Keping 4. Brave
"There are those who say fate is something beyond our command. That destiny is not our own, but I know better. Our fate lives within us, you only have to be brave enough to see it."
- Merida, Brave.
Pertemuan tidak terduga itu nyatanya mengganggu lebih dari seharusnya. Vianca masih berefek sebesar itu terhadapnya, ternyata. Dan Jagad membenci diri sendiri atas ketidakmampuannya menolak wanita itu, wanita yang sama yang telah membuatnya terpuruk.
Ia memutuskan untuk pulang lebih awal hari itu, toh ia nyaris tidak dapat berkonsentrasi pada apapun seharian ini. Menaiki undakan tangga menuju teras, melewati petak-petak tanaman Kucai di sepanjang sisi mengelilingi beberapa pokok Cemara Udang, Jagad terlonjak saat sesuatu mendarat di kakinya. Makhluk berwarna abu-abu dengan garis-garis hitam itu melompat dari balik bonggol-bonggol besar Cemara Udang dan dengan warna bulu kucing itu sendiri─kembali mengeong, lalu mendekat untuk menggesekkan hidung di kaki Jagad lagi.
"Hush!" Jagad mengusir kucing itu sambil menarik kakinya yang hendak dijilat. .
"Hush! Sama mama kamu, sana. Saya nggak punya makanan."
Seruni, seperti itulah Ayla menamainya berdasarkan nama bunga berwarna cerah─yang sama sekali tidak berkaitan dengan warna bulu Seruni yang justru abu-abu gelap. Jagad mengusirnya dengan kibasan tangan. Ia lelah, ia tidak punya waktu untuk ini.
Namun, Seruni, Uni, seperti pertama kali ia tidak sengaja menemukannya, adalah kucing yang bandel. Ia terus mengekor hingga Jagad menyerah dan merogoh tasnya, coba menemukan sesuatu. Ada sebungkus biskuit susu yang ia sempat lupakan. Dan Seruni menyukainya. Ia menyukai apa saja yang diberikan Jagad untuknya.
Like a mother like daughter.
Jagad segera beranjak dari situ. Ia mendapati Ayla di atas karpet, sedang membuat origami berbagai bentuk, bukan hanya hati.
"Lagi apa?" Jagad bertanya begitu ia berjongkok di hadapan wanita itu, sukses membuatnya melompat karena kaget. Ia melihat beberapa bangau kecil, origami hati, bahkan kincir angin.
Wanita itu cepat-cepat merapikan kertas-kertasnya menjadi satu tumpukan. Untuk anak-anak di toko bunga, ujarnya dengan gerakan tangan. Ayla tidak menjelaskan lebih lanjut, namun samar-samar Jagad dapat mengingat wanita itu pernah bercerita bahwa bunga-bunga di taman yang ia rawat itu kebanyakan mekar bersamaan. Dan Ayla memilih menjualnya ke toko bunga di ujung jalan, dekat pasar.
Kemudian Ayla mengeratkan keempat jarinya dan menekuk jempolnya sebelum mengayunkannya ke depan, menekuk dua jari terakhir lainnya dalam proses. Kemudian memposisikan kedua tangannya seperti menarik pelatuk dari dua buah pistol khayalan di tangan.
Kamu hari ini pulang cepat, ujarnya, menunjuk Jagad seakan menuduh. Jagad hanya tersenyum.
"Nggak banyak yang harus dikerjain."
Sebagai jawaban, wanita itu menepuk telapak tangannya dengan telapak tangan yang lain, kemudian membalik dan menepukkan punggung tangan. Dengan lincah, ia mengetuk ujung bibirnya dengan ujung-ujung jari sebelum meletakkan tangannya ke bawah dan membuat gestur melambai seraya menggeleng. Jagad telah cukup mengerti benar kosakata itu. Well, kira-kira.
Aku belum masak makan malam. Wajahnya cemas.
Satu perpaduan antara dengkusan dan tawa singkat terselip keluar dari bibir Jagad. "Ya wajar. Ini baru jam empat," ujarnya dengan senyum yang coba meyakinkan wanita itu bahwa tidak, perang dunia tidak akan tercetus hanya karena dia lupa memasak makan malam. "Aku mandi dulu aja terus mau nonton TV bentar. Dan kamu bisa selesaikan dulu kerjaan kamu terus masak, kalau mau."
Wanita itu mengangguk antusias dengan senyumnya yang cerah. Dan selama sesaat, itu membuat Jagad lupa cara melepaskan dasi yang benar dan ia malah membuat benda itu bergumpal di seputaran leher. Ayla melangkah maju, ingin membantu, namun secara refleks, Jagad menjauh. Itu semua hanya refleks. Karena begitu melihat raut kecewa di wajah manis itu, Jagad merasa perlu memukul diri sendiri. Sebagai balasan, ia hanya tersenyum meminta maaf.
"Kamu mau ... bikinin aku kopi?" tanyanya, untuk pertama kali menjadi pihak yang meminta.
Dan senyum itu kembali. Semudah itu.
***
Makan malam berlangsung sepi, seperti yang sudah sudah. Hanya denting alat makan tanpa ada pertukaran percakapan. Ayla memasak lebih banyak hari ini, Jagad menyadari. Cumi-cumi yang ditumis asam manis, udang goreng tepung, bola-bola udang ... kesukaannya. Kecuali untuk satu-satunya menu ayam di meja itu, semua itu kesukaannya. Bagaimana ia bisa memasak sebanyak itu dalam waktu hanya kurang lebih dua jam? Pria itu agak takjub.
"Tadi kamu ke rumah Mbak July?"
Jeda. Ayla masih sibuk menyantap makanannya, dan mendadak Jagad menyesal telah bertanya. Wanita itu pasti tidak mendengar pertanyaannya hingga Jagad diacuhkan.
Beberapa saat ia hanya menghembuskan napas kasar yang tidak repot-repot ia sembunyikan sambil menatap Ayla. Wanita itu sibuk menggigiti ayam saus kacang-nya dengan dua jari. Satu-satunya lauk di meja itu yang ia pindahkan ke piring bersama nasi. Memangnya dia tidak suka seafood?
Namun, sebelum Jagad memutuskan untuk memfokuskan perhatiannya lagi pada cumi-cumi dan udang goreng tepung di piringnya sendiri, wanita itu mendongak, menatapnya seolah bertanya 'kamu tadi bicara padaku?"
"Itu ... kamu tadi ke rumah Mbak July?" Pria itu mengakhiri perdebatan batinnya selama satu menit penuh untuk mengulangi pertanyaan atau tidak.
Ayla membuka mulutnya membentuk huruf 'O' dan buru-buru mengangguk. Ia melepaskan bagian paha ayamnya, menyeka jari yang terkena saus dengan tisu kemudian menggoyang-goyangkan kedua tangannya dengan tiga jari tengah yang ditekuk ke dalam, lalu dengan hanya jari tengah yang ditekuk, ia menyentuh bibir bawahnya sebelum membawa jemari yang sama ke bagian tengah dada untuk mengatakan 'pesta ulang tahun'. Ia lalu mencolek ujung hidungnya dengan dua jari dan membawanya ke atas dua jari yang lain, membentuk huruf X jika dilihat dari atas.
Pesta ulang-tahunnya seru.
Ada keraguan yang dapat Jagad tangkap, dari cara kalimat terakhirnya yang menggantung, atau dari senyum wanita itu yang memudar.
"Nenek sihir itu nanya macam-macam lagi, ya?"
Cepat-cepat, wanita itu menggeleng. Dan Jagad segera tahu jawabannya adalah 'ya'. July adalah saudara Jagad satu-satunya, dan juga merupakan satu-satunya wanita di keluarga itu setelah kepergian sang ibu. Dia juga satu-satunya makhluk cerewet yang akan menanyakan pertanyaan terkutuk itu di setiap kesempatan.
Ya, pertanyaan terkutuk soal 'kapan kalian akan punya anak?' Jagad akan menghindarinya sebisa mungkin, karena... itu tidak mungkin. Ia tidak mungkin mempunyai anak dari hubungan yang tidak berdasarkan cinta, kan?
Di sisi lain, Ayla hanya akan menunduk dan tersenyum, sebisanya menghindari jawaban karena ia tahu, betapa Jagad tidak menyukainya. Mendadak, kilasan kejadian dan pembicaraan tadi siang muncul lagi di benaknya.
Melihat anak-anak itu, yang berlarian kesana-kemari, tidak pelak membuatnya iri. Melihat bagaimana Rayyan merengek pada July agar bisa meniup lilin ulang tahun lebih cepat dan memanggilnya ibu membuat wanita itu juga menginginkan hal yang sama. Di lubuk hatinya, ia juga ingin menjadi seorang ibu.
"Kok kamu bisa sampai berpikir Jagad nggak mau punya anak?" July bertanya, setelah Ayla dengan payah coba menyuarakan pikirannya. Rayyan sudah tertidur di pangkuan July karena kelelahan sementara semua anak lain telah pulang. Pesta sudah lama selesai dan yang tertinggal hanyalah sisa-sisa balon dan berbagai pernak-pernik untuk dibereskan.
Mungkin karena ia nggak pernah menunjukkan ia menginginkannya? Kalimat yang tidak terucap. Tidak akan dapat dimengerti meskipun ia mencoba.
"Jagad itu... sebenarnya sangat suka anak kecil," July melarikan jemari-jemari kurusnya di rambut tebal Rayyan. "Dia itu paling seneng main sama Rayyan. Mbak tahu banget, dia bakal bisa jadi sosok ayah yang baik. Jadi, Mbak seratus persen yakin dia pingin punya anak. Mungkin malu doang bilangnya, Ayla. Jagad itu ... yah, kamu tahu sendiri lah, cowok paling kaku yang pernah ada. Patung aja kalau ketemu dia patungnya yang hormat, kalah saingan," jelasnya seraya terkekeh.
Ayla menyimpan nasehat itu dalam hati, melipatnya rapi dan menyimpannya rapat-rapat. Jagad ingin bayi. Dan ia ingin menjadi ibu dari bayi-bayi itu. Memikirkannya membuat wanita itu memerah, dan kalau bukan karena Jagad yang menatapnya aneh, wanita itu mungkin tidak dapat menarik diri dari lamunannya.
"Wajah kamu merah. Ada... yang salah?"
Ayla tersedak udara. Ia meraih ayamnya lagi dan membuat akting terbaik dalam hidupnya dengan berpura-pura makanan itu terlalu pedas di lidah.
Jagad meraih sendok, mengambil sepotong dada ayam saus kacang khas Thailand itu dan mengernyit. Karena, sejak kapan makanan yang sama yang tadi wanita itu lahap dengan beringas menjadi begitu pedas (menurutnya) dalam waktu sepersekian detik?
***
Setelah meja makan dirapikan dan piring habis dicuci, Jagad menemukan wanita itu bergelung di sofa. Ia sendiri memilih untuk naik ke kamar tidur, mencoba tidur, dan gagal. Ia mencoba me-review jadwalnya besok, dan mungkin pekerjaan yang harus ia tangani namun tidak, ia terlalu malas untuk memenuhi kepalanya dengan pekerjaan saat ini. Jadi ia turun kembali dan mendudukkan diri di sofa di samping wanita itu. Sebuah film Disney dengan wanita berambut merah menyala yang mengembang kemana-mana terlihat sedang membidikkan panahnya di layar televisi. Jagad meneliti, wanita di sampingnya sedang menahan napas.
Pikiran jahil melintas di benak Jagad. Ia meletakkan telapak tangannya di depan wajah Ayla, menghalangi arah pandang wanita itu, dan menyebabkannya secara otomatis tercekat oleh kehadiran Jagad yang tidak diduga. Ekspresi cemberut yang selanjutnya terjadi begitu berharga, Jagad tidak bisa tidak tertawa.
Kamu mau menonton siaran sepak bola? Tanyanya begitu reda dari kekagetan yang sekarang berganti panik. Ia meraih remote control, sigap untuk menghentikan film yang sedang ia tonton saat tangan Jagad menghentikannya.
"Kartun...," mulainya, menunjuk layar TV dengan dagu, "kayaknya lucu juga."
Selanjutnya mereka menonton separuh film Disney berjudul Brave itu dalam diam. Pertamanya, Jagad hanya akan tersenyum geli sendiri melihat betapa tegangnya wanita itu, meski, berani bertaruh, ini bukan kali pertama ia menontonnya. Lalu setelahnya ia juga mulai memahami ceritanya dan larut dalam plot kisah itu. Jagad tertawa, menahan napas, dan merasakan apa yang dirasakan tokoh Merida di sana.
Film hampir habis. Mereka berdua telah bergotong-royong menghabiskan semangkuk besar popcorn caramel yang wanita itu buat. Posisi juga telah beberapa kali berganti. Jagad yang awalnya hanya duduk dengan formal di sofa, sekarang setengah berbaring di atas karpet, dengan punggungnya bersandar pada sofa dan kepalanya beristirahat dimana pantatnya satu jam yang lalu berada. Ia menatap langit-langit guna menyegarkan pandangannya. Lalu sudut matanya menemukan Ayla. Ia menatapnya beberapa saat, hingga wanita itu tersadar dan membalas tatapannya.
Apa? Wanita itu mengangkat dua tangan setinggi dada dan mengangkat bahu.
Jagad tidak langsung menjawab. Ia melihat film memasuki fase penutup setelah klimaks yang menegangkan, kemudian mengalihkan perhatiannya kembali pada wanita yang masih menatapnya, menunggu.
"Penasaran aja. Kenapa kamu sangat suka kartun?"
Dengan senyum, Ayla mengedikkan dagunya ke arah televisi. Ia menarik dua jari dan mengibas-ngibaskannya di depan hidung, menarik dan mengembangkan kelima jari di depan dada dengan wajah penuh penekanan, kemudian mempertemukan kuncup-kuncup ujung jemari kedua tangannya dua kali. Lalu dengan lebih menggebu ia menyentuh dagunya dengan jari tengah, lalu dengan satu jari telunjuk yang dengan cepat digantikan dua buah jempol bergerak ke arah berlawanan, saling menjauh. Jagad mencoba mencerna sebaik mungkin meski ia kehilangan beberapa kata-kata.
"Maksudmu... kartun menunjukkan lebih banyak... ekspresi? Daripada...."
Jagad mengulang, mengangkat kedua jempol dan membawanya ke arah berlawanan, namun ia tetap tidak mengerti. Tidak hingga Ayla menunjuk dirinya dan diri wanita itu sendiri.
"Daripada kita? Daripada dunia nyata?"
Anggukan antusias serta dua jempol yang wanita itu berikan membuat senyum mengembang di bibir Jagad. Sungguh, mempelajari bahasa isyarat itu tidak mudah!
"Kartun lebih baik dalam menunjukkan ekspresi daripada orang-orang di dunia nyata?"
Ya. Mereka lebih mudah dipahami meski aku tidak bisa mendengar apapun, meski tanpa teks.
Setelah menonton satu buah lagi kartun dan Ayla tidak berhasil menyelesaikannya (karena tertidur di pertengahan film), Jagad mematikan TV dan menggendongnya kembali ke kamar. Wanita itu bereaksi kecil dengan menggeliat saat Jagad menurunkannya di atas tempat tidur, namun begitu tangannya menemukan guling, ia segera memeluknya dan tidak lagi berkutik. Jagad terkekeh pelan.
Malam itu ia tidak dapat tidur seperti Ayla. Vianca masih mengisi pikirannya. Tentang pernikahan, tentang cinta... Lalu entah bagaimana, tentang kartun yang dapat lebih mudah dibaca ketimbang manusia.
Ia berharap ia dapat hidup di dunia Merida saja.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro