Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

02. The Thief Girl

Alexon datang ke SMA Jaeguk satu jam lebih awal, untuk benar-benar membuktikan si gadis tanpa nama itu memang bersekolah di sini, juga untuk mencegahnya mengingkari janji.

Jangan pikir, kalau Alexon benar-benar mengajak gadis itu untuk menginap di rumahnya yang sangat berharga, juga suci dari injakan wanita mana pun. Tentu saja, itu semua hanyalah omong kosong semata. Alexon masih sangat amat waras, untuk tidak membiarkan gadis itu masuk ke dalam huniannya.

Jinyoung datang setelah Alexon menelepon dan menanyakan perihal kunci dari borgol yang maknae itu berikan padanya beberapa hari lalu.

Baiklah, cukup dengan cerita semalam yang membuat Alexon setengah enggan mengingatnya, terlebih lagi mengingat bagaimana gadis itu bersikap padanya.

Laki-laki dengan kacamata khas kutu buku itu melirik sekilas arlojinya, mengetukkan ujung sepatunya ke tanah, dan mulai mengedarkan pandangannya, kala beberapa siswa/i mulai keluar dari gerbang.

Alexon menurunkan rambutnya hingga menutupi kening dan mengambil ponsel, lalu mulai menjalankan aksinya untuk bertanya. Anggap saja ini adalah aksinya untuk menyamar.

Alasan kenapa Alexon melakukannya adalah agar pencariannya tidak terganggu dengan kehebohan gadis-gadis yang melihat paras tampannya.

Alexon tidak narsis. Dia hanya percaya diri dengan ketampanan wajahnya. Itu saja.

"Permisi, apa kau mengenal gadis ini?" Alexon bertanya untuk kali pertama, pada seorang gadis yang terlihat sangat cocok dengan seragam Jaeguk-nya.

"Aku tidak mengenalnya," sahut gadis itu ketus, padahal dia belum melihatnya sama sekali, lalu pergi begitu saja tanpa melihat ke wajah culun Alexon, bahkan dia menepis tangan Alexon yang menghalangi jalannya.

Melihat reaksi gadis itu, mengingatkan Alexon pada gadis yang semalam, kasar dan ketus.

"Aish, dasar anak kecil tidak tahu tata krama, bersikap sopan saja tidak bisa," gerutunya tidak terima.

Untuk kali ini, Alexon membiarkan ketidaksopanan gadis itu dan kembali melanjutkan pencariannya, dengan bertanya pada siswa/i yang lainnya.

Setidaknya, sudah ada lima belas orang berbeda yang Alexon tanyai, tapi tidak ada satu pun yang menjawab mengenalnya atau bahkan pernah melihatnya. Mungkin bukan sepenuhnya salah anak-anak itu yang tidak mengenali sosok yang Alexon yang cari, melainkan salah laki-laki itu sendiri karena menunjukkan foto dengan kualitas buruk yang menyakitkan mata.

Bagaimana tidak menyakitkan mata, jika Alexon memberikan sebuah gambar buram yang hanya memperlihatkan sisi samping dari wajah gadis itu dan lagi, cahaya gelapnya sama sekali tidak membantu.

Jadi, semuanya adalah salah Alexon yang mencuri foto itu, di tempat yang minim cahaya dan mengambilnya dari samping.

"Sial, sepertinya aku benar-benar ditipu," gerutunya seraya meninju udara kosong.

Dan tuduhan itu diperkuat, dengan banyaknya anak-anak SMA Jaeguk yang sudah berhamburan keluar gerbang, padahal baru pukul dua lebih, sementara Alexon diminta untuk datang jam tiga.

Tentu saja, Alexon merasa dipermainkan, hingga darahnya seperti mendidih, tapi hati kecilnya menenangkan, memintanya untuk bersabar sedikit lagi dan memutuskan bertanya terakhir kali—karena dia masih tidak menyadari kesalahannya sendiri.

Jika, Alexon tetap tidak mendapatkan jawaban pasti mengenai keberadaan gadis itu, maka dia akan segera melaporkan gadis itu atas tuduhan pencurian barang bukti.

"Permisi, apa kau mengenal gadis ini?" Alexon bertanya pada seorang siswa yang tampan, tapi terlihat cukup angkuh—Mark Lee nama yang tertulis di name tag-nya.

Mark mengambil alih ponsel Alexon, mendekatkan wajahnya pada layar, juga memperbesar gambarnya.

"Ahjussi, tidakkah kau pikir gambarnya terlalu buram? Mana bisa menemukan seseorang dengan kegelapan yang suram seperti ini?" Mark mengoceh, tapi masih berusaha untuk melihat sosoknya yang begitu gelap.

Sepertinya, anak-anak zaman sekarang memang tidak memiliki sopan santun, cibir Alexon tanpa diketahui siapa pun.

Melihat sikap menyebalkan Mark dan gadis pertama yang dia tanyai, membuat laki-laki itu berpikir, kalau kesopanan di negeri ginseng ini memang sudah pudar seiring berjalannya waktu.

Dan apa tadi ... ahjussi? Apa Alexon terlihat setua itu untuk dipanggil ahjussi? Pakaiannya bahkan masih sangat modis, hanya saja tatanan rambutnya yang dibuat turun, seperti kutu buku.

Alexon menahan diri untuk menggeram, tapi giginya terkatup untuk membalas ocehan bocah di depannya. "Jadi, kau mengenalnya atau tidak?"

Bukannya menjawab, Mark justru malah mengedarkan pandangannya, mencari seseorang yang dia kenal.

"Kim Haechan!" panggilnya saat ada laki-laki yang baru melintas tidak jauh darinya.

Seorang laki-laki dengan seragam olahraga putihnya datang menghampiri dan bertanya tanpa basa-basi.

"Kau mengenalnya?" Mark menunjukkan ponsel Alexon pada Haechan. "Dia sepertinya tidak asing, tapi aku tidak bisa mengenalinya, karena kualitasnya terlalu jelek."

Haechan mendekatkan wajahnya pada ponsel Alexon, untuk lebih jelas melihat sosok samar-samar itu, yang memang terlihat tidak terlalu asing di matanya.

"Oh!" Haechan berseru, menarik perhatian Mark dan Alexon untuk mendekat padanya. "Ini Si Gadis Pencuri itu!" Dia menoleh pada Mark dengan berapi-api. "Kau ingat kasus pencurian uang dua bulan lalu, saat kita semua sedang berada di kelas musik?"

Mark membongkar ingatannya, karena dia cukup buruk dalam hal mengingat sesuatu yang sudah terjadi.

"Ah, Lalisa!" seru Mark dengan jentikan jarinya. Matanya juga menunjukkan binar yang berapi-api, seperti Heechan. "Benar, ini adalah Lalisa. Ah, sudah kubilang, 'kan, kalau aku tidak asing dengan gadis itu."

Saat kedua remaja itu sibuk berseru satu sama lain, ada Alexon yang sedang berkutat dengan pikirannya. Dia sedang memikirkan ucapan Haechan sebelumnya, yang mengatakan kalau Lalisa adalah seorang pencuri.

Apa gadis itu benar-benar seorang pencuri? Apa mencuri memang hobinya? bisik Alexon yang diam-diam merasa agak iba—entah dari mana perasaan itu datang.

"Ahjussi, apa yang Lalisa curi darimu?" Mark menarik Alexon dari alam bawah sadarnya dengan tuduhan yang begitu kejam.

Alexon menjawabnya dengan gelangan setengah ragu. "Dia tidak mencuri apa pun."

Gadis itu memang mencuri semalam, tapi kini barang curian itu berada di tangan Alexon. Jadi, itu tidak bisa disebut sebagai mencuri, 'kan? Karena barangnya bahkan tidak berada di tangan Lalisa.

"Ahjussi, katakan saja apa yang dia curi, maka kami akan membantumu untuk melaporkannya pada guru," timpal Haechan. Dia tampaknya sangat bersemangat untuk melaporkan pencurian yang dilakukan oleh Lalisa. "Pencuri seperti dia tidak boleh berada di sekolah kami."

Wah, Alexon sungguh dibuat takjub dengan lisan Haechan yang terkesan, seolah Lalisa adalah makhluk paling pendosa di muka bumi yang layak untuk dihakimi, dikucilkan dan dibuang ke ujung dunia.

"Tidak perlu," balas Alexon tanpa menjunjukkan kegeraman. Dia mengambil ponselnya dari Haechan dengan senyum tipis. "Terima kasih untuk informasinya. Sekarang pulanglah, orang tua kalian mungkin sedang menunggu anak-anak manjanya yang tersayang."

Tentu saja, yang Alexon katakan adalah sebuah sindiran, tapi itu pun jika keduanya merasa atas sarkasme tadi.

Sekarang pertanyaan Alexon sudah terjawab. Gadis yang akan menjadi partnernya itu benar-benar siswi dari SMA Jaeguk. Tidak ada lagi alasan untuk meragukan Lalisa, sebab gadis itu berkata jujur—meski tindak tanduknya masih terasa mencurigakan bagi Alexon.

Sang profiler mengedarkan pandangannya dan bergeser dari jalanan tengah ke pinggir. Dia akan menunggu Lalisa, sampai waktu yang sudah ditentukan. Ini baru pukul 14.20, setidaknya Alexon masih memiliki waktu sekitar empat puluh menit lagi, untuk menunggu kemunculan gadis yang dia cari.

Alexon sudah membayangkan, kalau dia akan mengeluh bosan karena menunggu seperti orang idiot di tepi gerbang, tapi semuanya sirna, ketika dia melihat Lalisa keluar dari gerbang dan mengambil arah yang berlawanan dengannya.

"Hei, Partner!" panggilnya keras.

Namun, bukannya menghentikan langkah, menoleh atau melakukan sesuatu yang menyiratkan, kalau dia mendengar panggilan seseorang, Lalisa justru malah meneruskan langkahnya.

"Aish, gadis ini memang tidak punya sopan santun. Apa mereka yang bersekolah di SMA Jaeguk memang memiliki kepribadian yang buruk?" Alexon menggerutu kesal, sebelum berlari kecil menghampiri Lalisa.

"Partner!" Alexon menyentak tangan Lalisa, membuat gadis itu berbalik dengan terkejut dan siap untuk memaki, tapi semuanya tergantikan dengan embusan napas panjang.

Lalisa melepaskan salah satu earphone di telinganya, dengan bola mata yang memutar malas, seolah dia bosan melihat kehadiran Alexon. "Aku bilang jam tiga. Kenapa kau datang sekarang?"

Meski dalam tampilan yang berbeda dengan semalam, tapi Lalisa tidak akan melupakan rahang tegas yang ingin dia tinju, karena sudah berani merusak kemejanya.

Alexon mengangkat bahu, sebagai respons awal untuk pertanyaan barusan. "Hanya untuk memastikan, kalau kau tidak berbohong soal bersekolah di sini."

"Aku tahu, pekerjaanmu memang untuk menyelidiki sesuatu, tapi bukan berarti kau harus curiga pada semua orang yang kau temui, 'kan?" Terdengar seperti Lalisa tersinggung atas kedatangan Alexon yang lebih cepat.

"Sayangnya, kau berada dalam daftar kecurigaan dengan nomor urut satu," balas Alexon tanpa peduli pada rasa tersinggung Lalisa sebelumnya. "Jadi, maaf, kalau aku akan terus mencurigaimu, sampai kasus yang aku tangani ini selesai."

"Terserah!" balas Lalisa tidak peduli.

Kaki jenjangnya ingin kembali melangkah, tapi Alexon segera menahannya.

"Kau mau ke mana?"

"Tentu saja pulang untuk mengganti pakaian. Memangnya, kenapa aku menyuruhmu untuk datang jam tiga?" Lalisa menarik tangannya dari Alexon.

Dia benar-benar tidak suka dengan laki-laki di hadapannya ini, yang terkesan ingin tahu lebih banyak tentangnya dan rela menunggu panas-panasan.

"Aku akan mengantarmu pulang."

"Aku bisa pulang sendiri," tolak Lalisa. "Kau tunggu saja di sini, aku kembali kurang dari setengah jam."

Tujuannya meminta Alexon datang pada jam tiga, agar laki-laki itu tidak perlu menunggu lama, tapi keingintahuannya membuat laki-laki itu rela datang lebih awal.

"Kau tidak berniat untuk kabur, 'kan?" tanya Alexon penuh selidik.

Entah sudah berapa kali gadis itu memutar kedua bola matanya, sejak dia bertemu dengan Alexon semalam.

"Jika, aku ingin kabur, maka aku akan melakukannya sejak tadi," geram Lalisa. "Kau sudah mengetahui di mana sekolahku. Jika, aku tidak kembali lagi, maka kau bisa melaporkanku kepada kepala sekolahku." Saking jengkelnya, Lalisa sampai menyarankan sesuatu yang sebenarnya dia benci.

Tentu saja, berurusan dengan kepala sekolahnya adalah hal yang paling Lalisa hindari, terlebih lagi dia memiliki riwayat hubungan yang buruk dengan laki-laki paruh baya, yang setara usianya dengan sang ayah.

Pada akhirnya, Alexon memutuskan untuk memberi partnernya itu sedikit kepercayaan, dengan membiarkan Lalisa pulang guna mengganti pakaian.

"Jika, kau tidak kembali, maka aku akan langsung melaporkanmu ke kantor polisi. Dan kau akan masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) detik itu juga!"

Itulah yang Alexon teriakan, sebelum Lalisa hilang dari pandangannya, yang dibalas dengan lambaian tangan dari si gadis.

📍📍📍

"Apa kau sudah membaca catatan Jiyeon?" Lalisa bertanya, ketika Alexon memberikan catatan Jiyeon, setelah mereka sampai di sebuah mini market.

"Aku menghabiskan waktu semalam untuk membacanya." Alexon melepas sabuk pengamannya, sambil memperhatikan situasi mini market yang cukup sepi. "Ayo, turun."

"Ke mana?"

"Mini market. Memangnya, ke mana lagi?"

Alexon langsung turun dari mobilnya, tanpa memerlukan jawaban dari sang partner. Dia memborong banyak makanan dan minuman, sementara Lalisa sudah menempati meja kosong di depan mini market.

"Jadi, petunjuk apa yang kau dapatkan?" tanya Lalisa, ketika Alexon mengambil tempat di depannya.

"Kebanyakan dari catatan itu mengarah pada penyelidikan limbah yang kau bicarakan semalam." Alexon membuka kaleng soda yang tadi dia beli dan memberikannya pada Lalisa, lalu membuka susu kalengan untuk dirinya sendiri. "Tidak ada catatan lainnya yang mencurigakan."

Lalisa baru membaca di halaman pertama, tapi dia sudah ingin menyimpulkan sesuatu di dalam kepalanya.

"Kira-kira, apa hubungan Jiyeon dengan orang yang membunuhnya?" tanya Lalisa meminta pendapat.

"Kencan singkat setelah kematian kakakmu?" balas Alexon tidak yakin. "Bibirnya sedikit bengkak, juga ada beberapa kissmark di lehernya."

"Jiyeon dan Eunho berkencan selama tiga tahun. Tidak mungkin dia berpaling begitu saja, setelah kematian tragis Eunho," jelas Lalisa. Dia mencoba mencari sesuatu di dalam ingatannya, yang mungkin saja bisa memberikan sedikit petunjuk. "Aku pikir, ada sesuatu yang Jiyeon sembunyikan."

"Itulah yang harus kita temukan," timpal Alexon. Dia membuka sosis kemasannya dan menggigit penuh semangat. "Alasan kenapa Jiyeon bersama dengan Sweetest Killer."

"Apa kau memiliki petunjuk lain?" tanya Lalisa. Dia pikir, buku catatan Jiyeon tidak akan mengungkapkan siapa pembunuhnya.

"Sebentar." Alexon meninggalkan kursinya, mengambil sesuatu di dalam mobilnya dan kembali pada Lalisa.

"Ini adalah laporan terbaru dari penyelidikan tadi pagi dan sisanya berkas lama dari kasus pembunuhan SK." Alexon memberikan tumpukan kertas yang tebal pada Lalisa.

"Semua ini?" Lalisa merespons dengan mata bulatnya. Tumpukan kertas di depannya memiliki tebal lebih dari sejengkal. "Ini sampah atau apa?"

"Hei, ini adalah kasus pembunuhan berantai, tentu saja ada banyak berkas untuk dibandingkan dengan kasus sebelumnya. Ini masih belum seberapa tahu, masih ada dua kotak lagi yang menyimpan catatan panjang tentang pembunuhan Sweetest Killer," oceh Alexon panjang lebar.

Lalisa tampak ingin protes, tapi dia menahan diri dan mengambil berkas paling atas, yang sudah tersusun dan dijepit.

Hal pertama yang Lalisa lihat, ketika membuka lembaran kertas adalah tubuh telanjang Jiyeon dengan kaki dan tangan yang diikat ke belakang, membuat tulangnya menggigil takut.

"Ya, Tuhan!" pekik Lalisa dengan sebelah tangan yang membungkam mulutnya. "Apa yang pembunuh itu lakukan pada Jiyeon?"

Alexon mengintip, mencari tahu tentang apa yang dilihat oleh Lalisa sekarang. "Itu masih belum seberapa. Kau akan menemukan sesuatu yang lebih keji lagi."

Dia pikir, Jiyeon sedikit lebih beruntung ketimbang lima korban lainnya, karena tidak ditemukan luka sayat pada tubuh mulusnya, juga dia bunuh bukan setelah melakukan seks.

Dan seperti yang Jinyoung katakan semalam, pembunuhan ini belum sampai pada tahap terakhir, di mana korban akan ditaruh pada taburan kelopak mawar merah dengan lilin berbentuk hati yang mengelilinginya.

"Laki-laki ini pasti seorang psikopat!" Lalisa menggeram, setelah melihat lembaran lainnya yang memang menampakkan hal yang lebih keji dari kematian Jiyeon. "Kenapa dia memperlakukan wanita, seperti boneka yang tidak ada harganya."

"Itulah kenapa kita harus menemukan psikopat ini secepatnya, sebelum ada korban berikutnya!" timpal Alexon berapi-api. "Tidak ada jaminan kalau dia akan berhenti bertindak, setelah aksinya gagal semalam."

"Gagal?"

Alexon mengangguk, mengunyah sebentar rotinya, sebelum memberikan penjelasan. "Jika, kau melihat kembali pada lima kasus sebelumnya, mereka semua ditempatkan pada lilin berbentuk hati, dengan luka sayat di sekujur tubuh, tapi Jiyeon ditemukan masih berada di atas kasur tanpa sayatan apa pun di kulitnya. Jadi, kemungkinan terbesarnya adalah seseorang mengacaukan aksi pembunuhan semalam dan kami sedang mencari siapa saja terekam di CCTV sekitar tempat tinggal Jiyeon."

Lalisa mencoba untuk mencerna semua penjelasan Alexon, sambil sesekali melihat kertas di tangannya untuk diteliti lagi. Meneliti kasus pembunuhan bukanlah keahliannya, jadi perlu melihat berkali-kali untuk bisa menemukan kejanggalannya.

"Tapi, perasaanku mengatakan, kalau ini bukan perbuatan SK. Ada sesuatu yang janggal dari kematian Jiyeon. Sesuatu yang tidak terlalu diperhatikan, karena mereka terlalu fokus dengan pola pembunuhan," gumamnya menambahkan. Alexon melemparkan punggungnya pada sandaran kursi, mencoba untuk mencari jalan keluar dari dalam pikirannya sendiri. "Tapi, profiler tidak bekerja menggunkan perasaannya."

Alexon mengembuskan napas kasar. Jika, dia ingin membantah pembunuhan ini dilakukan oleh Sweetest Killer, maka dia harus memberikan argumen kuat yang masuk akal, bukan hanya berdasarkan perasaan yang sifatnya berubah-ubah.

"Pasti ada saksi mata ataupun jejak," gumam Alexon penuh keyakinan. Dia mengunyah roti, sambil memutar otaknya, tanpa menyadari perhatian Lalisa yang tumpah padanya. "SK tidak mungkin meninggalkan Jiyeon begitu saja, tanpa melakukan kebiasaannya. Jadi, pasti ada sesuatu yang membuatnya terpaksa berhenti, lalu dia melompat keluar lewat jendela."

Alexon berbicara pada dirinya sendiri. Setiap kali menangani kasus, dia hanya akan berkutat dengan pikirannya sendiri, tanpa ingin membagikannya pada siapa pun, jika masih bersifat asumsi.

Laki-laki itu mengeluarkan ponsel dari sakunya, menunggu sambungannya untuk terhubung pada seseorang di seberang sana, sambil mengunyah apa saja yang bisa dia makan sekarang. Nyatanya, membaca catatan Jiyeon membuat Alexon kekurangan asupan untuk perutnya, hingga dia membeli banyak makanan juga minuman, serta camilan untuk mengganjal laparnya.

"Apa sudah ada saksi lain yang ditemukan?" tanya Alexon langsung. Rupanya dia menelepon rekan satu timnya, yang tidak lain adalah Jinyoung.

Dari empat orang yang ada di tim, sang maknae-lah yang paling dekat dengannya, bahkan berkas yang diberikan pada Lalisa, berasal dari Si Maknae.

"Kami sudah menyimpan beberapa nama untuk dicari. Sekarang kami akan kembali ke TKP dan bertanya pada tetangga. Kau akan ikut?"

Ada kalanya TKP memang harus diperiksa dua kali atau bahkan lebih, hanya untuk memastikan kalau tidak ada petunjuk penting yang tertinggal.

"Aku tidak ikut, kalian saja yang ke sana, tapi laporkan padaku, jika ada bukti baru yang ditemukan," balas Alexon.

Dia mengakhiri teleponnya dengan Jinyoung dan kembali melanjutkan makannya. Laki-laki itu terlihat seperti orang kelaparan dan Alexon memang sangat lapar sekarang, karena dia menghabiskan sepanjang malam untuk membaca.

"Kau tidak ikut bersama timmu?" Lalisa bertanya penuh keingintahuan.

"Aku memiliki kebebasan kerja sendiri. Aku tidak harus mengikuti ke mana mereka pergi dan aku bisa melakukan penyelidikan sendiri."

"Sebebas itu kah pekerjaanmu?"

"Profiler berbeda dengan detektif. Mereka bertindak di bawah perintah ketua tim, sementara aku bertindak di bawah keinginanku sendiri. Jadi, aku memiliki kebebasan bekerja yang sangat bebas, tentu saja tetap di dalam batasan hukum," jelas Alexon panjang lebar, karena dia pikir gadis di depannya perlu mengetahui hal itu. "Tapi, ada kalanya aku mengikuti perintah."

Lalisa mengangguk paham. "Jadi, apa kita bisa kembali lagi ke rumah Jiyeon? Kupikir, kita perlu menggeledah rumahnya untuk mencari bukti lain."

Alexon melirik arlojinya sekilas. "Kita bisa kembali setelah mereka selesai melakukan penyelidikan. Mungkin sekitar tiga atau empat jam dari sekarang."

Lalisa hanya mengangguk dan kembali berkutat dengan kertasnya, seolah memang dialah yang melakukan penyelidikan, alih-alih hanya seorang informan bagi Alexon.

"Aku akan mengantarmu pulang dan akan menjemputmu lagi, kalau mereka sudah selesai melakukan penyelidikan." Alexon mulai membereskan makanan dan minumannya yang memenuhi meja.

Padahal mereka hanya mampir sebentar, tapi Alexon membeli banyak yang setara untuk dua minggu persediaan.

"Aku akan tinggal di sini saja. Kau pulang atau pergilah ke mana pun yang kau inginkan dan jemput aku di sini," sahut Lalisa tanpa memberikan perhatiannya pada Alexon.

"Sungguh kau ingin di sini saja?" tanya Alexon memastikan.

Lalisa mengangguk, kali ini dengan menatap Alexon. "Terlalu melelahkan kalau harus kembali ke rumah dan pergi lagi," keluhnya.

"Jika, aku meninggalkanmu di sini, itu artinya kau akan menunggu sendiri selama tiga jam," jelas Alexon berapi-api, seolah Lalisa tidak paham dengan keputusannya sendiri. "Tiga jam, bukan tiga menit atau tiga puluh menit."

"Aku sudah terbiasa sendiri, tidak perlu khawatir."

Khawatir?

Alexon khawatir?

Oh, yang benar saja! Alexon sama sekali tidak khawatir pada Lalisa. Dia hanya merasa sedikit kasihan pada gadis berponi itu, karena pasti akan terlihat sangat menyedihkan, jika hanya duduk sendiri selama berjam-jam.

"Bangunlah," kata Alexon pada akhirnya.

"Ke mana?"

Alexon tidak menjawab. Dia menarik atau lebih tepatnya menyeret Lalisa untuk ikut dengannya ke dalam mobil. Setelah mendengar ocehan Mark dan Haechan tadi, Alexon seperti tidak tega pada gadis itu.

"Aku bilang, aku tidak mau pulang," protes Lalisa, saat Alexon mulai melajukan mobilnya.

"Kita tidak akan pulang ke mana pun."

Tidak pulang yang dimaksud Alexon adalah mereka menunggu di perempat jalan rumah Jiyeon. Meski Lalisa memang sangat menyebalkan, tapi Alexon tidak akan sejahat itu untuk meninggalkannya sendirian di depan mini market untuk waktu yang lama.

Lalisa memang terlihat sangat tangguh dengan celana super pendeknya dan juga hoodie berwarna ungu, ditambah lagi dengan tatapan tajam itu, tapi bukan berarti gadis itu pasti terhindar dari gangguan orang lain, 'kan?

Alexon hanya tidak ingin partnernya ini berada dalam bahaya, atau setidaknya mengalami kesulitan selama penyelesaian kasus ini.

"Aku akan tidur sebentar. Jika, kau ingin camilan, ambil saja di belakang," kata Alexon.

Lalisa agak bingung sebenarnya, kenapa Alexon mau repot-repot untuk tidur di mobil, padahal laki-laki itu bisa tidur rumahnya, tapi gadis itu enggan untuk bertanya. Dia hanya membiarkan Alexon menurunkan sandaran kursi dan mulai terlelap dalam mimpinya.

Baik, mari lupakan tentang kemurahan hati Alexon hari ini, karena Lalisa perlu fokus pada tujuan awal, kenapa dia bersama dengan Alexon sekarang.

Ini adalah kali pertama Lalisa melihat berkas pembunuhan secara langsung dan sungguh luar biasa mengerikan, ketika dia terus melihat korban pembunuhan itu berkali-kali. Ada beberapa persamaan yang Lalisa temukan di dalam foto yang memperlihatkan keadaan tempat tinggal korban, setelah kasus pembunuhan dikonfirmasi dari lima korban sebelumnya, tapi tidak ditemukan banyak kesamaan pada kasus kematian Jiyeon dan gadis itu sudah menandai bukti barunya.

📍📍📍

Alexon terbangun dari tidur nyenyaknya, ketika dering ponsel meraung minta diangkat. Nama Jinyoung tersusun rapi di sana. Malam sudah datang, ketika Alexon membuka mata dengan sempurna.

"Hyung, kami menemukan seorang saksi, yang melihat Jiyeon dan seorang laki-laki sebelum pembunuhan terjadi. Dia akan memberikan kesaksian mengenai perawakan dari laki-laki itu."

Jinyoung memang yang paling bisa diandalkan, di antara semua orang yang Alexon kenal, bahkan ketika dia belum bertanya apa pun.

Alexon menegakkan tubuh, sambil menggosok matanya yang gatal. "Lalu, bagaimana dengan penyelidikan di restoran semalam?"

"Kata beberapa pekerja di sana, Jiyeon memang sering datang ke tempat itu bersama seorang laki-laki, tapi di hari kejadian, Jiyeon datang bukan dengan laki-laki yang selalu bersamanya dan kami mendapatkan rekaman CCTV-nya."

Alexon mengangguk kecil. Dia masih berusaha untuk menyambungkan kepingan cerita di dalam kepalanya, yang sudah sedikit tersusun.

"Apa kalian menemukan bukti baru di rumah Jiyeon?"

"Kami menemukan sesuatu yang aneh di kamar Jiyeon, Hyung. Sepertinya, dia sedang meneliti sesuatu, ada banyak peta yang menjadi lokasi dari sebuah pabrik, tapi Ketua Tim Ji meminta untuk fokus saja pada kasus SK."

Itu pasti penelitiannya dengan Eunho, pikir Alexon.

"Jadi, kalian meninggalkan semuanya di sana?" tanya Alexon memastikan.

"Kami tidak membawa apa pun."

Bagus.

Jika, mereka tidak membawa apa pun yang berkaitan dengan penelitian Jiyeon, maka itu artinya Alexon bisa menuntaskan kasus kematian Eunho.

"Sekarang kalian ada di mana?" tanya Alexon lagi.

"Kami baru saja kembali ke kantor. Kau tidak akan datang hari ini?"

"Aku sedang tidak enak badan hari ini. Aku akan datang ke kantor besok." Setengah yang Alexon katakan adalah kebohongan dan setengahnya lagi adalah rencana.

Sambungan terputus, setelah Alexon mengucapkan terima kasih pada Jinyoung.

"Mereka sudah—" Ucapan Alexon tertelan kembali, saat dia menoleh dan mendapati Lalisa yang tertidur dengan kepala yang nyaris jatuh.

Melihat Lalisa tertidur membuat Alexon berpikir diam-diam. Dia bertanya pada dirinya sendiri, apakah gadis di sampingnya ini memang seorang pencuri atau itu semua hanya kesalahpahaman?

Alexon menggeser kepala Lalisa ke kanan, agar tidak terjatuh. Dia mengambil berkas yang berada di pangkuan gadis itu dengan sangat hati-hati dan melihat apa saja yang gadis itu kerjakan di sana, selama dia tertidur beberapa jam.

Alexon membuka lembaran kertasnya dengan begitu tergesa-gesa, saat melihat beberapa lingkaran kecil, di beberapa gambar tertentu. Dia meneliti semuanya satu per satu, dengan senyum cerah yang mengembang.

"Kau memang sangat berguna, Partner." Alexon menoleh bangga pada Lalisa.

Tanda-tanda yang Lalisa berikan mampu memperkuat keyakinan Alexon sebelumnya, yang mana hati kecilnya memiliki kejanggalan atas kematian Jiyeon. Lalu, tanpa membangunkan gadis itu, dia melajukan mobilnya ke rumah Jiyeon.

"Partner, bangun." Alexon menyenggol pelan lengan Lalisa.

Alasan kenapa dia masih memanggil gadis itu dengan sebutan partner, sementara Alexon sudah mengetahui namanya adalah karena Lalisa berkeras tidak ingin memberitahu namanya.

"Cukup panggil aku Partner saja."

Itulah yang Lalisa katakan, saat Alexon berbasa-basi menanyakan nama gadis itu, ketika dalam perjalanan tadi. Jadi, Alexon berusaha untuk menghargai keputusan itu.

Lalisa terbangun, setelah Alexon menyenggolnya lebih keras lagi.

"Bangun, kita harus melakukan penyelidikan sekarang," bisik Alexon.

Merasa wajah laki-laki itu terlalu dekat dengannya, membuat Lalisa beringsut seraya menggosok matanya. Lalu, tanpa ingin menyapa Alexon, dia segera keluar dari mobil.

"Aish, setidaknya bertanyalah di mana kita sekarang," gerutu Alexon sebelum dia ikut turun dari mobil.

Rumah Jiyeon masih dipasangi garis polisi, karena penyelidikan belum selesai dilakukan, tapi sudah tidak ada polisi yang menjaganya.

"Kau mencarilah di kamar Jiyeon, aku akan memeriksa jendela di samping kamarnya. Mungkin ada petunjuk di sana," titah Alexon ketika mereka kembali di kamar Jiyeon, yang tidak berubah sejak kemarin.

Lalisa baru akan membuka laci, tapi tangannya ditahan oleh Alexon.

"Apa?" tanyanya bingung.

"Ini adalah TKP, kau tidak bisa sembarangan menyentuh dan mengubah tempat barang-barang. Sidik jarimu bisa ditemukan dan kau akan masuk dalam daftar orang-orang yang perlu diselidiki." Lagi-lagi, Alexon harus memberikan penjelasan pada Lalisa. "Dan kau pasti bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya, 'kan?"

"Berikan sarung tanganmu," pinta Lalisa.

Alexon memberikannya dan mereka berpisah sesuai rencana sebelumnya.

Halaman samping rumah Jiyeon dipenuhi rumput liar, tanpa penerangan juga tanah yang sedikit basah. Alexon tidak sadar, kapan hujan turun, sepertinya dia tidur terlalu nyenyak tadi.

Alexon memulai pencariannya, tepat di bawah jendela kamar Jiyeon. Dia mencari dengan meraba tanah basah itu menggunakan sarung tangan karet dan juga senter.

Ayolah, Alexon tidak akan mau berkubang langsung dengan tanah basah, terlebih lagi di malam hari. Bagaimana jika ada cacing? Atau lebih parahnya lagi anakan ular?

Errr, membayangkannya saja sudah membuat Alexon merinding bukan main.

"Kenapa aku yakin sekali, kalau pembunuhan kali ini meninggalkan bukti?" gumamnya seraya meraba tanah basah. "Dari apa yang Lalisa temukan, memang terdapat beberapa perbedaan yang cukup mencolok pada pembunuhan kali ini, bahkan dengan melihatnya sekali saja, pembunuhan ini terasa tidak sama."

Alexon masih berusaha mencari, sambil terus memikirkan kemungkinan lainnya yang terjadi di dalam kasus ini.

"Hei, aku menemukan sesuatu!" Lalisa berseru dari atas jendela yang setengah terbuka.

Alexon yang terlalu antusias, segera berdiri dari jongkoknya, tanpa sadar dengan jendela yang terbuka, membuat kepalanya terantuk bingkai kayu di atasnya.

"Aw, kepalaku!" pekik Alexon. Dia segera mengusap kepalanya dengan tangan, yang sialnya Alexon lupa, kalau tangannya baru saja mengacak-acak tanah basah.

Umpatan mengalir lancar, begitu Alexon sadar dengan kebodohan barusan, sementara Lalisa mundur perlahan dari jendela. Dia tidak ingin menjadi sasaran umpatan atas apa yang sedang terjadi saat ini.

Alexon terpaksa mencuci rambut, sebelum kepalanya menjadi gatal karena dipenuhi dengan kotoran tanah.

"Jadi, apa yang kau temukan?" Alexon bertanya sambil menggosok rambutnya yang basah. Persetan dengan barang Jiyeon yang dia pakai tanpa izin.

"Pisau lipat." Lalisa menunjukkan temuannya pada Alexon. "Aku menemukannya di bawah kolong kasur. Aku tidak yakin, kalau ini milik Jiyeon, mungkin saja ini milik pembunuh itu."

Hanya pisau lipat.

Alexon pikir, dia memerlukan bukti yang lebih kuat lagi, untuk membongkar kasus pembunuhan ini. Setidaknya, sebuah identitas atau petunjuk lainnya yang bisa menuntun mereka.

"Dan aku juga menemukan catatan ini." Lalisa menunjukkan penemuannya yang lain. Lima lembar kertas dengan tumpahan tinta nyaris di seluruh permukaannya.

Alexon mengambil dengan tergesa. "Di mana kau menemukannya?"

"Di dalam kotak make up Jiyeon, terletak ditumpukan paling bawah."

Tempat yang aneh untuk menyembunyikan sesuatu, tapi lebih aneh lagi karena Lalisa yang berinisiatif untuk mencarinya di sana. Namun, bagi Alexon itu adalah hal yang wajar. Tempat teraman untuk menyimpan catatan rahasia adalah di tempat terbuka, yang dirasa tidak akan menarik perhatian siapa pun, bahkan jika di letakkan di pintu masuk sekalipun.

21 Oktober 2019
Kepala pabrik itu yang membuang limbah ke sungai, dengan beberapa pekerja lainnya.

3 November 2019
Pembuangan limbah dilakukan saat hujan turun dan ini sudah ketiga kalinya dalam sebulan terakhir.

8 November 2019
Aku bertemu dengannya malam ini.
Seperti kata Eunho, dia memang menyembunyikan sesuatu.

20 November 2019
Eunho hilang selama tiga hari, sebelum mayatnya ditemukan di pembuangan limbah. Aku yakin pembunuhan itu dilakukan olehnya.

28 November 2019
Aku akan membongkar semua pelanggarannya dan membalaskan kematian Eunho.

Alexon berkutat dengan otaknya, tiga kata terakhir mulai mengganggu pikirannya. Dia membongkar ingatan mengenai potret telanjang Jiyeon semalam, di mana ditemukan kissmark di beberapa tempat, juga mengingat ucapan Lalisa yang berpikir, kalau Jiyeon pasti memiliki alasan kenapa dia melakukan itu.

Dan dari pemikiran Alexon sekarang, sepertinya Jiyeon mencoba untuk mendekati pelaku yang dicurigai membunuh Eunho, mengambil risiko dengan mengencani laki-laki itu dan melakukan balas dendam.

Namun, Alexon belum bisa menyimpulkan, balas dendam seperti apa yang Jiyeon inginkan. Apakah sebuah kematian yang setimpal atau kurungan penjara.

"Kau sudah melihat kertas-kertas yang aku tandai tadi sore?" tanya Lalisa ingin tahu.

Alexon mengangguk, fokusnya masih terpusat pada catatan Jiyeon yang baru saja ditemukan.

Otaknya berputar dengan sangat cepat, menyatukan setiap potongan cerita di dalam benaknya yang sudah dia kumpulkan sejak semalam.

"Apa kau memikirkan hal yang sama denganku?" tanya Lalisa lagi. Sejak tadi Alexon lebih sering diam dan tidak terlalu banyak berkomentar. "Kau sendiri yang mengatakan, kalau ada banyak kejanggalan dari kasus Jiyeon, 'kan?"

Alexon menoleh, menatap Lalisa beberapa detik sebelum akhirnya suara mereka bersatu dalam satu kalimat dan keyakinan yang sama.

"Pembunuhnya adalah orang lain, dengan menggunakan metode pembunuhan Sweetest Killer."

📍📍📍

Tolong jangan berekspektasi tinggi sama work ini, karena skill bantat dalam genre kriminal gini masih sangat amat rendahan 🤣🤣🤣🤣

1 Mei 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro