Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1. Naya Belum Mau Wafat

Aku mati pada Sabtu malam, pukul delapan lewat enam. Tidak buruk, tetapi aku lebih suka tutup usia pada Senin atau Selasa pagi. Jadi, aku bangun lagi.

Saat itu umurku masih 6 tahun dan belum paham bahwa seseorang tidak sewajarnya kembali dari kematian. Aku hanya berpikiran, "Aduh, kenapa aku mati jam segini? Tidak bisakah ditunda sebentar?" Kemudian, aku membuka mata. Seorang pria murah hati yang baru saja akan menutup peti matiku segera terlompat ke belakang dan jatuh pingsan. Ketika aku bangkit dan duduk, seisi rumah duka jadi ajang adu jeritan.

Para pelayat berlarian, atau mematung menatapku, ada juga yang pingsan dengan mata terbuka. Bunga-bunga putih yang seharusnya untukku jadi bertebaran di lantai dan terinjak-injak. Orang-orang tidak tahu etika!

Beberapa hari kemudian, para dokter memberi berbagai macam penjelasan ilmiah tentang mati suri. Ayahku tidak ingin kehebohan ini terdengar ke dunia luar, jadi dia menyumpal semua mulut dan media berita dengan sejumlah uang. Dia lakukan itu bukan karena dia cemas pada kondisi mentalku, tetapi dia hanya tidak ingin nama gemilangnya sebagai seorang pengusaha-tampan-yang-sukses-di-usia-muda berganti jadi seorang pengusaha-yang-anaknya-bangkit-dari-peti-mati. Akhirnya, kisah seorang anak yang mati suri hanya hadir sebagai gosip belaka, tanpa ada namaku atau keluarga kami yang tersangkut-paut di dalamnya.

Sejak kejadian itu juga, aku dibuntuti seorang pemuda jangkung bersetelan serba kelabu. Rambutnya yang hitam bergelombang tertutup topi tinggi, salah satu tangannya yang bersarung abu-abu senantiasa memegangi jam saku antik keperakan yang terhubung dengan rantai putih ke saku jasnya.

Dia bilang, namanya Ajal. Pertama kali aku melihatnya di rumah duka itu. Sementara semua orang menjerit heboh, ia berdiri diam di samping peti matiku, tak menghiraukan pria yang tak sadarkan diri di sebelahnya. Saat aku mencoba menyapanya, dia mendahuluiku dengan mengucapkan, "Tidak sopan. Kau menambah pekerjaanku."

Aku anak pintar yang cepat tanggap, tetapi sekali itu aku hanya bisa berkata, "Hah?"

"Kau sudah mati, Nona. Buat apa bangun lagi?"

"Oh, Anda malaikat maut yang ditugaskan mengantar nyawaku ke surga?"

Ajal tertawa lembut. "Apa yang membuatmu yakin kau akan ke surga?"

"Karena aku anak baik."

"Bulan lalu kau menaruh racun tikus ke dalam roti keju yang akan dimakan pacar ayahmu."

"Karena dia duluan yang meracuni gelas jusku. Dia juga mencoba membunuh ibuku sampai koma di rumah sakit. Kau menyebutku anak nakal untuk mengembalikan racunnya—itu seperti ... ehm, seperti menyebut dirimu sendiri jahat karena mengambil nyawaku." Aku berpikir sejenak, memikirkan kelemahan dalam analogi itu. "Hei, malah, kau memang jahat. Aku tidak ada salah apa-apa padamu, tapi kau mau mengambil nyawaku."

"Kau pintar bicara."

"Terima kasih."

"Tapi kau salah mengenai satu hal."

Aku mengernyit. "Yang mana? Saat kubilang aku anak baik, kurasa itu benar."

"Baiklah, dua hal." Ia mengangkat topinya seperti memberi salam. "Namaku Ajal. Aku bekerja untuk malaikat maut, jadi bukan aku malaikat mautnya di sini."

"Aku tidak tahu malaikat maut punya pegawai. Apa tugasmu? Berapa gajimu? Ayahku bisa kasih tiga kali lipat kalau aku merengek dan menangis di depan kamarnya—asalkan kau tidak mencabut nyawaku."

Ajal tersenyum geli. "Waktu kematian-mu adalah tugasku. Kalian para makhluk hidup punya jatah hidup dan batas waktu. Saat aku datang, artinya jatah hidup kalian habis. Tapi, kau membuka mata. Artinya, aku akan terjebak bersamamu sampai kau betulan mati. Untuk pertanyaan kedua, aku tidak digaji seperti manusia. Harta dunia tidak berarti apa-apa untukku."

"Kau terjebak denganku di sini? Apa artinya kau tidak bisa mendatangi manusia lain yang akan mati selama aku masih hidup?"

"Aku bukan kehadiran fisik seperti itu. Aku masih bisa datang untuk makhluk lain yang kehabisan jatah hidupnya meski kau melihatku di sini. Malah, saat ini, ada sekitar dua puluh orang dan tiga ratusan hewan yang mati di kota ini. Puluhan ribu makhluk hidup sedang meregang nyawa di provinsi ini. Beberapa juta—"

"Aku tidak butuh laporan seperti itu." Kugelengkan kepalaku, lalu aku mengulas senyum. "Kau terdengar seperti pegawai yang rajin dan teladan. Meski kau bilang harta dunia tidak berarti apa-apa untukmu, pasti ada sesuatu yang bisa kubayarkan. Tuan Ajal, apakah Anda tertarik bekerja untukku?"

Yang menangis bahagia atas kebangkitan pertamaku hanya pengasuhku, sopir pribadi Ayah, dan tukang kebun. Pacar ayahku murka sekali saat tahu bahwa aku batal mati. Livia mendesak agar ayahku segera menikahinya. Tampaknya, dia merasa posisinya makin terancam kalau aku dibiarkan hidup lebih lama. Pergerakannya juga terbatas selama dirinya masih berstatus pacar dan bukannya istri sah ayahku—dia tidak bisa membunuhku sepuas hatinya.

Meski ibuku masih hidup, Livia berargumen, "Wanita yang kau panggil istri itu sudah sama saja seperti wanita mati. Kau butuh istri sungguhan yang bergerak, bukan yang terbaring 24 jam di dipan rumah sakit. Naya butuh ibu. Rumah ini butuh seorang nyonya. Lagi pula, kalau wanita itu betul-betul bangun suatu hari, mengasumsikan otaknya belum mati, aku yakin itu terjadi saat kau sudah beruban dan impoten. Kau kira, aku atau wanita lain ada yang mau menikahimu kalau itu terjadi? Dan lihat anak perempuanmu itu—dia sudah pernah mati satu kali! Kalau dia mati lagi, kau takkan punya penerus! Bisnismu, rumah ini, semua aset yang kau perjuangkan dengan darah dan keringat—segalanya akan terbengkalai atau disita negara!"

Ajal terkekeh di belakangku. Kami sedang menguping dari balik pintu ruang kerja ayahku saat itu. Ujar Ajal, "Wanita itu agak mirip denganmu—licik, pintar bicara, dan ada yang salah pada jiwanya. Kau yakin kau bukan darah dagingnya?"

Aku mengangkat bahu dan membalas dengan suara berbisik, "Aku belajar banyak hal darinya—bagaimana pun, dia satu-satunya yang berposisi paling dekat sebagai ibu buatku. Selain pengasuhku, tentu saja. Tapi, tidak ada salahnya belajar satu atau dua hal darinya."

"Meski dia mencoba membunuhmu?"

"Meski dia memang sudah membunuhku." Aku mengangguk. "Lagi pula, aku dan dia tidak semirip itu. Lihat histeria dan caranya mengambek, seperti orang kampungan. Aku lebih elegan. Jujur saja, komentarmu membuatku tersinggung."

Ajal menekankan tangan kirinya ke dada dan berdengap dengan dramatis. "Mohon maafkan aku, Nona Muda. Aku salah bicara."

"Kumaafkan."

Kami lanjut menguping. Ayah masih menolak dengan alasan ibuku masih hidup dan sebagainya. Satu kali, dia juga menyebutkan bahwa barangkali aku belum siap punya ibu baru. Dari semua alasan yang ada (mulai dari percobaan pembunuhan Livia terhadapku, tingkah iblis wanita itu, dan argumen kurang ajarnya barusan), Ayah malah memakai alasan murahan semacam "Anakku belum siap."

Kadang aku heran, apakah nurani Ayah masih ada atau sudah dijualnya untuk modal bisnis.

Akhirnya, tiga bulan setelah kematian pertamaku, mereka sungguhan menikah. Ayah menceraikan ibu yang masih koma, tetapi dia masih menanggung semua biaya rumah sakitnya. Ayahku mirip iblis sebagai pasangan; tetapi dia sungguh dermawan sebagai mantan. Heran.

Livia kian berkuasa sejak jadi nyonya besar dalam keluarga, tetapi aku tetap anak tunggal ayahku dan pemilik sah rumah ini—hampir separuh aset kekayaan Ayah atas nama ibuku, tetapi sejak Ibu koma, kepemilikannya diubah jadi namaku, termasuk rumah yang kami tinggali. Ayahku mungkin sudah hitam hatinya, tetapi dia bukan orang idiot. Dia lebih memercayai anak kandungnya yang masih enam tahun daripada istri keduanya yang udik. Toh, tetap ayahku yang mengendalikan segalanya karena aku masih di bawah umur, dan dia selalu menanamkan dalam otakku bahwa satu-satunya yang kubutuhkan untuk mengambil alih segala aset dan bisnisnya hanya ulang tahun ke-17.

Sejak itu, aku dan Livia terlibat semacam pertandingan tarik tambang, dengan pengaturan rumah sebagai tali tambangnya.

Dia mengusir pengasuhku, satu-satunya yang melindungiku di rumah. Jadi, aku mogok makan selama dua hari, sampai aku tergolek lemas di kasur, hingga akhirnya Ayah turun tangan dan mengembalikan pengasuhku ke rumah.

Livia memiliki sebuah brankas khusus berisi botol-botol racun yang siap dituang ke makananku tiga kali sehari. Dia bersahabat dekat sekali dengan para koki, yang tahu benar bahwa akulah target racun-racun tersebut. Jadi, aku meronta di atas meja kerja Ayah, membuat laporan palsu bahwa di rumah ini ada tikus dan menuntutnya melakukan sesuatu tentang itu. Saat aku menyepak semua dokumen berharganya, Ayah akhirnya berjanji memanggil pembasmi hama. Sehari sebelum pembasmi hama datang untuk menggeledah rumah, Livia dan para koki kelabakan membereskan isi brankas rahasia mereka.

Suatu hari Livia memindahkan kamar tidurku ke lantai tiga—pemandangannya bagus, ujarnya, padahal dia sudah menyuap salah satu pembantu yang biasanya membereskan kamarku untuk mendorongku dari balkon saat ada kesempatan. Jadi, aku harus mengeluarkan kartu as kuumumkan-ke-media-massa-bahwa-anakmu-pernah-mati-suri untuk mengancam ayah, agar dia mengamankan kamar di lantai satu tetap menjadi milikku.

Itu terjadi sepuluh tahun lalu. Satu dekade berlalu, dan Livia sudah lima kali berhasil membunuhku—aku bangun lagi setelahnya. Sebagai anak di bawah umur, senjataku terbatas. Aku harus selalu datang pada ayahku untuk mempertahankan hidup, padahal kepedulian pria itu terhadapku hanya sebatas investasi. Andai dia tidak butuh aku untuk dijadikan penerus, dia takkan peduli sama sekali. Andai dia dan Livia punya anak, aku bakal terlupakan.

Kadang aku merasa yakin bahwa Ayah sadar Livia mencoba membunuhku, tetapi dia sengaja menutup mata. Kadang aku bertanya-tanya apakah sakit jiwaku ini keturunan darinya dan bukan sepenuhnya belajar dari Livia.

Tak henti-hentinya aku berdoa tiap malam, semoga besok umurku 17. Semoga tahun-tahun berlalu cepat. Semoga Livia tetap tolol dan kampungan sampai aku cukup umur. Semoga aku lekas dewasa. Aku sudah tidak sabar menendang Livia keluar dan mengasingkan ayahku ke pinggiran kota—agar mereka berdua tahu apa yang kualami sepuluh tahun belakangan.

Namun, hanya tinggal satu tahun masa penantianku itu usai—hanya tinggal setahun sampai aku cukup umur untuk mengambil alih segalanya, Livia sepertinya mendadak dapat bisikan setan. Lalu, selayaknya kaki tangan setan yang teladan, wanita itu berbisik ke telinga ayahku, "Naya sudah 16 tahun dan dia semestinya dapat pendidikan terbaik untuk jadi penerusmu. Kita harus kirim Naya ke sekolah asrama. Aku tahu sekolah asrama yang bagus."

(*゚ー゚*) Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro