Chapter 30
Maling mana ada yang mau mengaku. Daffa selalu menyangkal tuduhan Jani hingga dirinya terlihat jahat di hadapan banyak orang. Tak dipungkiri perasaan Jani semakin hancur berkeping-keping dan pikirannya hanya dipenuhi alasan Daffa melakukan tindakan tersebut.
"Enggak usah terlalu dipikir," ucap Naren memberikan segelas air putih kepada Jani.
Mereka sedang berada di ruang tamu rumah Jani. Naren tak berani jika meninggalkan Jani sendirian di rumah untuk menenangkan isi pikiran yang berkecamuk.
"Enggak bisa. Dia sahabat gua dan dia juga sahabat lu, Ren."
"Dia menganggap lu sebagai sahabat? Kalau dia menganggap lu seorang sahabat, apa yang sudah terjadi ini enggak akan dia lakukan karena akan membuat sahabatnya sakit hati. Maka dari itu gua bilang enggak usah terlalu dipikirkan, dia aja enggak memikirkan bagaimana dampak perbuatan dia. Rugi, Jani."
Nasehat Naren benar, seharusnya Jani tidak memusingkan apa yang sudah terjadi. Ia harus kembali bangkit, tetapi lagi-lagi ia tetap tak bisa merelakan sahabatnya. Daffa benar-benar berarti bagi Jani.
"Orang tua lu pulang atau enggak? Kalau enggak, lu sudah tahu kan posisi lu saat ini harusnya ada di mana?"
"Gua enggak tahu, semenjak berantem komunikasi keluarga makin enggak terhubung. Rasanya gua mau ikutan beda rumah, biar rumah gua bisa lebih harmonis."
"Jangan kayak gitu. Apa yang terjadi saat ini, karena diri lu sendiri enggak mau bicara jujur sedari awal." Naren kembali mengingatkan Jani perilaku apa yang sudah dibuat hingga menyebabkan orang tuanya berjarak.
"Iya gua paham."
"Ke rumah gua sekarang, jangan di sini. Otak lu lagi banyak pikiran, bisa-bisa lu bakar rumah untuk melampiaskan emosi."
Jani mencebik sebal, cowok satu ini mengajak adu mulut, tetapi Jani sedang dalam kondisi badmood. Ia tak mau memindahkan pantatnya yang sudah mendarat, biarkan saja Naren mengomel.
"Ayo Jani! Jangan kayak anak kecil, mesti dibujuk dulu."
"Gua di sini, kalau lu mau pulang, ya pulang aja!"
"Kenapa sih lu enggak mau di rumah gua?"
"Malu. Ada Mahen, gua yakin dia dengar segala aib di rumah gua saat malam itu. Belum lagi kalau orang tua lu ternyata di rumah." Terlalu banyak yang Jani khawatirkan semenjak rahasianya terbongkar. Maka dari itu pikirannya menjadi berkecamuk.
Alasan Jani membuat Naren mau tak mau menuruti permintaan gadis itu untuk tak beranjak dari ruang tamu. Mengingat tentang malam itu, malam di mana orang tua Jani beradu argumen, menyisakan Jani dengan pikiran bercabang dan hati yang tak lagi utuh.
"Mau makan apa?"
Naren tahu Jani tak akan memiliki nafsu makan, tetapi ia harus menyiapkan makan malam dan memaksa agar gadis itu makan supaya tidak jatuh sakit.
"Terserah. Lu sama Mahen mau makan apa? Gua ngikut aja, lagi pula gua enggak ada nafsu makan."
"Ya udah. Gua minta bahan-bahan yang ada di kulkas ya? Lu mandi gih di atas," titah Naren agar Jani melakukan sesuatu yang membuat gadis itu tak terkurung dalam pikirannya sendiri.
***
Naren menaiki beberapa anak tangga untuk menuju kamar Jani. Gadis itu tak lagi kembali setelah disuruh untuk mandi padahal makan malam sudah siap disantap.
"Jani makan dulu. Makan malamnya sudah siap, ayo turun!" ajak Naren sembari mengetuk pintu Jani dari luar.
Naren kembali mengetuk pintu kamar Jani berulang kali. Ia khawatir jika kondisi Jani menurun secara fisik.
"Jani buka dulu pintunya!"
Dengan terpaksa pintu kamar Jani dibuka karena tak mendapat jawaban dari dalam. Gadis itu ditemukan terduduk lemas di atas lantai dengan bersandar di pinggir kasur. Wajah Jani terlihat pucat dan kedua matanya terpejam.
"Jani," panggil Naren berubah lembut, ia berpikir Jani tertidur di atas lantai.
"Berisik, Ren. Vertigo gua kumat. Kepala gua sakit dan gua mau muntah, tapi gua enggak bisa ke kamar mandi. Jangankan ke kamar mandi, bangun aja gua enggak bisa. Goyang semua," keluh Jani tanpa sadar air matanya mengalir.
Jani merasa kesakitan, baik fisik dan jiwanya. Tanpa membuka suara Naren membantu Jani menuju kamar mandi. Jani sudah sering mengalami gejala pusing berputar secara tiba-tiba hingga membuat ia muntah dan tidak dapat berpindah dari posisinya. Bahkan kondisi paling parah yang pernah Jani alami ialah pingsan karena vertigo.
"Habis ini ke rumah sakit ya?" Jani menggeleng lemah sembari menuntaskan muntahnya.
Jangan ditanya apa yang dirasakan Naren, ia juga ingin muntah dan kepalanya menjadi pusing saat menemani Jani memuntahkan isi perut.
"Kenapa?" tanya Naren saat mereka sudah keluar dari kamar mandi.
"Bikin jahe aja, gua yakin nanti mendingan. Lu juga bikin jahe gih, supaya enggak ikutan muntah."
Setelah memastikan Jani dalam posisi aman di ruang tamu, Naren menuju dapur untuk membuat jahe. Namun, pergerakan Naren tertahan saat menemukan kehadiran Mahen. Saudara kembarnya itu baru saja masuk.
"Ketuk pintu dulu kali, main masuk aja," tegur Naren tak sadar diri bahwa dirinya juga pernah melakukan apa yang dilakukan Mahen.
"Gua lapar." keluh Mahen dengan maksud minta makan.
"Gua juga belum makan. Jani sakit, jangan berisik lu." Naren menempatkan jari telunjuk kanannya di hadapan bibir, memberikan peringatan agar Mahen diam.
Tak mengindahkan peringatan Naren, Mahen kembali membuka suara. "Pantas di rumah enggak kelihatan batang hidungnya, lagi jadi pengasuh anak orang rupanya."
"Diam atau kelaparan sampai besok!" ancam Naren membuat Mahen mengatupkan bibirnya rapat.
Naren melanjutkan rencananya untuk membuatkan Jani jahe, sedangkan Mahen sudah berpindah tempat dan berada di ruang makan untuk memberikan nutrisi pada cacing peliharaan yang berada di dalam perut.
"Jani bangun. Gua sudah seduh jahe, nih."
Naren tak perlu susah-susah membuat jahe merah karena saat ini sudah banyak tersedia bubuk jahe dalam kemasan yang tinggal diseduh dengan air panas.
Cangkir berwarna putih gading dengan piring kecil Naren letakkan di atas meja. Dengan pelan Naren menepuk pipi Jani, tetapi cewek itu tak membuka matanya.
"Jani jangan bercanda. Minum dulu jahenya, habis itu kita makan malam." Berkali-kali Naren menepuk pipi Jani, tetapi tak mendapatkan respons.
"Hen pesan taksi online sekarang!" teriak Naren panik.
"Lu mau ke mana? Tunggu dulu, gua lagi makan."
"Jani pingsan, makannya nanti dulu. Mending pesan taksi online atau telepon ambulans?" tanya Naren meminta pendapat.
Mendengar Jani pingsan, Mahen langsung memanggil ambulans melalui telepon pintarnya. "Telepon ambulans lah. Emang lu kira mau piknik? Pesan taksi online segala."
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro