Chapter 22
Sudah lebih dari dua kali Jani mengeluarkan isi tas dan memasukkannya kembali, mengecek kembali kolong meja yang ia tempati, mencari barang berukuran mini bernama flashdisk.
Tangan Jani menepuk pundak kanan Atika. "Tik lihat flashdisk gua enggak?" Benda kecil berwarna hitam sangat berarti bagi Jani, selain ada video hasil editan Atika di dalam benda kecil itu berisi berbagai dokumen setiap Jani siaran, mulai dari teks dan lagu-lagu yang diputar saat jam istirahat.
"Hilang?" tanya Atika malah semakin membuat Jani panik.
"Bantuin cari, di tempat gua enggak ketemu." Rasanya Jani ingin menangis di tempat saat ini juga.
"Coba ingat-ingat lagi lu taruh di mana tuh benda!" titah Atika membuat Jani kesal sendiri.
Jika dirinya ingat di mana benda kecil itu berada, tak mungkin dirinya kehilangan. Kedua tangan Jani menopang kepalanya, ia mengingat terakhir kali barang yang dicari berada di ruang siaran.
"Kayaknya ketinggalan di ruang siaran." Jani mengusap wajahnya dengan kasar, ia sedang buru-buru untuk bertemu Naren, namun ia malah dihadang kendala.
Kilat tiba-tiba menyambar langit diiringi suara guntur dan turunnya rintik hujan. Kesialan Jani hari ini semakin bertambah. Sejak jam istirahat pertama berlangsung langit memang sudah berubah suram, tanda-tanda turun hujan memang sudah terlihat, namun tetap saja bumi tak jua dijatuhi rinai hujan.
"Mau ngeluh, tapi enggak ada waktu," ucap Jani mengasihani dirinya sendiri.
Sadar sahabatnya memiliki masalah, Atika mencoba bersimpati dan menawarkan diri. "Mau cerita? Mungkin sekalian cerita perihal video siaran yang gua edit."
Jangan ditanya seberapa rasa ingin tahunya melonjak setelah menonton perdebatan antara Jani dan Naren melalui video.
"Makasih tawarannya, tapi gua lagi buru-buru. Next time, ya!"
Barang-barang yang sebelumnya Jani keluarkan dari tas sudah kembali ke tempatnya semula. Tas berwarna hitam hadiah dari pembelian laptop mendarat di kedua pundaknya dan bergegas menuju ruang siaran untuk mengambil barang yang tertinggal.
Saat jam pulang sekolah tiba, suasana lorong SMA Nusa Pelita biasanya sangat ramai. Namun, saat ini terlihat kosong, hanya beberapa murid dengan seragam olahraga untuk mengikuti ekstrakurikuler yang melewati lorong sekolah untuk menuju lapangan. Sudah lewat 15 menit dari jam pulang semestinya, wajar bila suasana lorong sepi dan sedikit horor terlebih sekarang sedang hujan.
Ruangan tata usaha sudah kosong dan dikunci rapat, karena jam kerja karyawan tata usaha memang lebih cepat usai dibandingkan guru yang mengajar di SMA Nusa Pelita. Hanya Jani, murid SMA Nusa Pelita yang mempunyai kunci cadangan ruangan tata usaha, karena ruang siaran berada di dalam ruang tata usaha.
Gelap menyapa indra penglihatan Jani, ia kesulitan melihat karena lampu di dalam ruangan sudah dimatikan. Pertama-tama yang harus Jani lakukan ialah mencari saklar. Seperti orang buta, Jani berjalan perlahan ke arah ruang siaran dengan kedua tangan di depan, meraba-raba area sekitar agar ia tidak menabrak. Dekat dengan pintu ruang siaran terpasang dua saklar untuk menyalakan lampu yang berbeda. Saklar sebelah kiri untuk menyalakan lampu yang berada di ruangan tata usaha, sedangkan saklar sebelah kanan untuk menyalakan lampu dalam ruang siaran. Jani menyalakan kedua lampu di ruangan yang berbeda.
Jani menemukan barang yang ia cari di dalam ruang siaran, dekat dengan mouse. Mendapatkan barang yang ia cari, Jani segera keluar dari ruangan tata usaha dan mengunci kembali ruangan tersebut. Tak lupa ia mematikan lampu, baik di ruang siaran, maupun di ruang tata usaha.
"Habis ngapain?" tanya salah satu murid, netranya menangkap sosok Jani sedang mengunci ruang tata usaha dengan tergesa-gesa.
Tubuh Jani tersentak kaget, kepalanya menengok ke asal suara mendapati Daffa di sana. "Habis ngambil flashdisk, ketinggalan di ruang siaran."
Daffa mengangguk paham. "Video wawancara Aqila sama Naren udah diposting?"
Jani menggeleng sembari memasukkan kunci dan flashdisk ke dalam tas bagian depan. "Videonya masih di flashdisk, rencananya malam ini baru gua posting." Jika bukan karena rencana malam ini dirinya mau memosting hasil wawancara Naren dan Aqila, Jani akan membiarkan flashdisk-nya menginap semalam di ruang siaran.
"Gua kira lu lupa posting, soalnya sampai sekarang belum nongol juga postingannya. Ngomong-ngomong ..."
"Kapan-kapan aja kita ngobrol Daf, gua lagi lomba marathon sama waktu. Gua duluan ya!" potong Jani mengambil ancang-ancang, siap berlari untuk menerjang hujan.
Daffa melihat sosok Jani yang semakin lama menghilang dari pandangannya. Semula ia ingin bertanya mengenai keributan seperti apa yang diceritakan Aldan tadi pagi. Namun, situasi tak mendukung Daffa untuk mengetahui kejadian yang ia lewatkan mengenai Naren.
***
Tampilan Jani saat ini sedikit memprihatinkan, hampir seluruh seragamnya basah karena menerjang hujan. Setelah semalam Jani merenung, ia memutuskan untuk bertemu Naren sepulang sekolah. Masalah apa pun yang mereka hadapi memang harus dibicarakan secepatnya, walaupun ia butuh waktu agar amarahnya tak meluap.
Hampir 1 jam Jani terlambat, tetapi sosok Naren masih setia menunggunya di salah satu meja dekat dengan jendela. Jani benar-benar bersyukur, ia masih ada kesempatan untuk membahas masalah apa yang membuat mereka berdua sama-sama terpancing emosi.
Dengan gontai Jani menghampiri Naren, ia merasa menggigil karena dirinya diguyur hujan dan langsung disambut pendingin ruangan saat memasuki kafe. "Maaf telat."
Wajah Naren berubah cemas melihat kondisi Jani. Gadis itu mengusap kedua lengannya, mencoba menghangatkan tubuhnya sendiri. "Pakai!" titah Naren menyerahkan jaketnya.
Tanpa pikir panjang, Jani langsung mengenakannya. Ia benar-benar kedinginan.
"Lemon tea hangat? Dessertnya mau apa?" tanya Naren bersiap memesankan minuman dan makanan untuk mengahangatkan tubuh Jani dari dalam.
"Boleh. Mau Japanese fluffy pancake dua. Gua lapar banget, cacing di perut gua kayaknya udah demo." Naren mengangguk dan segera memesan pesanan Jani.
Jika melihat Naren saat ini, Jani benar-benar dibuat jatuh hati. Tidak saat cowok itu seperti gigolo, mengamuk di hadapan orang lain, sesuai dengan kejadian kemarin.
"Mau bahas apa?" tanya Jani melihat Naren sudah kembali duduk di kursi.
"Tunggu lu kenyang dulu, lu kalau lagi lapar rese banget."
"Sekarang aja," pinta Jani agak kesal.
Sepasang mata Naren memicing. "Serius?"
"Nanya mulu ah, kayak Dora aja!" sungut Jani kesal sendiri.
"Tuh kan! Jadi rese!" gerutu Naren sesuai dugaan.
"Lagian lu mancing emosi gua, gimana enggak rese?!" Jani tersadar, mereka lagi-lagi beradu mulut dan sedang berada di tempat umum. Dengan tegas Jani menggeleng-gelengkan kepalanya, ia tak mau mereka kembali ribut seperti kejadian di ruang Jurnalistik.
"Lupain aja yang tadi. Kemarin malam lu ajak gua ketemu untuk bahas apa, Ren?" tanya Jani mengambil inisiatif terlebih dahulu.
Menunggu hampir 1 jam, ia kira Jani sudah terlanjur kecewa dan tak mau menemuinya. Tetapi, gadis yang ia tunggu sudah ada di hadapannya, menanti jawaban yang sedari tadi Naren siapkan saat Jani masih menerjang hujan.
"Jani," panggil Naren dengan wajah serius, kali ini hatinya yang akan berbicara.. "Sebelum bahas masalah kemarin ada yang lebih penting bagi gua. Jangan tanya sejak kapan, gua suka sama lu, Jani. Gua berharap lu juga balas perasaan gua dan kita punya hubungan lebih dari sekedar sahabat."
Jangan ditanya bagaimana kondisi jantung Jani saat ini. Organ tersebut bekerja dengan cepat memompa darah dan degupan jantungnya semakin berdebar keras, ia takut bila lawan bicaranya dapat mendengar debar jantung Jani saat ini.
Jani menggigit bibir bawahnya, tersadar bahwa ia melupakan impiannya. Seketika Jani dilanda kebingungan. Salah satu dari keinginannya harus direlakan.
"Gua enggak bisa untuk jadi lebih dari sahabat, Ren."
Bibir Jani tersenyum, berusaha untuk baik-baik saja karena melewatkan kesempatan emas yang Naren tawarkan. Semoga saja pilihannya tak membuat ia menyesal dikemudian hari.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro