
Chapter 6
Dengan lihai Jani berjalan cepat dan menghindari beberapa murid yang menghalangi langkah kakinya di lorong sekolah. Jam pulang sekolah sudah tiba, lorong sekolah akan dikerumuni para murid. Ia harus secepatnya menemui Daffa sebelum cowok itu tiba di ruang Jurnalistik.
Baru sampai di daun pintu kelas XI IPA 1 Jani celingak-celinguk, mencari keberadaan Daffa. "Daffa ... gua mau izin enggak ikut rapat."
Daffa yang mau keluar dari kelas menghampiri Jani yang sedikit ngos-ngosan. "Ada bimbel?"
Anggukan kepala dari Jani menjawab pertanyaan Daffa. "Gua duluan, ya! Takut telat," pamit Jani bersiap untuk jalan cepat lagi.
"Hati-hati!" Seruan Daffa tak dapat didengar Jani, karena ditelan oleh percakapan murid yang mengobrol di lorong sekolah.
Dari Jani tiba di kelas XI IPA 1 ada sepasang mata yang memperhatikan interaksi keduanya, bahkan ia tak sadar bila pergerakannya dalam memasukkan buku ke dalam tas terhenti.
"Udah pergi anaknya, enggak usah dilihatin terus." Teguran Naufal menyadarkan Naren.
"Lu lihat?"
Ghifari yang juga memperhatikan pergerakan Naren memutar bola matanya malas. Hanya sahabat Naren sejak SMP yang tahu seberapa bucin Naren kepada cewek bernama Jani.
"Mata lu hampir lompat, mau ngikut bimbel juga tuh mata?" ledek Ghifari disambut kekehan Naufal. Naren, sebagai subjek yang diledek hanya dapat memaki sahabatnya dalam hati.
***
Tidak ada lima menit Jani tiba di rumah, ia mendapatkan pesan dari Daffa untuk menemui cowok itu di kafe dekat kompleks perumahan.
Semula ingin mandi, niat itu mesti Jani urungkan. Lebih baik ia menemui Daffa terlebih dahulu. "Bu, Jani pergi sebentar ya!" pamit Jani menuruni tangga dengan terburu-buru.
"Mau pergi ke mana? Sama siapa?" Ibu yang sedang memasak di dapur menemui Jani di ruang tamu dengan sodet di tangan kanan dan celemek motif bunga yang masih melekat di tubuhnya.
"Ketemu Daffa di kafe depan situ. Jani tetap makan di rumah kok, janji enggak jajan macam-macam di kafe." Setelah mencium punggung tangan, Jani mencium pipi ibu secara bergantian.
Senja menyapa cakrawala dengan bahagia, terlihat aura jingga mampu membuat manusia terpukau dan ikut tersenyum tanpa sadar. Tak ingin menikmati momen indah sendirian, Jani segera memasuki kafe dan menemui Daffa yang sudah memesan secangkir latte dan seporsi croffle.
"Lama banget sampainya, ngesot?"
Semula wajah Jani terlihat ceria karena melihat senja langsung suram seketika. "Lihat ke luar, senjanya cantik banget. Tadi sempat terhipnotis sebentar, makanya gua lama."
Tempat yang dipilih Daffa memudahkan mereka menikmati senja dari dalam. Senja memang terlihat lebih cantik dan terasa hangat jika menikmatinya secara langsung, tetapi dari dalam saja Daffa sudah terhipnotis.
"Tadi aja gerutu, sekarang malah ikutan menikmati senja."
"Kapan lagi coba? Bumi udah tua, musim penghujan tapi panasnya kayak neraka lagi bocor. Giliran musim kemarau, tapi malah hujan beserta badai." Sebagai pengendara motor, bagi Daffa cuaca yang labil sangat merepotkan. Perkiraan cuaca terkadang cerah, tetapi belum sampai rumah ia sudah diguyur hujan duluan.
"Malah curhat. Lu manggil gua kenapa?" tanya Jani ingin tahu.
"Gua mau kasih hasil rapat tadi."
Aneh. Kenapa tidak dikabari esok hari saat mereka di sekolah? Kenapa harus saat ini? Mata Jani sontak memicing curiga. "Hasilnya gimana?"
"Program siaran tetap milik kita, cuman lu dapat hukuman dari bu Cahyani untuk mewawancarai murid berprestasi dan melatih calon anggota OSIS yang berminat di bidang HUMAS." Tatapan Jani tampak bingung, tak tau mulai dari mana jadwalnya yang harus dirombak. Tanpa tanggung jawab baru yang diberikan Daffa, ia sudah kelimpungan, jika ditambah mungkin ia bisa tumbang.
"Enggak bisa nego?" tanya Jani mencoba menawar, siapa tahu ini hari keberuntungannya.
"Coba ketemu bu Cahyani langsung. Sebenarnya tanggung jawab mewawancarai murid berprestasi itu divisi lain, karena dia pindah bu Cahyani minta lu yang urus karena siapa tahu dengan lu mewawancarai murid berprestasi lu jadi iri dan pengin berprestasi kayak mereka."
Jangankan iri, Jani bisa gila yang ada menangani program kerja secara berbarengan. "Lu tahu sendiri gimana sibuknya gua, Daf. Kalau misalnya gua ambil alih semua, enggak ada waktu istirahat sama sekali." Rengekan Jani tak membuat Daffa luluh sedikit pun.
Daffa menggeleng tegas, keputusan sudah bulat, tak ada lagi celah untuk Jani tawar-menawar. "Lu mau balik sendiri apa gua antar? Mau pulang gua."
"Antar ke rumah Naren."
"Rumah lu kan sebelahan, nganter ke rumah lu sama aja nganter ke rumah Naren. Mau ngadu?" tebak Daffa tahu kebiasaan Jani kalau sedang kesal akan mencari rumahnya yang tak lain Naren untuk berkeluh kesah.
***
"Naren mana?" tanya Jani menatap Mahen yang kaget dengan kehadirannya.
"Ada di dapur, baru pulang? Tas lu dirampok, kok enggak ada sih?" tanya Mahen melihat Jani yang masih memakai seragam sekolah tanpa tas sekolah dan kaos kaki putih sebetis.
"Udah pulang dari tadi, tasnya di rumah. Ketemu Naren dulu, ya. Nanti ngobrol lagi, oke?" Jani bergegas menemui Naren. Cowok itu tengah membuat sushi sebagai menu makan malam.
"Naren mau cerita!" Teriakan Jani menggelegar di rumah Naren, bahkan Mahen yang awalnya ingin ke ruang tamu mengganti tujuannya ke meja makan.
"Habis masak ya, nanti gua salah potong repot." Tidak dikasih kesempatan, Jani memeluk Naren dari belakang membuat jantung Naren berdegup cepat.
"Tadi Daffa ngajak ketemu." Naren terpaksa menaruh pisau yang berada dalam genggamannya.
Naren membalikkan tubuhnya dan berhadapan langsung dengan Jani. Tanpa perlu bertanya, Naren tahu gadis itu sangat kesal terlihat dari bibir Jani yang maju beberapa senti ke depan.
"Cuci tangan dulu sama lepas celemek boleh?" pinta Naren membuat Jani menggeleng, tak bisa diajak kompromi.
"Nanti enggak bisa ngelus rambut kalau tangannya bau nori." Karena Naren membuat sushi tentu tangannya mau rumput laut nori, ia perlu mencuci tangan terlebih dahulu sebelum menenangkan Jani.
Jani melepaskan Naren, membiarkan cowok itu mencuci tangan dan melepaskan celemek yang dikenanakan. "Jangan lama-lama."
Setelah mencuci tangan dan melepaskan celemek yang dikenakan Naren, cowok itu kembali berhadapan dengan Jani. Ekspresi Jani bermacam-macam, mulai dari ekspresi ceria karena dapat melihat senja hingga kesal karena mendapatkan tanggung jawab baru.
"Udah?" tanya Naren memastikan.
Jani menganggukan kepalanya seperti anak kecil. Perlahan senyum Jani merekah kala tangan kanan Naren mendarat di puncak kepalanya, mengelusnya pelan. "Mau minum air putih dulu? Biar tenang."
Kepala Jani menggeleng pelan, ia tak haus. "Jadi gimana?" tanya Jani sedikit merengek.
"Sebenarnya itu udah keputusan bulat, cuman nanti gua bakalan ketemu Daffa buat ngebahas masalah ini. Jangan banyak berharap keputusannya bisa berubah, karena bagaimanapun Daffa cuman menyampaikan keputusan bu Cahyani."
Senyum Jani yang semula terbit kembali terbenam. Naren yang melihat itu kembali mengelus puncak kepala Jani. "Udah jangan cemberut, mau makan malam enggak? Apa mandi dulu?"
"Makan malam! Astaga ... Naren gua lupa ibu masak makan malam." Jani menepuk kepalanya pelan.
"Kebiasaan. Kalau udah fokus sama yang baru, hal lainnya malah lupa."
"Gua pamit dulu, ya! Makasih Naren." Secepat kilat Jani kembali ke rumah, tanpa menyadari Mahen yang berada di meja makan mendengar semua obrolan di antara Jani dan Naren.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro