7 | Bertemu Pariban
Minggu berikutnya Mora siap bertemu dengan keluarga Barata. Sejak siang perempuan itu sudah dipaksa mamaknya ke salon untuk berias.
“Minimal kau harus tampil cantik di depan naeng simatua-mu.” Mamak berkata di sela kesibukannya memberikan instruksi pada petugas salon.
Mora hanya bisa mendesah panjang. Dia menatap pantulan dirinya di depan cermin. Sangat menyebalkan saat orang tuanya tiba-tiba menyuruh untuk bertemu dengan keluarga paribannya. Padahal Mora sudah punya rencana sendiri malam ini.
Barata setuju membantunya dengan berpura-pura menjadi pacar Mora. Setelah pertemuannya dengan keluarga Barata malam ini, esok ganti mereka akan bertemu dengan keluarga Siregar.
Lalu komplikasi terjadi. Bapa dan Opung tiba-tiba menyuruhnya untuk bertemu dengan sang pariban. Hanya bertemu saja, ucap Opung sembari menunggu cucunya membawa si hallet ke rumah. Mora bersyukur saat tahu restoran tempat pertemuan dengan sang pariban ternyata sama dengan lokasi Barata dan orang tuanya makan malam.
“Nanti kita atur strategi agar kamu bisa ketemuan sama paribanmu. Dan kamu juga bisa ada di meja kami.” Barata menenangkan saat Mora menelepon dengan panik memberitahukan perubahan rencana.
Kini perempuan itu sudah berada di halaman bangunan empat lantai bergaya Victoria modern. Fasad depannya berwarna krem lembut dengan lampu-lampu artifisial yang semakin mempertegas aura mewah dari restoran itu.
The Nottingham.
Sesuai namanya, menu yang disajikan memang berbasis Eropa. Nuansa negeri Ratu Elizabeth itu sudah memancar sejak pertama kali mereka memasuki lobi. Bapa dan Mamak berjalan lebih dulu di depan. Mora mengekor dengan langkah-langkah lambat.
“Cepatlah, Mora. Jangan biarkan naeng simatua-mu menunggu.”
Mora mendelik kesal. Ingin sekali dia mengoreksi perkataan orang tuanya. Bukan calon mertua. Bapa dan Mamaknya bahkan tahu persis Mora akan memperkenalkan pacarnya besok malam. Namun, apa daya. Dia memang tidak bisa banyak bicara karena panik dengan Barata yang terus menelepon sejak di mobil tadi.
“Jalanmu lambat kali, Mora. Perempuan Batak jangan loyo macam itu.” Bapak menegur.
Mora makin kesal. Apalagi gawai di tas tangannya terus bergetar sejak tadi. Barata pasti tengah mencari tahu posisinya saat ini.
“Aku lebih senang kau nikah sama pilihan Nantulang. Setidaknya sudah jelas silsilah dia. Cobalah kau pikirkan lagi keputusanmu setelah ketemu sama mereka.” Bapak bicara dengan nada pelan, tetapi penuh penekanan.
Mora bergeming. Mulutnya masih membisu. Dia terus berjalan sembari memindai seisi ruangan. Kini mereka ada di lantai empat, tempat ruangan privat berada.
Pelayan restoran membawa keluarga kecil itu ke satu pintu di paling ujung lorong. Mora makin panik karena belum menemukan Barata. Ruangan privat juga membuatnya terhantam rasa cemas karena jelas akan mempersulitnya untuk kabur ke tempat Barata.
Lalu pintu terbuka.
Percakapan dalam bahasa Batak yang sempat terdengar perlahan mereda. Aura ketegangan menggantung pekat di udara, setidaknya bagi Mora. Pandangan perempuan itu masih terhalang oleh badan Bapa dan Mamak. Telinganya menangkap suara ramah perkenalan sebelum tertegun dengan suara berat dan dalam yang familier di indra pendengarannya.
Mora perlahan mengintip dari balik punggung Mamak. Detik itu juga jantungnya nyaris copot dari tempat. Seruan keras Mora refleks terdengar tanpa bisa dicegah.
“Bang Bara? Ngapain kau di sini?”
~~oOo~~
Ale Tuhan, ada berapa Barata Harahap di dunia ini? Kenapa paribanku harus Bang Bara yang ini?
Mora terus membisu. Perkataan terakhirnya hanyalah pertanyaan mengapa Barata ada di sini dalam logat Jakarta yang kental, alih-alih menggunakan bahasa daerah. Sejak itu senyum Mora menghilang. Kepanikannya berubah jadi kekesalan luar biasa.
Pengaturan posisi duduk di meja bundar ini juga sangat strategis. Mora berdekatan dengan Barata. Sementara empat orang tua saling mengobrol riuh setelah menyadari anak-anak mereka ternyata saling berpacaran.
“Tak kusangka hallet yang mau dikenalkan Mora pada kami adalah Barata. Kalau tahu dari awal, sudah jelas langsung kami suruh nikah saja dua anak itu.” Bapa bicara keras-keras.
Mora mencengkeram garpu dan sendok sangat kencang. Bibirnya menipis. Niat hati ke Medan untuk menggagalkan rencana perjodohannya, justru dia terancam segera berubah status jadi Nyonya Barata Harahap.
“Lae betul. Bara juga bilang sudah berpacaran dengan perempuan suku kita. Tapi aku tak menyangka kalau ini adalah si Mora. Kalau tak salah namanya dulu siapa, Mi?” Papi Barata menoleh ke arah istrinya.
Mora tersentak kaget. Bola matanya seketika membulat besar. Dia benar-benar lupa jika sudah memperkenalkan diri sebagai marga Damanik alih-alih Siregar. Kecut dan penuh kekhawatiran, Mora melirik ke arah Barata yang juga menampilkan ekspresi serupa.Hatinya mencelus saat teringat dia sudah berbohong tentang nama marganya pada Barata.
“Siregar.”
Mora tertegun. Perlahan dia menoleh ke arah mami Barata.
“Namanya Mora Siregar, Pi. Papi suka gitu, lupa sama nama calon mantu sendiri. Sejak awal anak kita kenalkan hallet-nya itu Mora Siregar."
Perempuan itu menelan ludah. Dia kembali menunduk. Pasta arrabiata yang tersaji di depan mata tidak lagi menarik minat. Hati Mora tercubit rasa bersalah karena sudah membohongi keluarga pariban, tetapi mereka masih melindunginya dengan baik.
Makan malam itu berjalan dengan lancar. Namun, minus Mora dan Barata yang lebih banyak membisu. Mereka hanya bicara seperlunya saja. Tak cukup ceriwis menimpali obrolan empat orang tua.
Hingga makan malam usai dan waktunya pulang. Papi Raja Harahap, ayah Barata, menyodorkan ide untuk pulang bersama nanaeng bao mereka. Pria paruh baya itu berkata kocak.
“Biarlah yang muda-muda ini menikmati malam lebih panjang. Asal tak kebablasan saja mereka.”
“Setuju itu, Pi. Biar parumaen kita ini bisa lebih akrab sama anak kita.” Mami menimpali.
“Nantulang, belum jadi parumaen-lah awak. Ini—”
“Masih panggil nantulang pula kau.” Mami berdecak keras. “Panggil mami sajalah kau.”
Wajah Mora memerah. Bahkan dalam pekat malam, ronanya terlihat jelas. Mami menepuk lembut bahu perempuan muda di hadapannya.
“Baik-baik sama Bara. Dia memang macam kulkas dua pintu yang masih baru. Dinginnya setengah mati.” Kali ini Mami bicara dengan logat khas ibukota. Tatapannya penuh arti pada Mora. “Kami merestuimu, Mora. Jangan cemas.”
Mora menelan ludah. Restu itu justru membuatnya terbebani. Dia hanya bisa memandangi orang tuanya dan orang tua Barata pergi dengan mobil Bapa. Sementara dia masih berdiri di parkiran, di samping sedan hitam calon suaminya.
“Yah, semua berjalan lancar.” Barata, untuk pertama kalinya dalam satu jam terakhir, akhirnya mengajak Mora bicara.
Perempuan itu melirik tanpa ekspresi. Wajahnya muram. Senyum tak juga kunjung muncul di bibirnya. Jelas perkataan Barata adalah sindiran tajam untuknya.
“Kenapa kamu tak bilang dari awal kalau margamu Siregar?”
Mora meringis. Pertanyaan bernada tuduhan itu memang layak dilemparkan ke dirinya. “Apa pentingnya? Toh, usaha kita sudah gagal total.”
“Ya. Gagal total.” Bahu Barata melorot. “Harusnya aku bisa batalkan perjodohan dengan paribanku. Nyatanya malah Papi sama Mami mau mempercepat pernikahan kita.”
Mora teringat lagi pada surat wasiat Opung Boru Dame. Sebagian besar perkebunan kopi keluarga di Mandailing Natal bisa dimilikinya jika menikah dengan jodoh pilihan almarhumah.
Setelah dipikir-pikir, jodoh kiriman Opung Boru tak buruk-buruk juga. Barata Harahap punya seluruh kriteria yang dibutuhkannya. Yang paling penting adalah lelaki itu tidak mencintainya. Setidaknya Mora masih bisa bebas mengejar cita-cita tanpa harus kehilangan hak waris.
Menikah juga tak ada salahnya. Pernikahan bisa melindunginya dari lelaki-lelaki iseng. Selama ini memang Mora selalu mendapat perhatian berlebih dari lawan jenis, apalagi setelah tinggal di Jakarta. Semua karena fisik dan kepercayaan diri Mora yang di atas rata-rata perempuan lainnya.
“Kenapa kamu tak bilang soal posisimu sebagai bos di kafe itu?” Barata mengajukan pertanyaan lagi. Teringat pada informasi dari calon mertuanya yang memberi tahu Mora membuka book cafe di rumah mereka di Depok.
“Itu tak penting.” Mora beranjak pergi. Dia memutari mobil dan berhenti di bagian penumpang. Kepalanya mengedik, memberi isyarat agar Barata membuka pintu untuknya.
“Bagiku penting.” Lelaki itu menyusul duduk di kursi pengemudi. Tatapannya lurus tertuju ke mata Mora. “Siapa kamu, Mora? Ada berapa banyak hal lagi yang kamu sembunyikan dari aku?”
~~ BERSAMBUNG ~~
Catatan Kaki:
Naeng simatua = calon mertua
Nanaeng bao = calon besan
Parumaen = menantu perempuan
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro