22. Beautiful Night
Aing lagi khilaf, gaes. Makanya datang lebih cepat dari yang seharusnya. Gak deng, sebenarnya gak khilaf, tapi emang pengin update aja karena gatal ingin membagikan momen uwu pak Alek dan calon masa depannya 🤣🤣🤣🤣
Drafnya juga udah lumayan banyak. Aing udah punya stok sampai chapter 27 dan tolong tandai chapter itu karena bakalan jadi chapter paling gilak yang pernah aing tulis selama menghuni dunia orenji ini 🌚🌚😈😈😈😈😈😈😈😈😈
Selamat bermalam Jum'at ria dengan kebuchenan pak Alek 💃💃💃💃
Happy reading~
"Jadi, kau akan benar-benar pulang hari ini?" Alexon berdiri di ambang pintu dan memperhatikan Lalisa yang sibuk mengemas barangnya ke dalam koper.
Lalisa menoleh pada Alexon dan melemparkan senyum kecil. "Aku harus pulang sebelum lupa di mana tempat tinggalku yang sebenarnya," balasnya dengan tawa kecil.
Alexon mengangguk, kemudian melangkah masuk. Laki-laki itu tidak langsung menghampiri Lalisa, melainkan membongkar lemari pakaiannya dan juga nakasnya.
Lalisa yang sedang asyik menyusun barangnya, dikejutkan dengan dua barang tambahan yang diletakkan di atas tumpukan pakaiannya.
Selembar mantel berwarna abu-abu asap dan sebotol parfum.
Lalisa mengangkat kepala dengan penuh kebingungan. "Apa? Kenapa memasukkannya ke dalam koperku?"
"Hanya untuk berjaga-jaga jika kau tidak bisa tidur lagi," balas Alexon apa adanya, "Kupikir itu akan membantumu jika kau tidak bisa tidur saat kembali ke apartemenmu nanti."
Lalisa malu, tapi membiarkan pipinya merona di hadapan sang profiler yang tengah menatapnya intens. Bagaimana mungkin sang profiler tahu kalau Lalisa sangat menyukai aroma tubuh dan bahan dasar dari mantel laki-laki itu? Apa semua itu tertulis jelas di keningnya?
"Terima kasih," kata Lalisa apa adanya.
Alexon mengangguk. Tatapannya tidak lepas dari gadis di depannya, seolah hanya sosok Lalisa yang bisa ditatap.
"Lalisa," panggilnya.
Lalisa mengangkat pandangan sambil menarik ritsleting kopernya untuk menutup. "Apa?"
"Aku ingin menjadi orang pertama yang kau hubungi saat keadaan darurat. Seperti malam itu." Alexon baru saja mengutarakan permohonannya di depan Lalisa tanpa memedulikan bagaimana dia terlihat saat ini. "Atau setidaknya orang kedua setelah ayahmu," ralatnya saat menyadari kalau posisi tuan Jung jauh lebih tinggi darinya.
Lalisa menatap dalam kekaguman yang tidak ingin ditunjukkan. Alexon memang benar-benar ingin menjaganya, terlepas dari bagaimana Lalisa bersikap selama ini.
"Kau ingin mengambil tanggung jawab ayahku untuk menjagaku?" Lalisa bertanya dengan sungguh-sungguh dan dalam kesadaran penuh.
Alexon mengangguk mantap. "Jika kau mengizinkan, aku akan dengan senang hati mengambilnya dari ayahmu." Sama sekali tidak terdengar nada bercanda atau ekspresi main-main. Alexon sungguh serius dengan yang dia ucapkan.
Lalisa tertawa kecil. "Kau pasti tidak memiliki pekerjaan di kantor, hingga ingin mengambil tanggung jawab yang bukan milikmu."
"Lalisa, aku serius," balas Alexon saat Lalisa menanggapi keseriusannya dengan tawa. "Terserah kau ingin melihatku seperti apa sekarang, tapi saat aku mengatakan aku ingin menjagamu ..." Alexon memberanikan diri untuk menggenggam tangan Lalisa dan menekan sedikit kegugupannya. "... maka itulah yang ingin aku lakukan untukmu. Aku ingin menjagamu."
Tawa Lalisa ditelan oleh kesungguhan sang profiler, terlebih lagi saat tangannya digenggam dengan lembut dan membuat jantungnya lagi-lagi berdebar.
Lalisa menggigit bibir. Gadis itu sedang mempertimbangkan banyak hal di saat yang bersamaan. Genggaman di tangannya terasa begitu hangat dan menenangkan, kemudian menimbang tatapan sang profiler yang tengah menatapnya saat ini.
"Aku tidak pernah mempunyai teman dekat laki-laki. Masa remajaku habis untuk diriku sendiri," kata Lalisa apa adanya. Gadis itu pikir sang profiler harus mengetahui hal ini lebih dulu. "Aku tidak terbiasa menerima perhatian seperti yang kau berikan padaku selama ini dan perhatianmu membuatku takut." Lalisa tersenyum dalam suaranya yang mencicit di akhir kalimat.
"Apa yang kau takutkan?" balas Alexon dengan bisikan. Tatapannya menggali dengan sangat dalam dan menemukan apa yang gadis itu takuti. "Kau takut aku mengkhianatimu nantinya?"
Lalisa menggeleng dan mengusap matanya yang basah dengan sebelah tangan. "Aku takut melukaimu dengan tanganku sendiri," cicitnya.
Alexon menggeser koper Lalisa yang dirasa menghalangi jarak mereka untuk berbicara serius. "Saat kau bercerita tentang kapan pertama kali mengonsumsi obat tidur, kau sempat mengatakan padaku kalau kau pernah nyaris membunuh ayahmu, tapi kau tidak ingat dengan kejadian itu. Kau ingat pernah mengatakannya padaku?"
Alexon pikir yang Lalisa ucapkan malam itu bukanlah rancauan semata, tapi memang pernah terjadi. Lalu, dari cara tuan Jung mengkhawatirkan Lalisa tempo hari, jelas terasa ada banyak kejadian tidak menyenangkan saat itu yang tiba-tiba saja membuat ayah dan anak itu tampak khawatir.
Lalisa menegang dalam genggaman Alexon. Gadis itu tampak sedikit terkjut dan rasa panik baru saja menggigitnya, membuat Lalisa terlihat gugup dan pucat dalam sedetik.
"Aku mengatakan itu padamu?" tanyanya tidak percaya. Lalisa seakan kehilangan suaranya sendiri.
Alexon mengangguk. "Kau mengatakannya dengan sangat pelan dan langsung jatuh tertidur setelahnya. Jadi, aku tidak benar-benar yakin, apa kau saat itu merancau atau kau jujur padaku tanpa kau sadari."
Lalisa mulai terlihat gelisah dan sang profiler menyadari setiap detail perubahan ekspresi gadis itu.
"Aku tahu kau memiliki beban yang begitu besar saat itu hingga ketergantungan obat tidur. Aku bertemu dengan ayahmu dan dia mengatakan ada alasan kenapa kau sering mengonsumsi obat tidur," tambah Alexon. Laki-laki itu harus jujur lebih dulu jika ingin Lalisa terbuka padanya. "Dan kau bilang tidak akan melupakan hari pertama Jung-hoo bekerja untuk ayahmu. Pasti ada sesuatu yang terjadi hari itu, 'kan hingga kau tidak bisa melupakannya."
Tiba-tiba Lalisa saja sudah menangis saat Alexon asyik menjelaskan. Tampaknya ketakutan gadis itu semakin berlipat karena sang profiler mengetahui banyak tentangnya lebih dari yang Lalisa kira selama ini.
"Apa yang ayahku katakan padamu tentang masa laluku?" tanya Lalisa dengan nada bergetar. Dia ingin menghapus air matanya, tapi tidak memiliki tenaga untuk mengangkat tangan.
Alexon menggeleng kecil dan menghapus air mata Lalisa dengan penuh kasih sayang. "Aku tidak mendengar banyak karena aku hanya ingin mendengar semua cerita itu darimu," katanya sambil mengusap pipi Lalisa yang basah karena air mata. "Ayahmu sangat mengkhawatirkanmu saat tahu pola tidurmu berantakan. Dia memintaku agar kau tidak mengonsumsi obat tidur apa pun alasannya."
Air mata Lalisa mengalir semakin banyak. Ketakutan seperti meledak di setiap sel darahnya, membuat gadis itu kewalahan menangani ketakutannya sendiri.
"Aku tidak akan memaksamu untuk bercerita mengenai masalah itu, tapi berjanjilah kalau kau akan menghubungiku saat mencemaskan sesuatu, saat kau merasa tidak nyaman akan satu hal, dan saat kau membutuhkan seseorang. Kau harus datang padaku, bahkan jika kau tidak ingin." Lagi, Alexon memberikan penuturan panjang lebar yang hanya dibalas dengan isakan yang samar.
Lalisa semakin terisak. Separuh dari rahasia gelapnya baru saja terungkap dan mungkin Lalisa tidak akan pernah bisa berhadapan dengan Alexon jika yang dia takutkan benar-benar terjadi.
Alexon membawa Lalisa ke dalam pelukannya dan mengusap rambut itu dengan penuh kasih sayang. Gadis di pelukannya ini sangat rapuh, terlebih lagi jika sudah menyangkut kisah masa lalunya. Sang profiler hanya berharap kalau Lalisa akan segera terbuka dengannya.
"Jangan takut, Lalisa. Ada aku di sini," bisiknya pada sang gadis.
Lalisa tidak menjawab. Gadis itu hanya menangis di dalam pelukan hangat sang profiler yang akhir-akhir ini selalu membuatnya nyaman dalam situasi apa pun.
📍📍📍
"Terima kasih karena sudah mengantarku." Lalisa mengambil alih kopernya yang sejak tadi diseret oleh sang profiler ketika mereka tiba di ruang tamu apartemennya.
Alexon mengangguk singkat. Laki-laki itu berjalan ke sisi jendela dan melihat pemandangan jalanan saat malam hari. "Pemandangan dari atas sini lumayan juga. Kau suka melihat pemandangan saat malam hari?" tanyanya iseng.
Lalisa menggeleng dan menghempaskan tubuh di sofa dengan tangan yang mengelus kepala Kitten di atas pangkuannya. "Aku tidak memiliki waktu untuk melakukan hal tidak berguna seperti itu."
"Kau harus melakukannya sesekali untuk menghilangkan stres." Alexon memberikan saran sambil menghampiri Lalisa dan duduk di samping gadis itu.
"Memang apa bagusnya pemandangan di luar sana?" tanya Lalisa dengan ketus setengah mengejek. Dia pikir pemandangan di luar sana tidak ada bagus-bagusnya sama sekali.
Alexon tersenyum, kemudian meletakkan Kitten di lantai dan menuntun Lalisa untuk ikut bersamanya ke sisi jendela. Laki-laki itu berdiri di belakang Lalisa dengan kedua tangan yang membungkus lengan gadis itu. "Apa yang kau lihat sekarang?" tanya Alexon setelah beberapa detik mereka berdiri dan memandang keluar.
"Lampu dan macet," balas Lalisa setengah acuh. Dia tidak paham dengan apa yang sedang sang profiler lakukan padanya, tapi mencoba untuk tidak terlalu banyak protes.
"Salah, Lalisa," bisik Alexon. Lengan panjangnya menunjuk satu arah. "Di sana. Di depan apotek. Ada pasangan yang sedang bertengkar."
Lalisa menyipitkan matanya. "Aku tidak melihat apa pun."
"Perhatikan baik-baik. Kau harus memfokuskan pandangan ke sana," kata Alexon memberitahu. Cengkeraman di lengan Lalisa semakin ketat untuk menarik fokus gadis itu.
"Oh, aku melihatnya!" Lalisa memekik kala retinanya samar-samar mendapati apa yang sang profiler ingin tunjukan. "Laki-laki itu ditampar dan ditinggalkan. Iya, 'kan?" Suaranya terdengar begitu antusias dengan mata berbinar.
Lalisa menoleh untuk bertanya pada sang profiler. "Bagaimana kau bisa-" Pertanyaannya terpaksa ditelan kembali saat wajah sang profiler berada tepat di depannya dengan jarak kurang dari sejengkal untuk bibir mereka saling mencapai satu sama lain.
Lagi-lagi Alexon terpaku pada bibir gadis di depannya-yang entah sejak kapan mulai menjadi pusat perhatiannya. Lalisa sendiri sedang mengagumi bagaimana sang profiler terlihat begitu sempurna di matanya.
Alexon memberanikan diri untuk mengikis jarak. Tatapan mereka terkunci satu sama lain, di mana tidak ada satu pun yang ingin memutuskan pandangan. Saat Alexon mengikis jarak, Lalisa tidak bereaksi apa pun, yang artinya sang profiler tidak mendapatkan penolakan sejauh ini.
Namun, Alexon tidak pernah mencapai bibir Lalisa yang jelas-jelas berada tepat di depannya karena terganggu oleh dering ponsel milik si gadis, yang langsung membuat sang profiler menarik diri dengan canggung. Sementara Lalisa meninggalkan jendela untuk mengambil ponsel dengan rasa gugup yang menghantui.
Alexon mengusap tengkuknya dan membuang pandangan. Laki-laki itu menelan saliva berkali-kali untuk membasahi tenggorokannya yang kering dan menjilat bibir terus-terusan. Rasanya sangat canggung dan memalukan di saat yang sama.
Laki-laki itu merutuki diri karena hampir saja melakukan hal yang paling tidak senonoh yang ingin dilakukannya pada gadis belasan tahun seperti Lalisa.
"Aku baru saja sampai di apartemen." Lalisa menjawab panggilannya yang tidak lain berasal dari sang ayah. Gadis itu juga merasa canggung dan gugup ketika jantungnya berdebar kencang, hingga tidak berani menatap sang profiler di balik punggungnya. "Tidak. Aku akan tinggal di sini saja. Tidak usah berlebihan mengkhawatirkanku. Aku akan baik-baik saja."
Alexon memperhatikan punggung Lalisa ketika gadis itu berbicara pada ayahnya-masih dengan nada bicara yang tidak begitu bersahabat.
Lalisa berdecak. "Berhenti merepotkannya. Aku sudah terlalu menjadi beban untuknya selama tinggal di sana. Jadi, jangan meminta tolong apa pun padanya." Ada sedikit geram di dalam suaranya.
Meski hanya melihat punggung, tapi Alexon bisa membayangkan betapa kesalnya wajah gadis itu sekarang dan laki-laki itu tahu kalau dirinyalah yang sedang dijadikan topik pembicaraan.
Pada akhirnya Lalisa berbalik untuk menghadap Alexon. Wajahnya menekuk kesal dengan ringisan rasa bersalah dan memberikan ponselnya tanpa mengatakan apa pun.
Alexon mengambil alih ponsel Lalisa dengan tawa kecil dan mengacak rambut gadis itu dengan sebelah tangannya yang lain, kemudian menjauh untuk berbicara pada sang walikota.
"Ya, Walikota Jung?" sapa Alexon saat dia sudah mengambil jarak dua belas kaki dari Lalisa dan membiarkan gadis itu sibuk dengan Kitten.
"Apa menurutmu dia akan baik-baik saja sendiri?" Terdengar kekhawatiran yang kental dari seberang sana. "Kupikir aku lebih tenang jika dia tinggal di rumahmu, ketimbang tinggal di apartemennya sendirian."
Alexon tersenyum tipis saat tuan Jung memiliki kepercayaan yang begitu tinggi terhadapnya. "Aku juga tidak yakin, tapi aku juga tidak bisa menahannya untuk tetap tinggal di rumahku," balasnya dengan senyum kaku.
"Aku tidak tahu harus menanyakan kondisinya pada siapa, kalau bukan padamu." Tuan Jung terdengar pasrah dalam keputusasaannya. "Lalisa pasti tidak akan berbicara apa pun padaku."
Alexon menggigit bibir. Terdengar seperti tuan Jung sudah begitu memercayainya untuk menjaga sang putri kesayangan. "Aku pasti akan memberitahumu jika ada sesuatu yang mengkhawatirkan tentangnya," katanya menyanggupi. Alexon melirik Lalisa yang masih sibuk dengan Kitten. "Dan aku akan menjaganya sebisaku. Aku janji."
Terdengar tarikan napas berat dari seberang sana, membuat Alexon menajamkan pendengarannya dan terlihat was-was.
"Alexon, aku tahu kalau aku sudah sangat merepotkanmu, tapi tolong jaga Lalisa untukku. Jangan tinggalkan anakku bahkan jika dia yang memintanya," pintanya dengan penuh permohonan, "Dia tidak sekuat yang terlihat. Lalisa hanya gadis kecilku yang sedang menjauhkan diri dari dunia luar. Dia begitu rapuh dan membutuhkan sosok sepertimu di sampingnya. Jadi, tolong jaga dia untukku."
Bisakah Alexon menganggap kalau dia baru saja mendapatkan sebuah kehormatan karena sang walikota memercayakan Lalisa untuk dia jaga? Bahkan tanpa diminta pun, Alexon akan melakukan itu untuk dirinya sendiri.
"Walikota Jung," Alexon memanggil dengan lirih, "Kau tidak perlu memintanya padaku, aku pasti akan menjaga Lalisa. Aku akan menjaganya untuk kita."
Alexon tidak lagi memikirkan bagaimana pandangan tuan Jung nantinya. Laki-laki itu tidak sekadar mengucapkan janji seperti yang Lalisa tuduhkan, melainkan sang profiler bersungguh-sungguh dalam setiap ucapannya. Entah akan menjadi seperti apa hubungannya dan Lalisa di masa depan, Alexon tidak begitu memedulikan. Niatnya saat ini benar-benar tulus membantu Lalisa untuk melepaskan luka masa lalu gadis itu-meski pada kenyataan kerap kali berharap kalau gadis itu akan melunak padanya.
Lalisa masih sibuk bermain dengan Kitten ketika sang profiler menatapnya dengan mata berkaca-kaca di belakang sana. Gadis itu terlihat sangat menyayangi Kitten dan senang dengan kehadiran teman barunya.
"Kitten, kuharap kau akan betah dengan rumah barumu ini," celoteh Lalisa pada Kitten yang asyik menggigit kecil jarinya. "Apartemenku memang tidak seluas rumah ayahmu. Jadi, mungkin kau tidak akan berlarian bebas seperti kemarin, tapi apartemenku ini tidak kalah nyamannya dengan rumah ayahmu maka kau harus betah tinggal bersamaku."
Alexon sedang dalam suasana hati yang begitu haru karena pembicaraannya dan tuan Jung, tapi Lalisa mengubah perasaan itu menjadi kehangatan yang begitu menyenangkan dengan celotehannya.
Alexon bergabung di lantai bersama Lalisa setelah memastikan tidak ada rasa iba di dalam matanya. "Jika aku ayahnya, lalu siapa ibunya?" tanyanya menyenggol pelan lengan Lalisa dan tersenyum dengan begitu menggoda.
Lalisa melirik dengan ngeri saat melihat senyum sang profiler. Gadis itu tidak memiliki waktu untuk merona. "Yang jelas itu bukan aku. Aku hanya pengasuhnya," balasnya setengah acuh
Alexon tertawa kecil, tapi tidak mengeluarkan suara untuk membalas dan memilih untuk menatap Lalisa dengan intens. "Kau pasti sangat kesepian selama ini," bisiknya prihatin.
Rasanya begitu menyedihkan saat melihat Lalisa tertawa lepas hanya karena seekor kucing. Bukan maksud Alexon untuk cemburu, hanya saja dia sedih karena gadis itu justru tertawa karena seekor kucing yang tidak bisa membalas semua celotehannya.
"Berbicaralah dalam hati jika hanya ingin mengasihaniku," balas Lalisa sarkastis. Gadis itu enggan menoleh hanya untuk dikasihani.
"Aku tidak mengasihanimu, tapi aku bilang aku lapar," bantah Alexon kuat. Laki-laki itu berkilah di saat suaranya terdengar begitu di jelas di telinga lawan bicaranya. "Apa kau memiliki sesuatu untuk dimasak?"
Lalisa mendecih. "Hanya ada mi instan."
Alexon menghela napas, kemudian berdiri dan mengulurkan tangan pada Lalisa. "Kalau begitu, ayo pergi supermarket. Aku tidak ingin makan mi instan malam ini."
Lalisa mendongak. "Lebih baik pesan makanan saja," usulnya.
"Dapurmu akan berkarat jika tidak digunakan," balas Alexon sarkastis.
Lalisa memutar bola matanya malas, tapi meraih tangan Alexon dan berdiri dengan bantuan laki-laki itu.
📍📍📍
"Kau ingin makan apa?" tanya Alexon. Tangannya sibuk mendorong troli sambil melihat-lihat sayuran segar yang dipajang.
"Apa saja."
"Kalau begitu pasta saja."
Lalisa menoleh cepat. "Lalu apa bedanya dengan mi instan? Bukankah bahan dasarnya sama-sama tepung?" tanyanya setengah protes.
Alexon berdecak dibuat-buat. "Tadi katanya apa saja."
"Apa saja, kecuali makanan yang berbahan tepung," ralat Lalisa, kemudian berlalu meninggalkan sang profiler.
Alexon tertawa dalam gelengan geli. Gadis di depannya ini begitu menggemaskan, membuat jantung sang profiler terus saja berdebar dan berbunga-bunga di saat yang sama.
Namun, tiba-tiba saja ada mengusik ketenangannya. Alexon menoleh ke belakang, mencari di kanan dan kiri saat merasa ada seseorang yang memperhatikannya dengan lekat, tapi jelas semua orang sedang sibuk dengan urusan belanja masing-masing.
Entah Alexon yang terlalu perasa atau memang ada yang sedang mengawasinya saat ini?
"Alexon, aku ingin sesuatu yang pedas." Lalisa berbalik, tapi tidak menghentikan langkahnya, hingga gadis itu berjalan mundur tanpa takut akan menabrak seseorang. "Dan berkuah."
Perhatian sang profiler kembali pada Lalisa setelah tidak menemukan apa pun dan kembali mendorong troli yang lajunya sempat diperlambat. "Jalanlah dengan benar. Nanti kau menabrak seseorang," katanya memperingati.
Untuk kali pertama Lalisa menuruti Alexon pada detik pertama. Gadis itu berbalik untuk berjalan dengan benar sesuai perintah, tapi siapa yang tahu kalau berbaliknya Lalisa membuat seseorang yang ingin mengambil belokan ke arahnya terkejut. Beruntung sosok yang Lalisa tabrak tidak terjatuh dan hanya sekadar terkejut saja.
"Nona Muda."
Oh, nyatanya sosok yang Lalisa kejutkan adalah Jung-hoo. Laki-laki itu membawa beberapa botol di dalam genggaman. Lalu, tersenyum saat melihat Alexon menghampiri sambil mendorong troli.
"Kalian sedang berbelanja?" tanyanya basa-basi.
Lalisa membalas dengan anggukan singkat. "Apa yang kau lakukan di sini?"
"Membeli beberapa minuman untuk Walikota Jung," balas Jung-hoo menunjukkan barang-barangnya di tangan. "Dia ada di parkiran depan sekarang. Kau ingin bertemu dengannya?"
Lalisa menggeleng pelan. Meski sudah sedikit melunak pada ayahnya sejak hari itu, tapi gadis itu masih belum ingin membangun banyak interaksi. "Apa dia sudah makan malam?" tanyanya ragu.
Jung-hoo tersenyum mendengar pertanyaan Lalisa. "Beliau sudah makan tadi. Kau yakin tidak ingin bertemu dengannya?" tanyanya memastikan, "Walikota Jung pasti sangat senang bertemu denganmu malam ini."
Lalisa masih dengan keputusannya. "Kembalilah. Dia pasti sudah menunggumu dan jangan katakan kalau kau bertemu denganku," katanya dengan setengah enggan, kemudian berjalan melewati Jung-hoo.
Alexon mengikuti langkah Lalisa setelah melemparkan sapaan ringan pada Jung-hoo. Diam-diam sang profiler tersenyum dengan kepedulian Lalisa pada tuan Jung. Entah kenapa itu membuatnya senang karena merasa kalau gadis itu sudah lebih melunak pada ayahnya.
"Kenapa tidak ingin bertemu dengan ayahmu? Kalian sudah lama tidak bertemu, 'kan?" tanya Alexon ingin tahu. Seingatnya juga pertemuan terakhir gadis itu dengan sang ayah adalah saat tuan Jung datang ke rumahnya dan seminggu lebih sudah berlalu.
Lalisa terlihat tidak acuh dan memilih beberapa camilan untuk dimasukkan ke dalam troli. "Ini bahkan baru beberapa hari. Biasanya kami akan bertemu setelah sebulan atau tiga bulan."
Mata Alexon seakan melompat dari tempatnya. "Tiga bulan? Sungguh kalian bertemu hanya sekali dalam waktu tiga bulan?" tanyanya memastikan. Keterkejutan jelas tidak bisa profiler itu sembunyikan atas kejujuran Lalisa. "Kalian tinggal di kota yang sama. Bagaimana mungkin intensitas pertemuan kalian sejarang itu? Apa kalian-"
Lalisa berbalik, membuat Alexon menelan kembali pertanyaannya dan menutup rapat mulutnya, kemudian gadis itu menjawab tanpa diminta. "Dia selalu datang ke apartemenku, tapi aku selalu pergi setiap kali dia mengatakan akan datang. Aku selalu menghindar untuk bertemu dengannya."
Kejujuran Lalisa membuat Alexon senang dan miris secara bersamaan. Jelas kalau tuan Jung selalu ingin membangun komunikasi, tapi sang putri menolak dengan tegas dan memberikan jarak yang begitu jauh.
"Apa itu cukup untuk menjawabmu?" tanya Lalisa saat Alexon belum memberikan respons.
"Maaf karena sudah ikut campur," sesal Alexon.
Lalisa hanya mengangkat bahu dan kembali melanjutkan langkah untuk berkeliling. Dia tidak merasa kalau Alexon baru saja mencampuri urusannya. Jika laki-laki itu memang dirasa ikut campur, Lalisa pasti akan melayangkan protes dengan sendirinya, alih-alih menjawab rasa penasaran sang profiler.
"Ayo, selesaikan belanjanya. Aku sangat lapar," keluh Lalisa mengalihkan pembicaraan.
📍📍📍
Alexon pikir dia menyukai pemandangan yang disajikan dari lantai apartemen Lalisa saat malam hari. Jalanan ramai di luar sana benar-benar menyenangkan untuk dijadikan objek karena ada banyak sekali yang bisa dilihat dengan mata telanjang.
"Kau pasti sangat suka pemandangan malam," celetuk Lalisa saat menangkap basah sang profiler yang memandang keluar dengan begitu lekat.
Alexon menoleh dengan senyum tipis. "Tidak ada pemandangan seperti ini di rumahku. Benar-benar sangat jauh dari keramaian."
"Maka pindahlah ke tempat yang lebih ramai," sahut Lalisa asal-asalan.
"Sebenarnya aku tidak suka bising," balas Alexon sungguh-sungguh, "Dan tidak suka bertemu dengan banyak orang."
"Tapi pekerjaanmu mengharuskanmu untuk berinteraksi dengan banyak orang, 'kan?" tukas Lalisa. Gadis itu baru saja membalik sendoknya, pertanda sudah selesai dengan makan malamnya.
Alexon berdesis. "Sebenarnya, aku jarang berinteraksi selama menangani kasus, tugasku lebih ke arah meneliti TKP, bukan berurusan dengan korban atau pun saksi."
"Tapi saat kau datang ke sekolahku, kau menarik pernyataan atas kematian Yuna," kata Lalisa mengingatkan. Gadis itu masih ingat dengan pertemuan kedua yang membawa mereka untuk bisa sedekat ini.
"Ji Hoon harus bertemu dengan kepala sekolahmu, Tae-il memeriksa CCTV, Jaebum mengantar mayat Yuna. Hanya aku dan Jinyoung yang tersisa. Anak itu pasti tidak akan bisa mengatasi kegilaan teman-temanmu saat itu. Bayangkan jika dia hanya sendiri, kau pasti sudah habis diserang oleh teman-temanmu," jelas Alexon panjang lebar.
Lalisa mengangguk membenarkan. Dia pikir kehadiran Alexon saat itu cukup membantunya agar terlepas dari tuduhan teman-teman sekelasnya.
"Alexon, apa kau ingat kalau saat itu kau mengusir Sungjae?" Mendadak ingatan Lalisa membawanya pada sedikit keanehan di hari itu. "Kau terlihat tidak menyukainya. Apa kau melakukannya karena tahu dia tidak normal?" Ada banyak keingintahuan di dalam suara, juga tatapannya.
Alexon mendesis, mencoba untuk mengingat kembali kejadian hari itu. "Entahlah, aku hanya tidak menyukainya," sahutnya dengan bahu terangkat ringan. "Dia terlihat normal saat itu, tapi ada sesuatu yang tidak kusukai dari caranya menatapmu."
"Memangnya bagaimana cara dia menatapku?"
Alexon mengangkat bahu lagi. Kali ini dengan ekspresi yang tidak ingin membagikan apa pun pada lawan bicaranya, kemudian langsung mengalihkan perhatian dengan membereskan piring kotor.
Singkatnya, Alexon cemburu.
Laki-laki itu merasa tidak senang saat Sungjae terlihat seperti membela Lalisa, terlebih lagi tepat di hadapannya. Tampaknya sang profiler memiliki sifat posesif yang sangat parah, hingga berani cemburu pada apa yang bukan miliknya.
Lalisa membiarkan Alexon berkutat dengan cucian piring, sementara dia asyik menonton di belakang laki-laki itu. "Bagaimana dengan kasus SK? Kau sudah menemukan pelakunya?" tanyanya iseng. Mendadak dia merasa penasaran dengan pekerjaan sang profiler.
"Tidak ada petunjuk ataupun jejak," balas Alexon apa adanya, "Sidik jarinya tidak ditemukan dan wajahnya juga tidak terekam di CCTV mana pun. Sosoknya seperti hantu."
"Itu berarti kau tidak akan bisa menangkapnya?"
Alexon tidak langsung menjawab, melainkan dia melepaskan sarung tangan karetnya lebih dulu dan mencuci tangan, kemudian berbalik menghadap Lalisa. "Jika semut saja bisa kau tangkap, lalu kenapa seorang pembunuh tidak bisa?" tantangnya.
"Kau bilang tidak ada petunjuk ataupun jejak," balas Lalisa membalikkan ucapan Alexon sebelumnya. "Lalu, bagaimana bisa menangkapnya?"
Alexon melipat kedua tangan di depan dada dan menatap instens. Dia suka keingintahuan gadis itu. Rasanya ingin mengajari Lalisa banyak hal mengenai pekerjaannya. "SK memang tidak meninggalkan jejak, apa lagi petunjuk, tapi petunjuk bisa ditemukan jika dicari."
"Bagaimana mencarinya jika tidak ada petunjuk sama sekali?" Rasa penasaran Lalisa masih belum terpuaskan. Jadi, dia masih terus melemparkan pertanyaan sampai merasa cukup mengetahui. "Kau tidak mungkin membongkar tanah seluas lapangan bola hanya untuk mencari satu sarang tikus, 'kan?"
Alexon menghampiri dengan tawa geli, kemudian mengacak gemas rambut gadis itu. "Itulah gunanya seorang profiler. Kami mencari sesuatu yang tidak ada, di tempat-tempat yang tidak terduga dengan menggunakan insting."
Lalisa berdecak kagum dalam tatapan memuja. Dia tampak terkesan dengan pekerjaan laki-laki itu. "Kau tidak kesulitan untuk mencari sesuatu tanpa petunjuk?"
"Tentu saja sulit," balas Alexon dengan tawa geli di wajahnya. Dia gemas dengan pertanyaan demi pertanyaan yang dilontarkan padanya. "Tapi juga menyenangkan karena terasa seperti bermain teka-teki sebelum menyelesaikan puzzle."
"Kau terlihat sangat menyukai pekerjaanmu," celetuk Lalisa saat menyadari antusias Alexon setiap kali mereka membicarakan soal pekerjaannya.
"Aku selalu menunjukkan minat pada apa yang aku sukai," balas Alexon sungguh-sungguh, "Kupikir tidak ada yang perlu disembunyikan tentang apa atau siapa yang yang aku suka."
Lalisa terdiam. Sepertinya gadis itu sadar ke mana arah pembicaraan ini mengalir dan Lalisa berniat untuk tidak terlalu memikirkannya karena akan berdampak buruk pada kesehatan jantungnya.
"P-pulanglah." Lalisa gugup. Tatapannya beralih dari sang profiler agar tidak memengaruhinya lebih jauh lagi. "Ini sudah hampir jam sepuluh malam."
Alexon melirik arlojinya dan benar, jam sudah menunjukkan hampir pukul sepuluh malam dan sudah waktunya bagi sang profiler untuk meninggalkan gadis yang disukainya untuk beristirahat.
"Aku akan pulang, tapi setelah kau tidur," sahut Alexon, "Aku hanya ingin memastikan kalau kau tidur nyenyak malam ini."
Lalisa menggeleng dan kembali menatap Alexon. "Pulanglah. Aku sudah baik-baik saja. Aku akan menelepon jika memang tidak bisa tidur," balasnya meyakinkan. Lalisa pikir sang profiler sudah terlalu melakukan banyak hal untuknya dan sudah saatnya untuk membiasakan diri tanpa laki-laki itu. "Terima kasih untuk semuanya."
Alexon menggigit ujung bibirnya. "Kau membuatku takut setiap kali mengucapkan terima kasih," ringisnya.
Jujur saja, baru kali ini Alexon merasa kata 'terima kasih' terasa agak menakutkan untuknya. Rasanya seperti Lalisa akan pergi jauh darinya atau sesuatu yang menjadi pertanda buruk.
Lalisa tertawa kecil dan mendorong pelan punggung Alexon untuk segera keluar dari dapurnya yang tampak sangat bersih, setelah mendapatkan sentuhan seorang ahli.
"Kitten, selama kau tinggal di sini, kau tidak boleh merepotkan ibumu. Kau tidak boleh mengganggunya terutama saat ibumu sedang tidur dan jangan masuk ke kamarnya hanya untuk merontokkan bulumu di dalam sana." Kitten sedang berada di dalam pelukan Alexon dan diberikan titah tegas yang diam-diam membuat Lalisa merona. "Kau paham dengan apa yang ayah tampanmu ini katakan, 'kan?"
"Aku bukan ibunya!" bantah Lalisa dalam setengah rengekan.
"Memangnya siapa yang bilang kau adalah ibunya?" balas Alexon dengan tawa geli. "Kau 'kan pengasuhnya."
Lalisa berdecak jengkel dengan rasa hangat yang diam-diam membuatnya merona dan mengambil alih Kitten. "Pulanglah!" usirnya dengan setengah ketus.
"Selamat malam, Partner." Alexon mengacak rambut Lalisa dengan tawa gelinya. "Jangan rindukan aku atau aku tidak akan bisa tidur nyenyak malam ini." Kedipan jahil menjadi aksi terakhirnya untuk menggoda Lalisa sebelum pergi.
Hanya gelengan yang bisa Lalisa berikan sebagai respons. Tingkah laku Alexon memang sangat ajaib dan penuh kejutan-yang diam-diam membuat gadis itu tenggelam dalam pesona sang profiler tanpa disadari.
"Kitten, sepertinya aku menyukai ayahmu."
**
Setelah sekian lama, akhirnya Lalisa bisa tidur nyenyak tanpa ditemani Alexon ataupun memeluk mantel sang profiler. Gadis itu jatuh tertidur dengan nyenyak satu jam setelah kepergian Alexon.
Gadis itu memulai harinya dengan senyum kecil dan beranjak turun dari kasurnya. "Kitten, kau di mana?" panggilnya sambil mengedarkan pandangan di ruang tamu. Di mana Kitten seharusnya tidur di tempat tidur khususnya, tapi kucing itu tidak terlihat di mana pun. "Kitten, Kitten, Kitten."
Biasanya Kitten akan langsung berlari dengan panggilan beruntun seperti itu, tapi Lalisa tidak melihat kucing itu setelah beberapa kali memanggil.
"Kitten, kau di mana?" Lalisa masih mencari, bahkan sampai berjongkok untuk melihat kolong meja. "Ke mana perginya Kitten?"
Lalisa masih bingung mencari ketika dia melihat sesuatu di lantai yang membuatnya berteriak histeris. Gadis itu menjerit ketakutan hingga jatuh terduduk di depan kulkasnya.
"Kitten," gumamnya tidak percaya. Gadis itu bergetar ketakutan saat melihat tubuh Kitten yang tidak lagi berbentuk dengan lantai berlumuran darah.
Kepala kucing itu hancur total, dengan isi perut yang berceceran. Di samping tubuh hancurnya ada sebuah setrikaan yang juga penuh dengan darah kering. Tampaknya tubuh Kitten dihancurkan dengan setrikaan.
Jantung Lalisa berdebar kencang dengan tubuh menggigil menahan takut. Diam-diam gadis itu menahan napas dengan air mata yang mulai berjatuhan. Lalisa merasa sesak karena rasa takutnya, terlebih saat melihat darah kering di kedua tangan dan menodai pakaiannya semalam.
Ketakutan Lalisa sepertinya benar-benar terjadi.
"Apa aku mengalami episode lagi?"
📍📍📍
Hayoloh, partner kesayangannya si bapak kira-kira sakit apaan? Yang jelas bukan alzheimer, bukan kepribadian ganda, bukan skizofrenia, apalagi HIV/AIDS 😈😈😈😈😈
Manis, 'kan chapter ini? Si bapak udah ada kemajuan kalau camer neleponnya sepuluh menit lagi 🤭🤭🤭🤭
Cantik banget loh mbaknya hari ini pakai seragam, sayang aja rambutnya pendek. Jadi, gak bisa dimasukan buat visualiasi calon masa depannya pak Alek 🤣🤣🤣
Tapi kasian juga karena sebelah matanya bengkak. Entah alergi apa dicipok nyamuk mesum. Pokoknya semoga cepat sembuh aja matanya 😭😭😭😭😭😭
8 Oktober 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro