam. Kita mungkin bisa tahu ke mana dia pergi jika mengikutinya jalur CCTV semalam."
Tampaknya Alexon-lah yang memegang kendali perintah khusus hari ini. Semua orang jelas harus bergerak di bawah kendalinya karena dialah yang paling memahami situasi saat ini—setidaknya.
Setelah selesai memberikan perintah, langkah Alexon membawanya untuk segera berlari. Jelas laki-laki itu tidak akan membuang waktu satu detik pun untuk bersantai—tidak selagi Lalisa tidak ada dalam jarak pandangnya.
Alexon melajukan mobilnya menuju sinyal lokasi terakhir yang Tae-il kirimkan. Sang profiler tidak henti-hentinya menggumamkan nama Lalisa dan berharap gadis itu akan baik-baik saja sampai dia datang nanti. Laki-laki itu tidak bisa membiarkan Lalisa terluka seperti terakhir kali. Jelas Alexon hanya akan menyesali sikap gegabahnya sekarang.
Saat Alexon sibuk dengan layar navigasinya untuk melihat seberapa dekat dia dengan tujuannya, ponsel laki-laki itu berdering. Langsung saja dia menjawabnya melalui perangkat yang sudah disambungkan ke mobil.
"Alexon, ini aku Jung-hoo."
Langsung saja Alexon menginjak remnya secara mendadak, tanpa sempat memikirkan apakah ada kendaraan lain di belakangnya atau tidak. Namun, untungnya tidak ada kendaraan yang berada tepat di belakang.
"Kau pasti sedang mencariku, 'kan?" Jung-hoo terdengar mengejek dari seberang sana dengan nada gelinya. "Jika aku memberitahu lokasiku, apa kau akan datang menemuiku?"
Alexon mencengkeram erat kemudinya. "Di mana Lalisa?" tanyanya dengan gigi gemertak dan rahang mengeras menahan amarah.
"Lalisa? Aku tidak bersamanya," balas Jung-hoo ringan. Tampaknya dia mengatakan yang sebenarnya. "Dia pasti sedang bersama adikku."
Oh, sial! Membayangkan Lalisa hanya berdua saja dengan Lee Rang membuat jantung Alexon berdedar, bukan karena rasa cemburu atau apa pun, tapi rasa khawatir yang mendominasi seluruh perasaannya saat ini.
"Kau kenal adikku, 'kan?" tanya Jung-hoo berpura-pura tidak tahu. "Kalian sudah bertemu beberapa kali."
Alexon menarik napas dalam untuk menenangkan dirinya. Jung-hoo akan memancingnya lebih dari yang sudah dilakukan barusan dan itu bukan situasi yang bagus di saat genting seperti ini.
"Adikku bilang kau selalu berbicara ketus padanya, juga tidak bersahabat. Kenapa kau melakukannya pada adikku?" Jung-hoo bertanya dengan nada kecewa yang dibuat-buat, seolah benar-benar tersakiti dengan perlakuan Alexon pada Lee Rang.
"Di mana Lalisa?" Alexon mengulangi pertanyaannya dengan penuh penekanan. Dia sungguh tidak peduli dengan Lee Rang dan rasa tersinggungnya karena diperlakukan tidak baik olehnya.
"Aku tidak tahu," balas Jung-hoo apa adanya, "Kupikir mereka sedang bersenang-senang sekarang." Tawa mengejek Jung-hoo pecah di dalam mobil Alexon, membuat sang profiler mengeratkan cengkeramannya.
"Kau menculik ibu Lalisa dan mengancamnya untuk mengikutimu, 'kan?" tukas Alexon dengan decihannya. Sebisa mungkin dia tidak menunjukkan kemarahannya. "Kau melakukannya untuk mendapatkanku."
"Adikku yang menculiknya," balas Jung-hoo membenarkan, "Aku hanya mematikan sistem keamanan saja. Sisanya diurus oleh adikku."
"Katakan apa yang kau inginkan dariku?" Alexon menggeram tertahan. Dia tidak tahan lagi untuk berbasa-basi dengan Jung-hoo. "Jika kau memiliki masalah pribadi denganku, maka selesaikan denganku langsung. Jangan membawa Lalisa apa lagi ibunya!" teriak Alexon dengan kemarahan yang meledak.
Jung-hoo bergumam panjang. "Sebenarnya tidak ada masalah besar di antara kita, hanya saja aku ingin bernostalgia denganmu tentang kejadian sembilan belas tahun lalu."
Kejadian sembilan belas tahun lalu?
"Memang apa yang terjadi di antara kita sembilan belas tahun lalu? Apa kita saling mengenal sebelumnya? Apa aku mencuri dan merusak mainanmu?" tanya Alexon berapi-api. Tatapannya terlihat begitu tajam dan siap untuk mengoyak lawan bicaranya, jika saja mereka sedang berhadapan sekarang. "Katakan apa yang terjadi, hingga kau ingin bernostalgia dengan kejadian itu?!"
"Kau sungguh tidak ingat?" Jung-hoo bertanya dengan penuh rasa penasaran. "Atau kau hanya berpura-pura tidak mengingatnya?" ejeknya.
"Aku tidak akan bertanya, jika ingat dengan apa yang terjadi di antara kita!" balas Alexon berapi-api. Sungguh, Jung-hoo membuatnya kesal karena terlalu bertele-tele. "Jika kau berniat untuk mengajakku bernostalgia, maka beritahu aku, Berengsek!"
Decihan sinis terdengar sebagai balasan untuk teriakan Alexon barusan. Tampaknya Jung-hoo tidak percaya dengan apa yang sang profiler katakan barusan.
"Maka datanglah padaku. Aku akan menunjukkan apa yang tidak bisa kau ingat sekarang." Nada suaranya terdengar serius. Sepertinya Jung-hoo memiliki rencana lain saat ini.
"Tapi sebelumnya lepaskan Lalisa dan ibunya," kata Alexon melakukan penawaran.
"Sudah kukatakan kalau mereka tidak bersamaku," bantah Jung-hoo jengkel, "Jika kau ingin mencarinya, maka carilah keberadaan adikku."
"Aku akan mengakhiri hidupmu saat kita bertemu nanti." Alexon mengucapkan sumpahnya dengan penuh penekanan.
"Maka aku akan melihatmu meringkuk di balik jeruji besi kali ini, tidak seperti sembilan belas tahun yang lalu." Nada suara Jung-hoo kental dengan ejekan. Jelas laki-laki itu mengetahui sesuatu yang tidak berada dalam jangkauan ingatan Alexon sendiri.
Alis Alexon berekerut bingung karena tidak paham dengan apa yang Jung-hoo bicarakan saat ini. Laki-laki itu mencoba untuk meladeni Jung-hoo dengan tenang. "Sebenarnya, aku tidak peduli dengan apa yang terjadi di antara kita sembilan belas tahun lalu." Sungguh, Alexon tidak terlalu memedulikannya jika harus dibarter dengan keselamatan Lalisa. "Tapi aku akan datang untuk bernostalgia denganmu dan sampai urusan kita selesai, pastikan kalau Lalisa dan ibunya tidak akan terluka atau aku akan benar-benar membunuhmu di tempat."
Jung-hoo tertawa geli dari seberang sana. "Kau terus saja mengatakan akan membunuhku, apa kau sungguh tidak ingat dengan yang terjadi saat itu? Dilihat dari semangatmu sekarang, tampaknya membunuh bukanlah sesuatu yang baru untukmu. Kau pasti merindukan sensasinya, 'kan?"
Wah~ sebenarnya ke mana Jung-hoo ingin membawa pembicaraan saat ini. Kenapa laki-laki itu menceritakannya setengah-setengah begini? Jika tidak ingin menceritakan secara detail, maka sebaiknya tidak usah diceritakan sekalian.
"Bicara denganmu membuat kepalaku ingin pecah," keluh Alexon jengkel. Ekspresi wajahnya penuh dengan protes yang tidak menyenangkan. "Kirimkan lokasimu sekarang dan aku akan membunuhmu, Berengsek!"
Alexon memutuskan sambungan telepon secara sepihak. Persetan dengan sopan santuh. Toh, dia ini sedang berbicara dengan seorang pembunuh berantai. Jadi, tidak perlu bersikap sopan.
Seraya memijat pelipisnya, Alexon menelepon Jinyoung dengan sedikit keputusasaan. "Sepertinya aku tidak bisa menemui Lalisa saat ini," keluhnya saat Jinyoung menyapa dari seberang sana. "Aku harus bertemu Jung-hoo."
"Lalu, Lalisa?" Jinyoung bertanya dengan terkejut. Dia tidak pernah menduga kalau Alexon akan menomorduakan Lalisa di atas kepentingannya. "Bagaimana jika dia—"
"Aku ingin kau yang menemukannya. Pastikan dia baik-baik saja sampai aku datang nanti."
"Ya?" Jinyoung bergumam terkejut, seolah tidak mendengar dengan apa yang Alexon katakan. "Kau ingin aku yang mengikuti Lalisa? Kau memercayakan semuanya padaku?"
Sungguh, Jinyoung tidak pernah merasa seterkejut ini dalam hidupnya, tapi Alexon membuatnya merasa begitu dihargai karena memilihnya dari sekian orang yang ada di timnya.
"Aku tahu kau kadang bertingkah konyol dan bodoh." Alexon menjilat bibir dan menarik napas dalam, kemudian mengangguk ringan untuk mendukung pernyataannya. "Tapi kau juga bisa diandalkan dan aku mengandalkanmu saat ini. Jadi, jangan kecewakan aku."
"Hyung." Jinyoung memanggil lirih, agaknya maknae itu merasa begitu terharu dengan kepercayaan sang profiler, hingga suaranya terdengar seperti akan menangis. "Aku tidak akan mengecewakanmu. Aku janji."
Alexon mengangguk lagi. Dia berharap kalau keputusannya kali ini tidak salah dan semua akan tetap berada dalam kendali. Lalisa memang penting, tapi masa lalunya juga penting untuk diketahui agar tidak dijadikan kelemahan lagi seperti ini.
"Cukup cari tahu saja lokasi Lalisa dan awasi sampai aku datang. Aku akan mengurus sisanya." Suara alexon terdengar parau. Tampaknya laki-laki itu sedang menahan diri untuk menangis karena memikirkan Lalisa yang harus menghadapi Lee Rang sendiri. "Dan jangan lupa untuk bawa alat pengacak sinyal. Kau mungkin membutuhkannya nanti."
Alexon memukul setirnya dengan kepalan tangan penuh kemarahan setelah selesai dengan Jinyoung. Sungguh, dia menyesal karena sudah bertindak angkuh di depan Jung-hoo semalam. Harusnya Alexon tidak melakukannya karena itu hanya akan membahayakan Lalisa dan lihatlah kekacauan yang ditimbulkannya saat ini.
"Kumohon bertahanlah sampai aku selesai dengan si Berengsek Jung-hoo," gumam Alexon penuh permohonan. Ini akan menjadi penyeselan terbesar jika sesuatu yang buruk menimpa Lalisa. "Tolong jangan terluka seperti terakhir kali."
Alexon mengucapkan permohonannya dengan penuh kesungguhan. Lagi-lagi dia memohon untuk keselamatan Lalisa, alih-alih untuk dirinya sendiri.
Mobil merah Alexon kembali bergerak sesaat setelah Jung-hoo mengirimkan sebuah alamat padanya. Laki-laki itu mengemudi dengan kecepatan maksimal yang diperbolehkan.
Jauh dari keramaian dan bising, ada Lalisa yang sedang menggerutu di setiap langkahnya. Gadis itu marah, tapi juga menangis di saat yang sama. Bagaimana mungkin ibunya yang terbaring koma dibawa masuk ke dalam hutan yang penuh dengan pohon-pohon tinggi dan dedaunan lebat. Membayangkannya membuat Lalisa merasa bersalah, meski apa yang menimpa sang ibu saat ini bukanlah salahnya.
"Tidak bisakah kau menjemputku saja? Aku sudah lelah berjalan!" Lalisa berteriak pada sosok yang meneleponnya saat ini, dengan lelehan air mata dan wajah frustrasi. "Aku belum mengansuransikan kakiku. Jadi, aku tidak boleh kehilangan mereka saat ini!"
Lalisa berbicara melantur untuk menutupi ketakutannya. Gadis itu menutup wajahnya dengan sebelah tangan dan menahan tangisannya.
"Kau sudah hampir sampai, Sayang. Berjuanglah sedikit lagi jika ingin bertemu dengan ibumu." Lee Rang menyemangati Lalisa dengan suara penuh keceriaan, seolah gadis itu memang membutuhkan dukungan, alih-alih sang profiler.
Lalisa mengusap kasar wajahnya dan menarik napas dalam. "Kenapa kau menculik ibuku? Kenapa tidak langsung menculikku saja, hah?" tantangnya dengan nada jengkel. Wajah bengkaknya tidak bisa menutupi kemarahan gadis itu. "Ibuku sedang sakit, Berengsek! Bagaimana bisa kau berpikir untuk menculik orang koma. Di mana hati nuranimu, Idiot!"
"Kupikir aku tidak memilikinya," balas Lee Rang apa adanya, "Satu-satunya yang kumiliki adalah hasrat untuk ...." Lee Rang tidak melanjutkan katanya dan meralat secepat mungkin. "Sebaiknya kau tidak membuang waktu untuk menangis, Sayang. Kau tahu kalau ibumu perlu perawatan intensif, 'kan? Kupikir ini sudah lima jam lebih sejak dia keluar dari ruangannya."
Lalisa menarik napas dalam dan berusaha untuk mengatur napas hati-hati, kemudian mengusap kasar air matanya. "Kau Lee Rang, 'kan?" tebaknya dengan suara parau. "Adik dari Park Hyungsik."
"Oh, wow~" Lee Rang bergumam takjub. Dia pikir Lalisa tidak mengenali suaranya, tapi nyatanya gadis itu memang luar biasa tanggap. "Kau memiliki kemampuan tanggap yang luar biasa cepat. Siapa yang mengajarkannya? Profiler itu?"
Lalisa menggeleng seraya menyandarkan punggung di salah satu pohon. "Aku tidak mengerti kenapa kau melakukan ini padaku. Apa salah—"
"Datanglah padaku dan aku menjawab semua pertanyaanmu tanpa terkecuali." Lee Rang memotong cepat dengan nada yang terdengar begitu ceria. "Kau hanya perlu berjalan kurang lebih 100 kaki dari tempatmu berdiri sekarang."
Lalisa memutuskan sambungan teleponnya secara sepihak dengan keputusasaan. Kakinya terasa bergetar karena ada banyak ketakutan yang berputar di dalam kepalanya. Gadis itu menatap sepatunya dengan penuh harapan, di mana dia meletakkan alat pelacak di sana.
Aku percaya padamu, Alexon, bisik Lalisa dalam hati.
Sama seperti malam itu, Lalisa percaya sepenuhnya pada sang profiler meski faktanya mereka bahkan tidak berkomunikasi sedikit pun. Gadis itu yakin kalau sang profiler akan menemukannya seperti malam itu.
📍📍📍
Asyik, Lee Rang ketemuan lagi sama Lalisa. Pak Alek nyamperin Jung-hoo 🌚
Adek kakak punya tugas dan target masing-masing 😈😈😈
Tinggal empat chapter utama, dua chapter epilog lagi untuk bertemu dengan pak Alek dkk. Pokoknya gak sampai ketemu tahun depan Partner akan mengakhiri perjalanannya 🤧🤧🤧
Btw, btw, aing kaget pas liat foto ini. SUMPAH, LISA CANTIKNYA GAK BISA DITAKAR 😭😭😭😭
Oke, bye!
3 Desember 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro