25. Is That Him?
Aing sudah putuskan kalau updatean PARTNER itu antara malam jumat sama malam minggu. Pokoknya kalau bukan dua hari itu jangan tunggu pak Alek naik rawa-rawa.
Happy reading ~
"Kudengar Jaebum sempat keracunan semalam." Alexon membuka suara saat Ji Hoon menghempaskan tubuh pada kursi di depannya. Dia mendengar kabar itu dari sang maknae. "Bagaimana itu bisa terjadi?"
Ji Hoon menggeleng dengan embusan napas kasar. "Dia memesan makanan pesan antar dan tiba-tiba saja keracunan, beruntung Tae-il bersamanya semalam. Jadi, Jaebum bisa dibawa ke rumah sakit secepatnya."
"Keracunan itu disengaja?" tanya Alexon, tapi suaranya terdengar seperti tuduhan yang begitu kental.
Ji Hoon mengangguk. "Ada kandungan toluena di dalam minumannya. Jadi, dia harus dirawat selama beberapa hari."
*cairan bening tidak berwarna dengan aroma seperti pengencer cat dan berbau harum seperti benzena.
"Lalu, bagaimana dengan sosok yang mengantarkan makanan semalam?"
"Aku akan menemuinya hari ini dan sudah mengantar tempat makanan semalam ke NFS (National Forensic Service) untuk mendapatkan sidik jarinya."
Alexon mengangguk kecil dengan ekspresi yang datar. Tampaknya dia tidak senang dengan fakta yang satu ini. "SK benar-benar menargetkan kita. Kita semua mungkin akan celaka jika dia tetap berkeliaran di luar sana."
Ji Hoon sendiri tampak frustrasi sekarang. Sudah bertahun-tahun dia menjadi detektif, tapi baru kali ini bertemu dengan pelaku kejahatan seperti Sweetest Killer yang sangat licin.
"Kau bilang kita harus menunggu SK untuk datang dan dia sudah datang sekarang. Lalu, apa yang harus kita lakukan?" Ji Hoon terdengar putus asa. Bukannya dia ingin menyerah, hanya saja minimnya petunjuk membuat laki-laki itu kadang kehilangan semangatnya. "Apa kita hanya akan membiarkannya mempermainkan kita seperti ini?"
Alexon mengembuskan napas kasar. Dia sedang memikirkan cara untuk memancing Sweetest Killer keluar dari persembunyiannya, tapi dengan apa?
"Bagaimana dengan foto semalam?" Alexon mengubah topik pembicaraan dan berusaha berpikir dengan cepat, juga tepat.
"Jinyoung sedang mengambilnya."
Alexon mengangguk. Laki-laki itu menunggu kedatangan si maknae yang sejak beberapa menit lalu hilang dari pandangannya.
Jinyoung datang dua menit setelah Alexon menanyakan keberadaannya dan mereka langsung melihat gambar yang sudah dicetak dengan kualitas yang lebih jelas.
Tinta hitam yang tergores di kulit laki-laki itu tampak tidak asing. Alexon pikir dia pernah melihatnya di suatu tempat, tapi tidak benar-benar ingat.
"Kirimkan ini pada Tae-il dan minta dia mencari tahu detail tentang tato itu." titah Alexon pada Jinyoung. Dia tidak akan repot-repot untuk menyuruh sang maknae jika Tae-il ada di sini, sayangnya laki-laki itu sedang berada di rumah saki bersama Jaebum. Lalu, Alexon beralih pada Ji Hoon di sampingnya. "Apa kita bisa-"
"Alexon Black!" Itu suara Hyun-jae. Dia berteriak dari jarak sepuluh meter. "Ayo, ikut kami."
Alexon berdecak kesal, tapi tidak punya pilihan lain. Dia harus mengikuti Hyun-jae sementara waktu, sampai Komisaris Kang kembali dari tugas dinasnya dan menarik namanya dari anggota X-seven.
"Kita bicarakan ini nanti," kata Alexon pada Ji Hoon dan Jinyoung. Lalu, dengan gerakan paling malas, dia berjalan menghampiri Hyun-jae dan rekan barunya yang lain.
Namun, baru meninggalkan Jinyoung beberapa langkah, Alexon kembali pada sang maknae dan mengambil sesuatu dari bawah meja. "Bawa ini ke NFS. Jangan coba-coba untuk melihat isinya dan katakan pada ahli forensiknya untuk langsung menghubungiku saat hasilnya keluar."
Tampaknya Alexon memberikan sesuatu yang bersifat agak rahasia, hingga dia harus merapatkan diri pada Jinyoung dan berbisik. Lalu, mengekori timnya dengan setengah malas. Sepertinya tidak ada satu pun dari mereka yang menyukai Alexon dan sang profiler pun memiliki pandangan yang sama.
"Alexon, apa kau yakin tidak mendapatkan apa pun tentang SK?" Hyun-jae bertanya dari kursi tengah saat Alexon asyik memandang ke luar jendela di kursi samping kemudi. "Kau bahkan bisa menemukan rumah korban selanjutnya dalam semalam, tapi ini sudah berhari-hari sejak kali terakhir kita mendapatkan petunjuk."
"Kita?" Alexon mendecih dalam tawa. Tatapannya terlihat begitu sinis dan penuh keangkuhan. "Aku dan timku yang menemukan semuanya." Alexon menekan kata 'semua' untuk menyadarkan semua orang yang berada di dalam mobil bersamanya, kalau timnya dan Ji Hoon-lah yang membuat penyelidikan kasus Sweetest Killer kembali menemukan titik terang.
"Kalian semua bahkan tidak mendapatkan apa pun dalam enam bulan terakhir," cibirnya tanpa peduli dengan tatapan rekan lain di belakang. "Dan saat sosok SK semakin terlihat, lagi-lagi kalian mencuri kasusnya hanya untuk mencari perhatian."
"Alexon, jaga bicaramu!" bentak Hyun-jae. Tatapannya terlihat marah dengan penuturan sang profiler.
"Apa?" tantang Alexon balik. Dia yang semula memandang tidak acuh, sekarang dengan terang-terangan memandang ke belakang. "Aku mengatakan faktanya, 'kan? Kalian yang bersamaku saat ini hanya mengincar penghargaan dan keuntungan lainnya jika SK tertangkap dan kalian semua memanfaatkanku untuk menyelesaikan kasus ini!"
Alexon berbicara dengan penuh ketegasan tanpa menunjukkan kemarahan, tapi suaranya mengandung racun mematikan dalam sarkasmenya.
Tangan Hyun-jae terkepal kuat, sementara rekan lainnya menatap dengan berbagai pandangan, tapi sosok yang dijadikan objek terlihat tidak acuh dan malah terlihat menantang semua orang yang tengah melihatnya.
Sikap yang Alexon tunjukan saat ini dua kali lebih keras dari yang pernah laki-laki itu tunjukan di pertemuan pertamanya dan tim Ji Hoon.
Sayangnya, Hyun-jae tidak bisa membalas apa yang Alexon katakan. Jadi, dia memilih bungkam dan membiarkan obrolan hilang ditelan keangkuhan sang profiler.
Di sinilah Alexon sekarang. Berdiri di depan bangunan hancur tempat terakhir kali mereka menemukan petunjuk tentang Sweetest Killer.
"Cari apa saja di sisa puing-puing bangunan. Pasti ada yang terlewatkan!" Hyun-jae berteriak dalam sarkasmenya.
Alexon terlihat tidak berminat, kedua tangannya disembunyikan di balik jaket. Alih-alih ikut membongkar tumpukan puing, dia justru malah pergi ke dalam hutan dan melakukan pencarian sendiri.
Langkahnya agak diseret, seolah laki-laki itu sedang merasakan tekstur tanah di bawah kakinya. Ranting kering terinjak berkali-kali. Lalu, sang profiler berhenti dan mulai memindai sekitar.
Dari tempatnya berdiri, Alexon bisa melihat kilasan saat datang ke sini pertama kali. Laki-laki itu melihat dirinya yang menoleh ke belakang, ke tempat di mana dia berdiri sekarang.
"SK pasti ada di sini pada malam itu," gumamnya penuh keyakinan.
Di tempat Hyun-jae berdiri sepuluh meter dari puing bangunan, sosok Alexon tidak terlihat jelas, tapi dari tempat Alexon berdiri, dia bisa melihat semua orang dengan jelas.
"Dia pasti benar-benar mengawasi kami semua."
Alexon pikir dia sudah selesai menganalisis. Harusnya tidak terlalu sulit menangkap sosok Sweetest Killer, jika pembunuh berantai itu memang berkeliaran di sekitarnya. Sang profiler hanya harus lebih peka dengan situasi di sekelilingnya.
Laki-laki itu berniat untuk keluar dari hutan, tapi urung kala matanya menangkap sesuatu yang terlihat berkilau di tanah.
Sebuah gelang perak berpola rantai.
Alexon memungutnya, menatap intens sambil mengingat di mana dia pernah melihatnya.
"Aku bersumpah pernah melihatnya belum lama ini," gumamnya tanpa melepaskan pandangan dari gelang yang baru saja dipungutnya. Laki-laki itu mendesis panjang. "Tapi di mana?"
"Alexon, kau di mana?"
Teriakan Hyun-jae menyentak Alexon dari pikirannya, buru-buru dia sembunyikan gelang itu sebelum ada yang melihat. Lalu, keluar dari hutan seolah tidak pernah menemukan apa pun.
"Apa yang kau lakukan di dalam sana?" tanya Hyun-jae dengan decakan sebal.
"Kupikir ada seseorang tadi, tapi ternyata hanya anjing liar," balas Alexon asal-asalan. Pandangannya mengedar, menatap satu-satu rekan barunya yang sangat asing "Kalian pasti tidak menemukan apa pun, 'kan?" Alexon mencibir, kemudian pergi lebih dulu untuk kembali ke mobil.
Jelas mereka semua akan kembali ke kantor setelah melakukan pencarian tanpa hasil.
📍📍📍
Alexon sedang duduk di depan meja makan, sambil menatap gelang yang ditemukannya di hutan tadi. Laki-laki itu yakin betul kalau dia pernah melihatnya baru-baru ini, tapi tidak yakin siapa tepatnya yang menggunakan.
Pola gelangnya sudah dicocokkan dengan milik Ye-jin dan polanya sama persis, yang artinya itu memang milik Sweetest Killer. Namun, lamunan untuk mengingat terpecah saat ponselnya bergetar dua jengkal dari objek yang sejak tadi dia tatap.
"Aku dr. Han, ahli forensik dari NFS. Jinyoung menitipkan sesuatu padaku tadi pagi dan memintaku menghubungimu saat hasilnya sudah keluar."
Jinyoung memang sangat bisa diandalkan. Betapa beruntungnya Alexon karena memiliki maknae-pesuruh-seperti Jinyoung. Mungkin sang profiler harus mentraktir maknae itu kapan-kapan sebagai tanda terima kasihnya.
"Benar, aku Alexon Black yang memintanya untuk ke NFS tadi pagi. Jadi, bagaimana hasilnya?" Alexon agak sedikit gugup saat menanyakan mengenai hasil yang dimaksud.
"Aku menemukan DNA seekor kucing dan seseorang dari setrikaan yang kau berikan. Setelah kuperiksa, ternyata DNA seseorang itu sama dengan sampel rambut yang ada dan hanya ditemukan satu sidik jari di sana."
Dokter Han menjelaskan sesuai dengan hasil yang dia dapatkan dan Alexon mendengarkan dengan saksama. Nyatanya laki-laki itu masih tidak percaya sepenuhnya dengan apa yang terjadi pada Kitten, hingga memutuskan untuk membawa barang bukti berupa setrikaan ke NFS.
Alexon mengangguk kaku dari tempat duduknya. "Tolong kirimkan semua datanya padaku," pintanya sopan.
Sang profiler merasa perlu untuk memeriksanya sendiri.
Dengan tablet super canggih keluaran terbaru miliknya, Alexon mencoba untuk menyamakan sidik jari yang ditemukan di setrikaan, dengan sidik jari milik Lalisa yang terdaftar di kepolisian.
Dan hasilnya sudah sangat jelas sekarang. Memang Lalisa yang melakukan hal mengerikan itu pada Kitten dan gadis itu merupakan pelaku tunggal karena tidak ditemukan sidik jari siapa pun, selain milik Lalisa.
Alexon jelas tidak memiliki hak untuk meragukan keyakinan Lalisa.
Gadis itu memang mengalami episode ketiganya dan melenyapkan nyawa Kitten tanpa disadari.
"Apa yang kau lakukan? Kelihatannya sibuk sekali." Lalisa datang dan memecahkan konsentrasi sang profiler.
Buru-buru Alexon mengunci layar tablet-nya yang memperlihatkan pola sidik jari Lalisa. "Hanya mencoba untuk mengingat di mana aku pernah melihat itu," kilahnya tanpa terlihat gugup. Alexon melemparkan sekilas pandangannya pada gelang di meja.
"Gelang itu sangat penting untukmu?" Lalisa mengambil duduk di samping Alexon dan ikut menatap apa yang sang profiler perhatikan sejak tadi.
Alexon bergumam dengan anggukan kecil. "Aku menemukannya di dekat gudang persembunyian SK dan kupikir gelang ini adalah miliknya. Jadi, benda ini cukup penting untukku-saat ini."
"Apa mungkin untuk menemukan SK hanya bermodalkan gelang saja?" Lalisa membagikan fokusnya pada gelang di meja, sebelum memutuskan untuk menatap sang profiler.
Laki-laki itu tersenyum kecil. Dia pikir Lalisa mulai memiliki ketertarikan pada bidang pekerjaannya, karena ada saja pertanyaan yang gadis itu lontarkan ketika menyangkut profesinya.
Alexon mengambil gelang di meja dan menunjukkannya pada Lalisa dengan rasa bangga, "Ada kalanya benda kecil seperti ini membawa lebih banyak petunjuk."
"Benarkah?"
Alexon mengangguk pasti, kemudian mengusap kepala Lalisa. "Aku akan memasak untuk makan malam. Lakukan saja apa yang kau inginkan selama aku memasak."
Lalisa balas mengangguk. Mungkin dia akan menonton film saja sambil menunggu sang profiler menyiapkan makan malam untuknya.
Alexon baru selesai menata meja untuk makan malam. Dia jadi lebih sering mengonsumsi masakan rumahan sejak Lalisa tinggal di rumahnya, padahal biasanya sang profiler akan memesan makanan dari rumah makan kesukaannya, alih-alih memasak yang membuatnya lelah. Namun, rasa lelah memasak selalu terbayarkan saat Lalisa melahap masakannya.
"Kenapa selalu makan terburu-buru?" celetuk Alexon seraya mengusap sudut bibir Lalisa yang basah karena saus.
Lalisa tidak menggubris dengan kata. Hanya cengiran yang dia berikan sambil menjilat bibirnya yang tadi diusap lembut dan kembali sibuk dengan makanannya.
Alexon terang-terangan menertawakan sikap Lalisa, kemudian berkutat dengan ponselnya dan mengambil gambar gadis di depannya diam-diam.
Laki-laki itu tersenyum dengan begitu hangat, kemudian mengirimkan gambar gadis itu pada sang walikota, sebagai bentuk laporan mengenai keadaan Lalisa saat bersamanya. Lalu, menenggak susu cokelatnya.
"Alexon."
Sang pemilik nama mengangkat pandangan dan bertanya dalam diam, memperhatikan gadis di depannya yang tiba-tiba saja terdiam-seperti sedang memikirkan sesuatu.
"Apa kau bisa mengantarku ke rumah sakit besok pagi?" Lalisa bertanya dengan ragu. Gadis itu baru saja meminta izin, tidak seperti terakhir kali yang pergi diam-diam.
Alexon bergumam dan menatap dengan intens. "Sepertinya kau sering pergi ke rumah sakit. Ji Hoon bilang, dia pernah bertemu denganmu di rumah sakit sekitar dua atau tiga kali dan malam itu kau berada di rumah sakit hampir seharian. Apa yang kau lakukan di sana?"
Lalisa tersenyum tipis. "Ingin ikut denganku besok?" tawarnya sungguh-sungguh, "Menjenguk ibuku."
Lalisa pikir sudah saatnya untuk mengenalkan sang profiler pada ibunya. Laki-laki itu nyaris mengenalnya luar dalam. Jadi, tidak ada salahnya untuk mengajak Alexon lebih jauh ke dalam dunianya lagi.
Alexon tampak terkejut. Matanya membulat dan nyaris melompat.
"Menjenguk ibumu?" Alexon terbata-bata. Lidahnya terasa kelu dengan keterkejutan yang merayap di sekujur tubuh.
Lalisa mengangguk tanpa ragu. "Ibuku dirawat di sana. Sudah tujuh tahun."
Bibir Alexon menjadi setipis kertas saat gadis di depannya berbicara jujur tanpa paksaan. Mendadak laki-laki itu gugup.
"Apa ibumu sakit?" tanya Alexon setelah menjilat bibirnya.
"Ibuku tidak sakit," jawab Lalisa dengan gelengan kecil. "Ibuku hanya tertidur dalam jangka waktu yang tidak bisa ditentukan."
Lalisa mengulas senyum, tapi Alexon tahu kalau gadis itu sedang menahan tangis dengan diam-diam meremas ujung kaus abu-abunya.
Alexon berjalan menghampiri dan memeluk gadis itu. Dia mencoba untuk memahami perasaan Lalisa tanpa ingin bertanya lebih. Tangannya digunakan untuk mengusap kepala gadis itu.
"Ibumu pasti akan bangun sebentar lagi." Alexon berusaha untuk menenangkan saat Lalisa mencengkeram kausnya di pinggang. "Dia pasti merindukan putrinya yang cantik ini."
Sungguh, Alexon benar-benar terlihat seperti penggoda ulung jika saja laki-laki itu bersikap ramah pada setiap wanita. Sayangnya sang profiler hanya ingin bersikap baik pada gadis yang disukainya.
"Aku rindu saat dia mengusap kepalaku ..." Lalisa bergumam lirih dalam suara paraunya. "... seperti yang kau lakukan sekarang."
Senyum Alexon mengembang semakin hangat. Sebelah tangannya mengangkat wajah Lalisa untuk melihat ke atas. "Mulai sekarang aku akan mengusap kepalamu kapan pun kau mau," kata Alexon nyaris seperti bisikan, "Katakan saja kapan pun kau ingin diusap seperti ini."
Lalisa tersenyum dalam mata yang berkaca-kaca. "Terima kasih," bisiknya.
"Apa pun untukmu," balas Alexon.
Sekarang pandangan Alexon tertuju pada bibir basah Lalisa. Sudah lama sekali dia tergoda untuk mendaratkan bibir di sana, tapi tidak pernah memiliki keberanian atau lebih tepatnya sang profiler tidak ingin bersikap kurang ajar.
"Ada yang meneleponmu." Lalisa memberitahu tanpa melepaskan pandangannya pada sang profiler.
"Siapa kira-kira yang mengganggu acara tatapan kita?" Alexon bertanya dengan nada jengkel dibuat-buat.
Lalisa tertawa kecil dan meraih ponsel Alexon ketika laki-laki itu hanya diam menatapnya.
"Hmm, ada apa?" tanya Alexon setengah malas.
Entah apa yang Alexon dengar, tapi Lalisa tahu kalau lawan bicara sang profiler baru saja menyampaikan sesuatu yang buruk, hingga mata laki-laki itu terlihat membulat terkejut.
"Aku akan ke sana sekarang," katanya tergesa.
"Kau mau ke mana?" tanya Lalisa penasaran.
"Asrama Tae-il. Ada sedikit masalah di sana. Kau tunggu-"
"Apa aku boleh ikut?" Lalisa berdiri dan terlihat seperti menantang profiler di depannya. "Aku bosan sendirian."
Alexon mendesis. Bukannya tidak ingin mengajak Lalisa, hanya saja dia tidak ingin ada sesuatu yang buruk terjadi pada gadis itu.
"Aku tidak akan mengganggumu. Aku janji," tambah Lalisa saat Alexon belum memberikan respons, "Aku hanya ingin jalan-jalan."
Lalisa menatap harap-harap cemas saat Alexon mempertimbangkan permintaan sederhananya. Tatapannya terlihat sangat memohon.
"Berjanjilah kalau kau tidak akan melibatkan dirimu dalam bahaya," tegas Alexon. Tatapannya terlihat mengingatkan dengan tajam.
"Aku janji!" balas Lalisa menyanggupi.
Alexon mengangguk dengan embusan napas tipis. "Bersiaplah."
Lalisa memekik girang dan langsung melenggang pergi untuk mengganti pakaiannya. Sementara Alexon menatap dengan gemas.
"Aish, aku benar-benar ingin menciumnya," gerutu Alexon dengan setengah keluhannya. "Dua tahun masih terlalu lama, Tuhan."
📍📍📍
Saat Alexon sampai di asrama rekannya, Tae-il terlihat masih dalam pengobatan oleh tim medis. Tampaknya laki-laki itu terluka cukup parah dengan kabel terbakar yang berserakan di lantai. Beruntung hanya kiri yang terluka, setidaknya Tae-il masih bisa melakukan aktivitas dengan sebelah tangannya yang lain.
"Apa yang terjadi sebenarnya?" tanya Alexon saat Tae-il selesai dengan perban di tangannya.
Sosok yang ditanya agak terkejut saat melihat Lalisa yang berada dalam genggaman tangan sang profiler, tapi tidak berkomentar.
"Aku hanya menggunakan komputerku seperti biasa untuk mencari tato itu," Tae-il menjawab setelah menekan rasa terkejutnya. "Lalu, tiba-tiba saja komputerku tidak merespons dan mengeluarkan suara aneh, kemudian ledakan kecil itu terjadi."
"Oh, Hyung! Kau sudah-" Jinyoung tidak menyelesaikan ucapannya karena terkejut melihat Lalisa.
Sementara Lalisa hanya mengulas senyum kecil atas tatapan ingin tahu yang dilemparkan Jinyoung.
"Kalian pasti berkencan, 'kan?" tukas Jinyoung penuh selidik. Tatapannya melirik jahil tautan tangan yang masih terjalin. "Itulah kenapa kalian bisa bersama di malam Minggu seperti ini."
Jelas saja celetukan jahil Jinyoung membuat Lalisa gugup dan malu. Buru-buru dia menarik tangan dan menjauh dari sang profiler. Belum mengetahui kalau Lalisa kembali tinggal bersama sang profiler saja, Jinyoung sudah sangat usil. Jadi, bisa dipastikan kalau maknae itu akan semakin nakal menggoda Alexon dan Lalisa jika mengetahui faktanya nanti.
Alexon mendelik pada Jinyoung. Ingin sekali rasanya memukul kepala maknae menyebalkan itu karena terus saja membuat Lalisa menjauhinya.
"Kau sudah memeriksa CCTV?" Alexon mengabaikan eksistensi Jinyoung dan beralih pada Tae-il.
"Ji Hoon hyung sedang memeriksanya," balas Tae-il.
Alexon mengangguk sambil mengedarkan pandangan. "Jika tidak ada jejak yang mencurigakan, maka ini pasti ulah SK."
"Kau pikir ini ulahnya?" tanya Tae-il skeptis.
"Dia menyerempet Jinyoung, meracuni Jaebum, dan sekarang ingin membuatmu mati karena tegangan listrik. Kau pikir siapa yang akan melakukannya pada kalian bertiga jika bukan SK?" Alexon terdengar begitu yakin. "Dia bahkan melakukan aksinya dalam waktu yang sangat dekat. Sudah jelas itu adalah sebuah peringatan agar kita tidak lagi menyelidiknya. Dia sengaja menghambat pekerjaan kita."
"Apa itu artinya SK akan terus mengganggu kita sampai kita berhenti mencarinya?" Kali ini Jinyoung melemparkan pertanyaan yang berbobot.
"Dia akan berhenti saat sudah puas bermain-main dengan kita."
Jinyoung dan Tae-il tampak tidak senang dengan penuturan sang profiler. Keduanya jelas tidak ingin dijadikan mainan bagi sang pembunuh berantai.
Ji Hoon datang bergabung, bersama dengan Jaebum yang masih terlihat pucat dan tertatih. Keduanya juga sedikit terkejut karena melihat Lalisa, tapi tidak ingin terlalu ambil pusing.
Harusnya Jaebum masih berada di rumah sakit untuk untuk bed rest, tapi mendengar apa yang menimpa Tae-il hari ini, jelas membuatnya tidak bisa berdiam diri di rumah sakit dan tidak sengaja bertemu Ji Hoon saat di lantai dasar.
"Tidak ada yang mencurigakan. Hanya ada petugas ledeng yang datang tadi siang dan penjaga asrama bilang kau yang memanggilnya," jelas Ji Hoon apa adanya. Dia menatap Tae-il sebagai lawan bicaranya.
"Aku memang memanggilnya karena keran air panasku rusak." Tae-il membenarkan dalam anggukan singkat.
"Mungkinkah petugas ledeng itu yang melakukannya?" tanya Jinyoung meminta pendapat. "Bisa saja itu SK yang sedang menyamar."
"Petugas ledeng itu langganan di asrama ini dan aku sudah memastikannya pada pengurus asrama," jelas Ji Hoon, "Tapi tidak menutup kemungkinan kalau petugas ledeng memiliki campur tangan untuk kejadian hari ini."
"Tapi, Hyung ..." Jaebum menyela dengan suaranya yang masih terdengar lemah. " ... bagaimana SK tahu kalau Tae-il hyung memanggil petugas ledeng hari ini?"
"Kamera tersembunyi," celetuk Alexon setelah diam dan mengedarkan pandangan. Laki-laki itu meneliti sekeliling ruangan, tapi tidak melakukan pencarian dengan benar, seperti yang dilakukannya di rumah Ye-jin. "SK pasti mengawasi kita. Mungkin saja dia sedang tertawa karena melihat kita berkumpul di sini dan cemas dengan apa yang terjadi sekarang."
"Bajingan itu benar-benar menyusahkan," geram Jinyoung. Di antara mereka semua, dialah yang memiliki kemarahan yang menumpuk pada sosok Sweetest Killer.
Jujur saja, Jinyoung masih sedikit dendam karena pernah digantung terbalik, seolah dia adalah mainan.
"Pesan antar."
Teriakan itu menarik perhatian semua orang dan Lalisa menginterupsi paling cepat.
"Biar aku saja," katanya. Lalu, tanpa menunggu jawaban, buru-buru dia menghampiri sang pembawa pesanan. Setidaknya gadis itu ingin terlihat berguna, selain berdiri dan menatap bodoh karena tidak mengerti dengan apa yang semua orang bicarakan.
Lalisa menyerahkan pada Jinyoung, saat tangan laki-laki itu terulur untuk meraih tas kertas yang dibawanya.
"Kau masih berani memesan makanan? Kau tidak takut keracunan seperti Jaebum?" Alexon bertanya agak sinis. Rekannya ini ceroboh dan sangat tidak berhati-hati.
"Aku memesannya dari rumah makan langgananku, tidak mungkin SK bisa menyabotasenya," balas Tae-il percaya diri.
Alexon mendecih dan mengedarkan pandangan untuk mencari Lalisa. Dilihatnya gadis itu sedang menatap intens selembar kertas, sebelum akhirnya pandangan mereka bertemu.
"Apa ini sebuah tato?" tanya Lalisa ingin tahu. Rupanya gadis itu memegang cetakan foto yang berisikan gambar tato yang tadi pagi Jinyoung berikan.
"Kami mencurigai kalau pemilik tato itu adalah SK," sahut Alexon apa adanya.
"Apa tatonya di pergelangan tangan kanan?" tanya Lalisa lagi.
"Bagaimana kau tahu?" Alexon bertanya balik. Tatapannya terlihat waspada, sama seperti ketiga rekannya yang lain.
"Laki-laki yang mengantar-"
"Berengsek!" Alexon mengumpat dan langsung meninggalkan Lalisa tanpa perlu mendengar penjelasan gadis itu, yang kemudian disusul dengan Ji Hoon dan Jaebum yang memaksakan diri, bahkan Tae-il ikut mengejar dengan kaki terseret.
Jelas tidak ada satu pun dari mereka yang ingin kehilangan petunjuk yang datang tanpa dicari.
Lalisa agak terkejut mendengar umpatan sang profiler. Sebenarnya, ini bukan kali pertama gadis itu mendengarnya, tapi ini adalah kali pertama Lalisa mendengarnya tepat di depan wajahnya.
Alexon tampak begitu marah. Begitu juga dengan tiga rekannya yang berlari menyusulnya dengan kecepatan dan umpatan yang sama.
"Oh, di mana yang lain?" Jinyoung datang saat selesai dengan bungkusan makanan tadi dan melihat tidak ada siapa pun, selain Lalisa.
"Mengejar sosok yang dicurigai sebagai SK."
Sontak saja, jawaban Lalisa memancing respons Jinyoung yang secepat kilat. Laki-laki itu berlari keluar dengan sumpah serapah yang mengalir deras. Maknae itu jelas tidak akan melepas kesempatan untuk menangkap Sweetest Killer.
Lalisa benar-benar terkejut dengan situasi sekarang. Gadis itu tampak mematung kebingungan di atas kakinya dengan mata berkedip lambat. Tiba-tiba saja jantung Lalisa berdebar kencang.
"Apa aku baru saja bertemu dengan seorang pembunuh?" Lalisa bergumam dalam suara setipis angin, kemudian melemparkan tubuh di sofa dengan tatapan menerawang. "Woah~"
Ini adalah kali kedua Lalisa merasakan sensasi menggetarkan paling gila selama hidupnya. Pertama, saat diculik Sungjae dan kedua, saat bertemu dengan Sweetest Killer secara tidak langsung.
Debaran jantung Lalisa mulai kembali normal. Wajah yang tadinya terkejut dan bingung sekarang sudah bisa memahami situasi sedikit demi sedikit. Kedua sudut bibirnya terangkat kecil.
Unit asrama Tae-il terletak di lantai tiga, yang artinya mereka semua harus turun melalui lift atau tangga untuk mencapai lantai dasar.
Mereka semua berpencar. Mencari di lantai dasar, bahkan hingga keluar gedung, tapi nihil.
Tidak ada satu pun orang yang terlihat menggunakan seragam kerja dari rumah makan tempat Tae-il memesan. Semuanya tampak berpakaian normal tanpa penyamaran apa pun.
"Tidak ada yang mencurigakan," kata Jinyoung melaporkan.
"Penjaga asrama belum melihat laki-laki pengantar makanan itu keluar," kata Tae-il menambahkan.
"Dia pasti keluar dari jalan yang lain," Jaebum ikut menimpali.
Alexon mendesah kesal sambil menyugar kasar rambutnya. Gertakan gigi terdengar jelas karena menahan amarah.
"Periksa tempat sampah atau tempat pembuangan apa pun di sekitar sini. Laki-laki itu mungkin saja membuang seragam rumah makan itu untuk bisa keluar." Kali ini Ji Hoon yang angkat bicara. Dia menatap keempat rekannya. "Semak-semak atau tempat mana pun yang tidak terlalu terlihat. Aku akan memeriksa CCTV."
Alexon tidak ikut ambil bagian karena Ji Hoon sudah lebih dulu memberikan perintah. Namun, laki-laki itu menyadari satu hal saat menatap orang-orang di sekelilingnya.
"Di mana Lalisa?" tanyanya dengan satu tarikan napas.
"Ada di asrama," balas Jinyoung apa adanya.
Mata Alexon membulat. Fakta bahwa Lalisa hanya sendiri membuat laki-laki itu panik dan langsung berlari meninggalkan rekannya tanpa mengatakan apa pun.
Semua orang menatap kepergian sang profiler yang diiringi dengan umpatan kecil.
"Biarkan saja," kata Ji Hoon mengambil ambil perhatian tiga rekannya.
Ji Hoon mulai bisa memaklumi setiap tindakan semena-mena sang profiler. Toh, di balik sikap yang buruk itu, selalu dibarengi dengan ketangkasan dalam menyelesaikan kasus.
"Ayo, berpencar sebentar," ajak Ji Hoon.
Ketiga rekan lainnya mengangguk dan mulai berpencar. Setidaknya mereka harus menemukan sesuatu malam ini untuk memudahkan pencarian ke depannya.
"Lalisa!"
Teriakan itu membuat sang pemilik nama menoleh dan mendapati sang profiler yang berdiri dengan napas terangah saat melewati ruang tamu.
Langsung saja Alexon menghampiri Lalisa saat gadis itu berdiri untuk menyambutnya.
"Kau baik-baik saja, 'kan? Tidak ada orang asing yang menemuimu, 'kan?" tanyanya dengan satu tarikan napas yang cepat. Tangannya digunakan untuk menyentuh bahu Lalisa dengan mata yang menjelajahi tubuh gadis itu.
"Aku baik-baik saja," balas Lalisa menenangkan, "Memangnya ada apa?"
Alexon menghela napas kasar dan menggeleng kecil. "Aku hanya takut kau terluka. Syukurlah kau baik-baik saja."
Sontak saja pernyataan sang profiler membuat hati gadis di depannya menghangat. Kekhawatiran Alexon memberikan kenyamanan tersendiri untuk Lalisa.
"Bagaimana dengan laki-laki yang kalian kejar? Dia tertangkap?" Lalisa mencoba untuk mengalihkan topik, sekaligus menuntaskan rasa penasarannya.
Alexon menggeleng lemah dan melemparkan tubuh di sofa yang sebelumnya di tempati Lalisa. "Tidak ada satu pun dari kami yang benar-benar melihatnya tadi. Kami bahkan tidak tahu sedang mengejar siapa." Alexon tertawa sinis dalam gelengan mirisnya.
Lalisa mengambil duduk di samping Alexon dan menatap dengan sungguh-sungguh. Dia hanya ditinggalkan kurang dari sepuluh menit, tapi ada banyak hal yang gadis itu pikirkan dan pahami dalam waktu singkat.
"Apa pekerjaanmu memang berbahaya seperti ini?" tanya Lalisa ingin tahu, "Mengejar dan dipermainkan oleh penjahat yang kau kejar."
Alexon menoleh dan memfokuskan pandangan pada Lalisa. Sudut bibirnya tersenyum kecil. "Kau khawatir aku terluka?" tanyanya dengan sedikit geli.
Lisa membantah lewat gelengan kaku.
"Jangan khawatir. Aku akan menjaga diriku baik-baik," katanya menenangkan, seolah tahu dengan kekhawatiran si gadis pujaan hati.
"Aku tidak-"
Lisa tidak sempat menyelesaikan bantahannya karena Ji Hoon datang dan meluapkan kemarahannya dengan melempar seragam rumah makan tempat Tae-il memesan makanannya tadi.
"Laki-laki itu memang SK," geramnya.
"Bagaimana dengan CCTV?" tanya Alexon langsung. Dia melirik keempat rekannya yang datang satu per satu mengekori Ji Hoon.
"Tidak terlihat. Terlalu gelap," jawab Jinyoung.
Alexon beralih pada Lalisa. Dia lupa menanyakan sesuatu yang penting pada gadis itu. "Kau melihat wajahnya?"
Lalisa menggeleng. "Dia menunduk dan menggunakan topi, juga masker. Jadi, aku tidak melihat wajahnya."
"Saat dia mengantarkan makanan, apa dia mengatakan sesuatu?" tanya Alexon lagi.
"Dia mengatakan untuk menikmati makanannya."
"Apa dia melihat wajahmu?"
Lalisa berpikir sejenak, sementara semua orang menunggunya dengan harap-harap cemas, terutama Alexon.
"Aku tidak yakin," balasnya ragu.
Alexon mendesah sambil membasahi bibirnya yang kering. Dia tampak tidak senang dengan jawaban Lalisa yang tidak pasti.
"Kuharap SK tidak menargetkan orang-orang di sekitar kita," celetuk Ji Hoon saat menyadari kegelisahan Alexon.
"SK jelas akan melakukannya untuk mempermainkan kita," gumam Alexon.
"Tapi kau hanya sendiri, Hyung. Jadi, tidak ada yang perlu kau khawatirkan," celetuk Jinyoung asal-asalan. Maknae itu lupa kalau ada seseorang yang akan membuat Alexon menggila dalam sekejap.
"Tidak memiliki siapa pun bukan berarti kau aman. Justru sendirian itulah yang malah membuatmu semakin dalam bahaya, karena kau adalah satu-satunya target," jelas Alexon dengan geraman.
Jinyoung membungkam mulutnya setelah sadar dengan celetukan asalnya yang memancing rasa geram sang profiler. Tiba-tiba saja dia melirik Lalisa di samping Alexon tanpa mengatakan apa pun.
"Lalu, sekarang apa?" Ji Hoon bertanya pada Alexon. Otaknya buntu dan tidak bisa memikirkan apa pun.
Alexon mengembuskan napas kasar dan berdiri. "Aku harus bertemu dengan Komisaris Kang," tegasnya, "Dan meminta kasus SK untuk dikembalikan pada kita atau aku akan keluar."
"Kau yakin akan mengancamnya seperti itu?" tanya Ji Hoon skeptis.
"Aku tidak mengancam, tapi aku melakukan negosiasi, " bantah Alexon, "Dia butuh seseorang untuk memecahkan kasus SK agar mendapatkan nama baik dan sejauh ini hanya aku yang bisa dia manfaatkan."
"Aku tidak tahu kalau kau akan membiarkan dirimu dimanfaatkan orang lain." Ji Hoon bicara dengan sungguh-sungguh tanpa ada maksud menyinggung, membuat Lalisa diam-diam tersedak salivanya dan menunggu balasan sang profiler dengan gugup.
"Aku tidak pernah membiarkan siapa pun memanfaatkanku tanpa izinku," balas Alexon dengan gelengan kecil. "Dan aku melakukannya bukan untuk Komisaris Kang. Aku ingin menangkap SK karena bajingan itu harus mempertanggungjawabkan perbuatannya."
Alexon bicara dengan berapi-api, tanpa ada niat untuk mengambil hati sang gadis pujaan.
Diam-diam Lalisa merona karena penuturan sang profiler. Jelas-jelas Alexon memberikan izin untuk memanfaatkannya dan melarangnya merasa terbebani.
"Lagipula, aku yakin kalau mereka tidak ingin membahayakan diri untuk menangkap SK," tambah Alexon.
Ji Hoon merespons dengan gumam sambil melirik arlojinya. "Jika beruntung, mungkin kita bisa bertemu dengannya sekarang."
Alexon ikut melirik arlojinya dan mengangguk kecil, kemudian menoleh pada Lalisa yang masih setia mendengarkan setiap kata yang didengarnya. "Lalisa, kau tunggu-"
"Apa aku boleh ikut?" Lalisa memotong ucapan Alexon dan berdiri.
Alexon menggeleng tegas tanpa perlu berpikir. "Aku harus ke kantor. Kau tunggu di sini saja bersama Jaebum dan Tae-il. Aku akan kembali saat urusanku sudah selesai."
Lalisa balas menggeleng. "Aku ingin ikut denganmu saja," pintanya tanpa terdengar merengek.
Jujur saja, meski sudah beberapa kali bertemu dengan seluruh anggota tim Ji Hoon, tetap saja Lalisa masih merasa canggung. Dia lebih suka sendiri daripada bersama orang asing. Namun, untuk saat ini, jelas Lalisa lebih suka jika bersama sang profiler.
Alexon mengembuskan napas kasar dan pada akhirnya mengizinkan Lalisa ikut dengan sedikit terpaksa.
"Maknae, ikut dengan kami," titah Alexon, "Bawa semua makanan tadi, juga seragam rumah makan itu. Kita perlu membawanya ke NFS."
Alexon tidak membiarkan Jinyoung membantah atau bertanya. Dia langsung meninggalkan semua orang dengan menggandeng lembut tangan Lalisa, kemudian disusul Ji Hoon yang tampak tidak acuh.
"Jaga Lalisa sebentar. Kami akan menemui Komisaris Kang," kata Alexon pada Jinyoung.
Inilah alasan kenapa Alexon meminta Jinyoung untuk ikut. Alasannya tidak lain adalah agar ada yang menjaga Lalisa, selama dia dan Ji Hoon berbicara pada Komisaris Kang.
Lalu, tanpa menunggu jawaban, Alexon berjalan mengekori Ji Hoon yang sudah lebih dulu mengambil langkah.
Jinyoung mendecih dalam tawa dan menghempaskan tubuh di kursinya. "Jadi, aku disuruh ikut hanya untuk menjaga gadisnya?"
Wah~ sungguh, Jinyoung tidak bisa memercayai hal ini. Alexon benar-benar memanfaatkan Jinyoung semaksimal mungkin.
Sementara Lalisa menutup rapat mulutnya dan berdiri ragu dalam pipi yang merona karena Jinyoung menyebut Lalisa sebagai gadis yang dimiliki oleh sang profiler, tapi merasa tidak nyaman saat maknae itu terdengar menggerutu.
"Lalisa, duduklah." Jinyoung menepuk kursi kosong di sampingnya yang tidak lain adalah milik Alexon. Suaranya sama sekali tidak terdengar jengkel atau memperlihatkan ekspresi tidak suka. Raut wajahnya terlihat ceria seperti biasa. "Mereka mungkin akan sedikit lama."
Lalisa mengangguk kaku. "Kau bisa pulang kalau mau. Aku tidak apa-apa sendiri," katanya tidak enak hati.
Jinyoung merespons dengan tawa kecil. "Dan Alexon hyung akan mengomeliku sepanjang hari karena meninggalkanmu sendiri."
Lalisa menelan salivanya gugup dan mengambil duduk di kursi Alexon. Dia bertanya-tanya kenapa Jinyoung selalu menebak dengan tetap sasaran dan membuatnya mati kutu.
"Kau ingin kopi?" tawar Jinyoung saat Lalisa hanya membalas penuturannya dengan senyum kaku.
Tawaran kopi Jinyoung disambut dengan anggukan singkat dari Lalisa. Sementara Jinyoung pergi membuat kopi, Lalisa iseng melihat-lihat isi meja Alexon yang tampak berantakan.
Salah satu gumpalan kertas yang nyaris bersembunyi di balik komputer menarik perhatian Lalisa. Gadis itu mengambil dan membuka gumpalannya. Diam-diam gumpalan itu membuat hati Lalisa menghangat.
Isinya adalah ringkasan mengenai penyakit transient global amnesia yang beberapa waktu lalu sempat laki-laki itu cari tahu.
"Dia benar-benar memedulikanku," gumamnya dengan senyum kecil.
Lalisa masih larut dalam kepedulian sang profiler ketika ada seseorang yang mengajaknya bicara.
"Kau ... siapa?"
Lalisa menoleh dengan terkejut dan mendapati Hyun-jae berdiri di dekatnya. Laki-laki itu menatap dengan penuh selidik dan rasa ingin tahu yang kental.
Lalisa berdiri dengan kaku. Wajahnya terlihat gugup dan bingung. "Ah~ aku ...."
"Dia adikku."
Lalisa menoleh dan mendapati Alexon berjalan angkuh ke arahnya. Sang profiler berdiri di tengah-tengah Hyun-jae dan Lalisa.
"Bahkan jika dia adalah adikmu, kau tetap tidak bisa membawa orang asing masuk ke sini," balas Hyun-jae dengan gertakan gigi yang tidak suka. "Ini bukan mal yang bisa didatangi siapa saja."
"Aku hanya mampir," balas Alexon setengah acuh, "Toh, dia tidak mengganggu pekerjaanmu, 'kan?"
Hyun-jae mendelik dan mengambil langkah tanpa ingin repot-repot melemparkan balasan lagi.
"Akan ada surat perintah yang diturunkan besok dan kasus SK akan kembali pada tim dua."
Sontak saja pernyataan Alexon membuat Hyun-jae menahan langkahnya dan menoleh. "Apa maksudmu?"
"Kasus SK akan kembali ditangani oleh tim dua," jelas Alexon dengan angkuh.
"Kau pasti bohong!" tukas Hyun-jae tidak terima.
Alexon mengangkat bahu tidak acuh. "Tanyakan saja pada Komisaris Kang jika kau tidak percaya."
Hyun-jae menggeram kesal dan langsung meninggalkan Alexon. Jelas dia harus mendapatkan pernyataan langsung dari sang komisaris.
Puas membuat Hyun-jae kesal, Alexon berbalik untuk menatap Lalisa yang tengah memandangnya dengan sorot kagum.
"Kenapa kau sendiri? Di mana Jinyoung?" Alexon bertanya sambil mengedarkan pandangan untuk mencari maknae-nya.
"Tadi dia menawarkan kopi untukku," balas Lalisa apa adanya.
Alexon mengangguk kecil.
"Oh, Hyung! Bagaimana hasilnya? Apa kasus SK kembali pada kita?" Jinyoung menghampiri dan memberikan satu cup untuk Lalisa, yang gadis itu terima dengan senang hati.
"Apa yang menjadi milikku akan selalu kembali padaku," balas Alexon angkuh.
Mata Jinyoung berbinar cerah. "Itu artinya kita tidak perlu kucing-kucingan lagi untuk menyelidiki kasus SK, 'kan?"
Alexon mengangguk membenarkan.
Jinyoung memekik senang. Dia akui kalau sosok pembunuh berantai yang satu itu memang sangat menjengkelkan, tapi tidak bisa dipungkiri kalau dia juga ingin menangkap sosok itu dengan tangannya.
"Aku akan pulang," kata Alexon memecah kesenangan Jinyoung, "Kau ingin ikut denganku atau bagaimana?"
Jinyoung menggeleng dengan deretan gigi rapinya. "Aku akan pulang bersama ketua tim. Lagi pula rumah kita tidak searah, Hyung."
"Baguslah kalau kau tahu diri," balas Alexon dengan anggukan singkat.
Lalu, tanpa mengindahkan kehadiran Jinyoung lebih dari tiga detik, Alexon menarik lembut tangan Lalisa untuk segera pergi dari kantornya. Sang profiler benar-benar lelah saat ini dan ingin segera menikmati kasurnya.
"Alexon," Lalisa memanggil di tengah kesibukan sang profiler di balik kemudinya.
Alexon menoleh sekilas. "Ya?"
"Terima kasih," kata Lalisa dengan senyum yang begitu tulus. Dia menatap lekat sang profiler yang tampak serius memandang jalan di depannya.
Alexon menautkan alis bingung. Dia tidak langsung menjawab, melainkan mencari celah yang tepat, yaitu menunggu lampu merah menahannya.
"Terima kasih untuk apa?" Alexon memusatkan pandangannya saat mobilnya berhenti karena lampu merah.
"Atas semua yang sudah kau lakukan untukku. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku setelah penculikan Sungjae, jika aku tidak bertemu denganmu lebih dulu. Mungkin saja aku sudah hancur sekarang dan hanya Tuhan yang tahu apa yang akan aku lakukan saat ini jika Sungjae melecehkanku lebih jauh lagi."
Lalisa mencurahkan perasaannya dengan penuh rasa syukur. Ini adalah kali pertama dia membuka perasaannya secara terbuka pada sang profiler. Dia mengulas senyum untuk lebih meringankan bebannya.
Alexon menjilat bibirnya yang kering. "Bisakah kau tidak mengucapkan kata itu padaku?" pintanya. Wajah laki-laki itu terlihat tidak nyaman dengan gelengan kecil. "Sudah kukatakan kalau kata itu membuatku takut, 'kan?"
Lalisa mungkin akan tertawa kencang jika saja mereka tidak sedang dalam pembicaraan yang serius. Nada suara sang profiler terdengar seperti rengekan protes yang tidak suka.
"Apa kata itu benar-benar menakutkan untukmu?" Lalisa bertanya dengan keseriusan penuh.
"Aku takut jika kau yang mengatakannya," balas sang profiler tanpa ragu. Tatapannya menatap dengan begitu intens. "Setiap kali kau mengucapkan terima kasih, selalu saja ada kejadian yang buruk setelahnya."
"Benarkah?" Lalisa memekik terkejut. Dia bahkan bisa merasakan keterkejutannya sendiri dan berharap kalau ekspresinya tidak terlalu berlebihan sekarang.
Alexon mengangguk mantap. "Maka dari itu berhenti mengatakan terima kasih padaku," katanya seraya menggerakkan kembali tuasnya untuk melanjutkan perjalanan.
Lalisa terdiam, tidak tahu harus membalas apa penuturan sang profiler.
Hari Alexon berlalu dengan banyak sekali hal-hal yang harus dilakukan. Rasa lelah sudah menderanya karena harus melakukan ini dan itu. Sang profiler ingin segera tidur-setelah memastikan si gadis pujaan tertidur pulas tentunya.
"Alexon, sepertinya kau memiliki paket." Lalisa berdiri di depan pintu, sementara sang profiler baru saja mengunci otomatis gerbangnya.
Alexon menghampiri dengan sedikit rasa bingung. Seingatnya tadi tidak ada apa pun di depan pintu saat meninggalkan rumah. Lalu, dari mana paket itu bisa masuk, sementara dia tidak ada di rumah? Harusnya paket itu diletakkan di kotak pos depan gerbang.
"Jangan disentuh!" Alexon memperingati dengan tegas saat Lalisa ingin meraih kotak di bawah kakinya dan mengambil langkah tergesa menghampiri Lalisa.
Lalisa mengangkat pandangan bingung. "Kenapa?"
"Masuklah," kata Alexon dengan lembut, "Aku akan mengurus paket ini."
"Apa ini perangkap?" Lalisa bertanya tanpa ragu. Gadis itu baru saja memproses sedikit informasi yang didapatkan sebelumnya.
Alexon tersenyum kecil dan mengusap kepala Lalisa. "Masuklah," titahnya sekali lagi.
Lalisa bergeming. Dia mempertimbangkan perintah Alexon yang penuh dengan kelembutan, tapi tidak ingin bantahan sedikit pun. Dengan sangat terpaksa, Lalisa melangkah masuk dan meninggalkan rasa penasarannya bersama sang profiler.
Setelah memastikan Lalisa masuk dan tidak mengintip. Buru-buru sang profiler membuka paketnya yang dibungkus dengan kertas berwarna cokelat tanpa bertuliskan apa pun. Alexon refleks membuang kotaknya saat melihat bangkai Kitten adalah isi dari paketnya malam ini.
Tubuh Kitten sudah mulai membusuk bercampur tanah, tapi Alexon tidak akan melupakan gelang kaki yang Lalisa berikan pada kucing lucu itu.
"Berengsek!" Alexon mengumpat kesal, bukan karena dia mendapat kiriman menjijikkan ini, melainkan karena kiriman ini ditujukan untuk Lalisa.
Sorot matanya terlihat marah dengan kobaran api yang membara. Tangannya mengepal kuat, dengan rahang mengeras dan memerah menahan amarah. Lalu, tanpa membereskan bangkai Kitten, Alexon masuk ke rumah dan segera berjalan menuju ruang keamanannya-tanpa menyadari sosok Lalisa yang menunggunya di ruang tamu.
"Siapa bajingan gila ini sebenarnya?!" Alexon menggeram dengan mata melotot. Kemarahan jelas meledak hingga ke ubun-ubun. "Kenapa dia mengetahui tentang Kitten?"
Alexon mengoceh sambil memperhatikan baik-baik layar komputernya yang sedang menampilkan rekaman, saat dia meninggalkan rumah dua jam lalu.
"Aku benar-benar akan membunuh bajingan ini jika dia mengganggu Lalisa lagi."
Alexon baru saja bersumpah dan tidak ada yang bisa menghentikan laki-laki itu dari sumpahnya. Saat Alexon mengatakan akan membunuh Sweetest Killer, maka itulah yang akan dia lakukan.
Sang profiler sudah mati-matian menarik Lalisa keluar dari ketakutannya, tapi dengan tidak tahu dirinya sosok hantu itu datang dan mengganggu gadisnya yang sedang berjuang.
"Alexon."
Sang pemilik nama menoleh terkejut, saat melihat Lalisa berdiri di depan pintu dengan wajah penuh air matanya. Dia pikir Lalisa langsung kembali ke kamar, tapi siapa yang tahu kalau gadis itu justru malah keluar untuk melihat paket yang Alexon dapatkan.
"Itu Kitten, 'kan?" gumamnya dengan suara bergetar.
Langsung saja sang profiler menghampiri Lalisa dan membawa gadis itu ke dalam pelukannya. Lalu, tangisan Lalisa pecah dalam hitungan detik. Gadis itu menangis tersedu-sedu sambil memeluk erat sang profiler.
"Lalisa, tidak apa-apa. Ada aku di sini." Alexon menenangkan sambil mengusap punggung Lalisa. "Jangan takut. Tidak akan ada yang bisa menyakitimu selama aku di sini."
"Aku tidak takut disakiti ..." Lalisa berbisik lirih. Suaranya berlomba dengan isakan tangis yang ingin yang lolos dan mengeratkan pelukannya. "... tapi aku takut menyakitimu. Aku tidak bisa melupakan tentang Kitten."
Alexon menutup rapat matanya. Dia seolah merasakan ketakutan yang sedang menyelimuti Lalisa saat ini, hingga laki-laki itu meletakkan dagu di bahu putri sang walikota.
"Apa yang harus aku lakukan untuk membuatmu tidak takut lagi?" Alexon bertanya lirih. Suaranya ikut bergetar. "Apa yang harus aku lakukan untuk membuatmu percaya, kalau kau tidak akan menyakitiku?"
Lalisa tidak menjawab, tapi tangisannya terdengar semakin keras, juga teredam karena wajahnya tenggelam di dada sang profiler. Gadis itu bahkan tidak tahu tindakan apa yang bisa membuatnya tenang saat ini-selain pelukan sang profiler.
"Tenanglah. Hal itu tidak akan pernah terjadi lagi," bisik Alexon dengan usapan yang masih setia di punggung gadis itu, kemudian melonggarkan pelukannya agar bisa menatap dengan lebih leluasa. "Kau tidak akan menyakitiku, tidak juga ayahmu," tambahnya seraya menghapus air mata Lalisa.
Lalisa menatap dengan bibir bergetar. Wajahnya merah dan penuh dengan air mata. Tidak ada kata yang gadis itu ucapkan. Dia hanya diam dan menatap Alexon.
"Kau tidak akan menyakitiku. Jadi, jangan khawatir." Alexon masih berbisik. Sebelah tangannya membungkus pipi basah gadis yang sukainya. "Bahkan jika kau melakukannya, aku tidak apa-apa."
Lalisa tidak tahu kebaikan apa yang dia lakukan 300 tahun lalu, hingga Tuhan memberikan Alexon sebagai hadiahnya. Kehadiran laki-laki itu memberikan banyak perubahan di dalam hidupnya hanya dalam waktu yang sangat singkat.
"Alexon," panggil Lalisa dengan suara bergetar, "Aku tidak ingin memanfaatkanmu lagi," katanya dengan gelengan lemah tidak berdaya.
Alexon membeku. Harus berapa kali dia melewati masa penolakan seperti ini? Rasanya sudah terlalu sering dia diperlakukan seperti ini, hingga rasa sakitnya benar-benar sangat melekat.
Sang profiler membasahi bibirnya. Haruskah dia meninggalkan gadis keras kepala di depannya ini? Haruskah dia berhenti memohon dan menjauh seperti yang diinginkan?
Kira-kira kata apa lagi yang ingin Lalisa sampaikan untuk menyakiti hati Alexon yang tulus mendampinginya?
"Kau ingin aku meninggalkanmu?" tanya Alexon dengan suara parau. Matanya sedikit merah berkaca-kaca.
Lalisa menggeleng pelan. "Aku memutuskan untuk memilihmu."
📍📍📍
SEMOGA MASIH PADA BETAH NUNGGU WUJUD ASLINYA SK, YA 🙈🙈🙈
yang mau ikut tumpengan sama pak Alek dipersilakan. Akhirnya penantian 300 tahun pak Alek membuahkan hasil 🤣🤣
Habis ini auto makin lengket. Gak ada istilah Lisa ditinggal di rumah. Pokoknya digandeng terus 🌚🌚🌚🌚
Minggu depan chapter 26, gaes 😈😈😈
Tolong persiapan diri kalian karena ada kejut jantung di sana 🌚
WE LOVE YOU LISAAAAAA ❤
22 Oktober 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro