Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 9 - Pemahaman

Sinar matahari yang masuk melalui jendela-jendela aula, menyorot berbagai ornamen kayu di dalamnya sehingga terlihat seperti ruang pameran. Aula itu hening sampai sayup-sayup terdengar suara keramaian penduduk yang sedang beraktivitas di luar. Tidak ada yang berbicara. Raja Devon menyelesaikan kalimat terakhirnya dengan pandangan prihatin pada ketiga remaja di depannya. Platina dan Aren masih mencerna penjelasan darinya sampai tidak mampu berkata-kata. Ruby menundukkan kepala sehingga tidak terlihat ekspresi wajahnya. Dave dan Derrick memandangi tiga remaja itu dengan tatapan ragu.

Aren menelan ludah untuk membasahi kerongkongannya yang terasa kering. Ia berusaha untuk mengatakan sesuatu yang ia pikirkan tetapi Platina sudah mendahuluinya.

"Apakah itu artinya kami harus mengalahkan Raja Nero?" tanya Platina tersendat.

"Aku yakin seperti itulah maksudnya. Namun, sekali lagi aku ingatkan, Seleca tidak memberikan detailnya padaku. Jadi ini semua hanyalah pemahaman kita bersama dalam menafsirkan perkataannya," jawab Raja Devon.

"Kenapa kami? Kenapa harus para pendatang?" tanya Platina bingung.

Raja Devon menggelengkan kepala pelan. "Aku tidak tahu, Nak. Sepertinya lebih baik bila aku mengirim kalian ke rumah para penyihir agar kalian bisa menanyakannya langsung pada Seleca."

Aren memandang Platina yang sekarang sedang menunduk dan menutup wajahnya dengan tangan. Ia merasakan Ruby menoleh padanya dengan tatapan khawatir. Aren masih belum bisa menerima pemahaman baru yang mengalir masuk ke pikirannya. Para pendatang mengembalikan kesejahteraan Algaria. Aren menggeleng pelan. Mereka hanya remaja biasa. Apa yang bisa diharapkan dari dirinya dan Platina? Saat ini hanya Ruby yang mampu bertarung tetapi lawannya sudah terdengar sangat kuat hanya dari ceritanya saja. Rasa takut dan pesimis merayap ke hati Aren.

Platina sudah mengangkat wajahnya dengan ketegaran yang dipaksakan. "Jika saja, hanya jika, perkataan penyihir itu benar, apakah itu artinya kami tidak bisa pulang? Tidak bisa kembali ke dunia kami?" tanya Platina pelan. Ia takut mendengar jawaban terburuk yang ada di pikirannya.

"Pertanyaan itulah—dengan sangat menyesal—tidak bisa kujawab," jawab Raja Devon dengan nada menyesal.

Aren menepuk punggung Platina untuk menenangkan. Setidaknya, jawabannya masih belum pasti. Masih ada harapan di suatu waktu, mereka bisa kembali ke dunia mereka. Platina membalas tepukan Aren diiringi dengan senyum putus asa. Ruby menatap mereka berdua seakan ingin mengatakan sesuatu tetapi ia tahan. Raja Devon menghela napas pelan kemudian menoleh pada pria kembar—yang sedari tadi memandang ketiga remaja di sebelah mereka.

"Dave dan Derrick. Terima kasih telah menjaga Ruby dan teman-temannya. Aku minta kalian merahasiakan percakapan kita tadi. Jangan kalian katakan pada siapa pun tanpa seizinku. Akan timbul penafsiran berbeda dari kepala yang berbeda. Aku khawatir, hal ini akan membuat kekacauan bila sampai tersebar," perintah Raja Devon tegas.

Kedua pria kembar itu mengangguk paham. Mereka juga tidak ingin ada kekacauan yang terjadi di Carmine hanya karena kabar yang belum jelas.

Raja Devon kembali menatap ketiga remaja di depannya. "Platina, Aren, aku hanya menyampaikan apa yang kutahu dan berhubungan dengan pertanyaan kalian. Untuk saat ini, istirahatkan badan dan pikiran kalian. Ruby akan mengantar kalian ke rumah tempat kalian akan tinggal," ujarnya sambil menganggukkan kepala pada Ruby.

Ruby berdiri dan memberi hormat pada Raja Devon, begitu pula Dave dan Derrick. "Ayo, aku antar kalian," ajak Ruby pada Platina dan Aren—yang masih duduk diam.

Platina mengangguk lemah dan berdiri bersamaan dengan Aren. Mereka memberi hormat kepada Raja Devon—yang dibalas dengan lambaian hangat—lalu mereka berjalan ke luar aula. Mereka menyipitkan mata karena cahaya matahari menusuk mata. Mereka berjalan menuruni bukit bersama-sama. Keramaian penduduk Carmine sudah tampak. Para penduduk berlalu lalang, berjalan dan beraktivitas di bawah bukit sebelah selatan—yang Platina sadari—sebagai pasar. Mereka saling menukar barang kebutuhan atau makanan bahkan hasil mentah perkebunan atau pertukangan. Hati Platina sedikit membaik melihat aktivitas ini. Segalanya terlihat normal dan damai.

"Aku dan Derrick akan pulang dan beristirahat," ujar Dave pada ketiga remaja di depannya. "Kalian jangan terlalu lama khawatir. Nikmati saja dulu hari ini. Carmine sedang cerah."

Platina dan Aren mengangguk lalu mengucapkan terima kasih kepada pria kembar. Mereka melambaikan tangan pada Dave dan Derrick yang berjalan menuju keramaian pasar.

Aren mulai bisa tersenyum setelah mendengar kalimat penghiburan dari Dave. "Aku merasa ada yang kurang jika mereka pergi tetapi juga sedikit lega. Berada di dekat mereka terasa sedikit ..., sedikit—"

"Terintimidasi," sahut Ruby.

Aren mengangguk tanda setuju karena kalimatnya diselesaikan dengan tepat.

"Aku juga merasa begitu," ujar Platina sambil nyengir.

Ruby memimpin perjalanan menuju ke balik bukit di sebelah utara. Suara logam berdenting yang saling beradu, terdengar dari lapangan di balik bukit. Platina membelalakkan mata bersemangat. Ia melihat para penduduk—yang membentuk kelompok-kelompok kecil—saling menyabetkan pedang, menghunus tombak, atau gada. Sekelompok pemanah berlatih dengan tumpukan jerami yang dibentuk seperti manusia. Teriakan dan tawa membumbung ke langit mewarnai latihan senjata di lapangan itu.

Aren berjalan cepat untuk menjajarkan langkahnya dengan Ruby. "Bolehkah aku ikut berlatih pedang bersama mereka? Aku belum pernah memegang pedang sama sekali tetapi sepertinya tidak sulit," kata Aren sambil mengayunkan pedang fantasi di tangannya.

"Jangan terlalu cepat menyimpulkan sebelum mencobanya. Dasar, banyak gaya," sahut Platina yang sekarang sudah berjalan bersebelahan dengan Aren dan Ruby.

Ruby hanya tersenyum mendengar pertikaian kecil dua teman barunya ini dan terus berjalan melewati lapangan latihan. Mereka menuju ujung bukit yang lebih banyak ditumbuhi pepohonan. Ruby berlari menuju salah satu pohon tersebut dan mengamati bagian atasnya. Platina ikut berlari menghampiri Ruby dengan Aren mengikuti di belakangnya.

"Pohon ini bagus. Kalian bisa tinggal di sini. Rumahku di sebelah sana. Kalau ada sesuatu, kalian bisa memanggilku," kata Ruby sambil menunjuk pohon yang berada beberapa meter di sebelah kanannya. "Aku akan membersihkan diri sebentar. Kalian juga sebaiknya melakukannya."

"Tunggu, Ruby. Aku masih punya banyak sekali pertanyaan di kepalaku. Termasuk apakah benar kau juga pendatang?" seru Aren ketika Ruby sudah membalikkan badan dan berjalan menuju rumahnya.

Ruby menghentikan langkahnya. Ia menoleh pada Platina dan Aren. "Ya, aku juga pendatang seperti kalian," jawab Ruby tenang. "Dua jam lagi. Kita akan bertemu dua jam lagi di rumah pohon kalian untuk membicarakan ini."

Platina dan Aren mengangguk kemudian mengamati pohon besar di depan mereka. Di atas pohon, terdapat satu rumah berdiri kokoh dengan belitan kayu-kayu pohon yang menyatu dengan rumah itu. Platina mengelilingi pohon dan menemukan tangga kayu. Ia mendaki tangga perlahan karena takut jatuh. Ternyata, tangga kayu itu sangat kokoh serta mudah didaki. Platina sampai di atas pohon dan tersenyum senang melihat keindahan rumah pohonnya. Ia belum pernah melihat rumah pohon yang asli sebelumnya, hanya lewat buku-buku atau internet.

Aren juga ikut tersenyum ketika melihat rumah pohon itu. Kemudian, ia mengernyit. "Hei, Pat. Kita cuma dapat satu rumah untuk berdua?"

"Tidak mungkin, Aren. Konyol kalau kita harus serumah," sahut Platina. "Entahlah, kita coba masuk saja dulu," lanjut Platina ragu-ragu.

Ia membuka pintu perlahan. Bagian dalam rumah itu terdiri dari satu tempat tidur di pojok yang menyatu dengan dinding kayu, satu ruangan kecil—yang Platina duga adalah kamar mandi, serta kursi dan meja kayu di tengah ruangan seperti tempat untuk berkumpul. Jendela kecil terbuka ada di setiap sisi rumah sehingga bagian dalamnya terang terkena sinar matahari. Ada satu pintu lagi di antara kamar mandi dan tempat tidur. Platina membukanya lalu tertawa.

"Inilah jawabannya, Aren. Tempat tinggalmu di sana," kata Platina sambil menunjuk. Ia merasa lega karena tidak akan tinggal satu rumah dengan temannya yang menyebalkan itu.

Aren segera menuju ke arah yang ditunjuk Platina. Di balik pintu itu ada tangga gantung kayu yang menghubungkan rumah Platina dengan rumah kayu lain di ujungnya. Aren berjalan melewati jembatan itu dengan hati-hati. Setelah mengetahui jembatan itu sangat stabil, ia setengah berlari melewatinya. Platina mengikuti Aren karena penasaran dengan bentuk rumah pohon satunya. Aren membuka pintu dan masuk ke dalam. Ruangan itu identik dengan rumah Platina. Aren mengangguk puas dengan keadaan rumah barunya.

"Baiklah, aku mau mandi," kata Aren. Ia menoleh dan merasa heran Platina masih ada di dalam ruangannya. "Pat, kau mau melihat aku mandi di sini?"

Platina langsung memukul lengan Aren dan kembali berjalan melewati jembatan ke rumahnya. "Sampai nanti dua jam lagi," seru Platina.

Platina bergegas mandi karena badannya sudah tidak nyaman terkena debu di sepanjang perjalanan melewati hutan. Setelah mandi, ia menemukan pakaian baru di dalam laci di bawah tempat tidurnya. Lalu, ia merebahkan diri di atas kasur yang sangat lembut. Terbuat dari apa ya kasur ini, tanyanya dalam hati. Ia memandang lurus ke atas, melihat atap lengkung kayu yang berwarna cokelat tua mengilat. Untuk pertama kalinya sejak ia datang di dunia Algaria, ia sendirian. Platina merasa kesedihan menyergap hatinya. Baru semalam ia di sini tetapi sudah rindu dengan ibunya di rumah dan teman-temannya di sekolah.

Mereka pasti bingung mencariku dan Aren, pikirnya. Ia tidak tahu apa-apa di sini. Ilmu pedang, ilmu sihir, raja kejam, pemberontakan, hewan-hewan aneh, penyihir, semuanya sudah pernah Platina baca di novel-novel favoritnya. Dulu, ia menginginkan ini dan sekarang ia mendapatkannya. Perasaannya bercampur aduk antara senang, khawatir, kesal, dan takut. Apalagi setelah mendengar penjelasan dari Raja Devon. Mungkin, Sang Raja hanya bermaksud menceritakan perkataan penyihir Seleca tanpa menuntut apapun dari para pendatang. Namun, mau tidak mau, Platina jadi memikirkannya.

Ia berguling ke samping kiri mencari posisi yang nyaman. Dadanya terasa sesak, pundaknya berat. Tanpa Platina sadari, ia dibebani tanggung jawab yang begitu besar. Ia mencoba memejamkan mata dan beristirahat. Kekejaman Raja Nero dan kekuatannya terdengar menakutkan. Apakah artinya aku, Aren, dan Ruby juga harus menjadi kuat sepertinya? Kenapa kami harus mengalahkan Raja Nero? Kalau saja ia dibiarkan, maka kita tetap akan aman di Carmine, bukan?

Pertanyaan-pertanyaan itu terus muncul di pikiran Platina bersamaan dengan puluhan jawaban penolakan yang muncul dari hatinya. Saking serunya pikiran dan hatinya beradu, tanpa sadar ia sudah terlelap dalam dunia mimpi yang hanya menjadi miliknya sendiri.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro