14 | Mesum Tahap Awal
“Jadi, ini trik kotormu buat batalin pernikahan?” Perempuan itu mendengkus. "Berpura-pura kritis agar pernikahan tak jadi dilanjutkan?"
Mora tak habis pikir ada lelaki yang sebegitu pengecutnya sampai bertindak saja butuh orang lain untuk melakukannya. Rasa muak perempuan itu pada Barata seketika meledak begitu melihat si pasien yang katanya dalam kondisi kritis ternyata malah enak-enakan duduk di sofa sambil menonton televisi.
Tangan Barata memang diinfus. Kepalanya juga diperban. Namun, berdasar informasi valid yang diperolehnya dari stasiun perawat, kain pembalut itu hanya untuk menutupi luka robek yang cukup lebar.
Luka robek lebar yang tidak membahayakan nyawa.
Begitu tegas perawat yang ditanya Mora untuk keempat kalinya. Tentu saja dibarengin dengan nada jutek dan tatapan kesal sebab Mora seolah tidak mempercayai penjelasannya.
“Mora ….” Barata refleks bangkit dari duduk. Tatapannya yang semula tertuju pada sang tunangan langsung beralih pada Mami dan adik semata wayangnya yang berdiri di belakang Mora.
Kening Barata berkerut saat menangkap pergerakan tangan Bora yang membuat garis horizontal di depan leher serupa orang tengah memenggal. Pandangan perempuan itu menyiratkan peringatan sekaligus permohonan maaf.
Habis sudah kamu, Bang.
Kira-kira itulah yang ditangkap Barata dari ekspresi ganjil yang diberikan sang adik padanya. Otak cerdas Barata tanpa kesusahan sudah bisa menangkap apa yang sebenarnya terjadi.
“Anggi kau bilang, kondisimu kritis, Bang. Kupikir nyawamu sudah di ujung tanduk. Ternyata masih asyik saja nontonin cewek seksi di teve.” Mora tak bisa menahan diri untuk tidak mengomel.
Barata melirik ke belakang. Sialnya saat itu memang layar televisi di kamar inap mewah itu sedang menampilkan seorang penyanyi Amerika yang mengenakan pakaian seronok minim bahan. Sementara ekor matanya menangkap senyum geli Fahri, adik iparnya, yang sedang menemaninya sore ini.
“Cepat-cepat aku datang ke sini karena khawatir sama diri kau, Bang. Rugi bandar aku ternyata.” Mora sekali lagi mengomel.
“Kamu … khawatir sama aku?” Barata malah melontarkan tanya yang seketika disambut Mora dengan tatapan galak.
“Ya jelaslah, Bang! Siapa yang tak khawatir. Kalau kau mati, rugi duit awak buat siapin nikahan di Medan sana.” Dialek Mandailing Mora mulai terdengar.
“Oh, jadi ini hanya tentang pernikahan?” Barata sekali lagi bertanya.
“Tentu saja. Memangnya harapan kau apa?” Mora masih melotot galak.
Perempuan itu mengembuskan napas kesal. Otak rasionalnya sudah memperingatkan jika tindakannya kali ini sangat tidak sopan. Bagaimanapun yang dihadapinya sekarang adalah keluarga dari calon suaminya. Tak elok kalau terus marah-marah macam ini. Akan tetapi, Mora memang kesal luar biasa pada Barata.
Pandangan perempuan itu lantas berpaling ke arah Mami. Dia menangkap ekspresi aneh di wajah Bora, tetapi pilih mengabaikan. Dengan suara yang dilembut-lembutkan, Mora berpamitan pada sang calon mertua.
“Mora pulang dulu, Mi. Hari ini belum nyicil tesis. Semoga Bang Barata segera sehat walafiat.”
Perempuan itu tak merasa harus repot-repot menutupi nada sinis dalam kalimat terakhirnya. Dia hanya mengangguk singkat pada Mami, tak menoleh ke arah Barata, dan langsung hengkang dari kamar inap itu sebelum semua orang merespons.
Lalu kesunyian membungkus empat orang yang ada di ruangan itu. Mami mengembuskan napas panjang. Suaranya memecah kebisuan.
“Ini ulahmu, Bora?” tuduh Mami tegas. “Kamu selalu jahil. Abangmu nggak mungkin punya pikiran semacam itu buat ngebohongin Mora.”
Bora meringis penuh rasa bersalah. “Maafin aku, Mi. Tapi aku gemes sama Abang dan Eda. Mereka berdua itu sudah serupa orang asing nggak saling kenal. Nggak ada care-care-nya sama sekali.”
Mami mengembuskan napas panjang. Berjalan cepat menghampiri putranya, dia memeriksa kondisi Barata dengan cermat.
Selama perjalanan dari PIM ke rumah sakit Mami memang sudah mendapat laporan rinci dari Fahri tentang kondisi Barata yang mengalami kecelakaan. Tentu saja laporan itu dikirim melalui Whatsapp pribadi. Dan selama itu pula Mami berdiam diri sebab penasaran dengan reaksi Mora.
“Mora khawatir sekali tadi.” Mami berkata setelah memastikan putranya memang baik-baik saja. Kondisi Barata jauh berbeda dibanding saat Mami mengalami kecelakaan beberapa minggu lalu.
“Siapa suruh dia khawatir?” Barata melengos.
Sebelum Mami menjawab, Bora sudah lebih dulu bicara. “Nah, tuh. Mami lihat kelakuan anak sulung Mami. Bisa-bisanya dia masih mode kulkas kayak gitu, Mi. Kasihan Eda dapat suami macam Abang.”
“Terus maumu gimana? Mora batal nikah sama abangmu dan cari suami lain?” Mami melirik anak bungsunya.
“Ya nggak gitu juga, Mi. Tapi geplak kepala Abang dong, Mi. Biar dia sadar siapa yang udah dia sia-siakan selama ini.” Bora mengeluh keras.
“Aku tuh, sayang banget sama Eda. Dia kelihatannya baik banget–”
“Baik apanya? Mulut pedas cewek itu nggak enak di kuping.” Barata memotong.
“Ya Abang emang harus dipedesin sekali-kali. Biar otak Abang itu nggak konslet terus. Masak pacar udah lama pergi masih juga–”
“Bora,” tegur Barata dingin.
Bora menggigit lidah. Sadar dia bila sudah melakukan kesalahan. Perempuan itu beringsut mendekati suaminya dan berlindung di sana. Sementara Mami menghela napas berat.
“Lupakan dia, Bara. Life must go on. Sekarang yang ada di hadapan kamu itu Mora. Perlakukan dia dengan baik. Oke?”
Barata hanya terdiam. Dia berjalan kembali ke bed pasien. Lelaki itu berusaha mengabaikan keberadaan keluarganya di kamar.
Untungnya Mami, Bora, dan Fahri sadar diri. Mereka memutuskan untuk pergi meninggalkan si pasien seorang diri. Toh, luka Barata memang tidak terlampau serius.
Mobil yang dikendarainya menabrak tembok sebuah sekolah di Depok saat sedang mencoba menghindari seorang pengendara motor yang serampangan memotong jalur. Kendaraan Barata memang ringsek parah di bagian depan. Untung dia hanya mengalami luka robek di dahi dan memar akibat tekanan sabuk pengaman.
Dokter memang mewajibkan istirahat di rumah sakit sehari untuk observasi, berjaga-jaga bila terjadi gegar otak berat. Kesempatan itulah yang dimanfaatkan Bora untuk menipu calon kakak iparnya.
Kini Barata mulai memikirkan reaksi Mora. Ekspresi cemas di wajah perempuan itu saat memasuki kamar sangat nyata. Tidak ada kepalsuan di sana, Barata sangat yakin itu.
Dan hatinya menghangat ….
“Sial.” Barata mengumpat lirih. Ditutupnya mata dengan satu tangan. “Nggak boleh. Nggak boleh gini. Itu hanya kecemasan yang normal. Mora udah kenal aku, jadi dia cemas saat aku kecelakaan. Itu lumrah. That's all.”
Dengan sugesti seperti itu Barata mencoba tidur. Obat penenangnya pun sudah mulai bereaksi. Sebelum terlelap lelaki itu berdoa agar Mora tidak pernah hadir lagi dalam hidupnya. Itu harapan terbesar Barata saat ini.
~~oOo~~
Kenapa aku harus menuruni sifat Mamak?
Mora mengeluh keras-keras dalam hati. Mau dipaksa menolak pun, dia harus mengakui bila separuh dirinya adalah orang Jawa. Blasteran Mandailing-Jawa membuat Mora tak sepenuhnya bisa bersikap keras pada lelaki.
Seperti saat ini. Mau sikap Barata sedingin apa pun pada dirinya, kenyataan bila lelaki itulah yang bisa menyelamatkannya dari teror Ompung Pintor membuat Mora tak bisa sepenuhnya membenci.
Langkahnya lambat-lambat menuju arah kamar inap Barata. Dari Mami dia tahu, hari ini calon suaminya itu sudah diperbolehkan pulang. Tidak ada yang mengkhawatirkan setelah observasi dua puluh empat jam.
Sebagai tunangan yang mencoba bersikap baik, Mora merasa patut untuk berakting mesra di hadapan keluarga Harahap. Apalagi setelah dia terang-terangan membohongi calon mertuanya tentang marga keluarga.
"Bang Bara?" sapa Mora tegas dengan dialek khas Mandailing-nya. Akan tetapi, suasana kamar masih sehening kuburan.
"Bang, Abang sudah matikah?" Mora melangkah masuk.
Bed pasien kosong, tetapi selimutnya tersibak. Tak ada siapa pun di sini. Penampakan ponsel dan arloji pria di nakas menandakan bila sang empunya kamar belum meninggalkan rumah sakit.
"Masak di kamar mandi? Tapi kok, sepi." Mora bertanya-tanya.
Kali ini langkahnya terarah ke ruangan berbilas dengan pintu yang sedikit terbuka itu. Mora tak yakin Barata ada di dalam mengingat sangat sepinya suasana. Namun, tak ada salahnya mencoba.
"Bang, apa ka–DEBATA! MESUM SEKALI KAU, BANG! PAKAI BAJU! PAKAI BAJU!"
~~ BERSAMBUNG ~~
Catatan Kaki:
Anggi: adik perempuan
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro