Kursus Mode Dadakan
"Taraaaa ... inilah tempat tinggal kita," Odetta membentangkan kedua tangannya saat pintu apartemen mereka terbuka.
"Waahh ... akhirnyaaaaa!" Mata Bunga berbinar-binar melihat sofa empuk yang ada di hadapannya. Sedetik kemudian dia meninggalkan kopernya begitu saja dan menghambur ke kursi empuk itu.
"Paris, I'm here!" teriak Bunga sambil lompat ke sofa dan memeluk bantal sofa. "Gue akan memulai hidup baru di sini, sebagai mahasiswa kampus khusus kuliner. Dan, gue akan membentangkan sayap lebar-lebar untuk memulai usaha di sini. Yihaaaa!"
"Hei, jangan teriak-teriak! Dipelototin sama tetangga, tuh! Aduuhh, kalau lo teriak-teriak itu, gue ngeri tetangga ganteng itu jadi nggak betah tinggal di sebelah!" Odetta menyandarkan koper ke dinding dan menunjuk ke balkon yang terlihat jelas dari ruang tamu ini.
Bunga melotot sambil mengangkat kepalanya dari bantal. Ruang tamu dengan balkon hanya dibatasi kaca besar yang tertutup tirai putih tipis, dilengkapi dengan pintu kayu dengan posisi terbuka. Segala sesuatu yang ada di balkon dapat terlihat jelas dari ruang tamu. Termasuk pagar pembatas pada balkon di unit tetangga, di sebelah kiri. Begitu juga sebaliknya. Segala sesuatu yang ada di ruang tamu ini dapat terlihat jelas dari balkon, apalagi dalam keadaan tirai yang disampirkan di kiri-kanan kaca dan pintu pemisah yang terbuka.
Bunga terbelalak melihat ke balkon. Bukan balkon apartemen ini, melainkan balkon sebelah. Di sana sosok dengan wajah tirus itu menatap Bunga tanpa berkedip. Jangankan berkedip, bergerak saja tidak.
"Pascal memang gitu, Nga. Dia jarang banget keluar dari unit dan berinteraksi sama orang-orang sini," Odetta seperti bisa membaca pikiran Bunga.
"Oh, ya? Kok, bisa? Memangnya orang-orang sini nggak pernah saling bergaul?" Bunga mengernyit.
"Nggak gitu juga. Selama gue di sini, penghuninya asyikasyik, kok. Pascal aja yang nggak pernah mau gabung," sahut Odetta. "Makanya lo ati-ati, deh. Pascal memang aneh. Tapi, ganteng banget. Hihihi ...."
"Huuuu ... dasar! Jangan-jangan lo naksir dia, ya?"
"Enak aja!"
Bunga berdiri dan berjalan perlahan menuju balkon sambil balas menatap sosok itu. Sesaat, Bunga mengira Pascal melamun. Tapi, mata pemuda itu tepat ke arah Bunga.
Tubuh Pascal terlalu kurus, rambutnya Kecokelatan, dan matanya cekung dengan bola mata abu-abu yang suram. Sosok itu membuat Bunga terheran-heran. Pemuda tampan itu sama sekali tidak terlihat seperti orang yang kekurangan. Bahkan, dari cara berpakaiannya memperlihatkan bahwa pemuda itu cukup berada. Tapi, mengapa tubuhnya tampak seperti boneka yang sudah kempis, ya? Padahal, di tempat ini banyak toko makanan. Bunga memberanikan diri melempar senyum kepada pemuda yang berdiri bersandar di pagar pemisah antara balkonnya dan balkon apartemen ini. Tapi, dia tetap bergeming. Mata abu-abunya terus menatap Bunga dan sorotnya semakin tajam.
Bunga mengernyit. Dia terheran-heran dengan sikap pemuda itu. Akhirnya, Bunga menyimpan lagi senyum dan lesung pipinya.
"Gue udah bilang, lo jangan terlalu berharap dapat senyum balasan," Odetta memecah keheningan yang tadi sempat tercipta. "Dia nggak bakalan mau sering-sering senyum. Apalagi, sama orang yang baru dikenal kayak lo gini."
"Oh, ya?" Bunga membalikkan badan, menatap Odetta yang sibuk menyiapkan teh di meja dapur yang berada di area yang sama dengan ruang tamu.
"Iya. Dia itu tukang kembang paling ganteng yang pernah gue lihat," sahut Odetta sambil memasukkan dua sendok gula ke cangkirnya.
"Oh, ya? Dia punya toko bunga?" tanya Bunga.
"Ssttt! Jangan keras-keras. Nanti dia dengar. Kan, malu," Odetta menempelkan sendok ke mulutnya.
"Ups!" Bunga menutup mulut dengan telapak tangan. Dia berbalik lagi menghadap balkon. Pemuda berwajah pucat itu masih berdiri dengan posisi yang sama, tapi wajahnya menatap ke langit Paris dengan tatapan kosong.
"Dia mikirin apa, ya? Kok, sampai pucat banget kayak gitu?" Bunga melangkah mendekati Odetta.
"Nggak tahu. Gue nggak pernah mikirin apa yang ada di pikirannya. Namanya juga Pascal. Semua orang di apartemenini udah tahu sifatnya. Jadi, nggak ada yang heran," sahut Odetta sambil mengaduk teh. "Gue suka negur, sih. Suka ngajak ngobrol sedikit-sedikit karena pas banget tinggal bersebelahan gini," Odetta mengangkat dua cangkir dengan kedua tangannya dan menyerahkan salah satu cangkir kepada Bunga.
"Oh, gitu ... eh, tapi beneran, ya, dia segitu pendiamnya?" Alis Bunga berkerut. Dia mulai menyeruput tehnya.
"Kadang-kadang gue suka ngira, dia itu punya masalah besar yang bikin dia jadi pendiam."
"Oh, ya? Maksud lo, masalah kriminal, gitu?" Bunga bergidik.
"Kalau masalah kriminal, sih, gue nggak tahu. Tapi, ekspresi dan gayanya bikin gue jadi bertanya-tanya!"
"Hmmm ... iya juga, sih." Bunga mengangguk-angguk.
"Eh, lo ganti kartu dulu, nih. Terus lo aja yang telepon Darel." Cewek bertubuh menjulang itu meletakkan cangkir teh di meja ruang tamu. Lalu, dia mengambil sebuah starter pack berlogo operator telepon Prancis dari dalam tas, dan menyerahkan kepada Bunga.
"Oke," Bunga mengambil benda itu dan langsung memasang pada ponselnya.
Tak lama, nada riang suara Bunga memenuhi ruangan.
"Darel! Gue udah ada di Paris!" pekik Bunga kepada orang di seberang sana.
"Oh, ya? Kok, bisa, sih, lo lulus tes Le Culinaire? Bukannya kemampuan masak lo hmmm ... lebih rendah daripada Si Bongkok dari Notredame, ya? Hahaha. Tapi, anyway, selamat datang, deh, di Paris," suara Darel tak kalah riang.
"Huh! Biarin aja, deh. Terserah lo mau ngomong apa. Yang penting gue udah resmi jadi mahasiswa Le Culinaire. Terus kapan, nih, kita ketemu?" tanya Bunga.
"Hmmm ... kapan, ya? Nanti diatur lagi, deh. Gue masih sibuk nyusun materi untuk mahasiswa baru. Mudah-mudahanada calon mahasiswa yang udah ngerti tentang kuliner. Biar gue nggak capek.
"Oke, deh. Kalau gitu, gue istirahat dulu," sahut Bunga. Wajah riangnya semakin memperjelas lesung pipinya.
"Oke, deh."
Bunga melonjak riang. Setelah menelpon Darel, semangatnya kembali memuncak. Terbayang betapa serunya saat dia masuk Le Culinaire nanti. Makanan-makanan ala Prancis yang selama ini hanya terpampang di majalah kuliner, pasti bisa dibuatnya. Cara membuat croissant, cake, macaroon, pasti ada di genggamannya!
Toko bakery ... sebentar lagi tempat itu akan terwujud di depan mata, kata Bunga dalam hati.
Darel Antonio adalah chef terkenal di sebuah hotel ternama di Indonesia. Prestasi gemilangnya di dunia kuliner mengantarnya pada predikat Chef Termuda Berprestasi. Predikat itu jugalah yang membuat Le Culinaire, sekolah kuliner paling tua di Prancis, mengajaknya menjadi asisten chef.
Bunga beruntung. Ketika ayahnya ingin membuka restoran, Darel dipilih menjadi konsultan. Sejak itulah Bunga mengenal Darel. Bunga juga mengenalkan pemuda tampan itu kepada Odetta. Meskipun ketika tugas Darel dalam bisnis ayah Bunga selesai, Bunga dan Odetta tetap melanjutkan persahabatannya dengan Darel.
Ketika keinginan Bunga untuk masuk sekolah kuliner tidak terbendung lagi, ayah Bunga menghubungi Darel dan memintanya mendampingi Bunga selama belajar di Le Culinaire.
Bulan depan Bunga akan mulai masuk ke sekolah impiannya itu.
Bunga menggamit kedua koper superbesarnya dan menariknya ke kamar. Saat membuka pintu kamar Bunga terbelalak melihat lemari besar yang terpampang di depan wajahnya.
"Woooww! Ini lemari pakaian untuk gue, Det? Besar bangeeett!" Mata Bunga membulat. "Bagus, deh. Soalnya gue bawa beberapa sepatu. Kan, lo sendiri yang bilang gue harus bawa sepatu musim panas, musim dingin, musim gugur, musim semi, musim duren ...."
"Hahaha ... gila banget, sih, lo. Baweeel! Untung kupinggue udah terbiasa dengar celotehan lo yang sekali tarikan napas itu."
Bunga memainkan alisnya.
Odetta langsung menghampiri Bunga. "Lemari ini belum seberapa dibandingkan lemari pakaian gue."
"Ha? Serius?" Bunga tercengang. Selama sekian detik dia baru teringat belum masuk ke kamar Odetta. "Gue mau lihat kamar lo, ah!"
Bunga langsung berlari.
"Eeehh, gimana, sih? Tadi katanya mau beresin baju?" Odetta pura-pura cemberut.
Bunga membuka pintu kamar Odetta dan langsung celingak-celinguk. Di dalam kamar itu hanya ada tempat tidur, meja komputer, dan pintu yang menghubungkan dengan ruangan lain.
"Lho? Mana lemari pakaian lo?" tanya Bunga kepada Odetta yang sudah berada di belakangnya.
Odetta terkekeh sambil berjalan masuk. Dia menuju pintu penghubung ke ruangan lain dan membukanya.
"Taraaaaaa!" Tangan Odetta memegang gagang pintu, sementara tangan lainnya terentang di samping tubuhnya. Odetta berdiri di depan pintu penghubung yang terbuka. Ternyata pintu berwarna kopi susu itu bukan menghubungkan ruangan lain, melainkan pintu lemari pakaian berukuran satu ruang kamar! Di sana seluruh koleksi pakaian Odetta tergantung berdesakan. Saking penuhnya, baju-baju itu seakan menjerit meminta pertolongan karena terimpit-impit seperti penumpang bus Trans Jakarta pada jam berangkat dan pulang kantor.
Mata Bunga hampir melompat keluar. "Itu baju-baju lo? Sebanyak ini?"
Odetta mengangguk sambil memamerkan senyum lebar bernada bangga.
Bunga mendekati deretan pakaian itu. Dia memegang gaun berwarna krem berlengan panjang yang bagian pundaknya dilengkapi bulu-bulu tebal.
"Itu baju apa?" Bunga menatap baju itu dari atas ke bawah.
"Gaun musim dingin," Odetta masih memajang senyumnya.
"Kalau ini?" Bunga menarik sebuah sackdress hitam.
"Itu koleksi musim dingin yang lalu. Cocoknya pakai ini, nih," Odetta menarik laci besar yang ada di sebelah kiri ruangan, lalu mengangkat sepasang sepatu bot setinggi lutut.
"Waaahh," Bunga berdecak kagum.
Odetta tergelak melihat ekspresi Bunga yang seperti baru melihat sepatu.
"Dasar anak VÊTEMENTS, ya. Dandanannya matchingsemua," ujar Bunga. Kali ini dia membuka semua laci yang berisi ratusan pasang sepatu milik Odetta.
"Ya, iyalah. Apalagi, ini, kan, Paris. Harus modis. Kalau nggak modis, kebanting sama yang lain."
"Oh, ya? Jadi, gue gimana, dong?" Bibir Bunga mengerucut, membentuk huruf O.
"Hihihi ... tenang! Ada gue," Odetta menepuk-nepuk dadanya. "Ke kamar lo lagi, yuk! Gue pengin tahu, selain celana jins dan T-shirt standar, baju kuno apa lagi yang lo punya?"
"Iihhhh, Odetta! Lo kayak nggak tahu aja, sih? Celana jins, kan, pakaian kebesaran gue. T-shirt juga. Nyaman dipakai, tauk! Lo jangan pernah nyuruh gue ganti gaya, deh. Nanti orang nggak kenal gue. Image gue jadi berubah. Selama ini gue udah susah payah membangun image bahwa gue adalah cewek yang ...."
"Bungaaaa! Cukup! Haduuh! Kuping gue panas, deh, dengar ocehan lo yang nggak ada remnya itu!" Meski kesal, Odetta tetap geli dengan tingkah sahabatnya.
Bunga ikut tergelak. Odetta menyeret lengan Bunga dan langsung menuju kamar Bunga.
"Eh, iya, lo masih dikasih kartu kredit unlimited sama bokap lo?" tanya Odetta kepada Bunga.
"Ho oh," sahut Bunga. "Lo juga, kan?"
Odetta mengangguk.
"Yihaaa! Belanja, yuuk!" teriak Bunga.
"Ha? Serius? Bukannya selama ini lo adalah orang pertama yang selalu menghalangi setiap gue pengin ke butik?" Odetta melongo.
"Oh, jangan khawatir, Det. Gue akan tetap menghalangi lo ke butik. Yang gue maksud dengan belanja adalah beli keperluan untuk masak. Bukan baju!" Bunga mendelik. "Memangnya lo belum cukup dengan baju selemari? Ingat, ya, Det. Lemari baju lo itu bukan lemari baju pada umumnya, lho. Itu lemari lebih cocok dibilang rumah! Apa lo masih kurang? Memangnya dalam sehari, lo pakai baju berapa biji, sih?"
"Aaaww! Iya, iya. Ampun! Lo, ya, Nga. Masih bawel aja, sih, kalau soal baju. Bener-bener, deh!" Odetta geleng-geleng.
Bunga tertawa lagi.
Satu menit kemudian Bunga dan Odetta sudah duduk di lantai. Dua koper superbesar milik Bunga menganga lebar. Di sekelilingnya penuh baju-baju Bunga yang terpuruk pasrah di lantai karena Odetta tidak mengizinkannya masuk ke lemari.
"Ini nggak boleh masuk," kata Odetta sambil melempar kaus oblong putih bertuliskan nama produk detergen, yang ukurannya dua kali tubuh Bunga.
"Iiihhh itu baju paling enak, Odeeett!" pekik Bunga yang tidak rela pakaiannya dicampakkan tanpa belas kasihan.
"Paling enak untuk ngepel?" tanya Odetta. Matanya melotot ke arah Bunga yang tergeletak di tempat tidur, sementara tangannya gesit menyortir tumpukan baju Bunga.
"Gue senang tidur pake kaus kayak gitu. Nyaman, tauk! Lo belum pernah nyoba, sih!"
Odetta tak menggubris.
"Ya, ampun! Itu celana jins jangan dibuang. Nanti gue pakai celana apa?" Bunga tampak panik, tapi tak ada yang bisa dilakukannya selain pasrah.
"Ini udah terlalu belel, Bunga. Lo gimana mau keren kalau pakai celana jins yang udah hampir sobek begini?"
"Lha, jins belel, kan, keren," Bunga berusaha melawan.
"Itu kalau di Indonesia. Di sini lo harus cantik tik tik ...," Odetta menangkis perlawanan Bunga.
"Waduuuhhhh," Bunga geleng-geleng pasrah. "Gue nggak pengin belanja baju, Det. Gue hanya mau belanja bahan-bahan memasak. Titik!"
"Lo, tuh, cantiknya kalau pakai sackdress dan bot selutut. Meskipun kulit lo sawo matang, jangan ragu untuk pilih baju warna terang. Kuning, oranye, merah, hijau adalah warna yang membuat lo semakin cerah. Asal percaya diri dan nyaman, warna-warna terang itu cocok untuk semua warna kulit, kok. Satu hal lagi, jangan bete kalau kulit lo nggak putih. Orang-orang Eropa justru tergila-gila pada kulit berwarna cokelat. Kelihatannya eksotis."
"Hei hei hei! Sejak kapan lo lebih cerewet daripada gue?" Bunga berdiri dan berkacak pinggang.
"Khusus untuk baju, gue boleh lebih cerewet daripada lo. Ini, kan, demi kebaikan lo juga, Nga!" Odetta tak peduli pada pelototan Bunga. Dia tetap menyortir pakaian-pakaian sahabatnya.
"Fiyuuhhh! Nyebelin, deh, lo!" Bunga menjatuhkan diri ke sofa lagi. Dia sudah pasrah dengan kemauan sahabatnya.
Gadis itu mulai mencerna kata-kata Odetta. Diamdiam Bunga mulai mengerti. Pelajaran pertama yang dia dapat dari kata-kata Odetta adalah cintailah kulitmu, apa pun warnanya. Sebab Bunga merasa aneh. Orang Indonesia mati-matian mencerahkan warna kulit agar terlihat lebih putih seperti kulit orang Eropa, sementara orang Eropa sendiri mati-matian berjemur untuk mendapatkan kulit cokelat seperti kulit orang Asia.
Bunga berdecak. Dia sudah lama mengenal Odetta. Dari dulu Odetta terobsesi untuk tampil cantik seperti bintang Hollywood. Dia memiliki banyak pengetahuan yang tidak Bunga dapatkan dari orang lain. Itu sebabnya Bunga mulai rela Odetta mengacak-acak kopernya, bahkan membuang hampir seluruh pakaian kesayangannya. Bunga mengerti, itu demi kebaikan, kecantikan, dan kemodisan dirinya. Yang penting, Odetta tidak melarang Bunga berbelanja peralatan dan bahan-bahan untuk memasak karena Bunga terobsesi untuk menjadi chef, seperti Darel, dan membuka gerai bakery.
"Oke, deehhh ... beres! Nanti tinggal lo ikut gue ke butik, ya. Sebentar lagi musim gugur. Lo perlu baju untuk menyambut musim-musim yang nggak ada di Indonesia," kata Odetta yang tersenyum puas.
Bunga bangkit dari tempat tidur. Dia merasa nyaman memiliki sahabat yang sangat perhatian seperti Odetta.Ketika keluar dari apartemen, mata Bunga menangkap sosok pemuda bermata abu-abu, penghuni unit sebelah. Pemuda itu berdiri mematung dengan wajah tenang, tepat di depan pintu unitnya. Sesaat, pandangan mereka bertabrakan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro