Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

11 | Pelukan Pertama

Barata membaca cermat dokumen yang terpampang di hadapannya. Mata gelap lelaki itu bergerak pelan sebelum akhirnya mendongak dan bicara dengan nada tegas.

"Oke. ACC. Segera buat promosinya. Aku mau apartemen ini dipasarkan hingga seluruh Indonesia."

Dua anggota tim pemasaran Petaland mengembuskan napas lega. Tak sia-sia mereka lembur hingga tiga hari lamanya merencanakan materi promosi untuk proyek apartemen di Surabaya. 

Selepas dua orang itu pergi, ganti sekretaris Barata masuk. Wanita berparas khas Sunda dengan badan ramping terbalut setelan ketat menghampiri Barata. Dari cara jalannya saja sudah terlihat sekretaris itu ingin menarik perhatian Barata.

Aksi yang sama yang juga ditunjukkan oleh hampir semua pegawai wanita lajang di kantor ini. Bos nomor satu mereka memang high quality jomlo yang harus diperebutkan. Apalagi sikap dingin Barata membuat persaingan itu kian ketat.

"Makan siang sudah saya siapkan, Pak. Ada restoran baru dekat sini. Reservasi sudah saya lakukan untuk–"

"Batalkan," perintah Barata dingin.

Senyum sekretaris pudar. Sorot matanya bertanya-tanya. "Maaf, Pak? Tapi Bapak tidak ada janji siang ini."

"Ada." Barata berkata singkat. Dia berdiri, sigap menyambar jas, dan berjalan begitu saja melewati sekretarisnya. "Makan siang dengan Mamiku di restoran Padang langganan. Kamu pergi saja sama yang lain."

Sekretaris menatap kepergian bosnya dengan hati dongkol. Gagal sudah rencananya untuk makan siang bersama bos. Selama ini memang sekretaris dan asisten pribadi Barata sering bergantian menemani lelaki itu makan siang.

Sementara itu, Barata memacu kendaraan sekencang jalan raya ibukota mengizinkan. Tak ada kemacetan berarti, tetapi situasi padat merayap membuatnya tak bisa cepat sampai ke tujuan.

Kali ini arah Barata tertuju ke arah Setiabudi. Tepatnya di kompleks apartemen Mega Kuningan. Layaknya penghuni lama di sana, Barata melenggang masuk berbekal sekeping kartu magnetik yang dimiliki oleh tiap penghuni.

Sayangnya kartu itu bukan milik Barata. Sayangnya lagi unit hunian di lantai tiga puluh tujuh itu juga bukan milik Barata. Semuanya bukan milik lelaki itu, melainkan milik seorang perempuan bernama Natalie.

Perlahan Barata menguak daun pintu. Aroma lavender menyambutnya bak salam selamat datang. Di foyer tergantung satu potret besar seorang perempuan berwajah oriental. Kecantikannya serupa dengan aktris asal Uyghur yang sedang naik daun.

Barata berhenti sejenak di depan potret itu. Dia tahu masih ada foto-foto yang lain di dalam sana. Namun, yang satu ini berbeda. Paras ayunya menguar begitu kuat seolah menarik mata tiap orang untuk jatuh dalam pesonanya.

"Apa kabarmu, Sayang?" tanya Barata lembut. Sorot matanya sarat kerinduan. Ujung jarinya menyentuh lembut permukaan potret yang terlapisi kaca bening. Dingin.

Sedingin perasaannya saat ini.

"Aku rindu kamu," ucap Barata lirih. "Tunggu aku sebentar lagi, Sayang. Kita akan segera berkumpul bersama. Jangan khawatir. Kamu nggak akan sendirian lagi."

Barata masih ingin bermonolog dengan potret cantik itu. Namun, dering keras gawainya membuyarkan segala kesyahduan hati lelaki itu. Setengah mengumpat keras, Barata langsung menerima panggilan telepon tanpa melihat caller ID.

"Halo," sapanya ketus.

Detik berikutnya kerut di kening Barata memudar. Bola mata lelaki itu membulat besar. Bergegas dia keluar apartemen dan bicara cepat di telepon.

"Sekarang gimana keadaannya? Baik. Aku ke sana secepatnya."

Barata memasukkan gawai ke saku jas dan segera keluar apartemen. Pikirannya terpecah. Sosok cantik Natalie sejenak tersingkirkan dari benaknya, berganti dengan kabar Mami yang mengalami kecelakaan.

~~oOo~~

"Bisa apa nggak sebentar aja kamu nggak bikin kekacauan?"

Mora setengah terlonjak mendengar bentakan Barata. Bahkan untuk ukuran perempuan Mandailing yang biasa mendengar suara keras, intonasi Barata kali ini tak urung membuat nyalinya ciut juga.

Mora sadar bukan hanya karena volume suara lelaki itu saja yang membuatnya merinding. Akan tetapi, sikapnya yang sembrono juga yang membuatnya dihantam rasa bersalah hingga tak bisa balas menatap Barata.

"Dia mamiku. Kalau ada apa-apa sama Mami, bisa kamu tanggung jawab, hah?" Barata sekali lagi menghardik.

Mora menggigit bibir. Pantang baginya menangis. Namun, matanya kali ini berkhianat. Air mata dengan cepat membayang di pelupuk, apalagi saat mengingat kondisi Mami yang memprihatinkan.

"Aku … aku minta maaf, Bara." Suara Mora serak.

"Kamu pikir minta maaf udah cukup? Minta maafmu bisa balikin kondisi Mami seperti sebelum kecelakaan?" Barata menahan kemarahannya yang menggelegak hingga ubun-ubun.

Saat ini Papi sedang berada di luar kota. Otomatis segala tanggung jawab rumah berada pada Barata, termasuk keselamatan maminya. Permasalahannya siang ini Barata mendapat telepon dari rumah sakit. Mami mengalami kecelakaan mobil bersama Mora.

Sialnya Mora malah tidak mengalami luka serius. Perempuan itu hanya kena baret di tangan dan dahi. Sementara Mami mendapat luka bentur serius di kepala. Tulang dadanya juga tertekan sabuk pengaman dan masih menjalani observasi serius. 

Tercatat sudah empat jam berlalu dari kecelakaan terjadi. Namun, Mami masih juga belum sadarkan diri.

"Bang Bara, benar-benar minta maaf aku. Tadi itu–"

"Simpan aja alasanmu buat Mami. Aku nggak butuh." Barata memotong penjelasan Mora.

Lelaki itu menghela napas berat. Pandangannya kembali tertuju ke pintu ruang UGD. Dokter baru saja menjelaskan kondisi mami Barata. Masih belum ada perkembangan signifikan.

"Bang Bara …."

Lelaki itu membisu. Menoleh pun tidak. Pandangannya masih terpaku pada pintu UGD.

Baru beberapa hari lalu dia berhadapan dengan jenis ruangan yang sama, yaitu rumah sakit tempat Ompung dirawat pasca terkena serangan jantung. Kini Barata harus kembali berhadapan dengan UGD.

Dan semuanya berhubungan dengan Mora.

"Cewek pembawa sial," desis Barata.

Lelaki itu tak berharap ucapannya didengar oleh Mora. Sayangnya telinga perempuan itu cukup tajam. Mora mengusap kasar air mata yang menggenang. “Jadi, itu pendapat Abang tentang aku?”

Barata menoleh. Mora terus bicara.

“Musibah ini sama sekali tak aku inginkan, Bang. Tadi Mami datang ke kafe minta ditemenin ke Bogor. Sudah aku bilang tak mahir nyetir mobil. Tapi Mami bersikeras pelan-pelan saja naik mobilnya. Mami ingin ngobrol berdua sama aku.”

“Mami selalu bawa sopir.” Kening Barata berkerut. “Kamu mau nyalahin Mami gitu?”

“Astaga, Bang. Bisa positive thinking ke aku tak?” Mora mulai hilang kesabaran. Kesedihannya berganti dengan kemarahan yang sengit. “Aku bilang apa adanya. Mami memang yang ajak aku ke Bogor. Mami yang maksa pergi, bukan aku.”

“Kenapa Mami mau ajak dirimu ke Bogor?”

Mora mengangkat bahu. Suaranya masygul. “Mana aku tahulah, Bang. Mami hanya bilang ingin ngobrol berdua sama aku. Mami juga sempat sebut-sebut soal apa aku punya saudara namanya Damanik dari Simalungung.”

Punggung Barata langsung tegak. Nanar dipandanginya Mora. Dilihatnya perempuan itu tertunduk lesu.

“Apa pun yang terjadi, Mami sepertinya sudah tahu soal rencana kita yang gagal total. Takut aku, Mami sedang memastikan kalau pernikahan kita ini pura-pura atau bukan.”

Barata memainkan kunci mobil di tangannya. Sebagai seorang lelaki, dia tak ingin bersikap pengecut. Namun, keengganan Barata untuk berumah tangga dengan perempuan yang tidak dicintainya membuat lelaki itu nekat mengambil keputusan kontroversial.

Dia rela dibenci Mora, padahal calon istrinya itu tak salah-salah juga. Sejak awal seharusnya mereka membuat perjanjian tertulis tentang risiko pacar pura-pura ini bila mengalami kegagalan.

Sekarang hari pernikahan sudah ditetapkan. Susah bagi Barata untuk mundur lagi. Sebagai pewaris nama Harahap, lelaki itu tak mau membatalkan pernikahan. Jalan satu-satunya hanyalah membuat Mora sendiri yang membatalkan pernikahan itu.

Sayangnya Mora sepertinya tak punya niatan untuk mundur. Malah sebaliknya, Mora terang-terangan menyatakan kesanggupannya untuk membina rumah tangga dengan Barata. Rencananya kini menjadi blunder.

“Aku bukan pembawa sial, Bang.” Mora berkata serius. Dia beringsut menghampiri Barata. Cukup dekat untuk membuat bisikannya didengar oleh lelaki itu.

“Kalau saja Abang tak hadir dalam hidup aku, pasti sekarang situasi di antara kita berbeda.”

“Tapi perjodohan kita sudah ditetapkan.”

“Bisa saja batal.” Mora mengangkat bahu. 

Keduanya terdiam. Tak ada yang berniat untuk memperpanjang pembicaraan. Fokus keduanya sepenuhnya tertuju pada kondisi kesehatan Mami yang masih juga belum sadarkan diri.

“Jangan beri tahu orang tuamu,” cetus Barata tiba-tiba.

Mora menoleh bingung. “Bukannya mereka harus tahu? Papi Abang juga harus dikasih tahu, kan?”

Barata menggeleng. “Papi sedang di luar kota. Aku nggak mau bikin dia cemas. Kita tunggu kabar kesehatan Mami dulu buat ambil keputusan.”

“Tapi–”

“Mora, kali ini aja patuhi aku sebagai calon suamimu.”

Hati Mora berdesir mendengar permintaan Barata. Permintaan yang jauh dari kesopanan karena tidak menyertakan kata tolong. 

Anehnya Mora sama sekali tak keberatan. Keras kepalanya seketika luntur, padahal Barata berkata dengan nada yang amat sangat tidak ramah.

"Udah sore. Mending kamu pulang aja." Barata kembali bicara.

"Ingin tahu aku kondisi Mami, Bang."

"Besok aja kamu ke sini."

Entah didorong oleh setan dari mana, tetapi tangan Mora terulur begitu saja memegang lengan Barata. Tinggi mereka yang tak sama membuat perempuan itu harus sedikit mendongak. Pandangan mereka bertemu dan sejenak waktu terasa berhenti berputar.

Barata dan Mora saling mencoba menyelami isi pikiran masing-masing. Konon mata adalah jendela jiwa. Masalahnya sikap arogan Barata dan keras kepala Mora cukup menjadi penghalang jendela itu terbuka lebar.

"Kalau nanti Mami siuman, Abang tak mau langsung kontak aku?" tanya Mora penuh harap.

"Aku nggak punya nomormu."

Mora cepat-cepat mengeluarkan ponsel dengan satu tangan, sementara tangannya yang lain masih memegang lengan Barata. Dengan suara penuh tekad, perempuan itu bicara lantang pada lelaki di hadapannya.

"Miss call aku, Bang. Nanti aku save nomormu. Kabari aku kalau Mami siuman. Ya?"

Barata menatap tanpa ekspresi ke arah ponsel Mora. 

"Bang Bara, jangan kegeeran. Ini bukan trik aku buat dapetin nomor hapemu. Ini urgent demi Mami. Please, miss call aku. Oke, Bang? Atau aku aja yang miss call Abang? Berapa nomormu, Bang? Kasih tahu ke calon istrimu ini biar kita bisa leluasa komunikasi."

"Cerewet."

Mata Mora terbelalak. "Abang barusan nuduh aku cerewet? Duh, Abang. Perempuan aku ini. Mulutku ada banyak. Wajarlah kalau–loh, kenapa ambil ponselku? Bang Bara sudah tak marah lagi sama aku? Mau save nomor aku? Yes, thank you, Bang. Kabari aku kalau Mami siuman."

Dan lagi-lagi Mora serasa didorong oleh tangan tak kasat mata. Dia merangkul begitu saja Barata. Itu murni gerakan refleks. Namun, efeknya luar biasa bagi Barata.

Lelaki itu tersentak kaget. Spontan dia mendorong Mora. Dengan suara dingin, Barata bicara pada paribannya.

"Dasar cewek genit. Apa begitu sikapmu ke semua cowok, hah?" 

~~ BERSAMBUNG ~~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro