17. Kiss And Good Night
Yang rindu pak Alek dan anaknya pak walikota absen juseyo 📝
Maaf ngaret, yak, aing gak sibuk sebenarnya, tapi emang malas ngedit di lapak ini aja, makanya lama padahal draf udah kelar dari bulan lalu 🤣🤣🤣🤣
Btw, ini pendek. Cuma 4.3K
Happy reading ~
Berantakan.
Itulah satu kata yang mampu mendeskripsikan rumah Alexon pagi ini. Benar-benar ada pesta semalam yang mengakibatkan sampah berserakan di mana-mana karena ada berbagai jenis makanan yang mereka konsumsi semalam.
Dan bukan hanya Lalisa dan Jung-hoo saja yang menjadi penghuni baru di rumah Alexon, tapi keempat rekan setimnya juga ikut menghuni rumahnya akibat teler.
Namun, tidak seperti Jung-hoo dan Lalisa yang mendapatkan kamar khusus, keempat rekan Alexon hanya menempati ruang tamu sebagai kamar tidur mereka, tapi tetap diberikan fasilitas tidur, seperti bantal dan selimut.
Lalisa sungguh dikelilingi oleh segudang laki-laki tampan di rumah Alexon. Dalam semalam, gadis itu merasa seperti memiliki kehidupan yang baru berkat pertemuannya dengan sang profiler.
"Kunci pintu kamarmu dari dalam dan jangan keluar saat matahari belum terbit. Semua laki-laki yang berada di rumah ini setengah tidak waras." Begitulah cara Alexon menjaga Lalisa di rumahnya, setelah diberikan tanggung jawab dari ayah gadis itu.
Dia tidak ingin mabuknya kelima laki-laki dewasa itu berimbas buruk pada satu-satu gadis yang berada di dekatnya. Mau ditaruh di mana wajah Alexon, jika sesuatu yang tidak diinginkan menimpa Lalisa?
"Termasuk kau?" tanya Lalisa. Dia berdiri di depan pintu kamar yang dalam beberapa waktu ini akan menjadi huniannya. "Kau juga laki-laki, 'kan?"
Alexon tersenyum kecil. Gadis di hadapannya tidak pernah berubah sejak awal pertemuan mereka dan Alexon bersyukur akan hal itu.
"Termasuk aku," kata sang profiler dengan anggukan samar. Laki-laki itu tidak ingin mengecualikan diri hanya karena dia pemilik rumah yang gadis itu tempati saat ini.
Lalisa balas mengangguk dengan bibir yang terkunci rapat. Lalu, gadis itu berpamitan untuk tidur lebih dulu saat jam dinding sudah menunjukkan pukul tiga pagi.
Dan Alexon sendiri sudah bangun sebelum alarmnya berbunyi jam sembilan pagi, bahkan matahari belum sepenuhnya naik. Ada satu hal aneh yang baru sang profiler sadari, yaitu dia selalu bangun lebih pagi setiap Lalisa berada di rumahnya. Seakan Alexon tidak pernah tidur dengan nyenyak saat berada di bawah satu atap yang sama dengan putri walikota itu.
Hal pertama yang Alexon lakukan adalah membereskan meja makannya yang terlihat seperti tumpukan sampah karena penuh dengan sisa-sisa pesta semalam. Sang pemilik rumah kini merangkap menjadi seorang asisten rumah tangga untuk huniannya sendiri, sedangkan semua tamunya masih tertidur pulas.
"Apa kau selalu bangun sepagi ini?"
Alexon menoleh saat mendapati suara orang lain yang sudah sangat dia hafal di dalam kepalanya. Senyum kecil dia berikan pada sosok yang menyapanya.
"Sebenarnya, aku tidak terbiasa bangun pagi, tapi alam bawah sadarku menolak untuk tidur lagi ketika aku bangun lima belas menit lalu," balas Alexon apa adanya. Lalu, lanjut mengumpulkan sampah. "Kau sendiri kenapa sudah bangun? Apa aku akan pergi ke sekolah?"
Mendengar kata 'sekolah' membuat Lalisa menghentikan langkahnya yang sedang menuju kulkas untuk mencari susu-dan sudah menganggap rumah Alexon adalah huniannya sendiri.
"Sudah kukatakan kalau aku tidak akan sekolah, jika Jung-hoo berkeras untuk mengawalku seperti bayangan," sahutnya dengan keluhan yang jengkel.
Alexon menghentikan kegiatannya dan memberikan fokusnya pada Lalisa. "Tapi kau sedang ujian, 'kan?"
"Ujianku sudah selesai," sahut Lalisa setengah ketus, kemudian melanjutkan langkahnya.
Sang profiler hanya mengembuskan napas tanpa membalas kembali jawaban Lalisa. Gadis itu jelas tidak akan mendengarkan siapa pun, selain pikirannya sendiri.
Lalisa menikmati segelas susu putihnya di depan kulkas dengan angkuh, seolah dialah pemiliknya, alih-alih milik Alexon yang dia ambil tanpa izin-yang memang sengaja profiler itu belikan untuk Lalisa kemarin.
"Jadi, kau akan berada di rumah saja hari ini?" Alexon selesai membereskan sampah di atas meja dan menghampiri Lalisa.
"Pertanyaanmu barusan terdengar seperti, 'kapan kau akan pergi dari rumahku'. Kau ingin aku pergi?" Lalisa bertanya dengan skeptis.
Alexon menggeleng tidak habis pikir. Kenapa gadis di depannya ini selalu saja berburuk sangka tanpa pernah mempertimbangkan semua kebaikannya?
"Kau mungkin akan bosan sendirian di sini. Itulah kenapa aku bertanya," balas Alexon dengan sabar.
"Kau sendiri yang bilang kalau aku seperti titanium yang tidak akan hancur, meski diinjak jutaan kali oleh orang banyak, 'kan?" Lalisa membalikkan kata-kata yang pernah Alexon katakan saat dia pertama kali datang ke hunian sang profiler. "Dan aku terlihat seperti gadis yang akan baik-baik saja, bahkan jika tinggal di tengah hutan sendirian. Jadi, jangan khawatir, aku akan mengatasi kebosananku sendiri."
Itu jelas sebuah sarkasme untuk Alexon, tapi anehnya laki-laki itu malah menanggapi dengan senyum kecil, seolah menyukai apa yang baru saja didengarnya.
Sebenarnya, apa yang terjadi pada Alexon? Kenapa dia selalu tersenyum pada Lalisa, bahkan ketika gadis itu sudah menghancurkan hatinya menjadi kepingan kecil yang tidak berarti?
"Baiklah, lakukan apa saja yang ingin kau lakukan di rumahku." Alexon hanya bisa mengalah pada akhirnya dan membiarkan gadis itu melakukan apa saja yang diinginkan. "Tapi saat kau pergi keluar, pastikan untuk mengajak Jung-hoo juga."
Hati Lalisa merasa hangat dengan perhatian kecil yang tidak pernah berhenti Alexon berikan padanya, tapi respons yang gadis itu berikan adalah bola mata yang berputar malas.
"Berhenti memperlakukanku seperti anak-anak," keluhnya pada sang profiler, "Aku bukan tanggung jawabmu."
Lalisa masih berdiri di depan kulkas dengan Alexon yang berjarak lima kaki darinya, tapi laki-laki itu mengikis jarak dan menghimpit tubuhnya.
Alexon yang sedikit lebih tinggi darinya, membuat Lalisa harus mendongak untuk menatap laki-laki di depannya. Putri Walikota Jung itu mulai terserang rasa panik, tapi mencoba untuk terlihat tidak terpengaruh-meski jantungnya berdetak tidak karuan.
"Selama kau berada di rumah ini, maka kau adalah tanggung jawabku." Suara Alexon merendah dengan penekanan tegas yang menunjukkan kekuasaannya atas Lalisa. "Dan selama kau menjadi tanggung jawabku, pastikan kau tidak akan bertindak sembarangan yang berujung dengan membahayakan dirimu sendiri."
Untuk pertama kalinya Lalisa dibuat diam tidak berkutik, bahkan sekadar menarik napas saja sulit dilakukan gadis itu sekarang. Alexon lebih mendominasi untuk situasi yang satu ini dan Lalisa dibuat mengkerut di bawah kulitnya sendiri.
Alexon jelas bersikap lebih dewasa daripada Lalisa di setiap tindakan, mengingat usianya yang delapan tahun lebih tua dari remaja cantik di depannya-meski terkadang laki-laki itu juga bisa bertindak sangat kekanak-kanakan.
"Berhenti membuatku khawatir padamu, Lalisa," kata Alexon setengah berbisik. Dia memandang ke dalam mata gadis yang berada sedikit lebih rendah darinya. "Aku hampir gila karena mengkhawatirkanmu."
Lalisa pikir, dia akan pingsan saat ini juga karena Alexon membuat lututnya lemas dan nyaris tidak bisa berdiri, jika tidak menahan dirinya pada pintu kulkas.
"Jadi, pastikan kau tidak terluka, Lalisa," kata Alexon mengingatkan terakhir kali, sebelum dia meninggalkan gadis itu untuk membuang semua sampahnya.
Alexon pergi dan Lalisa jatuh terduduk dengan jantung yang meledak-ledak dan napas memburu. Gadis itu bahkan menahan napas karena tidak sanggup menangani kekhawatiran sang profiler yang terasa menyentuh setiap sudut sarafnya.
"Apa yang terjadi padaku?" Lalisa bergumam sambil memegang dadanya. "Kenapa rasanya begitu berdebar saat menatapnya dari jarak sedekat itu?"
Lalisa masih sibuk mengatur respons tubuhnya yang bisa dibilang sangat tidak biasa, ketika Ji Hoon memergokinya yang masih terduduk lemah di lantai.
"Lalisa, kau baik-baik saja?" Ji Hoon bertanya dengan rasa ingin tahu. Dia bahkan membungkuk sedikit untuk melihat gadis itu dengan lebih jelas.
Lalisa mengangguk canggung dan buru-buru berdiri dari dengan susah payah karena masih merasa sedikit lemah. "Aku baik-baik saja, hanya ... aku permisi." Gadis itu kabur untuk menghindari pertanyaan Ji Hoon dan melindungi sisa harga dirinya yang baru saja hilang di depan sang profiler.
Ji Hoon menatap Lalisa dengan bingung, tapi tidak berkomentar karena harus buru-buru pergi ke kamar mandi.
Pukul sebelas siang, keempat rekan Alexon pamit untuk pergi ke kantor lebih dulu. Sementara sang pemilik membereskan sisa-sisa kekacauan di rumahnya setelah memberikan sup penghilang pengar pada semua orang.
"Hyung, aku meninggalkan berkas SK di halaman depan!" Jinyoung berteriak dari luar dengan mengerahkan semua tenaganya yang masih tertidur sebagian. "Jangan lupa untuk datang ke kantor nanti!"
Alexon tidak membalas karena sibuk menyusun isi kulkasnya yang sangat berantakan dan mengambil berkasnya lima menit kemudian dan menyimpan di dalam kamar yang dia tempati sementara.
📍📍📍
"Di mana Lalisa?" Alexon bertanya pada Jung-hoo ketika baru saja kembali ke rumahnya dan menemukan pengawal pribadi sang walikota di ruang tamu, berdiri di depan koleksi miniaturnya dan memegang salah satunya.
Jung-hoo membalikkan tubuh dan sadar ke mana arah pandangan Alexon. Lalu, buru-buru mengembalikan miniatur mobil-mobilan yang dipegangnya ke tempat semula dengan senyum canggung.
"Maaf, aku tidak bermaksud untuk menyentuhnya," kata Jung-hoo dengan ringisan, "Tidak ada yang bisa kulakukan sepanjang hari. Jadi, aku melihat-lihat koleksimu dan bermaksud untuk menatanya karena terlihat agak berantakan."
Alexon mengangguk singkat dengan senyum kecil. "Tidak apa-apa. Aku memang sudah lama tidak memperhatikan koleksiku karena terlalu sibuk. Justru aku ingin berterima kasih karena mau merapikannya untukku."
"Ah, sepertinya Nona Muda ada di kamar," celetuk Jung-hoo saat teringat pertanyaan Alexon.
Alexon mengangguk. "Kalian tidak ke mana-mana hari ini?"
"Nona Muda tidak pergi ke mana pun. Jadi, aku juga tidak pergi," jawab Jung-hoo apa adanya. Terlihat sekali kalau dia bosan.
Alexon mengangguk singkat, kemudian pamit pada Jung-hoo untuk naik ke lantai dua. Pintu kamar utamanya tertutup, membuat laki-laki itu harus mengetuk lebih dulu untuk memastikan, apakah ada orang atau tidak di dalam sana.
"Lalisa, apa kau di dalam?" Alexon mengetuk dan menunggu jawaban, tapi lima detik berlalu dan tidak ada balasan. "Lalisa?"
Dengan sedikit ragu, Alexon menekan turun gagang pintunya dan ternyata Lalisa tidak menguncinya. Masih dengan keraguan yang begitu banyak, Alexon memberanikan diri untuk mendorong dan melihat lebih jauh seisi kamarnya-dengan harapan tidak akan dikejutkan oleh apa pun.
Senyum kecil tercetak di bibir Alexon, kala melihat Lalisa yang tertidur pulas di atas ranjang super besar dan nyaman milik sang profiler yang beraroma sangat khas dan menenangkan.
Alexon menghampiri Lalisa dan menatap gadis itu dari dekat. "Ini sudah malam, tapi kenapa dia masih tidur? Apa dia kelelahan karena pesta semalam atau psikisnya masih tertekan?"
Jujur saja, Alexon merasa sangat iba pada gadis yang tertidur pulas di atas ranjangnya. Lalisa terlihat begitu kuat di luar, tapi sangat rapuh di dalam. Ada banyak luka di hatinya yang menjadikan gadis itu membentengi diri dari dunia luar. Luka yang ditorehkan begitu dalam, hingga mampu membentuk sosok sekeras Lalisa yang Alexon kenal saat ini.
Lalisa terlihat begitu lelah dalam tidurnya. Rambutnya kusut karena dibiarkan tergerai, pipinya terlihat memiliki lipatan samar, dan selimut yang nyaris berada di ujung kaki gadis itu membuat Alexon menggeleng geli, sekaligus gemas.
Dengan hati-hati dan tanpa ingin mengganggu, Alexon membenarkan posisi selimut Lalisa sampai sebatas perut, merapikan rambut kusut gadis itu, dan mengusap kening yang masih meninggalkan memar. Alexon duduk di tepi kasur dan menatap wajah damai Lalisa dengan begitu lekat. Sesekali tangannya mengusap pipi gadis itu yang memiliki garis samar akibat luka malam itu.
Alexon tidak pernah memikirkan hal ini sebelumnya, tapi alam bawah sadar laki-laki itu menggerakkan seluruh persendiannya untuk mendekatkan wajah pada Lalisa, kemudian mengecup kening gadis itu dengan penuh perasaan. Ada rasa hangat yang mengalir di bawah permukaan kulit Alexon, bahkan ketika gadis itu tidak memberikan respons.
"Alexon, ini tidak masuk akal." Laki-laki itu bergumam tidak habis pikir dengan apa yang baru saja dia lakukan. Rasanya seperti Alexon menjadi seorang pedofil karena menyukai gadis belasan tahun seperti Lalisa. "Menjijikkan!"
Dari sekian banyak lawan jenis yang pernah Alexon temui, kenapa dia harus tertarik dengan Lalisa? Seorang gadis remaja yang begitu kasar dan tidak punya sopan santun. Jauh sekali dari gadis impian yang ingin Alexon kencani, bahkan dia tidak pernah membayangkan akan bertemu dengan gadis seperti Lalisa, apalagi memiliki ketertarikan.
"Kau bukan seorang pedofil, Alexon!" Sang profiler menggeram pada dirinya sendiri dengan gigi gemertak. Berusaha untuk menarik kembali akal sehatnya yang sering berlarian sejak bertemu dengan gadis itu. "Lalisa bahkan masih di bawah umur! Berhenti tertarik padanya."
Berkutat dengan masalah perasaan dan logika memang tidak pernah ada habisnya, hanya dengan memikirkannya saja sudah membuat Alexon pusing sepanjang malam dan membuatnya tidak bisa tidur.
Alexon memandang Lalisa untuk kali terakhir, sebelum memutuskan keluar agar gadis itu bisa beristirahat dengan tenang.
Pintu terdengar ditutup dengan lembut dan Lalisa membuka mata yang sejak tadi tertutup rapat. Gadis itu tidak berpura-pura tidur untuk mendapatkan perhatian dari sang profiler, tapi dia benar-benar tertidur dan mulai terjaga ketika Alexon mengusap pipinya.
Lalisa menarik punggungnya dan duduk menatap pintu. Hatinya tergelitik saat Alexon berusaha untuk menepis perasaan yang dimiliki untuknya. Gadis itu pikir sang profiler begitu jatuh hati padanya.
"Sebenarnya, apa yang dia lihat dariku?" Lalisa bergumam tidak habis pikir. Ada begitu banyak wanita di belahan bumi ini, tapi laki-laki itu malah menjatuhkan pilihan padanya, membuat Lalisa benar-benar tidak habis pikir. "Apa aku begitu spesial di matanya?"
Berterima kasih pada Tuhan adalah hal yang harus Lalisa lakukan karena sudah mengirimkan Alexon ke dalam hidupnya dan membawa kembali segala kebahagiaan yang pernah hilang darinya.
"Haruskah aku memberikan kesempatan padanya?" gumam Lalisa. Dia mempertimbangkan kehadiran sang profiler di sisinya dan harus mengakui kalau sebagian dirinya sudah mulai bergantung pada Alexon. Terlebih lagi laki-laki itu sudah melakukan banyak hal untuknya yang tidak terhitung lagi dan penjelasan Jinyoung semalam semakin menambah kepercayaan Lalisa pada sang profiler.
"Semua orang berhak untuk mendapat kesempatan, 'kan?"
Setidaknya perlu waktu satu jam bagi Lalisa untuk berpikir dengan mempertimbangkan segala hal dari berbagai macam sudut kemungkinan.
Lalisa beranjak turun dari kasur dan keluar kamar untuk mencari sang profiler. Gadis itu mencari di kamar sebelah, tapi sepertinya Alexon tidak ada di dalam, kemudian beralih pada kamar mandi yang pertama kali dia gunakan pagi itu, tapi sang profiler juga tidak ada di sana. Lalu, Lalisa turun ke lantai bawah.
"Kau melihat Alexon?" Lalisa bertanya pada Jung-hoo yang masih berada di ruang tamu, tapi kali ini dengan kesibukan membaca koran.
"Katanya dia akan naik ke lantai atas. Dia juga mencarimu tadi," balas Jung-hoo apa adanya, "Tapi aku tidak melihatnya lagi."
Lalisa hanya mengangguk sebagai balasan, kemudian kembali mencari Alexon.
"Ke mana perginya dia?" Lalisa bergumam seraya terus melangkah dan mencari.
"Apa yang sedang kau cari?"
Lalisa tersentak saat ada suara yang bergetar di telinganya. Gadis itu menoleh dan mendapati Alexon yang berdiri di sampingnya dengan sedikit debu yang menempel pada wajah tampan itu.
"Kau."
"Kau mencariku?" Alexon menunjuk dirinya sendiri dengan ketidakpercayaan. Ada keterkejutan di dalam binar matanya, tapi laki-laki itu mengendalikan diri dengan cepat.
Lalisa mengangguk singkat.
"Kau memerlukan sesuatu?" tanya Alexon.
Lalisa bingung harus membalas apa. Dia tidak tahu harus memulai pembicaraan dari mana. Gadis itu tidak pandai merangkai kata seperti Alexon, membuatnya kesulitan saat akan jujur.
"Aku ...." Lalisa menggantungkan katanya di udara, menatap dinding untuk meredakan gugupnya dan berusaha keras untuk tidak melihat ke arah Alexon.
Detik demi detik berlalu, tapi Lalisa belum juga melanjutkan kalimatnya, sementara Alexon masih menunggu apa yang ingin gadis itu katakan.
"Aku lapar."
Benar-benar sebuah alasan bodoh dari seorang Lalisa yang sedang dilanda gugup. Dari sekian banyak alasan, kenapa dia harus mengatakan kebodohan itu dan mempermalukan diri sendiri?
Mungkin Alexon terlalu jatuh hati pada Lalisa, hingga kebodohan gadis itu terasa menggemaskan di matanya saat ini, membuat kedua sudut bibirnya sedikit terangkat.
"Aku akan memesan makanan nanti. Apa yang ingin kau makan?"
"Kau tidak akan memasak?" tanya Lalisa dengan nada sedikit kecewa.
"Aku sedang membereskan gudang," jawab Alexon apa adanya, "Jadi, tidak ada waktu untuk memasak."
Lalisa mendengus sebal, tapi tidak berkomentar apa pun karena merasa tidak memiliki hak untuk memaksa Alexon agar memasak.
"Lalisa, sebenarnya apa yang ingin kau katakan?" Alexon menahan geli di wajahnya sambil melipat kedua tangan di depan dada. Dia sudah memperhatikan gelagat gadis itu yang terlihat sedikit aneh sejak berbicara dengannya. "Kau mencariku bukan untuk mengeluh lapar. Ada sesuatu yang lebih penting yang ingin kau katakan padaku. Iya, 'kan?"
Lalisa menggeleng, mencoba untuk membantah meski wajahnya yang merah padam sudah cukup menjadi bukti.
Tingkah Lalisa benar-benar sangat lucu di mata Alexon. Gadis itu terlihat sangat menggemaskan jika sedang menahan malu.
Alexon menarik tangan Lalisa, menuntun gadis itu untuk duduk di meja makan dekat dapur dan duduk berhadapan.
"Sekarang katakan apa yang ingin kau bicarakan," kata Alexon mempersilakan. Dia menopangkan kedua tangan di bawah dagu dan menatap dengan begitu intens. "Jangan memaksaku untuk membaca ekspresimu karena kau tidak akan menyukainya, Lalisa."
Lalisa lupa dengan kemampuan membaca Alexon yang memang berada di atas rata-rata orang pada umumnya, yang dengan mudah mengetahui kalau dia sedang menyembunyikan sesuatu.
Gadis itu menelan saliva, mempersiapkan diri untuk mengatakan tujuannya. "Tentang persaanmu ...."
"Sudah kukatakan kalau kau tidak perlu memikirkannya," sahut Alexon ketika Lalisa menggantung katanya dengan begitu lama, "Aku akan mengatasi perasaanku sendiri. Jadi, tinggallah dengan nyaman di sini dan jangan pikirkan tentangku."
"Bagaimana kau akan mengatasinya?" Lalisa terdengar serius dalam suaranya dan terlihat agak jengkel saat Alexon mengatakan akan mengatasi perasaannya sendiri.
"Ada berbagai macam cara untuk mengatasi cinta bertepuk sebelah tangan," balas Alexon dengan tawa geli. Dia terlihat begitu santai dalam obrolan seriusnya dan Lalisa. "Kau tidak perlu khawatir. Ini bukan apa-apa."
Lalisa mendecih tipis dan tersenyum hambar. Laki-laki di hadapannya ini jelas terlihat mudah untuk jatuh cinta dan mudah juga untuk melepaskan. Alexon berbicara seolah ini sama sekali tidak berarti, padahal Lalisa sedang berusaha untuk membuka hati.
"Kalau begitu, lanjutkan saja untuk mengatasi cinta bertepuk sebelah tanganmu itu," desisnya dengan sarkasme. Lalu, meninggalkan Alexon yang diam-diam menahan tawa.
Tawa gelinya berubah menjadi senyum yang hangat di wajah Alexon. "Kau tidak perlu terburu-buru, Lalisa," katanya pelan, "Perasaanmu adalah yang paling penting."
Alexon tahu apa yang ingin Lalisa bicarakan. Gerakan canggung gadis itu menjadi bukti kalau Lalisa sedang ragu untuk mengatakan sesuatu-sesuatu yang sulit untuk diungkapkan secara terbuka-dan sang profiler bisa membacanya dengan mudah.
Lalisa cenderung menutupi kegugupannya dengan sebuah sarkasme dan yang gadis itu ucapkan terakhir tadi menjelaskan kalau dia baru saja tersinggung dan merasa tidak senang dengan apa yang didengarnya. Suara gadis itu terdengar jengkel dengan tatapan berapi-api, menandakan kalau Lalisa sedang menahan amarahnya.
Lalu, dari cara gadis itu mendorong kursi dengan kasar dan memukul meja sambil mencibir memberikan Alexon satu keyakinan tambahan, gadis itu merajuk padanya.
Alexon pikir, Lalisa pasti sedang menggerutu padanya. Dia tidak berpikir untuk menjalin hubungan secepat ini dengan gadis itu. Untuk sementara ini, sang profiler hanya ingin menghilangkan trauma Lalisa dan membantu gadis itu menata kehidupan yang baru. Tentang perasaan yang terbalaskan atau tidak, Alexon akan mengurusnya belakangan.
📍📍📍
Kehadiran Jung-hoo dan Lalisa tidak membawa banyak perubahan pada suasana rumahnya. Untuk saat-saat tertentu, dia tetap merasa tinggal sendiri tanpa ada siapa pun yang menemani. Seperti saat ini, Alexon sedang berkutat dengan berkas Sweetest Killer di ruang tengahnya. Laki-laki itu memang lebih menyukai suasana di lantai dasar, ketimbang di ruangan mana pun, termasuk kamarnya.
Alexon sibuk membandingkan satu gambar dengan gambar lainnya. Dia sedang berusaha untuk menemukan petunjuk lainnya yang terlewat selama ini. Laki-laki itu pikir, ada banyak bagian yang mereka lewatkan dari kasus Sweetest Killer sebelumnya. Sesuatu yang tidak mencolok, tapi tidak juga tersembunyi.
"SK mungkin menyelipkan kamera tersembunyi di setiap rumah korbannya," gumamnya sambil mengetukkan jari pada meja. "Apa dia juga mengancam korbannya dengan video ranjang?"
Ada banyak kemungkinan yang terlintas di benak Alexon. Setelah kasus kematian Ye-jin, laki-laki itu merasa semakin dekat dengan sosok Sweetest Killer, tapi juga merasa sangat jauh karena dipermainkan. Tidak ada sidik jari, tidak ada juga rekaman yang terlihat jelas.
Ada enam perbandingan kamar yang Alexon miliki-termasuk kamar Ye-Jin di hari sosok Sweetest Killer nyaris tertangkap-ada satu hal yang baru saja Alexon sadari, yaitu tata letak benda yang terlihat begitu rapi di setiap kamar seolah dirapikan lebih dulu sebelum ditinggalkan.
Orang terakhir yang berada di tempat kejadian hanyalah Sweetest Killer. Kemungkinan terbesarnya adalah laki-laki itu merapikan tempat kejadian untuk memastikan tidak aja jejak yang tertinggal dan sejauh ini memang tidak ada jejak yang ditinggalkan.
"Dia adalah tipe orang yang perfeksionis," gumam Alexon sambil melihat-lihat kertasnya berulang kali. "Atau yang lebih parahnya lagi dia pengidap *OCD."
*Obsessive Compulsive Disorder: gangguan mental yang menyebabkan penderitanya merasa harus melakukan suatu tindakan secara berulang-ulang.
Jika Sweetest Killer adalah salah satu di antara keduanya, wajar kalau setiap aksinya tidak pernah meninggalkan jejak karena laki-laki itu selalu teliti dalam setiap pergerakan dan tidak pernah meninggalkan rumah korbannya dalam keadaan berantakan.
Sang profiler beralih pada laptopnya, memutar kembali puluhan rekaman yang sudah dia salin untuk mencari sosok Sweetest Killer. Dari puluhan, harusnya ada satu yang merekam sosok itu dengan jelas. Alexon sudah melihatnya, hanya saja masih terasa janggal karena tidak menemukan laki-laki yang dicurigai sebagai sosok Sweetest Killer, padahal jelas-jelas sosoknya sempat terekam di berapa kamera, tapi selalu hilang bak di telan bumi.
"Kau sedang apa?"
Alexon menoleh dan mendapati Lalisa yang sedang mengintip dari belakang sofa. "Hanya melihat-lihat kasus. Kenapa kau tidak tidur? Ini sudah tengah malam."
Lalisa memutari sofa dan duduk sana, sementara sang profiler duduk di lantai. "Aku tidak bisa tidur," keluhnya.
"Kenapa?"
"Entahlah, aku hanya tidak bisa tidur saja. Mataku selalu terbuka setiap kali mencoba untuk tidur."
Alexon pikir alam bawah sadar gadis itu masih tertekan, membuat Lalisa merasa takut bahkan untuk sekadar menutup matanya.
Tanpa mengatakan apa pun, Alexon berdiri dan mengulurkan tangannya pada Lalisa. "Aku akan menemanimu tidur."
"Aku datang bukan untuk memintamu menemaniku," bantah Lalisa kuat.
"Aku akan menemanimu secara sukarela."
Lalisa pikir dia tidak memiliki alasan untuk menolak tawaran Alexon. Gadis itu benar-benar tidak bisa tidur malam ini, begitu pula dengan malam sebelumnya-dan melupakan kejengkelannya pada sang profiler beberapa jam lalu.
Saat bertemu Alexon di dapur tadi pagi, sebenarnya Lalisa sama sekali belum tidur. Tidak ada yang dia lakukan setelah pesta makan, selain duduk diam di kamar. Gadis itu baru jatuh tertidur setelah hampir tengah hari. Itulah kenapa dia masih tertidur saat Alexon pulang tadi, Lalisa sedang mengisi daya tubuhnya yang terkuras habis karena tidak beristirahat di saat semua orang terlelap dengan mimpi indah masing-masing.
"Kau ingin lampu menyala atau tidak?" tanya Alexon saat Lalisa sudah siap di atas tempat tidurnya.
"Aku tidak suka gelap."
Alexon mengangguk dan mengurungkan niatnya untuk mematikan lampu, kemudian duduk di sofa yang berjarak tiga meter dari kasurnya.
"Alexon, apa aku bisa bertanya sesuatu?" Lalisa membuka pembicaraan karena kantuk belum juga menyerangnya. Dia berbaring menghadap Alexon sambil memeluk selimutnya.
Alexon yang tadinya sibuk dengan ponsel, langsung mengangkat pandangan untuk menatap Lalisa. "Tentang apa?"
"Saat kau terlambat datang-"
"Aku menolong ayahmu." Alexon memotong cepat pertanyaan Lalisa dengan senyum tipis. "Dia pingsan di depan mobilku saat akan menyeberang."
"Kau menolong ayahku?" Mata Lalisa membulat terkejut. Dari sekian banyak orang kenapa ayahnya yang harus ditolong oleh sang profiler? "Lalu, kenapa kau tidak menjelaskan apa pun saat bertemu dengannya kemarin?"
"Masalah itu sudah lewat. Jadi, tidak ada alasan untuk membahasnya sekarang," balas Alexon apa adanya.
Lalisa benar-benar tidak habis pikir, hingga dia mengubah posisinya menjadi duduk dan menatap laki-laki itu dengan penasaran.
"Lalu, saat aku menuduhmu tidak memberikan kabar, kenapa kau diam saja dan tidak membela diri, padahal kau jelas-jelas mengirimkan pesan dan mengatakan keterlambatanmu.'
"Karena aku tahu, kau tidak akan mendengarkanku," balas Alexon ringan. Dia seolah tahu dengan apa yang akan gadis itu lakukan. "Dan akan lebih memalukan lagi, jika aku membuatmu memeriksa pesan masuk di ponselmu malam itu."
Wah, Lalisa benar-benar tidak mengerti dengan cara berpikir sang profiler, bukannya memamerkan di depan Lalisa karena sudah menolong ayahnya, laki-laki itu justru bungkam tanpa ingin membahasnya lebih dulu dan yang lebih konyolnya lagi, Alexon rela disalahkan bahkan disakiti hanya karena tidak ingin mempermalukan Lalisa malam itu.
Lalu, saat Lalisa bertanya mengenai bagaimana laki-laki itu menemukannya, Alexon sama sekali tidak mengatakan hal yang sebenarnya dan mengiakan anggapan Lalisa yang meremehkan perjuangan melewati aliran sampah dan lumpur, tanpa ada niat untuk menyombongkan diri dengan menceritakan hal yang sebenarnya-bahkan setelah Jinyoung membongkarnya itu tetap tidak membuat Alexon pamer di hadapan Lalisa dan malah bersikap seolah tidak terjadi apa pun.
Lalisa menatap dengan penuh rasa ingin tahu yang kental. Ada rasa ingin membongkar isi kepala laki-laki itu, agar Lalisa bisa tahu apa saja yang berada di dalamnya, hingga sang profiler terlihat begitu tidak waras di matanya-setelah semua yang Alexon lakukan.
"Apa kau selalu bersikap seperti ini pada setiap gadis?" Lalisa bertanya, tapi nada bicaranya terdengar menuduh karena jengkel.
Alexon menyandarkan punggung pada sandaran sofa dan menatap dengan sedikit geli. "Apa kau bisa menjelaskan maksud 'seperti ini' yang kau bicarakan?"
"Mengalah pada lawan bicaramu."
"Aku tidak pernah mengalah pada siapa pun." Alexon menjawab dengan gelengan singkat. "Aku hanya mengalah padamu."
"Kau pasti bohong," decih Lalisa dengan sinis. Wajahnya terlihat begitu tidak suka-dan sedikit menunjukkan kecemburuannya.
"Lalu, apa gunanya aku berbohong?" tantang Alexon, "Apa itu akan menarik simpatimu?"
Lalisa terdiam. Sejak awal dia merasa ada yang berbeda dengan lawan bicaranya ini-sesuatu yang tidak ingin laki-laki itu tunjukan, tapi selalu membuat Lalisa terkesan diam-diam.
"Lain kali, kau tidak perlu mengalah jika memang itu salahku." Lalisa meminta dengan begitu tulus. Dia tidak ingin terus-terusan dimanjakan oleh sang profiler karena akan berimbas buruk pada kebiasaannya. "Kau tidak boleh membenarkan sesuatu yang salah."
Alexon tersenyum kagum dengan gadis di hadapannya. Lalisa jelas tidak seperti gadis kebanyakan yang manja dan selalu ingin menang sendiri.
"Tidurlah. Kau terus berbicara sejak tadi," kata Alexon mengingatkan. Dia tidak ingin membahas tentang perlakuan khusus yang diberikannya pada gadis itu.
"Kau akan tetap di sana, 'kan?" tanya Lisa memastikan.
"Aku tidak akan ke mana-mana," balas Alexon menyanggupi, "Tidurlah dengan nyenyak dan jangan mimpikan aku."
Apa Alexon baru saja menggoda Lalisa? Kenapa gadis itu merasa malu karena penuturan terakhir sang profiler, padahal jelas-jelas Alexon mengatakan hal yang sebaliknya.
Dengan penuh kehati-hatian, Lalisa merapatkan punggungnya pada kasur, kemudian berbalik untuk membelakangi Alexon dan menutup seluruh tubuh dengan selimut.
Di dalam selimutnya, Lalisa berpikir dengan begitu keras. Dia masih bertanya-tanya tentang perasaan sang profiler padanya. Sikap laki-laki itu sama sekali tidak bisa ditebak, membuat Lalisa ragu setengah mampus untuk memberikan kesempatan.
"Alexon," panggilnya.
"Ya?"
"Selamat malam," gumam Lalisa dengan begitu pelan.
Mendengar ucapan selamat malam dari gadis yang dia sukai, membuat hati Alexon terasa hangat. Hanya seuntai kata singkat yang bisa dia dapatkan dari siapa pun, tapi rasanya begitu berbeda saat mendengarnya dari seorang Lalisa.
"Selamat malam, Lalisa," balas Alexon tulus.
📍📍📍
Bahagianya pak alek tuh sederhana banget, cuma dengar Lalisa ngasih tau nama dia tanpa diminta dan dengar ucapan selamat malam udah bikin pak alek hangat luar dalam 🤣🤣🤣
Gak kebayang gimana nanti kalau mbaknya sudah menerima kehadiran si bapak dengan tangan terbuka tanpa gengsi 🤭🤭
Auto terjun payung kayaknya buat selebrasi 🤣🤣🤣🤣
18 Agustus 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro