Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 5 - Kejutan-Kejutan

Rumah itu tidak terlihat seperti rumah berpenghuni. Itulah kesan pertama yang muncul di pikiran mereka berdua. Tak ada penerangan, membuatnya tampak samar-samar di tengah hutan yang gelap. Platina mengamati rumah itu dengan seksama. Atapnya terbuat dari kayu, begitu pula dindingnya, kesannya justru seperti pondok kayu di pegunungan yang biasa teman-temannya sewa ketika liburan tiba. Rasa sedih sedikit merasuki hatinya. Ia takut tidak bisa kembali bertemu teman-temannya.

Aren menepuk bahu Platina. Platina tersadar dari lamunannya. Setidaknya aku masih bersama Aren, pikirnya menghibur diri.

Aren mengetuk pintu rumah. Satu kali, dua kali, tidak ada jawaban.

"Permisi. Kami datang dari jauh, bolehkah kami menginap di sini?" teriak Aren sambil mengetuk untuk yang ketiga kalinya. Hening. Tidak ada jawaban yang terdengar dari dalam. Aren menoleh ke arah Platina meminta saran.

Platina mengernyit berpikir. "Mungkin memang tidak ada orang di sini setelah sekian lama. Aku melihat sarang laba-laba tebal di jendelanya begitu juga di pilar ini. Lantai kayunya terlihat sangat tidak terawat. Kita beruntung kalau atap rumah ini tidak roboh menimpa kita."

"Aku setuju," kata Aren. "Baiklah, kita coba masuk saja. Aku tidak ingin berada di luar malam-malam."

Aren mencoba membuka pintu. Pintu itu perlahan terbuka dengan suara berderit. Aren melongok ke dalam dan langsung terserang bau pengap debu tebal. Ia terbatuk-batuk sedikit dan memberi isyarat pada Platina untuk masuk mengikutinya. Di dalam sangat gelap. Mereka terdiam sebentar untuk menyesuaikan mata dengan kegelapan.

Aren berjalan maju terlebih dulu untuk mencari sesuatu yang bisa digunakan sebagai sumber penerangan. Jelas tidak ada lampu di sini karena rumah ini ada di tengah hutan. Ia menemukan beberapa lentera yang berbentuk seperti lampu minyak. Ia meraba-raba dalam gelap tetapi tidak bisa menemukan lilin atau korek.

"Aku tidak menemukan korek di sini," keluh Aren. Ia sudah sampai ujung ruangan yang mereka masuki.

"Semakin gelap di luar. Aku harap ada api menyala di lentera itu," kata Platina. Tiba-tiba saja, ruangan itu menjadi terang oleh nyala api dalam lentera-lentera yang Aren temukan.

Aren membelalak keheranan. "Apa yang kau lakukan, Pat?"

"Apa? Aku tidak tahu. Kau lihat sendiri aku tetap berdiri di sini dari tadi," kata Platina kebingungan.

Mereka berdua menatap nyala api yang bergoyang menerangi ruangan. Api itu memunculkan siluet bayangan gelap mereka di dinding.

"Ini jadi semakin aneh, aku tidak mengerti," kata Aren menggelengkan kepala sambil maju dan mengambil satu lentera di atas meja di dekatnya.

Mereka mengamati ruangan itu. Sepertinya itu adalah ruang santai karena terdapat sofa-sofa dengan bantal tebal berdebu yang berantakan di tengah ruangan. Ada perapian menempel di dinding terjauh ruangan dengan sisa-sisa abu putih bercampur debu. Meja-meja kecil jatuh berserakan. Laci-laci berada di luar rak dan isinya bertebaran di lantai. Tidak ada satu pun foto yang terpajang di ruangan ini.

Platina mengambil salah satu kertas yang jatuh dan membolak-baliknya. "Sepertinya ada yang terburu-buru mencari sesuatu," tebak Platina. "Oh, kertas ini berbeda dengan kertas kita. Ini lebih tebal dan lebih kuning. Mungkinkah ini yang disebut perkamen?"

Aren mengambil kertas yang diserahkan Platina kepadanya. "Hmm, mungkin saja," katanya lambat-lambat. "Sebenarnya kita ada di zaman apa, sih?"

Platina tersenyum bersemangat. "Entahlah, tetapi aku cukup senang bisa tahu bentuk perkamen. Aku cuma pernah membayangkannya melalui novel yang kubaca selama ini," kata Platina. "Astaga, benarkah ini dunia fiksi? Apa nama dunia ini ya? Oh, hei, Aren, kau mau ke mana?"

Aren sudah setengah jalan naik tangga kayu menuju lantai dua sambil membawa lentera. "Ayo, kita ke atas. Mungkin ada sesuatu yang menarik lagi."

Platina mengikutinya dengan bersemangat. Mereka berhati-hati menapakkan kaki pada anak tangga, berjaga-jaga jika ada kayu yang lapuk dan membahayakan mereka. Lantai dua terlihat sama berdebunya seperti lantai satu bahkan lebih gelap karena tidak ada jendela sama sekali yang membuat sinar bulan tidak dapat masuk.

Ada empat pintu terlihat dari tangga. Dua diantaranya--yang paling dekat dengan tangga--terbuka. Cahaya remang-remang lentera membuat suasana menjadi mencekam. Suara serangga-serangga di luar masih terdengar. Mereka berpandangan saling menguatkan dan mengangguk. Mereka masuk ruangan pertama yang paling dekat tangga di sebelah kanan. Itu adalah kamar tidur dengan satu kasur berukuran sedang di tengah dan lemari baju di pojok ruangan serta sebuah cermin berdebu di atas rak buku. Platina dan Aren berkeliling melihat ruangan itu. Kasurnya rusak dicabik-cabik dan terdapat debu tebal menyelimutinya. Lemari baju terbuka dengan baju-baju berantakan di dalamnya. Buku-buku bertebaran di lantai. Tebal, tipis, kecil, dan besar semua berjatuhan tanpa ampun.

Platina mengerutkan kening. "Kenapa kasur ini harus dirusak?"

"Sepertinya seseorang benar-benar serius mencari sesuatu," jawab Aren. "Semoga kita tidak bertemu dengannya, melihat kelakuannya pada rumah ini, entah apa yang bisa orang itu lakukan pada kita."

Platina mengangguk dan berjalan menuju ruangan di seberang kamar itu. Aren mengikutinya dengan lentera tetap di tangan. Ruangan ini kosong tanpa perabotan apapun. Tidak ada cermin atau jendela. Mereka bergidik. Ruangan ini gelap total tanpa lentera. Mereka bergegas ke luar dari ruangan yang sangat membuat tidak nyaman itu.

Aren mencoba membuka ruangan yang ketiga. Semilir angin langsung menerpa wajahnya. Ia memandang jendela besar yang terbuka di depannya dengan korden putih compang-camping yang berkibar. Sinar temaram dari luar memasuki ruangan itu. Tampak sebuah lemari tinggi berwarna cokelat yang terbuka, menampakkan bagian dalamnya yang kosong.

"Tidak ada apa-apa di sini," ujar Platina. Aren mengangguk dan berjalan ke luar kamar menuju pintu yang terakhir.

Pintu ruang keempat tertutup. Aren mencoba membukanya tetapi tidak bisa. Ruangan itu terkunci. Ia memukul-mukul sampai hampir mendobraknya tetapi pintu itu tetap bergeming.

"Aneh. Hanya pintu ini saja yang terkunci," kata Aren.

"Mungkin ada sesuatu yang berharga di dalamnya. Namun, kenapa pintu ini tidak dirusak oleh si pencuri?" tanya Platina heran.

Aren memandang pintu dari kayu yang ada di depannya itu. Kayunya kuat, tidak ada tanda-tanda lapuk. Bahkan warnanya masih cokelat cerah seperti baru dicat.

"Bukan tidak dirusak, mungkin tidak bisa dirusak," ujar Aren.

Platina mengangguk lambat. "Bisa jadi yang ia cari ada di dalam. Aku penasaran dengan yang ada di balik pintu ini." Ia mengelus ukiran di pintu cokelat itu. Terasa halus di tangannya. Tangannya mengikuti bentuk ukiran itu. Ia merasa kenal dengan bentuknya.

"Aku jadi berharap pintu ini bisa terbuka," ujarnya.

"Aku juga," kata Aren menyetujui. Ia mencoba membuka pintu itu sekali lagi hanya untuk meyakinkan hatinya bahwa pintu itu benar-benar terkunci. Namun, yang terjadi adalah pintu itu justru terbuka. "Wow, sekarang bisa dibuka," serunya kaget.

"Aneh, rumah ini aneh. Sungguh, kejutan-kejutan ini tidak baik untuk jantung," gerutu Platina sambil memegangi dadanya.

"Memangnya ada yang tidak aneh semenjak kita datang ke sini, Pat?" jawab Aren nyengir bersemangat. Ia membuka pintu itu perlahan dan mengangkat lenteranya tinggi-tinggi agar cahayanya dapat menerangi seluruh ruangan.

Ruangan itu tidak terlalu besar. Seluruh dindingnya tertutup rak-rak buku yang tinggi. Di tengah ruangan terdapat meja kerja dan kursi di belakangnya. Platina mendekati rak buku dan melihat-lihat. Ia tidak mengenali satu pun buku di situ. Judul-judul di sampulnya tidak bisa dibaca dengan jelas.

Platina berbalik dan mendekati meja. Kertas-kertas berserakan di atasnya, botol tinta terbuka dengan pena tergeletak di atas kertas. Sepertinya ada orang yang sedang menulis dan harus terpaksa berhenti karena tutup tintanya pun tidak sempat ditutup. Platina memerhatikan kertas-kertas di meja. Beberapa berisi diagram-diagram penuh segitiga dan lingkaran. Beberapa penuh rumus-rumus matematika dan fisika, yang lainnya berisi tulisan tangan miring yang sulit dibaca. Ia mencoba membaca dan hanya terbaca tulisan 'Musuh terbesar adalah kekuatan pikiran ....' di satu kertas serta '.... perangkap waktu berasal dari masa lalu, hati-hati dengan apa yang bisa datang ....' di kertas yang lain. Sedangkan tulisan-tulisan yang lain tidak terbaca walaupun Platina sudah berusaha menebak kalimat selanjutnya.

Platina menahan napas. Siapa yang menulis semua ini? Untuk apa ia menulis ini dan untuk siapa? Benaknya penuh dengan pertanyaan. Ia memandang berkeliling ruangan dan merasa ada yang ganjil dengan ruangan ini.

"Aren, aku merasa hanya ruangan ini yang bersih, tidak ada debu di meja maupun rak-rak buku," kata Platina mengutarakan perasaan ganjilnya.

Aren sekarang berjongkok di belakang pintu. Ia mengamati sebuah peti kayu besar berwarna cokelat tua yang terletak di lantai. "Aku juga merasa begitu, Pat. Lantainya bersih, begitu juga dengan pintu, dan peti ini."

Platina mendekati Aren yang sedang membuka peti besar di atas lantai. Mereka melihat banyak tumpukan dokumen yang dijilid dan jurnal-jurnal. Mereka mengambil satu per satu untuk diletakkan di lantai. Platina melihat isi jurnal-jurnal itu kosong. Sementara Aren merogoh lebih dalam ke bagian bawah peti dan merasakan dua benda berbentuk bundar yang keras seperti batu. Ia mengangkatnya. Dua batu kecil, seukuran dua ruas jarinya, ada di tangannya. Satu batu berwarna hijau dan satu lagi berwarna perak.

"Ini, Pat. Ambil satu, aku menemukannya barusan," ujar Aren menyerahkan batu perak ke tangan Platina.

Platina memerhatikan batu itu. "Apa kita boleh mengambilnya? Kau gila, bagaimana kalau kita nanti dituduh mencuri?" tanya Platina keras.

Belum sempat Aren menjawab, mereka mendengar suara pintu depan di lantai satu terbuka dengan keras lalu kaki-kaki berderap masuk ke rumah. Platina memegang lengan Aren karena kaget.

"Sembunyikan batu itu di saku. Ayo, kita ke luar. Bahaya kalau itu adalah pencuri yang mencari sesuatu di rumah ini. Bisa-bisa kita tidak selamat bila ia melihat kita di sini," ujar Aren cepat-cepat dan menarik Platina untuk ke luar ruangan.

Baru saja Aren menutup pintu ruangan itu, terdengar suara perempuan dari arah tangga.

"Diam di tempat! Angkat tangan ke atas!"

Platina dan Aren mematuhinya. Mereka mengangkat tangan ke atas dan berusaha melihat orang yang barusan bicara. Seorang perempuan berambut panjang dikuncir kuda ke belakang sedang mengarahkan anak panah kepada mereka. Mereka tidak bisa melihat dengan jelas karena lentera yang dibawa Aren tadi tertinggal di dalam ruang kerja aneh yang baru mereka masuki. Dua orang pria berbadan tegap berdiri di samping kanan dan kiri perempuan itu dengan memegang senjata semacam tombak--tetapi mata pisaunya lebih panjang-- yang mengarah pada mereka berdua.

"Wah, wah, tenang. Kami bukan orang jahat. Kami justru ingin bertanya tentang—" kata-kata Aren terputus ketika perempuan itu memandang Aren tajam dan mengarahkan anak panahnya tepat ke kepala Aren.

"Diam atau panah ini melayang ke kepalamu dan kau tidak akan bisa bicara selamanya," ancam perempuan itu serius.

"Astaga, ia keren sekali," bisik Aren pada Platina.

Platina memelototi temannya itu. Bagaimana bisa Aren berpikir pengancam itu keren di saat seperti ini? Jantung Platina mulai berdegup kencang. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ia tidak bisa ilmu bela diri apa pun. Memegang senjata pun tidak pernah. Apalagi Aren sekarang sepertinya sedang terpesona dengan perempuan berpanah di depan mereka. Haruskah mereka menjadi tawanan para pengancam itu? Bagaimana caranya bisa lolos dari keadaan ini?

Platina menggeleng lemah. Tidak mungkin bisa, batinnya pedih.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro