13. Just a Loser
Selamat bergalau ria bersama pak Alek.
Happy reading ~
Jujur saja, Lalisa merasa tidak nyaman dengan sosok Sungjae yang seakan ingin berada dekat dengannya. Tidak berbeda jauh dengan Alexon sebenarnya, tapi gadis itu merasa berkali-kali lipat tidak nyaman dengan kehadiran teman barunya itu. Itulah kenapa dia meminta Alexon untuk datang ke kafe tempo hari dan sering kali menghindari Sungjae.
Lalisa melempar ponselnya ke sembarang arah, setelah ada pesan masuk dari Sungjae. Gadis itu sama sekali tidak berminat untuk membalas dan bukan pesan dari laki-laki itu yang dia tunggu.
Tidak, tidak. Lalisa tidak menunggu pesan siapa pun hari ini. Dia hanya merasa bosan dengan ponselnya, itulah kenapa dia membuangnya tadi.
"Lalisa, kau belum pulang?"
Merasa namanya disebut, gadis berponi itu menoleh dan mendapati Prof. Song yang baru saja memasuki ruangan ibunya.
"Aku akan pulang sebentar lagi," balas Lalisa dengan senyum kecil.
Profesor Song membalas dengan anggukan ringan. Dia berjalan mendekati Lalisa dan ibunya yang masih terbaring lemah dengan alat bantu pernapasan.
"Belakangan ini kau selalu pulang larut malam," kata Prof. Song setelah mengingat kembali hari-hari sebelumnya, di mana dia sering melihat gadis itu masih di rumah sakit saat lewat jam sepuluh malam.
Lagi-lagi Lalisa membalas lewat senyum kecil. "Aku memiliki waktu yang sulit akhir-akhir ini. Itulah kenapa aku ingin terus bersama ibuku."
Profesor Song merasa agak prihatin sebenarnya, tapi tidak bisa melakukan apa pun untuk membangunkan wanita yang sedang koma ini dan tidak ada juga yang bisa dia lakukan untuk Lalisa.
"Kondisi ibumu masih sama seperti biasa. Belum ada kemajuan yang menunjukkan kalau dia akan sadar dalam waktu dekat," kata Prof. Song nada penyesalan yang kental.
Lalisa memaksa dirinya untuk memberikan senyum tipis pada dokter paruh baya itu. "Setidaknya, aku masih bisa melihat ibuku setiap hari. Ini jauh lebih baik, ketimbang tidak bisa melihatnya sama sekali."
Profesor Song menepuk pelan bahu Lalisa. Dia pikir, Lalisa adalah gadis terkuat yang pernah ditemuinya selama ini. Gadis itu bahkan tidak menunjukkan diri di depan semua orang, sebagai putri dari walikota, melainkan gadis itu asyik bersembunyi di balik kejamnya dunia politik.
Keberadaan Lalisa sebagai putri Jung Woo Sung tidak diketahui oleh banyak orang, bahkan hanya beberapa staf rumah sakit yang mengetahui tentang identitas gadis itu dan rahasia Lalisa tetap aman, karena bagaimanapun juga rumah sakit tempat dirawatnya sang ibu berada di bawah nama ayahnya.
"Pulanglah, ini sudah larut malam," kata Prof. Song mengingatkan, "Besok kau juga harus sekolah, 'kan?"
Lalisa mengangguk. Dia mengikuti saran Prof. Song dan segera mengambil tasnya, berpamitan pada dokter senior itu. Lalu, segera melangkah pulang.
Malam ini cuaca cukup dingin dan Lalisa masih mengenakan mantel Alexon yang sama sekali belum gadis itu cuci, sejak kali pertama dia memilikinya. Lalisa hanya tidak ingin, jika wangi khas laki-laki itu hilang saat mantelnya dicuci. Gadis berponi itu masih ingin menikmati aroma yang tidak bisa dia hirup dalam beberapa terakhir dan berniat untuk mencuci jika wangi profiler menyebalkan itu sudah hilang sepenuhnya.
Harusnya, Lalisa turun diperhentian bus tempat biasa Alexon menurunkannya, tapi gadis itu memilih jalan memutar untuk sampai ke apartemen dengan alasan ingin berjalan-jalan sebentar. Namun, Lalisa lupa sudah pukul berapa ketika dia memutuskan untuk berjalan kaki.
Gelapnya malam tidak membuat gadis itu takut dan sepinya jalanan juga tidak membuat Lalisa buru-buru ingin sampai ke apartemennya. Justru putri walikota itu terlihat begitu menikmati suasana sekarang.
Harusnya, semua berjalan lancar sampai Lalisa tiba di apartemen seperti biasa, tapi hari ini tidak seperti hari-hari biasanya. Gadis itu merasa seperti sedang diawasi, juga dia mendengar gesekan sepatu selain miliknya sendiri.
Sudah dua kali Lalisa mengambil belokan pendek dan langkah kaki di belakang masih terus mengikuti, membuat gadis itu merasa kurang nyaman dengan situasinya saat ini. Kanan dan kirinya hanya ada tembok batu, tanpa ada bangunan lainnya karena Lalisa baru saja memasuki jalan kecil sepanjang 100 meter yang menjadi penghubung antara satu jalan besar ke jalan lainnya-yang sangat jarang dilewati.
Lalisa menghentikan langkahnya dan gesekan sepatu di belakang juga ikut berhenti. Lalu, saat Lalisa menoleh orang itu seakan sibuk dengan ponselnya dan ketika gadis itu kembali melangkah, sosok di belakangnya juga ikut.
Gadis itu mulai diserang rasa panik. Dia yang sebelumnya tidak pernah merasa takut, sekarang justru malah terlihat ingin menangis, ditelan oleh ketakutan yang sebelumnya tidak pernah dia rasakan.
Satu-satunya yang bisa Lalisa pikirkan sekarang hanyalah Alexon. Dari sekian banyak orang, hanya laki-laki itu yang terlintas di benaknya saat ini. Buru-buru dia mengambil ponsel dan menghubungi sang profiler.
Nada sambung terdengar berkali-kali, tapi tidak kunjung dijawab oleh pemilik telepon, membuat Lalisa gemetaran dalam langkahnya.
"Alexon angkat, kumohon," gumam gadis itu, "Apa kau benar-benar tidak sudi untuk mengangkat teleponku?"
Sungguh, Lalisa sangat takut sekarang dan hanya Alexon yang bisa gadis itu pikirkan. Harusnya yang Lalisa telepon itu Pusat Layanan Darurat dan bukannya Alexon yang sudah ingin menutup hati untuknya.
Lalisa tidak ingin menoleh karena langkah kaki lain masih terdengar di belakangnya. Setidaknya, gadis itu harus bersikap seperti tidak tahu apa pun, agar sosok yang mengikutinya tidak merasa terancam balik.
"Alexon kau di mana? Aku membutuhkanmu." Lalisa sudah akan menangis karena ketakutan yang terus menggigitnya, hingga rasanya ingin mati saja. "Angkat teleponnya, kumohon."
"Apa-"
"Alexon, tolong aku. Ada seseorang yang mengikutiku sejak tadi." Lalisa memotong cepat pertanyaan Alexon di sebarang sana.
Untuk kali pertama, Lalisa mendengar ketakutannya sendiri yang seakan ingin membunuhnya. Jantungnya berdebar dengan begitu kencang, hingga gadis itu pikir jantungnya akan pecah sebentar lagi.
"Seorang laki-laki dengan pakaian serba hitam, terus mengikuti di belakang. Aku-"
Lalisa tidak sempat memberikan keterangan lebih lanjut karena sebuah pukulan lebih dulu mendarat di punggungnya dengan keras. Ponsel gadis itu terjatuh ke tanah, tubuhnya juga nyaris jatuh, jika saja tidak ada seseorang yang menahan di belakang.
Lalisa setengah diseret oleh sosok yang mengikutinya, sementara Alexon terus meneriaki nama gadis itu, sebelum panggilan terputus. Ponsel Lalisa berdering di tengah heningnya malam, tergeletak di jalanan basah tanpa ada yang mengetahui.
Saat Alexon sampai di lokasi terakhir Lalisa, sudah ada beberapa polisi patroli yang menyusuri gang kecil tersebut. Profiler itu menunjukkan kartu identitasnya, agar mendapatkan detail informasi.
"Kami sudah menelusuri area ini, tapi tidak menemukan apa pun. Hanya ponsel ini yang kami temukan." Seorang petugas patroli memberikan ponsel Lalisa pada Alexon.
Alexon memijat pelipisnya dengan sebelah tangan yang mencengkeram kuat ponsel Lalisa. Dia pikir, hilangnya gadis itu adalah karena keegoisannya yang lebih mementingkan perasaannya. Harusnya, Alexon langsung mengangkat telepon gadis itu, tanpa melakukan pertimbangan apa pun agar hal ini tidak menimpa Lalisa.
Profiler itu mencoba untuk menenangkan dirinya, sebelum mengambil tindakan apa pun. Alexon tidak akan bisa menemukan jalan keluar, jika kalut menguasai pikirannya.
Jelas kasus yang menimpa Lalisa sekarang adalah penyerangan, yang mungkin bisa merangkap jadi kasus penculikan jika gadis itu tidak bisa ditemukan di mana pun.
Laki-laki itu mencoba untuk mencari Lalisa dengan perlahan. Dia menelusuri kembali jalan yang gadis itu lewati sebelumnya menggunakan mobil. Ada dua jalan besar yang terhubung dengan gang kecil yang Lalisa lewati tadi dan dua-duanya memiliki kamera pengawas di sisi jalan.
"Periksa CCTV di dekat Starbucks daerah Nonhyeon-ro, kupikir Lalisa melewati jalanan itu sebelumnya." Alexon menelepon Tae-il untuk meminta bantuan dari rekan timnya. "Dan cari juga rekaman yang bisa kau dapatkan di sepanjang perjalanannya."
"Aku akan mencarinya," balas Tae-il menyanggupi, "Tapi apa kau sudah bertemu dengan yang lain? Mereka menyusulmu saat aku menemukan lokasi Lalisa. Seharusnya, mereka sudah sampai sekarang."
"Aku belum bertemu mereka," balas Alexon apa adanya.
"Aku akan langsung menghubungimu, setelah memeriksa rekamannya," sahut Tae-il dari seberang sana.
Alexon berterima kasih, sebelum akhirnya memutus sambungan telepon. Dia masih berdiri di tempatnya, ketika ada seseorang yang sedang mengawasinya di samping tembok yang begitu gelap. Seseorang dengan perawakan atletis yang menutupi sebagian wajahnya menggunakan topi.
Senyum miring terukir di bibirnya, kala puas mengawasi sang profiler yang kebingungan. Lalu, menghilang di balik gelapnya tembok berlumut. Alexon terlambat dua detik untuk menoleh pada tembok yang terasa mengawasinya. Dia menatap lamat dan merasa seperti sedang diawasi, tapi tidak ambil pusing karena prioritasnya saat ini adalah Lalisa.
Saat Alexon kembali ke tempat ponsel Lalisa ditemukan, ketiga rekannya sudah sampai di lokasi kejadian dan terlihat sedang berbicara dengan polisi patroli.
"Sebenarnya, apa yang terjadi pada Lalisa?" Ji Hoon langsung melemparkan pertanyaan yang tidak sempat dia tanyakan tadi.
Alexon menarik napas dalam dan menjilat bibirnya, diiringi dengan gelengan kecil. "Lalisa meneleponku dan mengatakan kalau ada laki-laki yang berpakaian hitam mengikutinya di belakang. Lalu, aku mendengar suara pukulan yang cukup keras dan sesuatu yang diseret," jelasnya dengan nada bergetar.
"Kau pikir ... suara yang diseret itu berasal dari Lalisa?" tanya Ji Hoon hati-hati.
Alexon menggeleng lagi. Dia tidak ingin membayangkan kalau suara itu memang berasal dari Lalisa karena itu membuat perasaan bersalah semakin meledak di dalam hatinya.
"Aku tidak yakin, tapi ...." Alexon menggantungkan katanya sambil mengusap kasar wajahnya. "Ah, ini semua salahku. Seharusnya, aku langsung mengangkat teleponnya, alih-alih mengabaikan Lalisa dan kejadian ini tidak akan terjadi."
Ji Hoon menepuk pelan bahu Alexon. Dia bisa melihat betapa menyesal dan merasa bersalahnya profiler itu atas hilangnya Lalisa malam ini.
"Tenanglah, kita belum tahu pasti dengan apa yang terjadi. Mungkin saja Lalisa berhasil kabur dari orang yang menyerangnya," kata Ji Hoon menenangkan, "Kau tahu sendiri kalau Lalisa bukan gadis yang lemah."
Alexon tahu kalau Lalisa itu kuat dan bukan tipe gadis yang menyerah begitu saja, meski sudah sangat terdesak. Namun, suara bergetar Lalisa tadi mengatakan hal sebaliknya yang menunjukkan betapa takutnya gadis itu.
Profiler itu berusaha untuk membuang pikiran negatif mengenai kondisi Lalisa saat ini dan segera menjawab panggilan masuknya.
"Memang benar kalau Lalisa melewati Starbucks tadi dan sekitar 20 meter di belakangnya ada laki-laki berpakaian serba hitam melintas di depan sana juga," jelas Tae-il, "Lalu, dari beberapa CCTV yang terlihat, memang benar kalau laki-laki itu mengikuti Lalisa, sampai akhirnya mereka tidak terlihat di blok kedua, di mana sinyal ponselnya terakhir terdeteksi."
"Dan mereka tidak terlihat lagi setelah itu?" tanya Alexon memastikan.
"Tidak ada kamera pengawas di sana karena jarang dilewati dan kamera pengawas selanjutnya ada 100 meter dari tempat kejadian dan mereka berdua tidak terekam di sana dari waktu kejadian sampai sekarang."
Baiklah, penjelasan panjang Tae-il barusan memberikan sebuah harapan pada Alexon. Laki-laki itu hanya perlu berpikir, seperti yang biasa dilakukan untuk memecahkan kasusnya.
"Sepertinya, Lalisa diculik," kata Alexon dengan tidak ikhlas dan berat hati, "Tidak ada kamera di sepanjang jalan ini dan 100 meter dari sini, mereka tidak tertangkap dalam kamera pengawas yang artinya mereka hilang di sepanjang jalan ini."
Ji Hoon mengangguk paham. Dia mulai mengedarkan pandangan untuk melihat situasi sekitar, yang seharusnya tidak gadis itu lewati saat hampir tengah malam, di mana hanya ada dinding setinggi dua meter di sepanjang jalan.
"Sepertinya, Lalisa memang diseret." Suara Jaebum terdengar agak tidak nyaman dari belakang punggung Alexon. Laki-laki itu berjongkok dengan senter di tangan, yang digunakan untuk mencari jejak di tanah. "Tanah ini terlihat seperti ditekan yang kupikir berasal dari sepatu belakang Lalisa."
Alexon dan yang lainnya langsung menghampiri Jaebum dan melihat jejak garis yang laki-laki itu maksud. Benar saja, jejak panjangnya memang terlihat seperti orang yang diseret. Lalu, hilang begitu saja dan tergantikan dengan jejak kaki biasa yang sudah tumpang tindih dengan jejak kaki lainnya.
"Kenapa Lalisa melewati jalanan dengan tanah basah seperti ini?" gumam Ji Hoon tidak habis pikir, "Apa rumahnya di sekitar sini? Tapi ini terlalu jauh dari halte bus tempat aku menurunkannya terakhir kali."
"Kau benar, Hyung," timpal Jaebum, "Dia bilang, rumahnya tidak jauh dari perhentian bus di dekat Golden Hills, tapi jalan ini cukup jauh dari tempat itu."
Semua orang masih bertanya-tanya dengan apa yang terjadi sebenarnya, sebelum Jinyoung memecah pemikiran mereka semua.
"Apa pelakunya adalah orang yang sama dengan penculikan Masan?" tanya Jinyoung hati-hati. Dia memeriksa setiap detik perubahan ekspresi rekan timnya.
Sungguh, Alexon tidak berpikir sampai ke sana karena dia benar-benar tidak bisa memikirkan apa pun sekarang. Pikirannya penuh tanpa laki-laki itu tahu apa yang harus dia pikirkan.
"Apa kau bisa mencari informasi tentang pelakunya dari Kepolisian Masan?" tanya Alexon harap-harap cemas. Harusnya, Ji Hoon mempunyai koneksi semacam itu, mengingat laki-laki itu sudah sangat lama bekerja di kepolisian. "Kau bilang, pelakunya dicurigai terlihat di daerah Gangnam, 'kan?"
Ji Hoon menyanggupi permintaan Alexon. Dia segera merogoh ponselnya dan menghubungi seseorang yang dia kenal untuk menggali informasi.
Alexon kembali menelepon Tae-il untuk menanyakan sesuatu. "Dari rekaman yang kau lihat, apa laki-laki itu menggunakan topeng?"
"Daripada topeng, sepertinya dia hanya menggunakan masker dan topi."
Profiler itu menutup kembali sambungannya dan mengambil napas dalam, agar bisa berpikir dengan jernih. Dia harus menemukan Lalisa secepatnya.
"Hyung, kemarilah!" panggil Jinyoung dengan teriakannya.
Alexon menghampiri maknae itu. "Kau menemukan sesuatu?"
Jinyoung mengarahkan senternya pada gang sempit di depan sana, yang sebenarnya adalah tempat pembuangan sampah tidak terpakai dengan pintu besi di belakangnya.
"Mungkinkah Lalisa dan pelakunya pergi melewati tumpukan sampah ini, mengingat mereka tidak terekam di kamera pengawas dan tidak ada jalan lain di sepanjang jalan ini. Polisi patroli sudah menyisir jalan ini dan tidak jalan sama sekali yang bisa dilewati tanpa terekam di kamera pengawas."
Alexon tidak menanggapi dugaan Jinyoung, tapi dia menyambar cepat senter laki-laki itu dan melewati tumpukan sampah untuk sampai pada pintu besi setinggi hampir tiga meter di belakang sana.
"Hyung!" pekik Jinyoung, bermaksud untuk menghentikan langkah Alexon, tapi sang profiler tidak mendengarkan peringatan maknae itu dan melompat turun.
Wah~ Jinyoung pikir, profilernya itu-sangat-sinting karena menerobos tumpukan sampah dan melompati pagar dalam keadaan gelap, tanpa takut dan tanpa mempertimbangkan apa yang menantinya di bawah sana.
Cipratan air terdengar begitu jelas saat Alexon mendarat di bawah sana. Serangkaian umpatan terdengar menggema karena terhalang dinding besi yang sudah sangat berkarat dan tua.
"Alexon Black! Apa yang kau lakukan di sana?" Ji Hoon bertanya dengan nada suara yang tinggi, sebagai reaksi dari kegilaan profiler itu.
Laki-laki itu tidak melihat di mana sang profiler karena terhalang dinding besi, tapi jelas suaranya terdengar di dari balik dinding.
"Hanya ini jalan satu-satunya yang bisa mereka lewati, tanpa tertangkap kamera pengawas di depan sana," balas Alexon, "Jika mereka memang lewat sini, aku pasti akan menemukan sesuatu."
Ji Hoon menyugar kasar rambutnya. "Aku tahu, kau sangat khawatir pada Lalisa, tapi bisakah kita menunggu sampai pagi dulu atau setidaknya sampai Kepolisian Masan mengirimkan detail informasi untuk pelakunya? Kau tidak tahu ada apa di dalam sana!"
"Kita juga tidak tahu apa yang akan terjadi dalam satu jam ke depan." Suara Alexon tampak berat dan rendah, seolah dia baru saja kehilangan harapannya. "Aku tidak bisa menunggu sampai pagi. Jadi aku akan mencarinya dari sini dan kabari aku kalau ada informasi tambahan."
Alexon itu keras kepala dan sampai kapan pun, sang profiler akan tetap seperti itu dan jelas, tidak ada alasan untuk menunggu lebih lama lagi. Laki-laki itu sudah cukup menyesal karena mengabaikan telepon Lalisa. Dia tidak ingin menambah daftar penyesalannya jika terjadi sesuatu pada gadis itu, selagi menunggu matahari terbit.
Tanpa menunggu jawaban dari tiga rekannya, Alexon berjalan menelusuri genangan air yang beraroma busuk di bawah kakinya. Laki-laki itu sama sekali tidak peduli, dengan fakta bahwa air busuk itu sudah menembus ke dalam sepatunya.
"Hyung, bukankah Alexon terlalu mengkhawatirkan Lalisa?" Jaebum membuka suara, dengan iringan jejak langkah kaki Alexon yang menginjak air.
Ji Hoon menatap dinding besi di depannya dengan datar, membayangkan kalau besi berkarat itu adalah profilernya yang keras kepalanya.
"Apa mereka benar-benar bertunangan?" timpal Jinyoung dengan rasa penasarannya.
"Entahlah, ada hubungan atau tidak, itu semua bukan urusan kita," balas Ji Hoon tidak ingin ambil pusing.
Ji Hoon membalikkan tubuh lebih dulu, sekalian merogoh ponselnya dan kembali menelepon seseorang. "Lacak ponsel Alexon dan kirimkan lokasinya pada Jinyoung." Sambungan selesai dan Ji Hoon beralih pada Jinyoung. "Susul Alexon. Jaga dia agar tidak bertindak sembarangan dan kupikir kunci mobilnya masih di dalam. Jadi, bawalah bersamamu dan temukan profiler itu secepatnya."
Ji Hoon menghampiri beberapa polisi patroli yang masih berada di tempat dan meminta supaya jalan yang Lalisa lewati tadi disisir ulang, barang kali ada sesuatu yang tidak sengaja terlewat dan meminta salah satu dari mereka untuk mengikuti Alexon.
Mereka akan berpencar untuk mencari Lalisa. Setidaknya, jika mengetahui jalan keluar dari jalanan basah yang Alexon terlusuri sekarang, mereka pasti akan menemukan sesuatu yang bisa digunakan petunjuk untuk pencarian Lalisa.
**
Aroma besi tua yang dingin merebak saat Lalisa tersadar dari pingsannya. Gadis itu tidak bisa melihat cahaya apa pun saat membuka mata. Oh, bukan karena tidak ada cahaya di sana, tapi mata gadis itulah yang ditutup dan membutakannya dari pemandangan sekitar.
Bukan hanya mata yang ditutup, tapi tangan Lalisa juga diikat di belakang kursi, dengan kedua kaki yang diikat rapat di bawah sana.
Tepat seperti dugaan Alexon sebelumnya, kalau Lalisa memang benar-benar diculik setelah insiden penyerangan tadi. Kini gadis itu tidak bisa menggerakkan tubuhnya sama sekali. Dia terikat dengan kuat di kursi.
"Kau sudah sadar, Cantik?"
Suara itu mematikan fungsi saraf yang ada di seluruh tubuh Lalisa, membuat gadis itu terdiam kaku dalam ketidakberdayaannya saat ini. Langkah kaki yang berat secara tidak sadar membuat Lalisa menekan punggungnya dalam-dalam, berharap bisa menjauh dari orang yang mendekatinya.
"Kau sadar lebih lama dari dugaanku." Suara laki-laki itu semakin terdengar jelas di dekat Lalisa, yang tanpa sadar membuat gadis itu menahan napasnya. "Aku jadi harus menunggumu dan aku tidak suka menunggu, Cantik. Kau harus tahu itu."
Lalisa buta. Dia tidak bisa melihat di mana kakinya berpijak sekarang, tidak tahu apa yang ada di sekitarnya dan tidak juga mengetahui bagaimana wujud dari bajingan di depannya.
Mati-matian Lalisa menahan diri untuk tidak berteriak ketakutan sekarang, setidaknya gadis itu harus mengetahui wujud bajingan di depannya, sebelum memutuskan untuk menundukkan kepala atau mengangkatnya dengan angkuh.
Gadis berponi itu diam tidak menanggapi, sambil meraba-raba situasi di sekitarnya-meski dia tidak bisa berpikir dengan otaknya sekarang.
"Wah~ bukan reaksi diam seperti ini yang aku inginkan, Cantik." Laki-laki itu mendesah kecewa dengan gelangan kecil. Lalu, berjongkok tepat di depan Lalisa tanpa gadis itu sadari. "Aku ingin mendengarmu memaki dengan bibir manismu."
Gadis itu tidak bisa melihat, tapi bisa merasakan suara yang begitu dekat dengannya meski sedikit teredam karena laki-laki itu menggunakan topeng. Namun, Lalisa masih bisa mendengar setiap katanya dengan jelas.
Gadis itu bersumpah kalau dia tidak akan pernah memaafkan bajingan di depannya karena sudah berani menyentuh bibirnya tanpa izin. Untuk kali pertama, Lalisa berpikir untuk menggunakan kekuasaan ayahnya dan membuat bajingan berengsek itu membusuk di dalam penjara.
"Jauhkan tangan kotormu dari tubuhku!" geram Lalisa, setelah dia menemukan suaranya. Gadis itu menggertakkan gigi dan membuat suaranya menjadi selantang mungkin, tanpa menunjukkan ketakutannya.
"Oh, oh~" Laki-laki itu berseru heboh dengan tubuh yang bergerak antusias. Matanya berbinar cerah dengan respons yang dia dapatkan barusan dan suaranya ditahan agar tidak memecah reaksi yang lebih. "Reaksi inilah yang aku tunggu sejak tadi."
Lalisa bisa merasakan sentuhan kecil di atas pahanya yang langsung membuat tubuh itu menegang bak kawat besi. Lalisa tahu itu hanya sentuhan tidak sengaja, tapi tetap saja membuat napasnya tersangkut di tenggorokan dengan gigi gemertak.
"Sudah kuduga kalau kau berbeda dengan mereka." Laki-laki itu masih diselimuti rasa senang dengan mata yang semakin berbinar cerah. "Ketimbang mendengar ketakutan mereka, aku lebih suka mendengar umpatan seperti tadi. Rasanya, seperti membakar adrenalin di tubuhku."
Tulang Lalisa menggigil mendengar penuturan yang diakhiri dengan tawa tercekik. Napas gadis itu kembali tertahan dengan punggung yang semakin menekan kursi untuk menjauh. Setidaknya, Lalisa ingin melihat bajingan di depannya ini untuk sekadar mengurangi ketakutannya.
"Lepaskan aku!" pinta Lalisa dengan nada memerintah yang kental.
Laki-laki itu menggeleng tanpa Lalisa ketahui. "Kita belum bersenang-senang. Jadi bagaimana mungkin aku bisa melepaskanmu?" katanya dengan nada kecewa yang dibuat-buat.
Di belakang kursi, tangan Lalisa sudah terkepal kuat. Siap untuk melayangkan tinjuan jika saja tidak terikat.
Lalisa pikir, otaknya sedang tidak berfungsi sekarang, hingga gadis itu tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk melepaskan diri.
"Mulai dari mana kita harus bermain?" bisik laki-laki bertopeng itu, "Haruskah aku memulainya dengan menggunting pakaianmu?"
"Aku bersumpah akan membunuhmu jika kau berani menyentuhku sedikit saja!" teriak Lalisa. Tubuh gadis itu bereaksi keras, membuat kursinya sedikit bergeser ke belakang.
"Oho~ tenanglah, Cantik. Aku bahkan belum melakukan apa pun. Jadi simpan dulu umpatanmu," balas laki-laki itu dengan tawanya.
Laki-laki itu bermain dengan tangannya di udara dan mengedarkan pandangan. "Hmmm, di mana aku meletakkan guntingku tadi, ya? Apa kau melihatnya?"
Jelas saja, pertanyaan terakhir adalah sebuah ejekan untuk Lalisa, yang saat ini tidak bisa melihat apa pun.
"Ups, maaf." Laki-laki itu menutup mulutnya dengan nada mengejek dan juga ekspresi geli. "Kau sedang tidak melihat saat ini. Haruskah aku membuka penutup matamu?"
Lalisa berjuang mati-matian untuk melawan ketakutannya sendiri. Dia tidak akan menangis di hadapan bajingan berengsek ini. Jika gadis itu menangis, artinya Lalisa kalah dan dia tidak akan membiarkan hal itu terjadi.
Laki-laki bertopeng besi masih memperhatikan Lalisa dengan intens. Gadis itu menggunakan jins hitam dengan atasan turtleneck putih dan mantel berwarna navy milik Alexon yang sudah lebih dulu ditanggalkan.
"Hmmm, sepertinya kau harus makan dulu sebelum kita bermain. Kau pasti akan membutuhkan banyak tenaga untuk mengumpat," kata laki-laki itu setelah menimbang pikirannya, "Tunggu sebentar, Cantik. Aku akan membawakan makanan untukmu."
Lalisa mendengar langkah kaki yang menjauh, diiringi dengan tawa tertahan. Hilangnya langkah kaki itu, tidak serta-merta membuat Lalisa tenang, si gadis berponi justru malah semakin takut dalam kesendiriannya.
"Pikir Lalisa, pikir. Kau harus melakukan sesuatu untuk keluar dari sini." Lalisa bergumam sendiri, meminta untuk dirinya bekerja sama dengan sang otak.
Lalisa menarik ikatan tangannya di belakang, tapi tidak ada hasil yang didapat, selain goresan dari tali yang melingkari tangannya. Mencoba untuk melepaskan ikatan kaki dengan cara menariknya, tapi hasilnya sama seperti sebelumnya.
Tanpa memikirkan akibatnya, Lalisa berusaha untuk menggerakkan kursi ke mana saja, berharap akan ada sesuatu yang bisa membantunya melepaskan diri. Namun, alih-alih melepaskan diri, Lalisa justru malah membuat dirinya terjatuh bersamaan dengan kursi karena tersandung sebuah besi bulat di lantai.
Sekuat-kuatnya Lalisa, tetap saja gadis itu merintih kesakitan saat tubuhnya jatuh menghantam lantai, tanpa persiapan apa pun. Beruntung wajah Lalisa tidak menjadi korban, tapi lengan gadis itu jelas tertindih oleh sandaran kursi.
Lalisa bertanya-tanya, di mana tempat berpijaknya sekarang. Gadis itu benar-benar bisa merasakan dinginnya lantai beton dan aroma karat besi di mana-mana.
"Ya, Tuhan! Apa yang kau lakukan?"
Laki-laki bertopeng kembali, setelah meninggalkan Lalisa beberapa saat. Dia terkejut saat melihat tubuh gadis itu terjatuh di lantai dan buru-buru mengangkat kursi yang menindih tangan Lalisa.
"Cantik, kau tidak seharusnya melakukan ini. Kau hanya akan melukai dirimu sendiri." Laki-laki bertopeng itu terdengar seperti mengkhawatirkan Lalisa, tapi gadis itu tahu, kalau yang dia dengar bukanlah kekhawatiran yang tulus. "Kau tidak boleh melukai dirimu sendiri. Kalau kau sudah melukai dirimu, bagaimana aku akan bermain denganmu nanti?"
Lalisa menelan salivanya dengan susah payah. Sulit sekali mengatur ketakutannya dalam gelap seperti ini, setidaknya gadis itu akan lebih berani membuka suara jika bisa melihat situasinya sekarang.
"Apa yang kau inginkan dariku?" Lalisa berhasil mempertahankan ketegasan dalam suaranya. Dia bahkan bisa menunjukkan keangkuhan di wajahnya.
Laki-laki bertopeng tersenyum, tapi tidak langsung memberikan jawaban begitu saja, melainkan mengambil kursi lainnya dan duduk di hadapan Lalisa.
"Apa yang aku inginkan darimu?" desis laki-laki itu, "Hmmm, aku hanya ingin bermain-main denganmu. Itu saja."
Lalisa tidak paham dengan konteks bermain-main yang laki-laki itu bicarakan, tapi gadis itu menduga kalau ini mengarah pada sesuatu yang menjijikkan dan Lalisa tidak akan membiarkan dirinya disentuh oleh bajingan mana pun.
"Aku sudah menemui banyak gadis, tapi tidak ada yang pernah merespons dengan lantang, seperti yang kau lakukan tadi." Laki-laki itu menambahkan dengan sebelah tangan yang memainkan ujung rambut Lalisa. "Dan itu benar-benar membuat jantungku berdebar."
Gadis itu menghindar sejauh yang dia bisa untuk melepaskan diri dari sentuhan laki-laki di depannya, tapi sejauh apa pun Lalisa menghindar, seluruh bagian tubuhnya masih bisa terjangkau.
"Aku suka mendengar jeritan ketakutan mereka, tapi mendengar makianmu terasa ratusan kali lebih menyenangkan," tambah laki-laki itu dengan suaranya yang begitu ringan dan antusias. "Benar-benar menyenangkan, hingga aku ingin terus bermain denganmu."
Kata demi kata yang Lalisa dengar membuat nyalinya diam-diam mengkeret. Jelas sekali kalau yang berada di hadapannya saat ini adalah seorang psikopat-yang asalnya entah dari mana.
"Lepaskan aku, maka aku akan mengampunimu," ancam Lalisa dengan suara yang tidak kenal rasa takut sedikit pun.
Laki-laki bertopeng tertawa geli dan menjepit gemas pipi Lalisa, yang langsung gadis itu respons dengan menarik kepalanya sejauh mungkin.
"Kau ini lucu sekali. Kau bahkan tidak bisa melihat, tidak juga bisa menggerakkan tangan dan kakimu. Lalu, bagaimana kau akan melawanku?" Tawa geli masih terdengar dengan begitu jelas dan terasa lebih dekat dari yang pernah Lalisa bayangkan. "Aku janji akan melepaskanmu, tapi setelah aku bermain denganmu."
Lalisa pikir, seluruh persendiannya baru saja melepaskan diri darinya, setelah mendengar bisikan menjijikkan dari laki-laki di hadapannya.
Laki-laki bertopeng berdecak halus dan menggeleng samar. "Sepertinya, aku tidak jadi memberimu makan. Bagaimana kalau kita mulai dari menggunting pakaianmu saja?"
"Aku akan membunuhmu jika kau menyentuh tubuhku!" Lalisa berteriak sekali lagi. Ini bukan ketakutan, melainkan sebuah perintah lantang yang penuh keseriusan.
"Aku akan menunggumu dengan senang hati," balas laki-laki bertopeng dengan tawanya, seolah dia baru saja mendengar sebuah lelucon lucu.
Jantung Lalisa berdebar dengan sangat kencang, hingga gadis itu bisa mendengarnya dengan jelas. Ketakutan mengalir deras di bawah kulitnya, membuat keringat dingin mengalir di atas tubuh bergetar itu. Wajah Lalisa mengeras menahan ketakutan, sebisa mungkin dia tidak menunjukkan rasa gugupnya.
Lalisa benar-benar berharap, kalau dia bisa menembus kain penutup matanya ini, agar bisa melihat apa yang laki-laki itu lakukan. Hanya mendengar suara langkah kaki saja, membuat Lalisa tercekik secara perlahan.
Gadis berponi itu masih mencoba untuk menyesuaikan diri dengan situasi sekitar yang tidak bisa dia lihat, ketika ada sebuah besi tipis yang dingin menyentuh pipinya.
Laki-laki bertopeng itu menjalankan guntingnya di sepanjang rahang Lalisa, membuat ketakutan gadis itu meledak di dalam kepalanya, tapi tetap berusaha untuk tenang. Lalisa bertekad tidak akan memohon pada bajingan di depannya, selama masih bisa mencari jalan lain.
"Aku akan mulai menggunting atasanmu, Cantik," bisik laki-laki bertopeng itu tepat di depan Lalisa.
Lalisa menggertakkan gigi, saat ada sesuatu yang membelah lengan turtleneck-nya dan mengunting hingga sebahu, membuat turtleneck itu mejadi tanpa lengan sebelah dengan rasa dingin yang langsung menusuk ke dalam kulitnya.
"Wah~ kau memiliki kulit yang sangat mulus." Laki-laki itu memuja keindahan kulit bersih di depannya dengan mata dan bibir yang tersenyum penuh. "Apa kau mandi dengan susu setiap harinya?"
Ini adalah pelecehan dan Lalisa tidak akan pernah memaafkan siapa pun yang sudah memperlakukannya seperti ini.
"Berhenti sekarang atau kau akan menyesal karena sudah memperlakukanku seperti ini!" Lagi-lagi Lalisa mengancam dengan lantang, tanpa membiarkan suaranya bergetar.
Laki-laki bertopeng itu melepaskan benda yang menutupi wajah dan paras di baliknya terekspose dengan sangat jelas, tanpa ada satu apa pun yang disembunyikan. Namun, dia segera menutup wajahnya dengan masker, agar suaranya tetap teredam.
"Bagaimana jika aku tidak mau?" tantang laki-laki itu. Lalu, dengan lancang mendaratkan bibirnya pada lengan telanjang Lalisa.
"Menjauh dariku, bajingan sialan!" teriak Lalisa. Dia berusaha untuk menarik diri dari laki-laki berengsek di depannya, tapi kursinya bergeser tidak lebih dari 1cm dan itu membuat Lalisa kesal.
Laki-laki itu tertawa geli melihat reaksi Lalisa. Gadis itu jelas terlihat panik dan takut sekarang, tapi berusaha untuk tidak terpengaruh apa pun dan itu memberikan sensasi berbeda, hingga jantungnya berdebar dengan penuh semangat.
"Kau tahu, teriakanmu seperti membakar kulitku, hasratku menggelora untuk terus mempermainkanmu dan tahu apa yang paling penting?" Laki-laki itu berbisik tepat di telinga Lalisa, dengan ekspresi geli yang begitu menikmati tontonannya. "Untuk pertama kalinya, aku ingin memperkosa gadis yang aku culik."
Bisikan itu benar-benar terasa seperti bisikan setan, di mana Lalisa merasa gatal di seluruh tubuhnya dan siap memberikan pelajaran pada bajingan gila di depannya. Namun, dia tidak memiliki kesempatan untuk melakukannya.
Dari sekian banyak kata yang sudah Lalisa dengar sampai sejauh ini, ada satu hal yang baru saja gadis itu sadari; laki-laki di hadapannya ini jelas seorang psikopat.
Lalu, bagaimana cara menghadapi seorang psikopat?
Andai Alexon yang berada di posisi Lalisa, maka hanya diperlukan waktu kurang dari lima menit untuk membuat psikopat itu tunduk di bawah kakinya.
Lalisa meludah ke sembarang tempat tanpa memedulikan apa pun, tapi entah bagaimana caranya dia bisa menebak di mana tepatnya psikopat itu, hingga wajah laki-laki itulah yang terkena air liurnya.
Laki-laki itu mengusap wajahnya dengan kasar, tapi kemarahan tidak terlihat di wajahnya. Malah sebaliknya, dia tersenyum dengan senang, seolah Lalisa mengizinkan tubuhnya untuk dijamah.
"Seperti yang diharapkan, kau memang sangat mengesankan."
Lalu, tanpa bisa Lalisa memberikan respons selanjutnya, gunting yang sempat menelusuri rahangnya, kini kembali bergerak di atas turtleneck putihnya. Napas Lalisa kembali tertahan dengan otak yang fungsikan secara maksimal.
"Tunjukan wajahmu padaku kalau kau memang seorang laki-laki sejati dan bukannya pecundang," tantang Lalisa dengan sisa-sisa keberaniannya.
Gadis itu bertekad untuk keluar dari lubang neraka yang diciptakan berengsek di depannya, tanpa kehilangan harga diri sedikit pun dan Lalisa akan melakukan apa saja, meski kemungkinan terbesarnya adalah dia akan terluka secara fisik.
Nyatanya, umpatan itu tidak cukup untuk menyinggung si sinting di depannya. Laki-laki itu justru malah semakin bersemangat untuk mengerakkan guntingnya di sepanjang atasan Lalisa.
"Tidak usah terburu-buru seperti itu, Cantik. Kau akan melihatku, setelah aku selesai dengan pakaianmu. Aku janji," kata laki-laki itu.
Dia menjauh sedikit memeriksa hasil karyanya barusan, di mana turtleneck Lalisa sudah diubah menjadi sebuah crop top tanpa lengan dan senyum penuh kemenangan tercetak penuh di sana.
"Kulitmu benar-benar mengesankan." Laki-laki itu membungkus lengan Lalisa dengan tangannya, sambil menikmati kelembutan kulit gadis itu.
"Jauhkan tangan kotormu, berengsek!" teriak Lalisa, saat kulitnya merasakan sentuhan paling menjijikkan yang pernah dia rasakan. "Kau benar-benar akan membusuk di penjara setelah ini!"
Semakin Lalisa meninggikan suaranya, semakin puas juga batin laki-laki itu. Adrenalinnya seperti meledak begitu saja, mengantar gelombang kepuasan di setiap sel darahnya dan meningkat hasratnya dengan begitu cepat.
"Kupikir tidak apa-apa membusuk di dalam penjara, setelah menikmati tubuhmu," bisik laki-laki itu dengan senyum miring yang begitu dingin. "Aku pasti akan selalu mengingatnya setiap hari, sambil menghabiskan malam di penjara dan tidak akan melupakannya sedikit pun. Bagaimana menurutmu?"
Jika tubuh Lalisa berasal dari rakitan pabrik dan bukannya dari tangan Sang Pencipta, seluruh bagian tubuh gadis itu pasti sudah melarikan diri sejak tadi dan hanya meninggalkan jiwa Lalisa sendirian di sana, bersama psikopat itu.
"Kau tidak akan bisa menyentuhku lebih jauh lagi," geram Lalisa penuh keyakinan, yang entah berasal dari mana.
Laki-laki itu merasa tertantang dengan keyakinan Lalisa. Dia kembali berjongkok dan meletakkan tangannya di atas paha gadis itu yang masih berlapis jins.
"Ups, aku baru saja menyentuh pahamu," ejeknya nada kecewa yang dibuat-buat. "Wah~ kupikir, aku tidak bisa menyentuhnya, tapi ternyata aku bisa."
Lalisa dengan refleks menghentakkan kakinya ke lantai untuk membuat tangan itu menjauh dari tubuhnya. Setidaknya, gadis itu masih bisa menggerakan kakinya yang terikat, meskipun tidak terlalu banyak yang bisa dilakukan.
Senyum geli terlihat di wajah laki-laki itu. Dia memperhatikan detail ekspresi gadis di hadapannya sekarang.
"Apa kau sudah mulai takut sekarang?" tanyanya dengan ejekan yang kental. "Jangan takut, Cantik. Ini bahkan baru permulaan. Aku masih ingin mendengar makianmu lebih banyak lagi."
Saat gunting kembali bergerak untuk menggunting celananya, bayang sang ayah terlintas di benak Lalisa. Ketakutannya memaksa gadis itu untuk membuka kembali sisa-sisa kenangan masa kecilnya bersama sang ayah, yang kini sudah dia lupakan. Lalisa tahu, kalau dia tidak akan mati saat ini, tapi gadis itu bersumpah kalau dia lebih baik mati, daripada harus bertemu dengan orang dalam keadaan kotor karena bajingan di depannya.
Lalu, alam bawah sadarnya meminta Lalisa untuk setidaknya memaafkan sang ayah yang selama ini masih menunggu kepulangannya. Dengan begitu, Lalisa akan mengurangi rasa bersalahnya di dalam neraka nanti.
Gunting terus berjalan di sepanjang celana Lalisa, tapi gadis itu sama sekali tidak ingin berpikir bagaimana gunting itu merobek pakaiannya sekarang. Lalisa seolah tidak ingin tahu dengan apa yang terjadi pada tubuhnya.
"Berhenti menjadi gadis yang keras kepala. Kau harus mengalah sesekali."
Tiba-tiba saja, suara Alexon terdengar di dalam ketakutan Lalisa, membuat gadis itu diam-diam tersenyum miris. Apa yang Alexon katakan benar, Lalisa harus mengalah sesekali dan menurunkan egonya untuk memohon pada laki-laki di depannya.
Mungkin dengan bersikap baik, Lalisa akan mendapatkan pertimbangan untuk dilepaskan. Namun, hal itu jelas tidak pernah terlintas di benak Lalisa bahkan jika kematian tepat berada di depannya.
Lalisa hanya akan memohon untuk sesuatu yang pantas diperjuangkan-dan gadis itu berpikir, kalau kehormatannya saat ini tidak pantas diperjuangkan dalam sebuah permohonan, terlebih lagi memohon pada seorang bajingan psikopat.
Laki-laki itu menatap kembali hasil karyanya dan memandang takjub. Setelah mengubah turtleneck menjadi crop top tanpa lengan, kini jins panjang Lalisa diubah menjadi celana super pendek yang mengekspos bebas tubuh gadis itu.
"Wah~ tubuhmu benar-benar menaikkan libidoku." Laki-laki itu berbicara dengan sangat kurang ajar, tapi sama sekali tidak ada rasa bersalah di wajahnya. "Haruskah aku memulainya sekarang?"
Lalisa tidak perlu menunggu ajalnya datang dan dijemput oleh malaikat maut karena gadis itu pikir, dia sudah mati sekarang. Harga dirinya sudah hancur, ketika laki-laki bajingan itu melihat kemolekan tubuhnya.
Meski seorang psikopat, tapi laki-laki itu masih tahu caranya menjadi laki-laki, dengan menepati ucapannya. Sesuai yang dijanjikan sebelumnya, laki-laki itu melepaskan penutup mata Lalisa, setelah menutupi wajahnya dengan topi.
Rasanya, seperti ditarik dari jembatan kematian, saat Lalisa berhasil menemukan cahaya setelah sekian lama dibutakan dengan kegelapan.
Lalisa menatap bengis laki-laki di hadapannya, tapi sial gadis itu tidak bisa melihat parasnya karena tertutup topi dan masker. Jadi, Lalisa mengedarkan pandangannya untuk mencari tahu di mana dia berpijak sekarang. Sebuah ruangan yang cukup luas, dengan dinding batunya yang masih kokoh, juga berapa tangga besi yang biasanya berada di konstruksi bangunan.
Gadis itu pikir, dia sedang berada di sebuah bangunan setengah jadi, yang kini ditinggalkan. Semuanya terlihat jelas dari barang-barang yang berserakan di lantai dan juga debu di mana-mana. Ada lebih dari lima kerangka besi di dalam ruangan yang sama dengan Lalisa dan tidak terhitung berapa banyak potongan besi di lantai. Juga beberapa drum plastik dan besi, yang entah apa isinya. Lalu, ada puluhan bahkan ratusan batu berjejer rapi, yang belum sempat digunakan untuk pembangunan.
Selain aroma besi berkarat, Lalisa juga mencium anyir darah yang samar, juga bercak merah kecokelatan di lantai. Sekilas terlihat seperti darah kering.
Laki-laki itu menjentikkan jarinya, sambil menunggu Lalisa yang masih asyik memindai lokasi di sekeliling mereka. Dia menikmati setiap detik kepanikan yang sebelumnya tidak pernah dia lihat.
"Sepertinya, kau perlu waktu tambahan untuk melihat-lihat." Jelas itu adalah sebuah ejekan, bahkan jika laki-laki itu tidak menambahkan nada geli di dalam suaranya. "Aku akan memberikan waktu untukmu. Jadi, nikmatilah pemandangan ini selagi kau bisa."
Laki-laki itu berbalik, tanpa ingin mendengar balasan Lalisa. Ada sesuatu yang harus dia lakukan, sebelum bersenang-senang dengan gadis itu nantinya.
Langah kaki itu mulai menjauh, ketika Lalisa masih sibuk memahami lokasi penculikannya sekarang dan menatap punggung laki-laki di depannya dengan tajam, sebelum benar-benar hilang dari pandangannya.
"Yook Sungjae, berhenti di sana!"
**
Kalau chapter selanjutnya aing campur sama sedikit kekerasan, kalian bakalan ngeri gak bacanya? Aing pengin ngasih detail dari kegilaannya si psikopatseu ini tapi nulis chapter ini aja udah gemetaran sama banjir air mata, karena gak tega sama buchenannya pak alek 😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭
Tapi, pengin nunjukkin sisi psikopatnya. Aing kudu piye? 😩😩😩
14 Juli 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro