07. Lalisa
Video di atas relate banget sama kasus Yuna di sini, kalau ada waktu dan gak sayang kuota, mungkin bisa ditonton.
Seenggaknya, ini bisa jadi gambaran atas kekejaman orang tua, yang meletakkan mimpinya gak tercapai ke anaknya.
"Bukankah ini tidak masuk akal?" protes Lalisa tidak terima, "Kau mencurigaiku, tapi meminta ditemani untuk melakukan penyelidikan. Tidakkah kau pikir, kalau itu melukai harga diriku?
Alexon menghela napas panjang. "Kecurigaanku padamu sudah berkurang 25%, lagi pula kau sendiri yang mengatakan, kalau kau tidak peduli aku percaya padamu atau tidak, 'kan? Lalu, kenapa tiba-tiba tersinggung seperti ini?"
Sial, Lalisa kalah telak. Dia tidak memiliki kata untuk membalas ucapan Alexon, hingga melemparkan punggungnya pada sandaran kursi adalah apa yang bisa gadis itu lakukan, tanpa ingin keluar dari mobil seperti yang laki-laki itu lakukan.
Alexon yang merasa gemas dengan sikap malas-malasan Lalisa, membuatnya menghampiri gadis itu dan membuka pintu di samping Lalisa. "Ayo, turun. Kenapa malah diam saja?" ocehnya sambil melepaskan sabuk pengaman Lalisa dan menarik keluar gadis itu.
"Aku tidak kenal dengan Hwang Sera." Tanpa sadar, Lalisa merengek sambil menjejakkan kakinya. "Lalu, bagaimana aku harus berbicara pada neneknya?"
Ya, sekarang mereka sedang berada di rumah Sera yang kecil dan cukup kumuh. Alexon harus tahu, kenapa Sera kemarin memakai seragam sekolah, tapi tidak sampai di sekolah. Apa yang sebenarnya gadis itu sembunyikan, Alexon harus mengetahuinya.
Alexon berbicara pada Lalisa, seolah dia membutuhkan gadis itu berada di sampingnya untuk hidup dan mati laki-laki itu. Nyatanya, Alexon hanya ingin Lalisa berbicara pada nenek Sera.
"Kau hanya perlu bertanya di mana Sera sekarang. Hanya itu saja," jelas Alexon dengan gemas, "Kalian berada di sekolah yang sama, neneknya pasti akan merasa senang kalau ada teman cucunya yang berkunjung."
"Tapi, aku-"
Geram dengan sifat keras kepala Lalisa, membuat Alexon menyentil kening gadis itu. "Berhenti membantah dan turuti saja permintaanku kali ini."
Lalu, tanpa membiarkan Lalisa buka suara lagi, Alexon langsung menyeretnya untuk masuk ke dalam halaman rumah Sera, di mana seseorang wanita lanjut usia duduk kesepian di beranda.
Lalisa berusaha menarik tangannya dari Alexon, tapi laki-laki itu tidak membiarkan dengan mudah dan malah menyapa nenek Sera.
"Siapa itu?" tanya nenek Sera dengan suara rentanya.
Lalisa dan Alexon saling melemparkan pandangan prihatin, saat nenek Sera terlihat meraba sisi kanannya untuk meraih tongkat di samping.
"Siapa di sana?" tanya wanita renta itu sekali lagi.
Lalisa langsung mengambil inisiatif untuk menghampiri nenek Sera dan memberikan tongkat yang dicari.
"Nenek, aku Lalisa. Teman sekolahnya Sera," kata Lalisa dengan lembut.
Tepat seperti dugaan Alexon, nenek Sera terlihat senang dengan kehadiran teman cucunya, membuat wajah penuh kerutan itu tersenyum berseri-seri.
"Ini adalah kali pertama teman Sera main ke rumah, setelah kematian orang tuanya," kata wanita tua itu. Ada kepedihan di balik suara parau yang terdengar sangat lemah ini.
Lalisa menoleh pada Alexon, seakan bertanya apa yang harus dia lakukan sekarang. Alexon mengangguk, pertanda kalau Lalisa harus bertanya sesuai apa yang sudah dijelaskan sebelumnya.
"Lalisa datang karena ingin mencari Sera." Gadis ketus itu berusaha untuk sopan pada orang tua di hadapannya. "Sudah dua hari ini Sera tidak masuk sekolah, Nek."
"Sera tidak masuk sekolah?" Wanita paruh baya itu tidak dapat menyembunyikan rasa terkejutnya, baik suara maupun gerak tubuh, semuanya terlihat bereaksi. "Tapi, Sera pamit untuk pergi ke sekolah tadi pagi."
Alexon benar-benar yakin, kalau ada yang disembunyikan. Gadis itu tidak pergi ke sekolah, tapi menggunakan seragamnya, bahkan berpamitan pada neneknya.
"Apa Sera baik-baik saja?"
Lalisa terkejut saat tangannya diremas penuh khawatir oleh nenek Sera. Mendadak gadis ketus itu diserang rasa gugup, karena rasa khawatir lawan bicaranya, yang sebelumnya tidak pernah Lalisa rasakan.
"S-Sera baik-baik saja, Nek," jawab Lalisa setengah gugup. Dia mengutuk dirinya karena baru saja berbohong pada orang tua. "Kemarin Lalisa sempat melihatnya di jalan, tapi tidak sempat menyapanya. Itulah kenapa Lalisa datang dan menanyakan Sera."
"Ya, Tuhan, kalau Sera-ku tidak pergi ke sekolah, lalu ke mana dia pergi?" Nenek Sera terdengar seperti akan menangis, karena mengkhawatirkan cucunya yang entah ada di mana sekarang.
Lalisa menggigit bibir, bingung harus bertanya apa lagi. Dia mengangkat kepalanya untuk melihat Alexon yang berdiri di sampingnya.
"Dengan siapa saja mereka tinggal, tanyakan itu," bisik Alexon.
"Nenek, kalau Lalisa boleh tahu, kalian tinggal di sini bersama siapa?"
"Hanya ada aku dan Sera. Kedua orang tua anak malang itu sudah meninggal satu tahun lalu dan sekarang gadis itu harus banting tulang sendirian bekerja di toserba untuk membiayai hidup kami dan juga sekolahnya." Nenek Sera tidak bisa menahan air matanya. Dia menangis pilu untuk cucu satu-satunya yang bernasib malang.
Sampai di sini, Alexon paham akan satu hal. Alasan kenapa Sera menghabiskan waktunya sendiri di dalam toilet pada malam itu adalah karena Sera memikirkan biaya sekolahnya. Dia diwajibkan membayar uang praktik untuk ujiannya yang Alexon ketahui cukup mahal, sementara gadis itu tidak memiliki uang dan batas terakhir pembayaran jatuh tepat di hari Yuna meninggal.
"Kupikir, bukan Sera pelakunya." Lalisa memecah hening di dalam mobil Alexon, saat mereka meninggalkan rumah Sera dan menuju toserba tempat gadis itu bekerja. "Mustahil dia melakukan hal sebodoh itu hanya untuk balas dendam, sementara dia memiliki seseorang yang harus dia jaga."
"Itulah sebabnya kita harus menemui Sera hari ini," sahut Alexon tanpa menoleh, "Kita harus tahu, kenapa Sera keluar dari jendela pada malam itu."
Lalisa menatap Alexon lamat, sambil menimbang sesuatu. "Apa ini artinya kau sudah tidak mencurigaiku lagi?"
Alexon menolah sekilas dengan tawa kecilnya. "Apa kau tersinggung, karena selalu kujadikan nomor satu dalam daftar kecurigaanku?"
Lalisa mendengus sebal, sepertinya dia salah berbicara. Harusnya Lalisa tidak bertanya tentang hal itu, karena hanya akan berakhir dengan ejekan seperti barusan.
"Lupakan saja," balasnya tidak mau tahu.
Alexon semakin geli dengan tawanya, tapi Lalisa berusaha untuk menutup telinganya rapat-rapat dan mengalihkan pandangannya ke luar jendela.
"Padahal aku belum melakukan apa pun padanya, tapi dia malah lebih dulu meregang nyawa." Lalisa mendecih dengan nada menggerutu sebal.
"Jika, Yuna masih hidup hari ini, apa yang akan kau lakukan?" Alexon menoleh sekilas, setelah dia mendengar decihan Lalisa yang samar. "Kau ingin memberi pelajaran lagi padanya?"
Lalisa melipat kedua tangannya di depan dada, tanpa ingin melihat partnernya di sebelah. "Setidaknya, dia harus tahu, dengan siapa dia berhadapan."
Alexon merasa begitu tertarik dengan penuturan Lalisa barusan. Dia menoleh dengan penuh keingintahuan, saat toserba sudah berada tepat di depan mereka.
"Memangnya dengan siapa Yuna berhadapan sekarang?"
Lalisa menoleh dan menatap sengit Alexon. "Dengan seorang gadis pencuri sinting, yang mungkin tidak akan segan untuk membunuh. Maka, Yuna harus berhati-hati lain kali."
Lagi-lagi, Alexon dibuat takjub dengan kalimat yang keluar dari mulut gadis di depannya ini. Sama sekali tidak terlihat rasa takut, meski banyak orang yang menuduhnya sebagai pembunuh.
Lalisa keluar lebih dulu dan langsung menjelajahi toserba, sementara Alexon menanyakan apakah Sera bekerja atau tidak saat ini pada kasir dan kebetulan sekali, Sera sedang bekerja di gudang sekarang.
"Maaf, kau yang mencariku?" Sera menyapa Alexon. Sama sekali tidak ada ketakutan di wajah itu saat melihat sang profiler, berbeda dengan kemarin.
Sepertinya, Sera tidak sadar pernah melihat Alexon sebelum hari ini. Gadis itu tampak sangat tenang dan satu hal lagi yang Alexon tangkap di sini, Sera bukan takut padanya, melainkan takut pada Lalisa.
Dan apa yang membuat Sera takut pada Lalisa, padahal dari pengakuan Lalisa keduanya tidak saling mengenal?
"Alexon, apa kau bisa membayarkan ini untukku? Aku tidak membawa uang sama sekali dan aku lapar." Lalisa datang sebelum Alexon sempat menjawab pertanyaan Sera. Tangan gadis itu penuh makanan dan minuman hasil dari penjelajahannya.
Tepat seperti dugaan Alexon, Sera memang takut pada Lalisa, karena saat gadis itu muncul dengan tiba-tiba, Sera mendadak gugup.
"Maaf, tapi aku harus kembali bekerja." Sera langsung meninggalkan Alexon dan juga Lalisa, tanpa mendengar jawaban sang profiler.
Lalisa bingung dengan kepergian Sera. Dia menatap Alexon dan gadis kacamata itu secara bergantian. "Kalian sudah berbicara?" tanyanya penasaran.
"Kau tahu, dia bukan takut melihatku, tapi dia takut melihatmu," jelas Alexon penuh kemenangan.
Tentu saja, Lalisa tidak paham. Dia mengerutkan alisnya bingung. "Kenapa dia takut padaku? Aku tidak lebih menyeramkan dari dirimu!" protesnya.
Alexon meringis dan mengacak rambut Lalisa, membuat gadis itu merengek kesal. Namun, hanya dibalas dengan tawa kecil dari laki-laki itu, sebelum dia berjalan ke kasir.
"Kau ingin aku membayarnya atau tidak?" tanya Alexon saat Lalisa masih bergeming di tempat berdirinya tadi.
Alexon tidak benar-benar melepaskan Sera. Dia hanya memberikan gadis kacamata itu sedikit waktu, sebelum dijerat dengan berbagai macam pertanyaan Alexon nantinya dan menunggu gadis itu selesai bekerja di dalam mobil bersama Lalisa yang sibuk dengan berbagai macam makanannya.
"Lalu, bagaimana Sera bisa berada dalam daftar kecurigaanmu?" tanya Lalisa sebelum dia menggigit kimbap-nya.
"Sera masuk ke toilet satu jam sebelum Yuna dan tidak terlihat keluar dari toilet malam itu. Lalu, aku menemukan jejak kaki di dinding. Kau pikir, kenapa ada jejak kaki dinding?" Alexon menoleh pada Lalisa dan menunggu gadis itu menjawab.
"Karena seseorang keluar lewat jendela?" sahut Lalisa asal-asalan.
"Lalu, kenapa Sera keluar dari jendela dan bukannya pintu?"
"Karena Sera yang membunuh Yuna." Hanya itu yang terlintas di dalam benak Lalisa, tapi begitu sadar dengan ucapannya, buru-buru gadis itu menutup mulut dengan tangan.
"Semua orang akan berpikir hal yang sama, tapi saat kau mendengar Sera bekerja untuk membiayai hidup dan sekolahnya, kau pasti akan berpikir ulang tentang hal itu. Terlebih lagi, Sera tidak ingin melepaskan neneknya untuk pergi ke panti jompo, karena gadis itu menyayanginya dan rela bekerja apa saja."
Ah, benar. Mendengar cerita nenek Sera tadi, rasanya tidak mungkin gadis sebaik itu membunuh tanpa memikirkan konsekuensi ke depannya nanti. Lalu, apa yang membuat Sera memilih untuk keluar dari jendela dan bukannya pintu?
"Aku hanya menduga, kalau Sera mengetahui sesuatu tentang kematian Yuna. Sesuatu yang tidak berani dia ungkapkan pada siapa pun," tambah Alexon berapi-api.
"Lalu, kenapa dia takut saat melihatku tadi? Aku benar-benar tidak membunuh Yuna!" tegas Lalisa dengan kilatan penuh penekanan.
Alexon menyandarkan sikunya di dashboard dan menatap Lalisa lamat-lamat. "Apa kau baru saja membela dirimu di depanku?" tanyanya dengan senyum kecil.
"Aku tidak membela diriku. Aku hanya mengatakan yang sebenarnya," bantah Lalisa kuat. Dia membuang pandangannya dari Alexon dengan bibir mencebik.
"Jika, tebakanku ini benar tentang Sera yang mengetahui sesuatu di balik kematian Yuna, ketakutannya saat melihatmu pasti karena rasa bersalah." Alexon kembali dalam pembicaraan serius, setelah puas menggoda gadis itu. "Satu kelas atau bahkan satu sekolah menduga, kalau kaulah yang membunuh Yuna. Sementara Sera tahu, bukan kau pelakunya. Jadi, dia merasa bersalah karena kau menerima tuduhan itu, tanpa Sera bisa membantumu, meski dia tahu yang sebenarnya."
Wah~ Lalisa merasa takjub dengan pemikiran Alexon barusan, yang benar-benar tidak terpikirkan oleh orang-orang awam sepertinya. Alexon seakan memiliki imajinasi tidak terbatas, yang membuatnya bisa berpikir di luar dari pikiran orang kebanyakan.
"Apa profiler selalu berpikir seperti ini untuk menyelesaikan kasusnya?" tanya Lalisa dengan mulut setengah terbuka.
"Seperti apa?"
"Berpikir menggunakan imajinasi mereka."
Alexon merespons dengan tawa kecil. "Yah, kau bisa menganggapnya seperti itu."
"Tapi, sampai kapan kita akan menunggu Sera?"
"Sampai dia selesai bekerja."
Lalisa mendesah pelan, melirik arlojinya dan menggigit bibir. Ini sudah hampir jam dua belas siang dan jam kosongnya sudah berakhir sejak satu jam lalu. Gadis itu harus kembali ke sekolahnya, sebelum dia kembali dituduh membolos.
Belum sempat Lalisa melakukan apa pun, ponsel di sakunya berdering lembut dan decakan kesal keluar dari bibirnya, kala melihat siapa yang menghubunginya.
"Kenapa tidak diangkat?" tanya Alexon saat Lalisa hanya membiarkan ponselnya berdering.
"Bukan siapa-siapa," katanya dan menolak panggilan masuk tersebut.
Lalisa berusaha santai dengan tidak memikirkan siapa yang meneleponnya barusan, tapi ponselnya kembali berdering.
"Angkat saja, siapa tahu penting," usul Alexon.
Pada akhirnya, Lalisa menjawab panggilan masuknya dan tuduhan bolos kembali dia dengar dari orang yang sama.
"Aku tidak bolos!" bantah Lalisa kuat.
Alexon menoleh, saat Lalisa berbicara keras pada ponselnya dan menatap dengan penuh rasa ingin tahu.
"A-aku izin hari ini," katanya berbohong. Sebisa mungkin tidak memperlihatkan kegugupannya. "Aku sedang tidak enak badan. Jadi, aku izin untuk pulang duluan."
"Pada siapa kau izin? Guru Jang tidak mengatakan apa pun padaku, izinmu juga tidak tercatat di ruang piket dan satpam melihatmu pergi dengan seorang laki-laki. Kau bahkan tidak membawa tasmu. Apakah itu yang kau sebut dengan izin?" Kepala Sekolah Lee berbicara dengan berapi-api. Dia mulai kehabisan cara untuk menangani gadis pemberontak ini. "Lalisa dengar, ayahmu memintaku untuk-"
Oke, cukup. Lalisa tidak ingin mendengar apa pun dari kepala sekolahnya yang cerewet itu. Jadi, dia memutuskan panggilan secara sepihak tanpa peduli bagaimana reaksi sang kepala sekolahnya saat ini.
Lalisa melempar kesal ponselnya ke dashboard.
"Kau ingin kuantar kembali ke sekolah?" tanya Alexon was-was. Dia sadar dengan kesalahannya yang membawa Lalisa keluar pada saat jam pelajaran. "Sepertinya, kau mendapat masalah karena keluar, sebelum kelas dibubarkan."
Lalisa menyisir rambutnya dengan jari. "Tidak perlu. Aku sudah terlanjur bolos, tidak ada gunanya kembali ke sekolah sekarang."
"Lalu, bagaimana dengan tasmu?"
"Aku bisa meminta Sungjae membawakan tasku," sahutnya ringan.
Ah, Sungjae.
"Sepertinya, kau sangat dekat dengan Sungjae," kata Alexon datar.
"Dia teman sebangku," balas Lalisa tanpa melihat ke arah Alexon, karena sibuk mengirimkan pesan untuk Sungjae.
"Dia masuk dalam daftar kecurigaanku."
"Aku tahu. Kami dipanggil oleh detektif yang menghampirimu tadi."
"Kau tidak ingin bertanya kenapa?"
"Kenapa?" Lalisa bertanya seperti yang Alexon inginkan. Lalu, Alexon menjelaskan dugaan yang sebelumnya dia sampaikan pada rekan timnya.
"Tapi, dia membuktikan alibinya, kalau dia sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan kematian Yuna."
Lalisa meletakkan ponselnya, setelah mendapatkan jawaban dari Sungjae yang bersedia untuk membawakan tasnya pulang sekolah nanti.
"Katanya, dia menghabiskan waktu di perpustakaan untuk mengejar ketertinggalannya di hari kejadian. Itulah kenapa di masih berada di sekolah saat malam hari, padahal dia tidak mengikuti kelas malam dan alibinya bisa dibuktikan dengan catatan kehadiran di perpustakaan, di mana dia baru keluar setelah kelas malam dan CCTV juga mengonfirmasi hal itu."
"Jadi, kau menuduh Sungjae hanya karena kakinya terkilir? Kau curiga kalau itu terjadi karena dia melompat keluar dari jendela?" tanya Lalisa memastikan.
Alexon menggeleng, membantah sebagian kecil pertanyaan Lalisa. "Aku tidak menuduhnya, tapi aku mencurigainya."
Sekarang giliran Lalisa yang menggeleng karena tidak habis pikir. Nyatanya, Alexon tetap seperti biasa, yaitu mencurigai siapa saja yang bertemu dengannya.
"Sungjae bahkan tidak memiliki motif untuk membunuh Yuna," balas Lalisa yang terdengar seperti membela Sungjae.
"Motif tidak selalu terlihat di depan matamu, Partner," jelas Alexon apa adanya, sambil mengambil sisa kimbap milik Lalisa. "Tidak terlihat bukan berarti tidak ada. Itulah kenapa penting untuk mencurigai siapa saja yang terlihat mencurigakan."
Pada akhirnya, Lalisa bungkam dengan penjelasan Alexon. Dia tidak mengerti bagaimana cara kerja profiler itu dalam menyelesaikan kasusnya. Jadi, dia tidak ingin berdebat banyak hal, tentang apa yang tidak dia ketahui.
Setelah menunggu hampir tiga jam, akhirnya Sera selesai dengan pekerjaan paruh waktunya dan Alexon kembali menghampiri Sera, ketika gadis itu keluar dari toserba dan meminta waktunya sebentar.
Sera menolak dengan tegas, terlebih lagi saat melihat Lalisa di samping Alexon, tapi sang profiler membujuknya dengan halus dan berakhir dengan ancaman, saat Sera terus menolaknya.
"Aku akan mengatakan pada nenekmu, kalau kau terlibat kasus pembunuhan."
Itulah yang Alexon katakan, saat Sera mulai melarikan diri darinya. Lalisa yang mendengar ancaman kejam itu, merespons dengan injakan yang sangat keras di kaki Alexon. Dia pikir, profiler itu terlalu berlebihan dengan ancamannya, tapi bagi Alexon, mengancam menggunakan keluarga terdekat adalah cara terakhir dan satu-satunya untuk membuat saksi berbicara.
Dan di sinilah mereka sekarang, duduk di kursi taman dekat tempat Sera bekerja, dengan Lalisa yang sibuk mengayun diri. Gadis itu terlihat asyik dengan kegiatannya sekarang, seolah dia tidak pernah melakukan hal ini sebelumnya.
"Ceritakan semuanya yang kau ketahui di hari kejadian," kata Alexon setelah memberikan air mineral pada Sera. "Jangan takut untuk jujur, kalau kau tidak melakukan kesalahan apa pun malam itu."
Sera menunduk, memainkan iseng botolnya dengan harapan rasa gugupnya akan hilang. "Aku melakukan kesalahan malam itu ... sebuah kesalahan besar yang tidak termaafkan," cicitnya.
Lalisa berhenti mengayun diri dan menajamkan pendengarannya, untuk mencari tahu apa yang sebenarnya Sera sembunyikan.
Alexon mengambil sebelah tangan Sera. "Ceritakan saja semuanya. Jangan takut," katanya meyakinkan.
Lalisa merasa mual dengan sikap-sok-manis Alexon pada Sera, hingga gadis itu memutar jengkel bola matanya.
Sera menjilat bibirnya, mencari keberanian di dalam dirinya dan berusaha untuk mengingat detail yang terjadi malam itu.
"Aku berada di toilet, ketika samar-samar mendengar tangisan seseorang. Kupikir, itu sekitar jam sepuluh malam ke atas," Sera mulai menjelaskan dengan tangan yang sedikit bergetar. "Aku sendiri sudah berada di toilet sekitar hampir dua jam."
"Apa yang kau lakukan di toilet selama itu?" tanya Alexon.
Sera menggeleng pelan dan mengusap matanya yang mulai basah. "Aku hanya tidak ingin pulang. Aku merasa frustrasi karena tidak bisa membayar biaya untuk ujian praktik semester ini. Jadi, aku hanya menghabiskan waktuku di toilet, berharap akan dapat jalan keluar, yang sebenarnya mustahil kudapatkan di tempat seperti itu." Sera tertawa miris di akhir kalimatnya, saat menyadari betapa bodohnya dia malam itu.
Diam-diam, Alexon tersenyum dalam hati karena tebakannya tepat sasaran, tapi merasa kasihan dengan kesulitan gadis itu saat ini.
"Lalu, apa yang kau lakukan saat mendengar tangisan itu?" tanya Alexon lagi.
"Aku tidak percaya pada hantu dan semacamnya. Jadi, aku yakin sepenuhnya kalau itu adalah manusia. Aku keluar dari dari bilikku dan menghampiri bilik tertutup tepat di depanku. Aku mengajaknya berbicara, menanyakan apa dia baik-baik saja dan menawarkannya untuk bercerita padaku, tapi aku malah diusir."
Lalisa kagum dengan Sera. Di saat gadis itu sendiri memiliki masalah yang tidak memiliki jalan keluar, tapi Sera masih sempat untuk memedulikan orang lain. Tidak seperti Lalisa, yang tidak peduli pada apa yang bukan urusannya.
"Aku mengenali suara Yuna. Jadi, aku memaksanya untuk keluar dan bercerita padaku. Meski dia sering mencelaku setiap kali kami bertemu, tapi kupikir hidupnya tidak lebih baik dariku." Nyatanya, tidak hanya Lalisa yang berpikir, kalau kehidupan Yuna lebih menyedihkan dari mereka sendiri. "Semakin aku memintanya untuk keluar, semakin dia berteriak kasar padaku. Aku yang merasa khawatir mendobrak pintu dan menemukan Yuna sedang mencekik lehernya sendiri."
Ini menarik, batin Alexon berbisik.
Alexon mendengarkan dengan seksama, begitu pula dengan Lalisa yang entah sejak kapan sudah duduk di samping gadis kacamata itu. Keduanya seakan larut dalam cerita Sera, Alexon bahkan bisa membayangkan setiap detailnya dengan imajinasi yang dia miliki.
"Aku mencoba untuk menghentikan Yuna, tapi dia memberontak dan mendorongku berkali-kali. Saat itu Yuna sudah menelan banyak pil, bahkan lehernya sudah memerah dan dia juga mulai kehabisan napas, tapi Yuna tidak mendengarkanku dan terus saja mencekik lehernya hingga dia kesulitan bernapas." Semakin mendekati akhir, semakin Sera dihantui rasa takut yang mulai mencekiknya.
Lalisa tidak tahu dari mana datangnya simpati itu, tapi saat melihat Sera yang ketakutan dan bergetar kecil, gadis itu mengambil tangan Sera untuk digenggam.
Alexon yang melihatnya secara sadar mengulas senyum tipis. Entah kenapa, dia merasa gadis pemberontak itu baru saja menunjukkan rasa kemanusiaannya pada orang lain.
Sera membalas genggaman tangan Lalisa dan mengulas senyum tipis di balik ketakutan yang menggigit seluruh tubuhnya.
"Kami sempat terlibat pertengkaran kecil, karena aku berusaha untuk menghentikan kegilaan Yuna. Lalu, tidak berapa lama obat itu bereaksi, mulut Yuna mulai mengeluarkan busa dan dia kejang beberapa saat. Aku panik, tapi tidak tahu harus melakukan apa." Tanpa sadar, Sera menggenggam erat tangan Lalisa, untuk menyalurkan rasa takutnya. "Aku mencoba untuk menyadarkan Yuna, tapi dia tidak memberikan respons, selain kejang."
Sera mulai kehabisan napas. Gadis itu seperti dikejar oleh ketakutannya yang tidak terlihat, tapi mampu memberikan tekanan luar biasa yang seakan ingin membunuhnya.
"Aku tidak bisa melakukan apa pun, selain melihat Yuna yang kejang, sampai akhirnya ...." Sera menarik napas dalam untuk mempersiapkan akhir dari cerita yang masih menghantuinya.
Melihat perjuangan Sera membuat Lalisa menepuk punggung gadis itu dengan lembut. Sejauh ini, tidak ada yang Lalisa katakan untuk menyela. Dia hanya berusaha untuk memberikan kenyamanan pada Sera, agar gadis itu bisa menceritakan semuanya dan membantu melepaskannya dari rasa tertekan itu.
"Sampai akhirnya, Yuna berhenti kejang dan saat itu ... aku tahu, kalau dia sudah tidak bernyawa, ketika melihat betapa banyak busa yang keluar dari mulutnya."
Sera menangis ketakutan setelah selesai dengan ceritanya dan Lalisa dengan hangat memeluk gadis itu. Suatu tindakan yang sebelumnya tidak pernah Alexon bayangkan, akan dilakukan oleh gadis ketus seperti Lalisa.
Masih ada beberapa pertanyaan yang ingin Alexon tanyakan, tapi dia membiarkan Sera tenang dari rasa takutnya dan memperhatikan Lalisa dengan lamat, ketika gadis itu berusaha untuk menenangkan Sera.
Oh, tidak! Sepertinya, Alexon semakin jatuh dalam pesona seorang gadis pemberontak yang kasar, seperti Lalisa. Dia seakan tidak ingin meninggalkan sosok Lalisa, yang sebelumnya tidak pernah dia lihat.
Bagaimana Alexon harus menangani perasaannya pada gadis pemberontak ini? Dia tidak berpikir bisa menaklukan iblis pemberontak seperti Lalisa, bahkan jika dia bisa menggenggam dunia di tangannya.
"Lalu, apa yang kau lakukan setelah tahu, kalau Yuna sudah mati malam itu?" Alexon membuka pembicaraan kembali, ketika Sera menarik diri dari Lalisa dan mengusap wajahnya.
"Seperti seorang pengecut yang tidak memiliki hati, aku kabur dari jendela dan membiarkan Yuna." Sera menertawakan kebodohannya dan mengasihani dirinya yang begitu pengecut. "Itulah kesalahan besar yang aku lakukan malam itu ... membiarkan Yuna mati tepat di depan mataku."
"Hei, itu bukan salahmu." Setelah sekian lama, Lalisa akhirnya angkat bicara. Entah kenapa, dia merasa tidak senang saat Sera menyalahkan dirinya atas kematian Yuna. Jelas-jelas, Sera sudah melakukan sebisanya untuk menyelamatkan gadis sinting itu. "Dia mati karena overdosis, bukan karenamu. Kau bahkan sudah berusaha untuk menolongnya. Jadi, jangan menyalahkan dirimu atas apa yang tidak kau lakukan."
Sera mengangguk. Dia akan berusaha untuk mengingat kata-kata Lalisa barusan dan melepaskan tekanan yang terus menghantuinya sejak malam itu.
"Kau membawa ponsel Yuna, 'kan?" tebak Alexon.
Sera mengangguk dan mengusap wajahnya sekali lagi. "Aku terlalu panik malam itu dan saat ponsel Yuna berdering karena panggilan masuk orang tuanya, aku tidak lagi bisa berpikir. Jadi, aku membawa ponsel Yuna dan kabur. Aku bahkan tidak mengerti kenapa aku melakukan hal itu. Satu hal yang bisa aku pikirkan hanyalah kabur."
Alexon paham dengan kebingungan Sera. Pasti terlalu mengejutkan saat itu, hingga Sera sendiri tidak tahu dengan apa yang dia lakukan dan sudah jelas, kalau Sera langsung melenyapkan barang bukti berupa ponsel Yuna dan membuangnya pada sebuah kubangan di belakang gedung tua.
"Terakhir ...." kata Alexon lagi. Kasus Yuna sudah menemukan titik terang dan tinggal satu pertanyaan terakhir, maka Alexon akan mengakhiri pembicaraan mereka.
Lalisa yang merasa kalau Alexon terlalu banyak bertanya, langsung melayangkan pukulan singkat pada bahu laki-laki itu dari balik punggung Sera.
"Kau terlalu banyak bertanya!" geram Lalisa tanpa suara.
Alexon tidak peduli pada protes Lalisa barusan dan tetap bertanya pada Sera yang sama sekali tidak keberatan.
"Kenapa kau takut saat melihat gadis ketus di sampingmu hari ini dan kemarin?"
Sungguh, dari sekian banyak pertanyaan, Lalisa tidak berpikir, kalau Alexon akan bertanya tentang hal itu pada Sera.
Sera menoleh pada Lalisa, yang entah kenapa malah membuat partner Alexon itu menjadi agak canggung.
"Karena aku merasa bersalah padanya," kata Sera dengan penuh sesal. Padahal dia berhadapan langsung dengan Lalisa, tapi berbicara seolah gadis itu berada jauh darinya. "Aku melihat banyak tuduhan kejam yang mengarah padanya di website resmi sekolah, tapi aku tidak bisa melakukan apa pun dengan hal itu. Aku tidak berani berbicara pada siapa pun."
Lagi-lagi, Alexon membuktikan keahliannya dalam menganalisis sesuatu. Tebakannya tidak meleset sedikit pun, dari apa yang dia katakan pada Lalisa sebelumnya.
"Kau tidak perlu merasa bersalah padaku karena tuduhan itu. Toh, mereka akan tetap menyalahkanku, terlepas dari kau mengetahui tentang kematian Yuna atau tidak." Lalisa tidak ingin Sera merasa bersalah atas apa yang terjadi padanya. "Aku baik-baik saja dengan semua tuduhan mereka."
Lalisa memberikan senyumnya pada Sera, untuk meringankan rasa bersalah gadis kacamata itu.
Baiklah, Alexon sudah cukup mendapatkan pernyataan dari Sera sementara ini. Meski bukan dengan bukti fisik, tapi setidaknya pernyataan Sera memiliki harga.
"Sera, terima kasih karena sudah menceritakan kejadian malam itu. Kami sudah hampir mencapai titik terang dari kasus kematian Yuna," kata Alexon sungguh-sungguh. Dia tersenyum tulus pada Sera, yang sedang sibuk menetralkan perasaannya. Lalu, tanpa sengaja melihat luka kecil di punggung tangan Sera dan menunjuknya. "Luka itu ...."
"Ah, ini karena Yuna melemparkan tanganku ke pintu, saat aku ingin menarik tangannya agar dia berhenti mencekik lehernya," jelas Sera seraya melihat lukanya yang sudah kering.
Alexon mengangguk paham, untuk yang satu ini tebakannya agak meleset, tapi tidak apa-apa, karena sisanya cukup tepat sasaran dan mungkin Alexon harus minta maaf, karena sudah mencurigai partner kesayangannya itu.
Selesai sudah Alexon dengan tugasnya hari ini. Dia bisa menyampaikan detail cerita Sera tadi pada rekan timnya dan yang paling penting, kecurigaan Alexon pada Lalisa menjadi 0% sekarang.
Sebagai ucapan terima kasihnya pada Sera, Alexon mengantar gadis itu pulang dan memberikan banyak sekali persedian bahan makanan selama sebulan penuh untuk gadis kacamata itu.
Sementara Alexon sibuk menurunkan barang-barang, Lalisa agak menjauh dan sibuk dengan ponsel yang tertempel di telinganya, sambil sesekali menggigit bibir menunggu panggilannya diangkat.
"Aku akan pulang ke rumah hari ini, tapi dengan satu syarat," kata Lalisa begitu panggilannya mendapatkan jawaban dari seberang sana. "Bebaskan Hwang Sera dari biaya ujian praktik semester ini."
📍📍📍
Alexon mengantar Lalisa untuk bertemu Sungjae, guna mengambil tasnya yang tertinggal, sebelum akhirnya menurunkan gadis itu di perhentian bus yang sama, seperti malam itu.
Lalu, dia kembali ke kantor setelah mendapatkan kabar, kalau semua anggota timnya sudah kembali dan telah mendapatkan ponsel Yuna. Sekarang hanya tinggal menunggu ponsel itu selesai diperbaiki.
"Seperti dugaan kita, Yuna tidak dibunuh, melainkan dia bunuh diri," jelas Alexon berapi-api.
Laki-laki itu seakan tidak sabar untuk menjelaskan semua yang Sera ceritakan padanya dan tidak perlu waktu lama untuk membuat detail kejadian malam itu mengalir lancar dari mulut Alexon, tanpa ada yang terlewat sedikit pun.
"Dia pasti melakukannya karena merasa tertekan, 'kan?" tebak Jinyoung berapi-api.
"Siapa pun yang berada di posisi Yuna pasti akan merasa tertekan, karena harus dituntut untuk sempurna dalam segala hal," timpal Jaebum prihatin.
"Jadi, pembunuhnya adalah orang tua Yuna sendiri?" Tae Il ikut membuka suara dan menatap satu per satu rekannya. Dia hanya merasa agak konyol, karena mencari pelaku ke sana sini, yang nyatanya malah berada tepat di depan mata.
Alexon mendesis di kursi sambil mengendalikan roda-roda di bawah kakinya dengan iseng. "Tidakkah kau pikir kita perlu menginterogasi orang tua Yuna dan menanyakan tentang bagaimana mereka memperlakukan gadis itu selama ini?" tanya Alexon pada Ji Hoon.
"Mereka memang akan datang malam ini," sahut Ji Hoon apa adanya.
Alexon mengangguk paham. Dia mulai merasa tenang karena kasus kematian Yuna akan segera selesai, tapi ada yang sesuatu yang mulai mengganggu pikirannya.
"Apa kita bisa menolak kasus kematian lainnya dan fokus saja pada kasus SK? Toh, mereka sudah mati." Alexon menegakkan punggungnya dan menatap Ji Hoon tanpa rasa bersalah sedikit pun. "SK adalah psikopat, bukankah kita harus menemukannya untuk mencegah jatuhnya korban baru?"
Sejak kasus itu dikembalikan pada tim dua, mereka semua sama sekali belum sempat untuk mendalami kasus pembunuhan berantai itu, karena disibukkan dengan kasus Jiyeon dan sekarang Yuna.
Sudut bibir Ji Hoon bergetar saat mendengar penuturan Alexon yang dirasa tidak pantas. Dia tahu jelas sikap ceplas-ceplos laki-laki muda di hadapannya sekarang, tapi ini adalah kali pertama dia merasa Alexon tidak terlihat seperti manusia.
Tatapannya terlihat rapuh dan sendu. Tidak seperti Ji Hoon, yang selalu menatap Alexon dengan sengit dan berapi-api.
"Bahkan jika mereka hanya tinggal tulang, mereka tetap berhak untuk mendapatkan keadilan, dengan memberikan pelakunya hukuman setimpal." Ji Hoon menumpahkan rasa emosionalnya sebagai sesama manusia, atas ketidakadilan yang diterima oleh orang-orang yang tidak bersalah. "Jika, kau tidak ingin mengambil kasusnya, bicaralah pada Kepala Kang dan minta padanya untuk memberikan kasus lain pada kita."
Tidak ada emosi berlebih di wajah Ji Hoon sekarang. Dia hanya terlihat tidak senang dengan penuturan Alexon barusan.
"Bagimu mungkin tidak penting, tapi bagi keluarga korban, menemukan pelakunya sangatlah penting," tambah Ji Hoon, sebelum dia bangkit dari duduknya dan meninggalkan semua anggotanya.
Sungguh, Alexon baru kali ini melihat ekspresi Ji Hoon yang menunjukkan penderitaan dan entah kenapa itu membuatnya agak bersalah sekarang.
"Apa aku salah bicara?" tanya Alexon pada dirinya sendiri.
Mendadak semuanya menjadi hening dan dingin setelah kepergian Ji Hoon. Jaebum dan Tae Il yang mengenal Ji Hoon jauh lebih lama, hanya menutup rapat mulut mereka, tanpa ingin ikut campur apa pun.
Jaebum yang tahu kalau percakapan tadi teramat sensitif untuk Ji Hoon, segera meninggalkan rekan timnya yang lain dan menyusul kepergian sang ketua tim. Dia tahu ke mana Ji Hoon pergi.
Satu-satunya tempat yang selalu menjadi pelarian Ji Hoon, di saat suasana hatinya sedang buruk seperti saat ini adalah ruang pengawasan interogasi. Tepat seperti dugaan Jaebum, Ji Hoon memang berada di sana dengan sekaleng bir di tangannya.
"Kau tidak boleh mabuk, Hyung." Jaebum mengingatkan dan mengambil kaleng bir Ji Hoon. "Kau harus berbicara dengan orang tua Yuna nanti."
Ji Hoon tidak mengatakan apa pun setelahnya. Dia hanya membiarkan Jaebum menjauhkan minuman itu darinya.
Jaebum duduk di meja, sambil memperhatikan Ji Hoon yang sibuk memutar kursi. "Kau masih mengingat kejadian itu?" tanyanya hati-hati.
Ji Hoon mendesah dengan gelengan kecil. "Aku masih tidak bisa melupakannya, meski sepuluh tahun sudah berlalu."
Sebagai orang yang paling dekat dengan Ji Hoon, Jaebum cukup mengetahui banyak tentang ketua timnya ini, lebih banyak dari yang rekan-rekannya ketahui.
"Tapi, sekarang harusnya sudah baik-baik saja, 'kan, Hyung? Kau sudah menemukan pelakunya," kata Jaebum hati-hati.
Ji Hoon mengangguk membenarkan, hanya saja ucapan Alexon yang meremehkan kematian seseorang, membuatnya kembali dilemparkan pada masa lalu, di mana dia pernah mendengar kata itu tepat ditujukan untuknya, karena kematian tanpa mayat dari adiknya.
Ji Hoon tahu, bagaimana lelahnya menunggu tanpa kepastian untuk mendapatkan pelakunya, lamanya menanti kabar terbaru dan betapa frustrasinya ketika kasus hanya diam di tempat.
Alasan Ji Hoon menjadi seorang detektif, karena dia tidak ingin ada korban lain yang bernasib sama seperti adiknya, di mana adik laki-laki itu baru ditemukan setelah tiga tahun lamanya dan sudah menjadi kerangka.
"Aku tahu," gumam Ji Hoon.
Namun, tetap saja ucapan Alexon tadi menggoreskan luka kecil di hatinya, yang tidak bisa Ji Hoon abaikan begitu saja.
Jaebum menepuk pelan pundak Ji Hoon. "Istirahtlah, Hyung, sebelum kau melakukan bertemu orang tua Yuna nanti. Kau kelihatan sangat lelah."
Ji Hoon hanya mengangguk atas perhatian Jaebum barusan dan membiarkan laki-laki itu pergi meninggalkannya sendiri untuk menenangkan diri.
Ponsel Yuna selesai diperbaiki, tepat beberapa saat sebelum waktu interogasi orang tua Yuna dimulai dan tepat seperti dugaan Ji Hoon, Yuna memang meninggalkan pesan kematian, berupa pesan suara.
"Ayah, Ibu, aku ingin minta maaf pada kalian berdua. Selama ini aku tidak pernah memuaskan kalian atas prestasiku. Di mata kalian, aku selalu memiliki lubang kosong, meski aku sudah menjadi peringkat teratas sejak masih sekolah dasar. Kalian hanya mendukungku secara finansial, tanpa pernah memberikan secuil perhatian yang aku butuhkan selama ini. Bagi kalian, aku hanyalah anak robot yang harus selalu membanggakan kalian, tanpa pernah kalian sadari, kalau itu membuatku tertekan dan seperti hidup di neraka. Kupikir, aku tidak bisa melanjutkan siksaan ini lagi. Aku lelah menjadi standar kesempurnaan untuk diri kalian. Setelah berpikir ribuan kali sejak tahun lalu, kupikir aku benar-benar ingin mati saja untuk mengakhiri semua ini. Aku tidak tahan hidup sebagai robot-"
Ji Hoon mematikan rekaman suara terakhir yang berada di ponsel Yuna dan menatap kedua orang tua gadis itu di depannya yang menagis tersedu-sedu, setelah mendengar pesan kematian anaknya.
"Aku yakin, kalau kalian sekarang paham apa penyebab kematian Yuna sebenarnya," kata Ji Hoon dengan tajam, "Bukan Lalisa yang membunuh Yuna, melainkan kalian berdua yang membunuhnya dengan mematikan mental gadis itu sejak kecil."
Ji Hoon menatap dengan penuh amarah ke arah orang tua Yuna, di balik sikap Yuna yang kasar pada orang lain, ada orang tua gadis itu yang mendorongnya untuk bersikap seperti itu.
"Kalian terobsesi untuk menjadikannya gadis yang sempurna dalam segala hal, tanpa pernah tahu bagaimana dia melewati harinya selama ini? Kalian bahkan tidak tahu, 'kan, kalau Yuna sudah mengonsumsi obat tidur sejak usianya 15 tahun?" Ji Hoon menemui dokter yang memberikan konseling pada Yuna dan dia mendapatkan banyak cerita, tentang seberapa menderitanya mental gadis itu selama ini.
"Bersyukurlah kalian, karena Yuna membunuh dirinya sendiri dan bukannya membunuh kalian!"
Alih-alih menjalani interogasi, orang tua Yuna justru malah balik ditekan oleh Ji Hoon atas kasus kematian gadis itu. Ji Hoon mengungkapkan tekanan apa saja yang Yuna alami selama ini, yang membuat pasangan suami istri itu menangis tersedu-sedu menyalahkan diri.
Andai Ji Hoon bisa menuntut orang tua Yuna untuk membalas kematian gadis itu, maka dia akan melakukannya, tapi sayangnya Ji Hoon tidak memiliki hak untuk melakukannya.
Jadi, kasus selesai sampai di sini.
📍📍📍
Alexon menjatuhkan tubuhnya di kasur. Setelah melewati hari yang panjang, akhirnya dia bisa bersantai dan sedikit melonggarkan pikirannya. Mata laki-laki itu melirik ponselnya yang berdering di nakas.
Coba tebak, siapa yang menelepon Alexon sekarang, hingga laki-laki itu menjadi sangat antusias untuk menjawab panggilan masuknya?
Yup, Lalisa. Si gadis yang selalu bersikap ketus padanya, tapi teramat manis pada orang lain.
"Wah, apa yang membuatmu meneleponku di jam malam seperti ini, Partner?" goda Alexon tawa gelinya. "Kau merindukanku?"
"Cih, tidak perlu merasa senang dulu karena aku meneleponmu," balas Lalisa setengah ketus, "Aku ingin menanyakan sesuatu tentang Sera."
Alexon menelan tawanya dan mulai serius dalam pembicaraan mereka. "Ada apa dengan Sera?"
"Apa Sera akan dihukum karena membiarkan Yuna mati malam itu?" tanya Lalisa hati-hati.
Alexon yang semula berbaring, kini menarik punggungnya untuk duduk. Dia pikir, pembicaraan ini akan menjadi sangat serius. "Kenapa tiba-tiba menanyakan hal itu?"
"Aku hanya iseng mencarinya di internet dan menurut hukum, membiarkan orang sekarat di depanmu tanpa melakukan pertolongan apa pun, bisa dianggap sebagai pembunuhan," jelas Lalisa dari seberang sana, "Jadi, apa Sera akan dijatuhi hukuman?"
Nyatanya, Alexon semakin ingin mengenal Lalisa lebih dalam, setelah dia melihat sisi lain dari gadis itu tadi siang. Lali-laki itu tahu, kalau Lalisa adalah gadis yang sangat baik dan hangat pada kenyataannya, terlepas dari sikap angkuh dan ketusnya.
Alexon bergumam kecil dan menjawab sesuai pengetahuannya, "Mungkin satu atau dua tahun kurungan penjara."
"Jadi, Sera akan di penjara?" pekik Lalisa dari seberang sana.
"Hanya jika orang tua Yuna menuntutnya," balas Alexon cepat, "Tapi, mungkin mereka tidak akan melakukannya, karena mereka sadar sepenuhnya, kalau merekalah yang menjadi penyebab kematian Yuna, bukan orang lain, apalagi dirimu."
Lalisa tidak menjawab penjelasan Alexon setelahnya. Gadis itu hanya bernapas dari seberang sana, tanpa ingin melanjutkan percakapan.
"Kau mengkhawatirkan Sera?" tanya Alexon saat Lalisa hanya diam saja di seberang sana.
"Aku khawatir pada neneknya," balas Lalisa prihatin, "Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaannya nanti, kalau Sera harus bertanggung jawab untuk kejadian malam itu dan bagaimana neneknya akan hidup setelah itu?"
"Hei, Partner, kau tidak perlu memikirkan sesuatu yang belum terjadi," sahut Alexon menangkan. Dia baru tahu, kalau gadis pemberontak itu bisa memikirkan orang lain sampai sejauh ini. "Aku yakin, orang tua Yuna sadar sepenuhnya atas kesalahan mereka. Jadi, mereka tidak akan menuntut Sera."
Lalisa menarik napas berat dari seberang sana. "Kuharap, yang kau katakan saat ini memang benar," katanya cemas.
Semakin Lalisa menunjukkan sisi kemanusiaannya, semakin Alexon terjebak dalam labirin kehidupan gadis itu.
"Tidurlah, besok kau harus sekolah, 'kan?" kata Alexon mengingatkan.
Malam ini Lalisa bersikap sangat penurut, karena tidak ada bantahan apa pun darinya saat Alexon menyuruh gadis itu untuk segera tidur. Dengan mudahnya Lalisa menuruti perintah Alexon, seolah laki-laki itu memiliki hak untuk memberikan titah padanya.
Dan ada satu hal lagi yang membuat Alexon merasa senang malam ini, hingga mampu membuatnya tersenyum nyaris sepanjang malam. Hanya dua kata singkat yang Lalisa katakan, sebelum gadis itu memutus sepihak obrolan mereka, tapi sangat berarti untuk Alexon.
"Namaku Lalisa."
📍📍📍
Lima atau sepuluh tahun ke depan, jangan jadi orang tuanya Yuna, ya, yang nuntut ini itu sama anak. Bener apa kata om Ji, untung Yuna bunuh diri, bukan bunuh orang tuanya kayak yang di video.
Tenang setelah ngebunuh pasti cuma sesaat, sisanya nyesal seumur hidup 😭
27 Mei 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro