Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

05. Always Number One

"Hyung, kau ke mana saja?" protes Jinyoung, saat Alexon menerobos kerumunan dan mengambil tempat kosong di sampingnya. "Aku kewalahan menangani mereka semua."

Alexon sering kali tidak menggubris ucapan Jinyoung, tidak peduli seberapa kesal atau berjasanya maknae itu untuknya.

Dengan cekatan, Jinyoung meminta para siswa/i untuk berbaris rapi di depan mejanya dan Alexon, selama menunggu giliran bersaksi.

"Nama?" tanya Alexon.

"Yook Sungjae."

Alexon sudah mencatat beberapa keterangan dari para murid, tapi belum ada satu pun yang memberikan keterangan berarti untuk penyelidikan kasus Yuna.

"Kapan terakhir kali bertemu dengan Yuna?"

"Kemarin siang di kedai depan sekolah."

"Bagaimana perilaku korban selama kau mengenalnya?"

Sungjae diam beberapa saat. Dia tampak ragu untuk menjawab, hingga Alexon terpaksa mengangkat wajahnya untuk menatap Sungjae.

Tatapan Alexon yang terkesan penuh dengan selidik, membuat Sungjae menggelengkan kepalanya. "Aku tidak begitu mengenalnya. Aku baru saja pindah ke sini beberapa hari lalu."

Alexon mengangguk dan mempersilakan Sungjae untuk pergi, agar orang selanjutnya bisa memberikan kesaksian. laki-laki itu jelas tidak mengenal Yuna. Lalu, apa gunanya bertanya lebih banyak?

"Ahjussi, apa kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya gadis itu. Dia mencoba untuk mengintip wajah Alexon di balik topi, tapi laki-laki itu tidak mengizinkan.

"Nama?" tanya Alexon dengan tegas.

"Lee Na."

"Kapan terakhir-"

"Ahjussi, kita pernah bertemu, 'kan?" Lee Na masih bersikeras. Dia merasa sangat yakin dengan ingatannya.

Alexon mengulangi pertanyaannya sekali lagi dan mengabaikan pertanyaan Lee Na.

"Kami bertemu di kelas malam dan berjanji akan pulang bersama, tapi sebelumnya dia pergi ke toilet."

Penjelasan Lee Na memancing rasa ingin tahu Alexon, hingga dia mengangkat wajahnya.

"Aku tidak salah! Kau yang waktu itu datang ke sini dan mengaku sebagai tunangan Gadis Pencuri itu, 'kan?" tukas Lee Na berapi-api.

Alexon merutuki kebodohannya, karena terpancing begitu saja dengan ocehan Lee Na, yang belum tentu benar adanya.

Kini, semua mata tertuju pada Alexon, termasuk Jinyoung. Kematian Yuna pagi ini tidak menurunkan antusiasme para gadis, saat menyadari kehadirannya.

"Kau memiliki tunangan, Hyung?" bisik Jinyoung ingin tahu, "Siapa?

Alexon menjauhkan kepala Jinyoung yang menempel pada bahunya dan menatap Lee Na dengan datar. "Tolong, fokus untuk memberikan kesaksian saja," katanya dengan nada rendah penuh peringatan.

"Kupikir, kau seorang pebisnis, tapi ternyata kau seorang detektif," celetuk Lee Na, tanpa mengindahkan peringatan Alexon.

Geram dengan sikap keras kepala Lee Na, membuat Alexon mengetukkan penanya ke meja sebagai peringatan keras, tanpa menurunkan tatapan penuh peringatannya.

"Lee Na~ssi, fokus dan aku seorang profiler, bukan detektif!"

Lee Na menciut di bawah peringatan Alexon. Dia menundukkan sedikit kepalanya sebagai permintaan maaf, atas sikapnya barusan.

"Lalu, apa yang terjadi setelah dia pergi ke toilet?" tanya Alexon, setelah dia memastikan Lee Na tidak akan keluar dari pertanyaannya lagi.

"Aku menunggunya selama lima belas menit lebih, sambil berusaha untuk meneleponnya," Lee Na melanjutkan kesaksiannya, "Tapi, dia sama sekali tidak menjawabnya. Aku hendak menyusul, tapi kemudian dia mengirimiku pesan dan memintaku untuk pulang duluan saja, karena dia ada urusan mendesak."

"Kau memiliki bukti pesan yang dia kirimkan?"

Lee Na mengangguk dan segera mengeluarkan ponselnya, menunjukkan pesan yang dia dapat dari Yuna semalam. Lalu, Alexon mengambil gambar dengan ponselnya untuk dijadikan barang bukti.

"Kau tidak bertanya urusan apa yang mendesaknya?" Alexon melanjutkan pertanyaannya, setelah mengembalikan ponsel gadis itu.

"Aku kesal karena dia membuatku menunggu sia-sia, jadi aku tidak membalas pesannya dan langsung pulang."

Baiklah kesimpulan sementara, Yuna hilang setelah izin ke kamar mandi.

Alexon mengizinkan Lee Na untuk pergi, setelah dia menandai kesaksian Lee Na sebagai kesaksian penting. Seseorang duduk di hadapan Alexon dan siap untuk memberikan keterangan.

"Tunggu sebentar," kata Alexon, tanpa melihat dengan siapa dia berbicara. Laki-laki itu sedang sibuk mengatur ulang catatannya.

"Aku melihat Gadis Pencuri ini pergi ke toilet, setelah kelas malam selesai!" Seorang laki-laki yang sedang memberikan kesaksian pada Jinyoung, tiba-tiba saja berseru heboh sambil menunjuk gadis di sebelahnya yang tidak lain adalah Lalisa.

Semua mata tertuju pada Lalisa, termasuk Alexon yang baru saja mengangkat pandangannya dan sosok yang duduk di depannya, memang benar-benar Lalisa.

"Apa kau yang membunuh Yuna?" tuduh Mark dengan kilatan amarah di matanya. Suaranya kental dengan decihan jijik. "Setelah mencuri, kini kau juga membunuh?"

"Apa kau membunuh Yuna, hanya karena dia mengejekmu hari itu?" celetuk Haechan yang datang entah dari mana.

"Apa kau memaksa Yuna untuk memakan semua pil itu, agar dia overdosis?" Lee Na ikut menimpali.

"Meskipun kau membencinya, tapi kau tidak harus membunuhnya!" pekik Chaeyoung, "Apa kau pikir, harga dirimu setara dengan nyawa seseorang? Memangnya, kau ini siapa?!"

Lalisa bahkan belum mengucapkan satu patah kata pun, tapi semua orang sudah ingin menghakiminya dan yakin betul, kalau dialah yang membunuh Yuna.

"Hei, jangan menuduhnya seperti itu, hanya karena dia berada di toilet setelah kelas malam." Itu Sungjae. Suaranya membelah semua tuduhan yang dilontarkan untuk Lalisa. "Aku juga melihat Yoon Ae di toilet perempuan semalam. Lalu, kenapa kalian tidak menuduhnya juga?"

Merasa namanya dikait-kaitkan dengan kematian Yuna, membuat sang pemilik nama panik bukan main dan mulai membela diri. "Aku tidak membunuh Yuna! Saat aku ke toilet tadi malam, aku tidak bertemu siapa pun."

"Berada di toilet setelah kelas malam, bukan berarti dia yang membunuh Yuna, 'kan?" tantang Sungjae. Laki-laki itu geram melihat Lalisa yang terus disudutkan setiap harinya. "Jadi, berhenti menuduhnya tanpa bukti."

Sungjae jelas sedang membela Lalisa mati-matian, dari teman-teman sekelasnya yang memiliki sifat seperti iblis. Dia benar-benar tidak paham, kenapa semua orang memperlakukan Lalisa seperti sampah, yang harus dijauhi, juga diinjak setiap ada kesempatan.

"Apa kalian pikir, hanya aku satu-satunya memiliki masalah dengan Yuna?" Lalisa angkat bicara. Dia berterima kasih atas pembelaan Sungjae barusan, tapi gadis itu benar-benar tidak membutuhkan siapa pun untuk membelanya. "Gadis itu adalah penindas. Tentu saja, ada banyak orang yang ingin membalas perbuatannya-termasuk aku."

"Tapi, kau yang terlihat paling membenci Yuna," sanggah Mark. Tampaknya, laki-laki itu membenci Lalisa, terlepas dari kematian kekasihnya hari ini. "Kau bahkan menghantupkan kepalanya ke tembok. Tidak menutup kemungkinan, kalau kau juga yang membunuhnya, 'kan?"

"Mengaku sajalah-"

"Bisakah kalian semua diam!" Alexon berteriak untuk mengendalikan situasi ini. Dia melepas topi yang sejak tadi menyembunyikan wajahnya dan memukulkan kepalan tangannya di meja. "Kalian di sini untuk memberikan kesaksian, bukan untuk menuduh teman kalian!"

Lalisa yang berada tepat di depan Alexon, tentu saja terkejut dengan teriakan itu, terlebih lagi saat mendapati siapa yang duduk di hadapannya. Dia tidak pernah menyangka, kalau akan bertemu lagi dengan partnernya yang agak menyebalkan ini.

"Jika, kalian memiliki kecurigaan, maka katakan semuanya pada kami dan kami yang akan mengurusnya. Tidak perlu repot-repot menuduh orang lain." Alexon pikir, dia perlu mendisiplinkan anak-anak yang berada di satu ruangan dengannya ini. Mereka semua tampak tidak memiliki sopan santun sama sekali. "Keluarlah, jika kalian sudah selesai memberikan kesaksian!" titahnya tanpa bisa dibantah.

Dia melemparkan tatapan tajam pada siapa saja yang melihat ke arahnya. Ini jelas Alexon yang berbeda, dengan Alexon yang datang pertama kali. Jika, saat itu dia datang dengan setelan formal dan terlihat hangat, sekarang laki-laki justru itu terlihat dingin-lebih dingin dari musim dingin tahun lalu.

Banyak yang menggerutu dengan titah Alexon barusan, tapi tidak ada yang bisa membantahnya sedikit pun. Mereka semua keluar secara bergantian, meninggalkan Jinyoung, Alexon, Lalisa dan juga Sungjae.

"Kau sudah memberikan kesaksian," kata Alexon pada Sungjae, "Jadi, silakan keluar."

Sungjae melihat kaku ke arah Alexon. Dia ingin mengucapkan beberapa kata, tapi terlalu ragu.

"Dia aman bersamaku." Alexon melirik Lalisa sekilas, di mana Sungjae kerap kali menatap gadis berponi itu. "Keluarlah."

Jinyoung memperhatikan tatapan Alexon pada Lalisa yang terlihat aneh menurut pandangannya. Sang profiler terlihat seperti sedang membela Lalisa dengan cara yang sangat halus.

"Hyung, jadi dia ...." Jinyoung menggantungkan pertanyaannya dengan mulut yang terbuka kering, karena penasaran sekaligus bingung.

"Apa kau bisa membawakanku minuman?" Alexon balik bertanya, "Tenggorokanku sangat kering."

Jinyoung berdecak samar. Dia tahu, kalau Alexon hanya ingin mengalihkan pembicaraan, tapi laki-laki itu tidak bisa membantah.

"Kau ingin minum apa?"

"Frappuccino."

Jinyoung mengangguk singkat dan segera keluar dari balik mejanya, meninggalkan Alexon dan Lalisa berdua saja dengan beberapa orang yang mengintip dari jendela.

"Kupikir, kita tidak akan pernah bertemu lagi." Alexon membuka pembicaraan, setelah Jinyoung keluar dari kelas sepenuhnya.

"Sepertinya, kau sangat senang karena bisa melihatku," balas Lalisa setengah acuh.

Sudut bibir Alexon terangkat untuk memberikan senyum miring yang tipis. "Kita bertemu dua kali untuk kasus pembunuhan. Apa kau pikir ini kebetulan?"

"Jika, bukan kebetulan, lalu apa?" tantang Lalisa, "Apa menurutmu, aku yang merencanakannya, agar kita bisa bertemu?"

Alexon melipat kedua tangannya di atas meja dan mencondongkan sedikit tubuhnya pada Lalisa. "Apa kau memang tidak memiliki rasa takut? Kau dituduh membunuh oleh teman-temanmu, tapi reaksimu terlalu tenang."

"Mereka semua bukan teman-temanku," bantah Lalisa. Gadis itu menyandarkan punggungnya pada kursi dan ikut menantang Alexon dengan melipat kedua tangannya. "Dan kenapa aku harus takut, jika aku tidak melakukan apa pun?"

Alexon membaca setiap perubahan ekspresi di wajah lawan bicaranya dengan penuh ketelitian, seolah dia bisa melihat siapa yang membunuh Yuna dari ekspresi itu.

"Ada kalanya, pelaku bersikap paling tenang di antara semua orang, untuk membelokkan kecurigaan darinya," balas Alexon tanpa tuduhan apa pun, tapi suaranya jelas mengandung sentilan.

"Kau mencurigaiku lagi," tukas Lalisa.

"Sudah kukatakan, kalau aku mencurigai siapa saja yang mencurigakan," balas Alexon tidak mau kalah.

Lalisa mengangguk kecil. Dia seolah ingin memahami pilihan Alexon yang mencurigainya. "Lanjutkan saja kecurigaanmu. Toh, memang tidak pernah ada yang percaya padaku," sahutnya tidak acuh.

Alexon mengangguk dan menuruti permintaan Lalisa. "Saat kau pergi ke toilet, apa kau melihat atau mendengar sesuatu yang mencurigakan?"

"Aku tidak bertemu siapa pun semalam," jawab Lalisa apa adanya, "Saat itu, aku hanya sendiri, tidak tahu di dalam bilik."

"Kapan tepatnya kau pergi ke toilet?"

Lalisa berdesis, "Aku tidak yakin, tapi sepertinya saat itu sudah di atas pukul 21.30. Aku tidak langsung pergi ke toilet, ketika kelas dibubarkan."

"Yang dikatakan teman-temanmu, kau membenturkan kepala Yuna ke tembok beberapa hari lalu. Apa itu benar?"

"Bukan tembok sebenarnya, tapi papan tulis," sanggah Lalisa, "Alasannya karena dia .... terlalu banyak bicara. Aku hanya memberikannya pelajaran sekali, untuk ratusan hinaan yang dia berikan padaku."

Alexon mencatat setiap detail ucapan Lalisa, tanpa menambahkan atau mengurangi kesaksian gadis itu.

"Jadi, kau marah karena dia sering menghinamu?" tanya Alexon penuh selidik.

Lalisa menggeleng kecil. "Ini bukan hanya tentangku, tapi tentang mulutnya yang tidak memiliki tata krama pada orang lain. Aku hanya memberikan peringatan padanya, kalau orang-orang seperti kami-yang selalu dia hina sesukanya-diam bukan karena takut, tapi karena kami lebih berotak darinya."

"Jadi, kau bersikap kasar pada Yuna, hanya untuk memperingatinya?"

Lalisa mengangguk tanpa ragu.

"Lalu, bagaimana hubungan kalian setelah kejadian itu?"

Lalisa tertawa kecil. "Tentu saja, dia menatapku dengan penuh kebencian. Memangnya, apa yang kau harapkan?"

Alexon mengangguk. Dia mencoba untuk memahami tingkat emosi para remaja, yang kadang membuatnya pusing sendiri. Matanya menyipit saat luka kecil di kening Lalisa mengintip, melalui poni yang tersingkap.

"Kau terluka?" Alexon membelah poni Lalisa untuk melihat luka itu dengan lebih jelas, tapi tangannya ditepis.

"Hanya luka kecil." Lalisa tampak enggan, saat Alexon ingin melihat lukanya. Dia merapikan poninya untuk menutupi luka itu.

Alexon menarik tangannya yang menggantung di udara dan mengalihkan perhatiannya dari luka Lalisa. "Selain dikenal sebagai penindas, apa lagi yang kau ketahui tentang Yuna?"

Lalisa mengembuskan napasnya kasar. "Aku bahkan sudah terlalu muak dengan kehidupan pribadiku. Lalu, apa kau pikir, aku memiliki waktu untuk memperhatikan hidup orang lain?"

"Untuk sementara ini, kau akan berada di urutan pertama dalam daftar orang-orang yang perlu diselidiki," kata Alexon tanpa beban. Meski dia merasa penasaran dengan kehidupan pribadi Lalisa, tapi dia harus bersikap profesional untuk penyelidikannya.

"Kau selalu menjadikanku urutan pertama dalam setiap kasusmu," cibir Lalisa, setelah puas memutar bola matanya.

Alexon mengangguk membenarkan, tanpa rasa bersalah sedikit pun. "Karena ada banyak hal yang ingin aku ketahui tentangmu. Itulah sebabnya, kau akan selalu berada di urutan pertama."

Lalisa hanya ingin hidup tenang sehari saja. Jauh dari orang-orang yang selalu menghinanya, jauh dari orang yang mengusiknya, juga jauh dari orang-orang yang tidak ingin dia temui.

Namun, satu jam belum berlalu sejak dia memberikan kesaksiannya pada Alexon, yang diakhiri dengan decihan tipis setelah mendengarkan kalimat picisan dari profiler itu, tapi dia sudah kembali dipanggil ke ruang kepala sekolahnya, di mana hanya ada Ji Hoon di sana.

"Maaf," sesal Lalisa sopan. Dia masuk tanpa mengetuk pintu, membuat Ji Hoon terkejut saat pintu terbuka dengan sendiri.

Ji Hoon hanya mengangguk dan mengelap sudut bibirnya yang terkena tumpahan air tadi. "Masuklah, mereka semua akan kembali sebentar lagi."

Lalisa mengambil duduk di depan Ji Hoon.

"Kemana mereka semua pergi?" tanyanya.

"Sedang berbicara dengan polisi di luar."

Lalisa hanya mengangguk sebagai jawaban. Rasanya, dia sudah cukup bertanya pada Ji Hoon. Tentang siapa dan kenapa Ji Hoon bisa berada di sana, gadis itu tampak tidak terlalu peduli.

"Oh, kau sudah datang, Lalisa." Itu suara serak sang kepala sekolah, yang baru saja masuk ke ruangannya dengan orang tua Yuna.

Lalisa bangkit dari duduknya dengan malas dan menundukkan sedikit kepalanya untuk memberikan rasa hormat, tapi tidak ada satu pun yang melihatnya sebagai rasa hormat.

"Jadi, dia yang membunuh anakku?" Suara Nyonya Han tampak meninggi, dengan banyak kemarahan di dalamnya. "Berani-beraninya kau menyentuh putriku yang berharga!"

Nyonya Han menyerang Lalisa, tanpa diberi kesempatan untuk bersiap. Kerahnya ditarik, tubuhnya diguncang berkali-kali, membuat Lalisa agak pusing, ditambah lagi dengan umpatan yang dilayangkan untuknya.

"Kau gadis sinting! Bisa-bisanya kau membunuh putriku satu-satunya!" Cengkeraman Nyonya Han berubah menjadi tamparan di wajah Lalisa.

Ji Hoon dan Tuan Han berusaha untuk memisahkan keduanya. Lalisa mungkin akan perlakuan lebih mengerikan daripada ini, jika Nyonya Han dibiarkan untuk mengamuk pada gadis itu.

"Sayang, hentikan!" Tuan Han berusaha untuk menenangkan istrinya yang mulai menggila.

"Lepaskan aku! Gadis ini harus mati untuk Yuna!" teriak Nyonya Han histeris. Dia berusaha untuk melepaskan diri dari pelukan sang suami.

Tubuh tinggi Ji Hoon menyembunyikan Lalisa di balik punggungnya, mencoba untuk jadi pelindung, kalau-kalau wanita itu kembali menyerang Lalisa.

"Aku akan membawa istriku pulang. Kita akan bicara lagi nanti," kata Tuan Han kepada Kepala Sekolah Lee, yang ditanggapi dengan anggukan kecil.

"Aku akan membunuhmu, Jalang Kecil!" teriak Nyonya Han, sebelum dia benar-benar keluar dari ruangan.

Napas keras Lalisa menarik perhatian dua orang dewasa lainnya untuk melihat padanya.

"Apa aku dipanggil hanya untuk melihatnya mengamuk?" tanya Lalisa tidak senang hati. Dia mengusap pipinya yang menjadi korban kekerasan.

"Pipimu baik-baik saja?" Kepala Sekolah Lee mengabaikan sarkasme Lalisa dan bertanya mengenai keadaan gadis itu. Tamparannya terdengar sangat keras tadi.

Lalisa mengusap kasar pipinya yang merah, berharap rasa sakit itu akan segera meninggalkan wajahnya. "Jangan mengalihkan pembicaraan. Hanya satu tamparan tidak akan membuatku mati."

Kepala Sekolah Lee menarik napas dalam. Dia tidak tahu, sampai kapan Lalisa akan bersikap kasar seperti ini padanya. "Kami hanya ingin meminta keterangan darimu."

"Aku sudah memberikan keterangan di kelas tadi," tukasnya. Tanpa mau susah-susah meminta izin, dia langsung menghempaskan tubuh di sofa, dengan wajah menekuk. "Lalu, kenapa aku harus memberikan keterangan ulang?"

Tanpa sadar, Ji Hoon duduk di samping Lalisa, karena dia tidak mungkin melewati Kepala Sekolah Lee untuk kembali pada tempat semula. Dia benar-benar terkejut dengan sikap kasar Lalisa tadi.

Kepala Sekolah Lee menghela napas pendek dan duduk di kursi tunggal. "Lalisa, begini-"

"Kau ingin menginterogasiku ulang, karena mereka semua mengatakan kalau aku yang membunuh Yuna?" tukas Lalisa tanpa rasa bersalah, karena sama sekali tidak memperlihatkan sopan santunya. "Jika, kau memang menganggapku sebagai pembunuhnya, kenapa tidak langsung menangkapku saja?"

Ji Hoon dibuat takjub dengan keberanian Lalisa. Gadis itu tampak tidak takut dengan apa pun, bahkan terkesan seperti ingin menantang apa pun yang ada di depannya.

"Lalisa begini ...." Ji Hoon angkat bicara, sepertinya akan lebih mudah jika dia yang berbicara dengan gadis itu. "Kami tidak sedang menginterogasimu, kami hanya meminta kesaksianmu sebagai teman korban."

"Aku bukan teman Yuna dan aku sudah memberikan kesaksian," kata Lalisa menekankan suaranya.

Ji Hoon pikir, akan sangat sulit untuk berbicara pada gadis keras kepala seperti Lalisa. Terlebih lagi suasana hati gadis itu pasti sedang sangat buruk, karena tamparan tadi.

"Sebenarnya, ini hanya formalitas saja," kata Ji Hoon pada akhirnya. Dia pikir, Lalisa hanya bisa diajak bicara dengan suasana yang tidak mendesak. "Karena banyak anak-anak yang mengatakan kalau kau adalah pembunuhnya, maka kami harus-terlihat-menyelidikinya. Jika, kau tidak ingin memberikan kesaksian ulang, itu tidak masalah."

Lalisa menatap Ji Hoon, yang terlihat sangat lunak padanya. Laki-laki itu jelas tidak ingin mendesaknya, seperti yang orang lain lakukan padanya.

"Tapi, jika kami membutuhkan informasi lebih, kau bersedia untuk membantu penyelidikan kami, 'kan?"

Lalisa mempertimbangkan permintaan Ji Hoon barusan. Ketua tim itu menggunakan pendekatan yang sangat halus pada Lalisa, berbeda sekali dari Alexon yang terang-terangan mencurigainya.

Gadis itu hanya menjawab dengan anggukan singkat tanpa minat. "Apa aku boleh pergi sekarang? Aku harus kembali ke kelas."

"Sekolah dibubarkan lebih awal," kata Kepala Sekolah Lee, "Kau bisa langsung pulang setelah ini."

Lalisa benar-benar tidak pernah peduli dengan siapa dia berbicara. Kepala sekolahnya menunjukkan kepedulian yang sangat besar padanya, tapi dia seolah tidak peduli dengan hal itu.

"Pulanglah ke rumah hari ini-"

"Aku permisi." Lalisa memutus ucapan kepala sekolahnya. Dia enggan mendengar apa pun dari laki-laki paruh baya itu.

Lalisa berdiri dan melewati Ji Hoon, tapi sialnya laki-laki itu memakan banyak tempat untuk kedua kakinya, membuat akses keluar Lalisa menjadi sangat sempit, hingga dia oleng karena tersandung kaki Ji Hoon.

Beruntung Ji Hoon menahan pinggang gadis itu agar tidak terjatuh.

"Hati-hati," kata Ji Hoon mengingatkan.

Lalisa hanya mengangguk dan melepaskan diri Ji Hoon dan berjalan keluar, tanpa mengindahkan kepala sekolahnya di samping.

📍📍📍

Ji Hoon dan timnya langsung kembali ke kantor, setelah masing-masing dari mereka menyelesaikan tugas. Tanpa menunda waktu, dia meminta hasil catatan penyelidikan dari timnya dan segera menuliskannya pada dinding kaca, membuat struktur untuk mengungkapkan kematian Yuna.

"Jadi, dari banyak keterangan, Yuna adalah seorang penindas?" tanya Ji Hoon, setelah dia meneliti catatannya di dinding.

"Begitulah yang dikatakan," sahut Jinyoung, "Tapi, ada beberapa juga yang membantahnya dan mengatakan itu hanya bercanda saja."

Ji Hoon mengangguk. Dia berbalik untuk menatap anggota timnya. "Kepada siapa Lalisa memberikan keterangannya?"

Harusnya, Alexon menjawab pertanyaan itu, tapi dia terlau sibuk dengan isi pikirannya, hingga suara Ji Hoon sama sekali tidak menembus batas kesadarannya.

"Hyung, Ketua Tim Ji bertanya padamu." Jinyoung menyenggol lengan Alexon, untuk mendapatkan perhatian laki-laki itu.

Dia sama sekali tidak menerima keterangan atas nama Lalisa. Jadi, sudah pasti kalau profiler itulah yang memiliki keterangan dari sosok yang sedang Ji Hoon bicarakan.

"Apa?" tanya Alexon setengah linglung.

"Keterangan yang diberikan Lalisa," kata Ji Hoon sekali lagi, "Kudengar, dia sempat bertengkar dengan Yuna dan banyak yang mengatakan, kalau dialah yang membunuhnya."

Alexon memberikan catatan Lalisa pada Ji Hoon bersama dengan catatan Lee Na yang sudah lebih dulu ditandai. Lalu, ditempelkan pada dinding kaca untuk bahas lebih rinci lagi.

"Tae Il, periksa CCTV sekitar pukul 21.30, setengah jam sesudah dan sebelumnya. Lihat apakah Lalisa berada di toilet pada jam segitu atau tidak," titah Ji Hoon. Dia masih meneliti beberapa ringkasan di depannya.

"Dia masuk ke toilet sekitar pukul 21.35, sepuluh menit setelah Yuna masuk dan keluar lima menit kemudian," jelas Tae Il.

Ji Hoon masih mencoba untuk menyambungkan semuanya dengan sangat hati-hati dan penuh pertimbangan. Dia tidak ingin asal mengambil keputusan.

Jika, menarik kesimpulan cepat untuk detik ini, maka Lalisa memiliki presentase lebih dari 50% untuk menjadi pelaku pembunuhan Yuna, sebab dari keterangan Lee Na, dia mendapatkan pesan dari Yuna setelah menunggu lima belas menit dan Lalisa keluar tepat setelah lima belas menit Yuna di toilet.

"Kupikir, mereka berdua mempunyai riwayat hubungan yang sangat buruk." Sebagai orang yang menyaksikan saat Lalisa disudutkan, tentu saja Jinyoung merasa banyak tahu. "Dan sosok Lalisa itu, seperti ... dia seperti menjadi musuh dari teman-temannya sendiri. Dia bahkan dipanggil Gadis Pencuri oleh semua orang, bahkan dia sudutkan habis-habisan tadi, untung saja Alexon hyung bisa mengendalikan mereka semua."

Ji Hoon paham dengan maksud Jinyoung. Dia sendiri bisa melihat bagaimana reaksi Lalisa, saat gadis itu dimintai keterangan untuk kali kedua. Terlihat dengan jelas, kalau dia enggan membicarakan tentang Yuna.

"Ah, dan mereka bilang, Lalisa adalah tunangan Alexon hyung," celetuk Jinyoung dengan tawa gelinya.

"Kami tidak bertunangan!" bantah Alexon keras. Dia menatap Jinyoung dengan tajam, sambil menggerutu. "Dia hanya kenalanku."

Maaf, maaf saja, tapi Jinyoung tidak merasa bersalah atas celetukannya barusan dan malah tetap membiarkan tawa geli menghiasi wajahnya. Sementara yang lain tidak ingin ambil pusing dengan hal itu.

"Hyung, apa kita perlu meminta keterangan korban?" Jaebum membuka suara, setelah dia hanya menyimak. "Maksudku, korban yang ditindas oleh Yuna," ralatnya, saat alis Ji Hoon hampir menyatu, ketika mendengar pertanyaan sebelumnya.

"Tapi, orang tua korban menyangkal, kalau anaknya adalah seorang penindas. Mereka mengatakan, kalau Yuna adalah seseorang yang sopan dan juga ramah."

"Yuna memang bukan gadis yang ramah," tukas Alexon.

Dia baru saja menyadari, kalau Yuna adalah gadis pertama yang dia tanyai saat datang ke SMA Jaeguk untuk menemui Lalisa dan Alexon masih ingat betapa tidak sopannya gadis itu.

"Aku pernah bertemu dengannya dan dia memang cukup kasar," tambah Alexon.

"Kalian bertemu di mana?" tanya Ji Hoon.

Alexon menjilat bibirnya. Mungkin seharusnya, dia tidak mengatakan hal ini. "Di jalan," sahutnya asal-asalan.

Ji Hoon hanya mengangguk, menambahkan keterangan barusan untuk memperkuat sikap kasar Yuna yang memang benar adanya.

"Dan bukankah semua orang tua selalu melindungi anak-anaknya?" celetuk Jinyoung. Dia seolah ingin berkata, kalau kesaksian yang orang tua Yuna berikan adalah palsu. "Ada banyak remaja yang bersikap seperti anak anjing saat di rumah, tapi akan bertingkah seperti serigala saat di luar."

Ji Hoon menjentikkan jarinya. "Tepat! Itulah yang harus kita selidiki ulang. Keterangan orang tua dan teman-teman korban berbanding terbalik. Jam lima sore nanti, kita akan pergi ke rumah Yuna untuk mencari petunjuk. Apakah dia benar-benar anak yang ramah dengan segala kebaikannya, atau hanya bersikap manis di depan kedua orang tuanya."

"Di toilet tadi, aku menemukan bercak darah di pintu dan jejak kaki di dinding, yang berada tepat di bawah jendela terbuka," kata Alexon mengutarakan hasil penelitiannya tadi.

"Bagaimana dengan CCTV?" Ji Hoon langsung beralih pada Tae Il, yang sibuk menonton ulang rekaman CCTV yang dia minta tadi.

"Sepertinya, ada yang aneh," gumam Tae Il.

Ji Hoon, Jaebum dan Jinyoung langsung mengerubungi Tae Il, tapi tidak dengan Alexon. Laki-laki itu tetap duduk di tempatnya sambil memantau.

Buru-buru Tae Il memundurkan rekaman videonya, agar dia bisa menunjukkan maksudnya dengan jelas.

"Gadis ini," katanya menunjuk layar dengan heboh. "Dia masuk sekitar satu jam sebelum Yuna dan aku sama sekali tidak melihatnya keluar. Aku sudah mengulangnya sampai lima kali, tapi aku tetap tidak melihatnya keluar dari toilet."

"Perbesar," titah Ji Hoon.

Tae Il melakukan perintah Ji Hoon. Mereka berempat menyipitkan mata untuk melihat siapa yang terekam di kamera pengawas, barang kali mereka pernah melihatnya hari ini.

"Kemungkinan besar, pelakunya kabur lewat jendela. Tidak mungkin ada jejak tanah di dinding, jika tidak ada seseorang yang mencoba untuk memanjatnya. Besar kemungkinan kaki pelaku terkilir, karena melompat dari ketinggian hampir tiga meter, dengan celah jendela yang sempit," jelas Alexon, saat semua orang sibuk memeriksa rekaman CCTV.

Dan seperti biasanya, apa yang Alexon katakan selalu masuk akal untuk setiap kasus yang mereka tangani. Itulah sebabnya, Ji Hoon masih membutuhkan Alexon di timnya. Bukan karena Ji Hoon tidak bisa menyelesaikannya, hanya saja pandangan seorang profiler memiliki tingkat keakuratan yang lebih baik dari seorang detektif.

"Apa kalian melihatnya saat di sekolah tadi?" tanya Ji Hoon pada empat anggotanya.

"Aku tidak melihatnya," sahut Tae Il.

"Aku juga tidak," timpal Jaebum.

"Sepertinya, dia bukan salah satu teman Yuna. Aku tidak melihatnya di kelas tadi," jelas Jinyoung.

"Alexon, apa kau-"

"Tidak. Jangan berbicara padaku dulu," sela Alexon dengan tangan terangkat. Dia mencoba untuk mencegah Ji Hoon melanjutkan pertanyaannya. "Aku sedang berpikir."

Ji Hoon berdecih, menatap sengit si profiler yang tidak pernah membuatnya berhenti merasa jengkel.

"Telepon pihak sekolah Yuna, tanyakan pada mereka ada berapa banyak kelas malam mereka kemarin." Ji Hoon menepuk pundak Jaebum, yang langsung disanggupi oleh laki-laki itu.

"Periksa rekaman CCTV pagi ini di toilet, apakah gadis itu ada atau tidak. Jika, Yuna memang dibunuh, maka pembunuhnya akan datang untuk melihat, " lanjut Ji Hoon pada Tae Il.

Lalu, Alexon? Entahlah, rasanya Ji Hoon sudah lelah berhadapan dengan profiler itu, memberikan perintah pada Alexon pun percuma, karena laki-laki itu lebih suka bekerja dengan dirinya sendiri.

Ji Hoon hanya harus sabar untuk menghadapi Alexon, karena bagaimanapun juga, laki-laki itu sangat berguna untuk timnya, meski sering kali Ji Hoon merasa ingin menukar Alexon dengan profiler lainnya.

Alexon mengetukkan jarinya ke meja, dengan sebelah tangan yang menopang dagunya. Ada banyak sekali hal-hal yang sedang berlarian di dalam kepalanya dan sosok Lalisa mendominasi itu semua.

Laki-laki itu ingin berhenti mencurigai Lalisa, tapi semakin Alexon menutup mata, semakin dia merasa curiga pada gadis itu. Ada sesuatu-tidak, ada banyak yang Lalisa sembunyikan darinya dan Alexon bertekad untuk menemukan itu semua.

"Sepertinya, aku tidak bisa ikut ke rumah Yuna hari ini. Ada keperluan mendesak yang harus aku lakukan," kata Alexon pada Ji Hoon.

Alexon harus menemui Lalisa hari ini. Dia tidak akan bisa berhenti mencurigai gadis itu, sebelum Alexon bertemu dan mendapatkan apa yang dia inginkan.

"Kau ingin melakukan penyelidikan sendiri lagi?" Suara Ji Hoon terdengar agak kesal, karena Alexon selalu ingin memisahkan diri dari timnya.

"Tidak, aku harus menemui seseorang untuk urusan pribadi," kata Alexon memberikan alasan, dengan keyakinan penuh, "Aku akan memberitahumu, kalau aku menemukan sesuatu lagi tentang Yuna."

Ji Hoon menjilat bibirnya, sambil menyugar rambut. Terlihat tidak ingin mengizinkan, tapi dia juga tidak bisa menahan laki-laki itu, karena akan sangat percuma. Jadi, membiarkan Alexon pergi adalah pilihan yang tetap untuk hari ini.

Alexon segera keluar dari kantor dan melajukan mobilnya menuju SMA Jaeguk. Dia pikir, bisa menemukan Lalisa di sekolah itu dengan dalih untuk mengusut kasus kematian Yuna, tapi nyatanya sekolah dibubarkan lebih awal dan kosong tanpa penghuni, ketika Alexon sampai di sana.

Langsung saja, Alexon menghubungi gadis itu untuk menanyakan keberadaannya.

"Kau di mana sekarang?" tanyanya langsung, ketika panggilannya terjawab dari seberang sana, "Apa kita bisa bertemu?"

Alexon mendapatkan jawaban dari seberang sana, tapi dia memberikan jeda yang cukup panjang untuk membalas kembali ucapan Lalisa.

"Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan padamu," kata Alexon pada akhirnya.

Napas kasar terdengar dari seberang sana, sepertinya Lalisa mulai bosan berhubungan dengan Alexon.

"Kau masih mencurigaiku?" tanya Lalisa dengan setengah nada lelah.

Alexon tahu, kalau Lalisa tampak tidak nyaman dengannya sejak pertemuan terakhir mereka tadi, tapi dia hanya ingin memastikan, kalau kecurigaannya tidak benar.

Entah kenapa, profiler itu tidak ingin menaruh curiga sedikit pun pada Lalisa, karena dia pikir, gadis itu tidak seburuk yang orang-orang pikirkan selama ini. Terlebih lagi, saat melihat perlakuan yang Lalisa dapatkan dari teman-temannya tadi.

"Aku hanya ingin bertemu denganmu. Apa tidak boleh?" Suara Alexon mencicit di akhir kalimatnya, terdengar seperti tidak percaya diri.

"Aku berada di kedai es krim perempatan pertama dari sekolahku." Pada akhirnya, Lalisa membiarkan Alexon untuk mengetahui keberadaannya.

"Aku akan menyusul. Tunggu di sana."

Hanya perlu dua menit untuk menghampiri Lalisa, tapi tampaknya Alexon agak sedikit kecewa, karena mendapati partnernya itu sedang bersama dengan Sungjae.

Siswa baru di kelas Lalisa itu langsung berpamitan, saat menyadari kehadiran Alexon. Dia pikir, sang profiler tidak menginginkan kehadirannya di tengah-tengah mereka, persis seperti yang terjadi tadi pagi.

"Kau sudah makan siang?" Alexon duduk di tempat yang sebelumnya Sungjae tempati. Lalu, mengambil mangkuk es krim Lalisa dan menyantapnya tanpa izin.

Sungguh, Lalisa tidak habis pikir dengan sikap terang-terangan profiler itu, yang mendekatinya secara terbuka dan tanpa ada rasa malu sedikit pun.

"Apa kau selalu bersikap seperti ini?" Lalisa menatap dengan penuh rasa penasaran.

"Seperti apa?"

Lalisa membuang napasnya kasar, saat Alexon berpura-pura bodoh atas pertanyaan barusan. "Katakan saja apa yang ingin kau katakan," desaknya tanpa ingin bertele-tele lagi.

"Aku akan mengatakannya setelah kita makan siang nanti," tegas Alexon tanpa ingin bantahan.

Dia bangkit dari duduknya dan mengulurkan tangan pada Lalisa, tapi gadis itu menolak untuk meraih tangannya dan memilih berjalan sendiri, meninggalkan laki-laki itu di belakang.

Pada akhirnya, Alexon meraih uluran tangannya dengan tangan yang lain, untuk menghilangkan rasa canggung akibat sikap ketus Lalisa.

📍📍📍

Lalisa pikir, Alexon menyukai restoran cepat saji yang menghidangkan berbagai macam makanan dengan citra rasa pedas ini, terbukti dengan laki-laki itu yang membawanya kembali untuk datang ke tempat yang sama, setelah mengajaknya pertama kali beberapa hari lalu.

Dia mengedarkan pandangan, untuk sekadar menghilangkan rasa bosan karena menunggu pesanan mereka. Fokusnya tumpah pada satu titik tertentu, di mana seorang gadis dengan seragam yang sama sepertinya sedang berdiri di depan kasir.

"Kau mengenalnya?"

Pertanyaan Alexon membuat Lalisa tersentak dan membuyarkan pandangannya. Dia berdecak, menatap Alexon datar dengan sorot protes yang kental.

"Apa kau sedang mencoba untuk membunuhku?" tanyanya sarkastis.

"Kau melamun saat melihatnya dan aku bertanya, apa kau mengenalnya atau tidak. Lalu, di mana salahku?" Alexon jelas membela diri. Dia sama sekali tidak merasa sedang melakukan percobaan pembunuhan sekarang.

Lalisa menatap Alexon dengan jengkel. Laki-laki di hadapannya ini sangat menyebalkan, karena selalu memiliki sanggahan untuk setiap pertanyaannya.

"Berhenti berbicara. Kau menyebalkan!" seru Lalisa.

Ini bukan kali pertama, Alexon dicap sebagai sosok yang menyebalkan. Setidaknya, 98/100 orang yang bertemu dengannya, mengatakan hal itu padanya. Jadi, tidak ada alasan untuk merasa tersinggung saat ini.

Entah sejak kapan perintah Lalisa menjadi mutlak bagi Alexon. Saat Lalisa memintanya untuk berhenti berbicara, dia benar-benar menutup rapat mulutnya, tapi pandangannya teralihkan pada sosok yang tadi menjadi objek Lalisa.

Alexon hanya menatap dengan pandangan biasa, tapi gadis itu tampak begitu terkejut ketika pandangan mereka bertemu satu sama lain. Lalu, gadis itu pergi dengan tergesa-gesa.

"Kau pikir, kenapa dia pergi dengan terburu-buru, saat melihat kita di sini?" Alexon menoleh pada Lalisa, yang terlihat masih sibuk dengan dunianya.

"Karena kau menakutkan," sahut Lalisa asal-asalan.

Alexon tertawa kecil. "Bagi mereka yang bersalah, seorang penyidik sepertiku memang agak menakutkan."

"Kau pikir, dia yang membunuh Yuna?" Lalisa langsung membuat kesimpulan kurang dari satu detik.

"Apa aku mengatakan, kalau dia seorang pemubunuh?" tanya Alexon balik. Senyum kecil tersimpan di bibirnya.

Lalisa memutar matanya jengkel. "Ucapanmu bisa membuat orang lain salah paham," protesnya. Seperti ada ketidaksukaan yang kental dalam suaranya.

"Cara berpikirmu yang membuatnya terasa salah," sanggah Alexon.

Oh, demi Tuhan! Lalisa lelah berhadapan dengan Alexon. Laki-laki itu membuat darahnya terus saja mendidih, setiap kali melontarkan kata padanya.

Menyantap makanan mungkin akan menghilangkan sedikit rasa jengkel Lalisa, belum sempat dia mengambil peralatan makannya, Alexon sudah lebih dulu memberikan sumpit padanya.

Lalisa mengambilnya tanpa mengatakan apa pun. Harus dia akui, kalau Alexon bersikap sangat bertanggung jawab untuk ukuran laki-laki menyebalkan.

"Apa kaki temanmu terkilir? Aku melihatnya berjalan pincang tadi." Alexon kembali membuka obrolan, meski dia sudah diperingatkan untuk diam.

"Katanya jatuh dari sepeda."

Gadis berponi itu hanya setengah menganggap kehadiran Alexon, dia lebih banyak mengabaikan, ketimbang menggubris.

"Lalu, luka di keningmu?" Nyatanya, Alexon tidak pernah lelah untuk mencari tahu, meski dia sadar kalau itu membuat lawan bicaranya kesal.

Lalisa mengembuskan napasnya dan menatap Alexon dengan datar. Dia benar-benar tidak paham dengan apa yang sedang laki-laki itu coba untuk lakukan. Sepertinya, Alexon tidak akan pernah berhenti bertanya, sebelum mendapatkan jawaban yang dia inginkan.

"Apa kau percaya, jika aku mengatakan luka itu aku dapatkan semalam, karena terjatuh dan tidak sengaja mengenai pinggiran tempat tidur?" Lalisa menantang Alexon dengan setengah rasa kesalnya.

Jawaban Alexon selanjutnya, akan menentukan langkah apa yang harus Lalisa ambil, jika dia harus berurusan lagi dengan laki-laki itu.

"Aku mencurigaimu, tapi jangan lupa, kalau aku juga percaya padamu," balas Alexon ringan. Sama sekali tidak ada tatapan kecurigaan yang dia berikan.

Lalisa menggeleng tidak paham. Bagaimana mungkin bisa menaruh kepercayaan pada orang lain, di saat yang bersamaan juga mencurigainya.

Itu sangat tidak masuk akal!

"Kau tahu, kau adalah laki-laki paling aneh yang pernah aku temui." Suara Lalisa sarat akan penekanan, dengan sorot mata yang menatap dengan jengkel.

"Dan kau adalah gadis paling misterius dan tidak tersentuh yang pernah aku temui," balas Alexon dengan senyum kecil di akhir kalimat.

Sejak bertemu dengan Alexon, Lalisa jadi sering menarik napas dalam untuk mengumpulkan kesabaran. Dia tidak habis pikir, kenapa dia bisa terlibat dengan laki-laki super menyebalkan seperti Alexon?

"Berapa banyak wanita yang sudah menjadi kekasihmu?" celetuk Lalisa. Tiba-tiba saja, wajahnya menjadi setengah angkuh. "Kau terlihat sangat lihai dalam berkata-kata."

Alexon tertawa kecil. Lalu, menopangkan dua tangannya di dagu. "Kenapa? Kau ingin menjadi kekasihku?"

Lalisa mendecih, "Hanya di dalam mimpimu!"

Apa yang membuat Lalisa menjadi sangat menarik di mata Alexon adalah saat gadis itu bersikap ketus dan seolah tidak acuh. Bagi Alexon, itu adalah daya tarik yang tidak miliki oleh semua gadis dan tentu saja, sisi gelap Lalisa adalah apa yang membuatnya ingin mendekati gadis itu.

"Maka, aku tidak akan bangun, kalau hal itu terjadi dalam mimpiku."

Baiklah, cukup sudah mendengar semua ocehan tidak bermakna dari Alexon. Lalisa pikir, dia bisa saja meregang nyawa detik ini juga, jika terus mendengarkan laki-laki itu.

"Apa kau tahu, siapa saja yang pernah menjadi korban penindasan Yuna?" Alexon kembali membuka suara, setelah Lalisa mengabaikannya dan memilih untuk menikmati makan siang gratisnya.

"Aku bahkan tidak tahu, siapa saja yang menghinaku setiap harinya. Jadi, mana mungkin aku tahu, siapa saja yang Yuna tindas," sahut Lalisa lelah, "Tanyakan itu pada Lee Na atau Park Chaeyoung, mereka adalah teman dekat Yuna."

"Saat kau mendengar kematian Yuna, apa yang kau rasakan?"

Lalisa tertawa kecil. "Tentu saja, senang. Gadis yang selama ini menggangguku akhirnya pergi ke neraka."

"Tidakkah, kau merasa sangat jahat sekarang?" tanya Alexon dengan gelengan kecil. Dia berusaha untuk mencari rasa simpati Lalisa, tapi sulit untuk menemukannya.

"Jika, kesenanganku atas kematian Yuna dianggap sebagai perbuatan yang jahat. Lalu, bagaimana dengan perbuatannya selama ini padaku? Apa itu baik-baik saja, hanya karena kedua orang tuanya termasuk orang penting di yayasan?" balas Lalisa dengan pertanyaan yang membungkam Alexon. "Dia hanyalah sampah tidak berguna, jika bukan karena kedua orang tuanya."

Alexon bisa melihat kebencian di mata Lalisa dengan sangat jelas. Gadis itu seakan menyimpan banyak dendam dan sekarang, tempatnya menyimpan dendam sudah meluap, membuatnya tidak tahan untuk menyembunyikannya lebih lama.

"Saat kau mengatakan ingin membunuh orang-orang yang tidak pernah menghargai hidup orang lain ..." Alexon menjeda sebentar kalimatnya, memastikan perubahan ekspresi Lalisa dengan begitu ketat. "... apa yang kau maksud adalah Yuna?"

Alexon benar-benar melemparkan bom pada Lalisa, tanpa pernah tahu kapan bom itu akan meledak dan tidak menutup kemungkinan, kalau hal itu akan terjadi sekarang.

Tadinya, Lisa sedang mengaduk jjampong miliknya, tapi pertanyaan Alexon menghentikan kegiatan gadis itu sejenak. Dia meletakkan sumpitnya dengan sangat hati-hati, ekspresi wajahnya sama sekali tidak bisa ditebak.

"Apa kau pikir, membunuh Yuna adalah salah satu tujuan hidupku?" Lalisa bertanya balik. Membiarkan ekspresinya terbuka begitu saja seperti buku, agar Alexon bisa mencari sendiri jawabannya di sana. "Jika, dia memang tujuan hidupku, aku pasti tidak akan membiarkannya menginjakku selama lebih dari setahun."

Kesimpulannya adalah Lalisa membantah, kalau membunuh Yuna merupakan salah satu tujuan hidupnya, lebih daripada Yuna, mungkin ada sosok lain yang benar-benar ingin dia lenyapkan dengan tangannya sendiri.

"Apa kau hanya akan menjawabku, ketika didesak?" Kali ini Alexon terdengar lebih serius dari pertanyaan sebelumnya. "Kau terlihat percaya diri saat membicarakan orang lain, tapi kau tidak pernah ingin membicarakan dirimu sendiri."

Lalisa mengangkat bahu. "Karena kehidupanku bukan untuk dibicarakan. Kau tahu, aku sudah sangat muak dengan orang-orang yang terus mengusik kehidupan pribadiku. Jadi, berhenti mengusikku, selagi aku masih baik padamu."

Ini bukan permintaan, melainkan sebuah perintah mutlak dari Lalisa untuk Alexon. Gadis itu sudah banyak memberikan toleransi atas rasa penasaran Alexon dan dia tidak akan memberikan lebih dari yang sudah diberikan sejauh ini.

Semakin Lalisa menutup diri, semakin Alexon tertarik pada gadis itu. Dia bukan tipe orang yang akan dengan mudah tertarik pada kehidupan orang lain, karena Alexon tidak suka mencampuri sesuatu yang bukan urusannya. Namun, Lalisa jelas sebuah pengecualian.

Alexon tersenyum kecil, saat Lalisa sibuk mengunyah setelah memberikan ultimatum padanya.

"Aku harus kembali ke kantor." Alexon meletakkan sumpitnya, tepat ketika Lalisa menatapnya. "Makanlah yang banyak, karena kau mungkin memerlukan energi lebih untuk berhadapan denganku lagi."

Alexon tahu, kalau Lalisa tidak akan menjawab dan dia juga tidak membutuhkan jawaban apa pun dari gadis di depannya.

"Aku tidak menawarkan tumpangan padamu, karena kau pasti akan menolaknya, 'kan?" tebak Alexon tepat sasaran, "Jadi, pulanglah dengan hati-hati dan jaga dirimu."

Lalisa terperangah dengan semua kata yang baru saja Alexon ucapkan padanya. Laki-laki itu terus saja memberikan perhatian kecil, yang membuatnya merinding tanpa alasan.

Alexon keluar dari balik mejanya, berjalan melewati Lalisa dan menyempatkan diri untuk mengacak lembut pucuk kepala gadis itu.

Lagi-lagi, Alexon mengejutkan Lalisa dengan aksinya yang tidak terduga. Setiap peringatan yang diberikan padanya, seakan mental begitu saja.

Lalisa meniup kasar poninya yang baru saja dirusak Alexon. Dia menoleh ke belakang untuk melihat sang profiler yang baru saja melangkah keluar dari pintu. "Apa aku terlihat seperti mainan untuknya?"

Lalisa merapikan rambutnya, sambil menggerutu jengkel. "Aish, kenapa juga aku harus terlibat dengannya lagi. Kuharap, ini akan jadi yang terakhir."

📍📍📍

Teman sekelas Lisa emang titisan satan semua 🤣🤣🤣

Pak Alek udah berani pegang-pegang woy asdfghjkl 🙈🙈🙈🙈🙈

Buchen, tapi doyan bats suudzon
Monmaap, aing yang nulis yang aing gemes 😭😭😭

17 Mei 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro